Kasus Salah Tangkap di Dunia [UPDATE]

spirit

Mod
Pria Ini Dinyatakan Tak Bersalah Setelah 40 Tahun Dipenjara

1001549Joseph-Sledge780x390.jpg

Joseph Sledge (70) dinyatakan tak bersalah dalam sebuah kasus pembunuhan setelah 40 tahun mendekam dalam penjara.

Seorang pria yang mendekam selama 40 tahun di penjara setelah divonis bersalah membunuh seorang ibu dan anaknya, dibebaskan dari penjara pada Jumat (23/1/2015), setelah ditemukan bukti baru yang membuktikan dirinya tak bersalah.

Sebuah panel beranggotakan tiga orang hakim membebaskan Joseph Sledge (70), setelah mendengarkan kesaksian seorang pakar DNA. Dia mengatakan dari semua bukti kasus itu termasuk rambut, sidik jari dan DNA bukan milik Sledge.

Seorang informan yang juga seorang tahanan, Herman Baker juga mengubah kesaksiannya. Dia mengatakan pemerintah menjanjikan keringanan hukuman dalam kasus obat terlarangjika dia memberikan kesaksian yang memberatkan Sledge.

"Sistem hukum telah membuat kesalahan," kata jaksa wilayah Jon Davis.

Setelah mendengar keputusan hakim, untuk beberapa saat Sledge terdiam sebelum akhirnya memeluk kuasa hukum dan keluarganya.

Selanjutnya dia meninggalkan LP Columbus County, berbicara kepada sejumlah jurnalis sebelum naik ke dalam mobil bersama keluarganya. Mereka kemudian menuju ke Savannah, Georgia di mana Slegde akan tinggal bersama salah seorang saudara laki-lakinya.

"Saya akan pulang. Bersantai. Tidur di ranjang yang sesungguhnya dan mungkin akan berenang di kolam renang," kata Sledge saat ditanya apa yang akan dilakukannya setelah bebas.

Pada 1976, Sledge divonis bersalah dalam dua katagori pembunuhan tingkat kedua dan dijatuhi vonis hukuman penjara seumur hidup. Pengadilan saat itu menganggap Sledge terbukti membunuh Josephine Davis (76) dan putrinya, Aileen (57).

Kedua perempuan itu ditemukan tewas ditikam di kediaman mereka di Elizabethtown, sehari setelah Sledge kabur dari sebuah penjara saat menjalani hukuman penjara empat tahun akibat mencuri.

Sledge adalah orang kedelapan yang mendapat pengampunan setelah negara bagian Carolina Utara membentuk sebuah komisi untuk menyelidiki ulang sejumlah kasus kriminal yang diduga menghukum orang yang tak bersalah.

Komisi bentukan pemerintah ini mulai bekerja pada 2007 dan saat ini sudah menyelesaikan evaluasi terhadap 1.500 kasus. Sementara itu sebuah lembaga non-profit Innocence Project mengatakan sebanyak 325 terpidana dibebaskan setelah pemeriksaan ulang DNA dilakukan.


Editor : Ervan Hardoko
Sumber : news.com.au,
 
Tragis! Pria Sudah Dihukum Mati, Ternyata Tak Bersalah

1417442161158.jpg

Benar-benar tragis. Seorang pria telah dihukum mati atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Fakta ini baru terungkap 86 tahun setelah eksekusi.

Pria Australia bernama Colin Campbell Ross itu dihukum gantung pada tahun 1922 silam. Dia didakwa membunuh dan memperkosa seorang anak perempuan berumur 12 tahun di Kota Melbourne, Australia pada tahun 1921.

Namun hasil tes terbaru menunjukkan, bukti krusial yang diajukan untuk mendakwanya ternyata salah. Otoritas negara bagian Victoria pun memberikan pengampunan kepada mendiang Ross.

"Ini benar-benar kasus tragis di mana kesalahan peradilan telah mengakibatkan seorang pria digantung," cetus Jaksa Umum Victoria Rob Hulls seperti dikutip kantor berita Reuters, Rabu (28/5/2008).

"Pengampunan ini merupakan pengakuan bahwa ada keraguan serius atas dakwaan pembunuhan pada Ross," imbuh Hull.

Ditegaskan Hull, kasus Ross ini merupakan peringatan bagi siapa saja yang menginginkan pemerintah Australia kembali memberlakukan hukuman mati. Australia merupakan negara penentang keras hukuman mati. Hukuman mati di negeri Kangguru itu secara resmi dihapuskan pada tahun 1975 lampau.

Kasus Ross memang kontroversial. Pria itu digantung mati hanya 115 hari setelah penangkapannya. Padahal saksi mata menuturkan dia sedang bekerja saat kejahatan itu terjadi.

Tim penuntut mengandalkan pada barang bukti berupa beberapa helai rambut yang ditemukan pada selimut di rumah Ross. Menurut para ahli waktu itu, rambut tersebut milik gadis kecil, Alma Tirtschke yang dibunuh Ross.

Seorang peneliti menemukan rambut yang digunakan sebagai barang bukti kasus Ross tersebut dalam sebuah arsip tahun 1995. Hasil tes terbaru kemudian menunjukkan, rambut tersebut bukan milik korban.

Hull pun meminta agar kasus itu ditinjau ulang dua tahun lalu. Hasilnya, panel hakim menemukan bahwa kasus terhadap Ross cacat hukum.

Keponakan Ross, Betty Everett yang bertindak sebagai juru bicara keluarga, mengaku sedih dan lega atas temuan ini. Dia mengaku lega karena mengetahui pamannya bukan pembunuh. "Beban telah terangkat dari hati saya," kata wanita itu.

Pihak keluarga korban menyatakan, kasus ini merupakan tragedi biasa semua orang yang terlibat. "Ini tragedi bagi semua orang yang terlibat karena pelaku sebenarnya tidak tertangkap, dan seorang pria yang tak bersalah telah kehilangan nyawanya," demikian statemen keluarga korban.

sumber
 
Setelah 29 Tahun Dibui, Pria AS Dibebaskan karena Tak Bersalah

086859000_1413444942-ba0ee5955fc394fc130ee6955ef57b31ricane4-1015.jpg

Seorang pria di Brooklyn, Amerika Serikat akhirnya dibebaskan setelah 29 tahun mendekam di penjara. David McCallum baru saja diketahui bahwa dirinya ternyata tak bersalah.

Seperti dimuat Daily Mail, Kamis (16/10/2014), McCallum bersama rekannya, Willie Stuckey sebelumnya ditangkap atas dugaan penculikan dan pembunuhan terhadap korban bernama Nathan Blenner di Taman Bushwick pada Oktober 1985.

McCallum dan Stuckey pun diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun pada akhir tahun 1985. Kala itu, keduanya masih berusia 16 tahun.

Pada Februari 2012, melalui pengacaranya, MCCallum mengungkapkan bahwa dirinya terpaksa memberikan pengakuan palsu karena dipaksa dan dipukuli oleh aparat untuk mengakui perbuatannya. Padahal ia memang tak bersalah.

"Saat itu memang tak ada bukti yang menunjukkan bahwa McCallum dan Stuckey melakukan pembunuhan," ujar pengacara McCallum.

Tapi pada akhirnya kini diketahui bahwa pengakuan McCallum dan Stuckey itu palsu setelah dilakukannya peninjauan kembali kasus tersebut.

"Kami simpulkan bahwa pengakuan McCallum dan rekannya, Stuckey pada 1985 lalu adalah pengakuan palsu. Sebab, saat itu keduanya masih remaja berusia 16 tahun," kata jaksa Kenneth Thompson.

McCallum kini menghirup udara bebas dan melanjutkan hidup barunya. Sedangkan Stuckey telah meninggal dunia di penjara pada 2001 lalu.


sumber
 
Sengkon dan Karta, di hukum 12 tahun, ternyata tak bersalah

s_27A13202.jpg

Lima tahun bukan waktu yang teramat pendek. Apalagi untuk dihabiskan di dalam sebuah ruangan beku bernama penjara. Apalagi untuk sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi Sengkon dan Karta mengalaminya. Kepada siapakah mereka harus mengadu, jika sebuah lembaga bernama pemerintah tidak bisa lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak pernah berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga mereka yang lain, yang bernama rakyat kecil. Alkisah sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka. Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya.

Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti!. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat mereka bisa bebas. Sebab sebelumnya mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. Untung ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali. Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir entah ke mana.

Dan rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara mereka. Sementara Sengkon harus dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya makin parah, sedangkan tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya. Sementara itu Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. ‘Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi’ kata Sengkon.

sumber
 
Pria Ini Dinyatakan Tak Bersalah Setelah 21 Tahun Dipenjara

pria-ini-dinyatakan-tak-bersalah-setela-3d67b9.jpg

Pernah menonton film SHAWSHANK REDEMPTION? Dalam film itu dikisahkan Andy Dufresne (Tim Robbins) harus menjalani hukuman penjara selama bertahun-tahun karena tuduhan membunuh istri dan pria selingkuhannya padahal dia tak bersalah. Cerita dipenjara tapi tak bersalah seperti Andy itulah yang dialami pria berusia 53 tahun asal China bernama Chen Man ini.

Bayangkan saja, Chen harus menjalani 21 tahun penjara di Meilan karena kesalahan yang ternyata tak pernah dia lakukan. Chen dijatuhi hukuman pennjara seumur hidup karena tudingan pembunuhan terhadap seorang perempuan muda di Hainan, China pada tahun 1994 silam. Dua dekade menjalani kehidupan di balik jeruji besi, pengadilan Zhejiang pun membebaskan Chen karena bukti yang kurang.

chen_man_homecoming.jpg

Inilah Chen yang akhirnya bebas © Shanghaiist

Dalam keterangan resminya, pengadilan Zhejiang menulis bahwa peran Chen tidak jelas dalam pembunuhan itu sehingga vonis bersalah yang dia terima pun tak terbukti. Karena kekeliruan itu, Hakim Fu Qin dari Hainan sampai melakukan permintaan maaf secara resmi kepada Chen, seperti dilansir Shanghaiist.

"Hakim Fu meminta maaf secara resmi karena membuat Chen menghabiskan bertahun-tahun lamanya di penjara. Chen menjawabnya singkat dengan 'OK'. Kurasa Chen bermaksud bahwa orang yang meminta maaf juga tak bersalah saat putusan ini terjadi. Chen adalah orang yang sangat baik dan dia tak mendendam apapun karena sangat bahagia hari ini," jelas Wang Wangqiong, pengacara Chen.

Chen sendiri resmi bebas pada Senin (2/2) kemarin, satu pekan sebelum Tahun Baru Imlek tiba. Proses bebasnya Chen ini bukanlah hal yang mudah dan butuh waktu lama. Semenjak Wang mengajukan petisi di Beijing pada tahun 2015, banyak protes yang muncul untuk menuntut diadakannya sidang ulang demi pembebasan Chen. Wang mengungkapkan bahwa dua dekade silam Chen dipaksa melakukan pengakuan palsu di pengadilan dan mengalami penyiksaan seperti dicekik hampir tersedak dan dipukul dengan tongkat besi.

Semoga saja tak ada orang lain yang dihukum karena kesalahan yang tak pernah mereka perbuat ya. Selamat untuk hidup barumu, pak Chen!

sumber
 
34 Tahun Dipenjara, Ternyata Pria Ini Tidak Bersalah

Kash-Delano-Register.jpg

Kash Delano Register tidak sanggup menahan air matanya setelah dia dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan di Los Angeles, Amerika Serikat. Padahal, dia telah mendekam 34 tahun di penjara atas pembunuhan yang tidak dia lakukan.

Diberitakan Channel News Asia, Minggu 10 November 2013, Register dibebaskan setelah kakak dari saksi tunggal mengaku bahwa adiknya telah berbohong. Wanita bernama Sharon ini mengatakan bahwa adiknya, Brenda Anderson, telah memberikan kesaksian palsu pada kasus pembunuhan tahun 1979 dan polisi menutupi kebohongan itu.

Kesaksian bohong itulah yang lantas menyeret Register ke penjara. Padahal dalam penyelidikan, tidak ada sama sekali bukti yang membuktikan keterlibatan Register dalam pembunuhan tetangganya, Jack Sasson, 78.

Tidak ada satu pun dari tujuh sidik jari yang ditemukan di bagasi Sasson, lokasi pembunuhan, yang cocok dengan Register. Ditemukan sepasang celana dengan jejak darah dari lemari Register. Darah bergolongan O itu cocok dengan Sasson, tapi Register juga bergolongan darah O.

Brenda yang saat itu berusia 19 tahun mengaku mendengar suara tembakan. Dia melongok ke jendela dan mengaku melihat Register berlari dari bagasi Sasson. Register divonis 27 tahun penjara, belum termasuk masa persidangan, walaupun kekasihnya mengatakan bahwa pria kulit hitam itu bersamanya saat insiden terjadi.

Kakak Brenda yang lain, Sheila Vanderkam, juga mengatakan bahwa kesaksian adiknya itu bohong. Dia mengatakan, saat itu Brenda tengah menyembunyikan perangkat kecantikan yang dicurinya dari tetangganya saat terdengar suara tembakan. Brenda dikatakan memang mendengar letusan, tapi tidak cukup dekat untuk melihat pelakunya.

Vanderkam mengaku terkejut Register masih di penjara. Padahal kepada penyidik di tahun 1979, dia telah mengatakan bahwa adiknya itu berdusta. "Detektif menaruh jari di bibirnya (menyuruh diam) dan melihat saya. Seolah tanpa kata-kata, dia ingin saya tidak ikut campur," kata Vanderkam yang kesaksiannya tidak dianggap itu.

sumber
 
Terpidana Mati Dinyatakan Tak Bersalah 70 Tahun Setelah Eksekusi

2317100George-Stinney-Jr2780x390.jpg

George Stinney Jr baru berusia 14 tahun saat menjalani eksekusi hukuman mati pada 1944 karena dianggap terbukti membunuh dua anak perempuan.

George Stinney Jr baru berusia 14 tahun saat dia divonis hukuman mati karena dianggap terbukti membunuh dua gadis berusia tujuh dan 11 tahun.

Namun, 70 tahun setelah eksekusi dan menjadi orang termuda yang dieksekusi mati pada abad ke-20 di AS, akhirnya terbukti bahwa George tidak bersalah.

Keputusan pengadilan di Carolina Selatan yang akhirnya menyatakan bahwa George Stinney Jr tak bersalah disambut gembira pihak keluarga dan para aktivis hak-hak sipil yang memperjuangkan hal ini selama bertahun-tahun.

Sayangnya, pengakuan ini datang terlambat. Jika pengakuan ini datang 70 tahun lalu, George mungkin masih hidup dan berusia 84 tahun saat ini.

Saat dieksekusi pada 1944, tubuh George masih sangat pendek sehingga dia harus duduk di tumpukan buku telepon agar bisa menjalani hukuman di kursi listrik.

George tinggal bersama keluarganya di kota Alcolu, Carolina Selatan, saat dia dituduh membunuh Betty June Binnicker (11) dan Mary Emma Thames (7) pada 23 Maret 1944.

Kedua bocah perempuan itu hilang saat sedang bersepeda bersama dan jasad mereka ditemukan sehari kemudian. Keduanya tewas dipukuli dengan menggunakan paku rel kereta api.

Sejumlah saksi mata saat itu mengklaim melihat George sedang memetik bunga dengan kedua bocah itu sebelum keduanya ditemukan tewas.

George kemudian ditahan dan diperiksa. Setelah dipisahkan dari kedua orangtuanya, George mengakui kejahatan yang dituduhkan kepadanya.

Pengadilan kilat

Saat disidang, semua juri adalah laki-laki kulit putih yang hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit untuk menyatakan bocah kecil itu bersalah atas pembunuhan kedua bocah perempuan tersebut.

Sidang pembunuhan itu sendiri hanya berlangsung kurang dari satu hari. George saat itu menolak untuk mengajukan banding.

Pada Rabu (17/12/2014), hakim Carmen Mullins dalam amar putusannya mengatakan, sistem pengadilan saat itu memperlakukan George dengan tidak adil karena tidak menyediakan pembela bagi George.

Hakim Carmen juga menggarisbawahi pengakuan George kepada polisi yang tampaknya akibat paksaan dan tak ada bukti fisik yang kuat untuk mengaitkan George dengan kematian kedua bocah perempuan itu.

Apalagi, saudara laki-laki George saat itu bersaksi bahwa dia bersama George sepanjang hari pada waktu yang sama dengan saat kedua anak perempuan itu hilang dan kemudian ditemukan tewas.

"Dari waktu ke waktu, kita diminta untuk mengevaluasi kembali sejarah kita dan mengoreksi ketidakadilan jika kita mampu melakukan itu," ujar hakim Carmen.

"Saya tak bisa memikirkan bentuk ketidakadilan lain selain pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional seseorang yang telah terbukti dalam kasus ini," lanjut hakim Carmen.

Hakim Carmen juga menyebut mengeksekusi mati seorang bocah berusia 14 tahun sebagai sebuah perbuatan kejam dan tak lazim.

"Mereka mengambil saudara saya dan sejak saat itu saya tak pernah melihat ibu saya tertawa kembali," kata salah satu saudara perempuan George, Amie Ruffner (78).

Editor: Ervan Hardoko
Sumber: Mirror, kompas.com
 
Salah Tangkap dan Dipenjara 14 Tahun, Suster Ini Dapat Rp 3,3 M

salah-tangkap-dan-dipenjara-14-tahun-su-4e6e42.jpg

Kapanlagi.com - Yang namanya hukum, memang harus ditegakkan meski seberat apapun. Hanya saja bagaimana jika hukuman yang menimpamu adalah sebuah kesalahan dan seharusnya bukan kamu yang menerima? Tentu kamu akan memperjuangkannya. Perjuangan panjang melawan hukum salah sasaran itulah yang dialami Qian Renfeng.

Bayangkan saja, mantan suster asal Yunan di China ini akhirnya bisa bernapas lega setelah hidupnya menderita selama belasan tahun. Ya, Renfeng harus menjalani hari-hari di penjara selama 14 tahun lamanya akibat kesalahan yang tak pernah dia lakukan. Menurut media CNR, pengadilan menyatakan bahwa pernyataan yang diberikan Renfeng belasan tahun lalu itu terjadi di bawah paksaan.

yunnan_wrongful_murder_conviction_1.jpg

Inilah Qian Renfeng yang salah ditangkap © Shanghaiist

Atas fakta ini, Renfeng dinyatakan tak bersalah atas kasus pembunuhan yang terjadi pada Februari 2002 silam. Tak hanya bebas, Renfeng juga mendapat uang ganti rugi sebesar 1,27 juta yuan (sekitar Rp 3,3 miliar). Memangnya kasus apa yang menjerat Renfeng?

Semua bermula saat Renfeng bekerja sebagai suster di salah satu TK kota Yunan dan bertugas mempersiapkan makanan bagi anak-anak TK setiap harinya. Pada 22 Februari 2002, seorang murid TK tewas keracunan dan dua bocah TK lainnya dilarikan ke rumah sakit. Dalam pemeriksaan dengan kepolisian Yunan, Renfeng mengaku telah mencampur racun tikus kepada makanan para murid, seperti dilansir Shanghaiist.

yunnan_wrongful_murder_conviction_4.jpg

Karena kasus ini, Mahkamah Agung sampai meminta maaf © Shanghaiist

3 September 2002, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup untuk Renfeng. Suster malang itupun mengajukan banding dan ditolak sehingga akhirnya dia harus berada di balik jeruji besi selama 14 tahun. Keadilan mulai dirasakan Renfeng pada Mei 2015, saat itu Kejaksaan Yunan menemukan kekurangan bukti atas insiden racun itu dan akhirnya kasus Renfeng ditelusuri kembali.

Hingga akhirnya Mahkamah Agung membatalkan hukuman seumur hidup atas Renfeng karena kurangnya bukti. Tahun 2015 kemarin Renfeng pun resmi dibebaskan. Sang mantan suster meminta imbalan ganti rugi atas hukuman yang tak pernah dia lakukan pada Juni 2016 yang membuatnya mendapat Rp 3,3 miliar. Dan tak hanya itu saja, Hakim Tian Chengyou dari Mahkamah Agung sampai meminta maaf kepada Renfeng secara simbolik. Hmm, kalau menurutmu apakah ganti rugi yang diterima Renfeng sudah setimpal?

sumber
 
Korban Salah Tangkap Dihukum Lima Tahun Penjara

LvMOmTlh5r.jpg

Ibunda korban salah tangkap, Nani (tengah) menunjukan foto korban salah tangkap bernama Didit saat konferensi pers di Gedung LBH, Jakarta, Minggu (3/1). --Foto: Antara--

Metrotvnews.com, Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi menyatakan Didit Adi Priyatno, 27, bersalah dalam kasus tawuran yang menyebabkan satu orang tewas. Didit yang diduga menjadi korban salah tangkap akhirnya dihukum lima tahun penjara.

"Mengadili menyatakan meyakinkan bersalah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia," kata Hakim Ketua Suwarsa Hidayat saat membacakan vonis persidangan di Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri Bekasi, (6/1/2016)

Dalam pengadilan tersebut, Hakim memvonis Didit lantaran terbukti melakukan pelanggaran pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan. Vonis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menginginkan Didit agar dihukum selama enam tahun.

"Kematian korban tidak seluruhnya kontribusi kesalahan terdakwa. Korban meninggal dalam sebuah tawuran," ucap Suwarsa. "Menjatuhkan hukuman lima tahun terhadap terdakwa."

Dalam persidangan, Didit yang merupakan warga Margahayu, Bekasi Timur, terbukti menjadi tersangka pembunuh Yosafat Hutabarat, 19, pada Minggu, 21 Juni 2015 dini hari. Peristiwa ini terjadi seusai tawuran antara kelompok pemuda Margahayu dan warga Rawasemut.

Tawuran antara kelompok pemuda Margahayu dan kelompok warga Rawasemut itu berlangsung di SPBU Jalan Chairil Anwar, Kota Bekasi. Seusai tawuran, Yosafat yang sedang berjalan pulang ke rumah dibacok di bagian punggung hingga menembus ke dada oleh seorang pemuda.

Setelah Yosafat tersungkur, pemuda tersebut melarikan diri dengan sepeda motor. Didit kemudian dibekuk polisi pada Minggu pagi di rumah kontrakan yang dia jaga bersama lima orang lain. Namun, setelah melalui penyelidikan, polisi membebaskan lima orang tersebut dan menahan Didit yang ditetapkan menjadi tersangka.

Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang menjadi kuasa hukum Didit, Johanes Gea, mengatakan masih terdapat kejanggalan dalam kasus ini. Pasalnya, kata dia, polisi hanya mengejar pengakuan sehingga Didit merupakan korban salah tangkap.

"Polisi tidak melakukan pemeriksaan dengan metode ilmiah seperti pemeriksaan sidik jari dan tes darah untuk mengungkap pelaku pembunuhan," ucapnya sebelum persidangan.
 
Pengamen Cipulir Korban Salah Tangkap, Polisi Trauma

kmAj1QeYHf.jpg

Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto, dua pengamen Cipulir korban salah tangkap -- MTVN/Arga Sumatri

Metrotvnews.com, Jakarta: Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto masih ingat betul kejadian pahit yang menimpa mereka pada akhir Juni 2013. Dua pemuda yang berprofesi pengamen itu tiba-tiba disergap dan digelandang polisi karena dituduh membunuh.

Nurdin sebenarnya malas mengingat kejadian pahit itu. Dia mengaku trauma dengan perlakuan yang diterimanya dari polisi.

Saat ditangkap, Nurdin mengaku sedang tertidur di sebuah warnet kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat. "Lagi tidur, dijambak, ditarik, dinjek-injek, diseret, dibawa ke mobil, tangan saya diiket," kata Nurdin sambil menahan tangis usai sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa, 9 Agustus 2016.

Berkali-kali Andro dan Nurdin meyakinkan polisi kalau mereka bukan pembunuh. Polisi bergeming. Keduanya tetap digiring ke Polda Metro Jaya.

Dua pengamen Cipulir itu kembali menerima kekerasan serupa saat di ruang penyidik. Bahkan, Nurdin mengaku disetrum agar mengaku membunuh Dicky Maulana.

"Suruh mandi, bersih-bersih. Abis itu masuk lagi, dipukulin lagi. Badan saya disetrum, dipaksa ngaku terus," imbuh dia.

Kisah Andro beda lagi. Polisi mulanya bilang pada Andro kalau ia digiring ke Mapolsek Kebayoran Lama hanya sebagai saksi. Posisi Andro saat dicokok memang tidak jauh dari lokasi pembunuhan.

Tapi, alih-alih hanya jadi saksi, Andro tak kunjung dipulangkan oleh polisi. "Sampai Maghrib di Polsek," kata Andro.

Saat di Polda, Andro bertemu Nurdin. Menurut Andro, mulut Nurdin saat itu dalam kondisi terlakban di ruangan penyidik.

Serupa dengan Nurdin, Andro juga dipaksa mengaku sebagai pembunuh oleh polisi. "Dipukulin juga," kata Andro.

Tak kuat dengan kekerasan yang mereka terima, Andro dan Nurdin terpaksa mengaku sebagai pembunuh Dicky. Keduanya pun masuk bui.

sidang%20cipulir.jpg

Dua pengamen Cipulir saat menjalani sidang -- MTVN/Arga Sumantri

Mereka terus diproses hukum hingga meja hijau. Sampai akhirnya, pada 1 Oktober 2013, keduanya divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Namun, banding di tingkat Pengadilan Tinggi memutuskan keduanya tidak bersalah dan harus dibebaskan. Jaksa sempat tak terima dan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Kasasi Mahkamah Agung justru menguatkan putusan kalau Andro dan Nurdin tidak bersalah.

Terbukti tak bersalah secara hukum, keduanya menggugat balik kepolisian dan kejaksaan. Mereka minta ganti rugi atas perlakuan yang diterimanya. Didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, keduanya berani menggugat para penegak hukum lewat praperadilan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya mengabulkan sebagian gugatan Andro dan Nurdin. Dari nilai total gugatan ganti rugi Rp1 miliar, hakim tunggal Totok Sapti Indarto mengabulkan hanya Rp72 juta. Tapi, tetap saja, negara harus mengeluarkan duit akibat kecerobohan yang dilakukan polisi dan jaksa.

Dampak Sosial
Duit ganti rugi boleh jadi tak bisa membayar nama baik kedua anak muda itu. Mereka kadung dicap negatif sebagai mantan narapidana dan pembunuh.

"Tetangga pada jauh sekarang," ungkap Nurdin.

Andro dan Nurdin juga mengaku sulit mencari kerja. Sebelum ada peristiwa salah tangkap, biasanya ada tetangga atau kerabat mengajak bekerja serabutan. Tapi sekarang, tak ada satupun yang mau mengajak mereka berdua kerja.

"Akhirnya kita ngamen lagi," kata Andro.

Keluarga Kena Imbas

Ibunda Andro, Marni, juga kena imbas. Cibiran negatif kerap didapati Marni dari lingkungan tempat tinggalnya.

Marni.jpg

Andro Supriyanto dan ibunya (Marni) serta Nurdin Priyanto -- MTVN/Arga Sumantri

Usiran halus dari warga dan pemilik kontrakan pernah dirasakan Marni. Wanita paruh baya itu pun memilih minggat dari kontrakannya di Kampung Poncol, Cipadu, Bogor, ke daerah Kampung Gaga, Bogor.

"Alasan (ngusir) halusnya mau dibetulin kontrakannya," kata Marni.

Andro dan Nurdin boleh jadi bisa bernafas lega sekarang. Meski dikabulkan sebagian, setidaknya mereka bisa membuktikan kalau mereka tidak bersalah.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Negara harus membayar ganti rugi buat keduanya atas kasus salah tangkap senilai Rp72 juta. Jumlah itu jauh dari nilai gugatan Andro dan Nurdin yang senilai Rp1 miliar. Andro dan Nurdin mengaku ingin menggunakan duit itu buat modal usaha. Mereka tak ingin lagi berkeliaran mengamen di jalan.
 
Wah kasian banget kok bisa salah tangkap apalagi sampe dihukum puluhan tahun baru ketahuan ckck

ada banyak yg ketauan sebenarnya jika para terdakwa ini tak bersalah tapi karena bukti2 palsu yang diajukan seperti rekontruksi yg sudah diarahkan, pengakuan terdakwa itulah yang membuat hakim menjatuhkan vonis, atau bisa juga karena kasus itu titipan penguasa
 
Pengamen Cipulir Korban Salah Tangkap, Polisi Trauma

kmAj1QeYHf.jpg

Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto, dua pengamen Cipulir korban salah tangkap -- MTVN/Arga Sumatri

Metrotvnews.com, Jakarta: Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto masih ingat betul kejadian pahit yang menimpa mereka pada akhir Juni 2013. Dua pemuda yang berprofesi pengamen itu tiba-tiba disergap dan digelandang polisi karena dituduh membunuh.

Nurdin sebenarnya malas mengingat kejadian pahit itu. Dia mengaku trauma dengan perlakuan yang diterimanya dari polisi.

Saat ditangkap, Nurdin mengaku sedang tertidur di sebuah warnet kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat. "Lagi tidur, dijambak, ditarik, dinjek-injek, diseret, dibawa ke mobil, tangan saya diiket," kata Nurdin sambil menahan tangis usai sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa, 9 Agustus 2016.

Berkali-kali Andro dan Nurdin meyakinkan polisi kalau mereka bukan pembunuh. Polisi bergeming. Keduanya tetap digiring ke Polda Metro Jaya.

Dua pengamen Cipulir itu kembali menerima kekerasan serupa saat di ruang penyidik. Bahkan, Nurdin mengaku disetrum agar mengaku membunuh Dicky Maulana.

"Suruh mandi, bersih-bersih. Abis itu masuk lagi, dipukulin lagi. Badan saya disetrum, dipaksa ngaku terus," imbuh dia.

Kisah Andro beda lagi. Polisi mulanya bilang pada Andro kalau ia digiring ke Mapolsek Kebayoran Lama hanya sebagai saksi. Posisi Andro saat dicokok memang tidak jauh dari lokasi pembunuhan.

Tapi, alih-alih hanya jadi saksi, Andro tak kunjung dipulangkan oleh polisi. "Sampai Maghrib di Polsek," kata Andro.

Saat di Polda, Andro bertemu Nurdin. Menurut Andro, mulut Nurdin saat itu dalam kondisi terlakban di ruangan penyidik.

Serupa dengan Nurdin, Andro juga dipaksa mengaku sebagai pembunuh oleh polisi. "Dipukulin juga," kata Andro.

Tak kuat dengan kekerasan yang mereka terima, Andro dan Nurdin terpaksa mengaku sebagai pembunuh Dicky. Keduanya pun masuk bui.

sidang%20cipulir.jpg

Dua pengamen Cipulir saat menjalani sidang -- MTVN/Arga Sumantri

Mereka terus diproses hukum hingga meja hijau. Sampai akhirnya, pada 1 Oktober 2013, keduanya divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Namun, banding di tingkat Pengadilan Tinggi memutuskan keduanya tidak bersalah dan harus dibebaskan. Jaksa sempat tak terima dan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Kasasi Mahkamah Agung justru menguatkan putusan kalau Andro dan Nurdin tidak bersalah.

Terbukti tak bersalah secara hukum, keduanya menggugat balik kepolisian dan kejaksaan. Mereka minta ganti rugi atas perlakuan yang diterimanya. Didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, keduanya berani menggugat para penegak hukum lewat praperadilan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya mengabulkan sebagian gugatan Andro dan Nurdin. Dari nilai total gugatan ganti rugi Rp1 miliar, hakim tunggal Totok Sapti Indarto mengabulkan hanya Rp72 juta. Tapi, tetap saja, negara harus mengeluarkan duit akibat kecerobohan yang dilakukan polisi dan jaksa.

Dampak Sosial
Duit ganti rugi boleh jadi tak bisa membayar nama baik kedua anak muda itu. Mereka kadung dicap negatif sebagai mantan narapidana dan pembunuh.

"Tetangga pada jauh sekarang," ungkap Nurdin.

Andro dan Nurdin juga mengaku sulit mencari kerja. Sebelum ada peristiwa salah tangkap, biasanya ada tetangga atau kerabat mengajak bekerja serabutan. Tapi sekarang, tak ada satupun yang mau mengajak mereka berdua kerja.

"Akhirnya kita ngamen lagi," kata Andro.

Keluarga Kena Imbas

Ibunda Andro, Marni, juga kena imbas. Cibiran negatif kerap didapati Marni dari lingkungan tempat tinggalnya.

Marni.jpg

Andro Supriyanto dan ibunya (Marni) serta Nurdin Priyanto -- MTVN/Arga Sumantri

Usiran halus dari warga dan pemilik kontrakan pernah dirasakan Marni. Wanita paruh baya itu pun memilih minggat dari kontrakannya di Kampung Poncol, Cipadu, Bogor, ke daerah Kampung Gaga, Bogor.

"Alasan (ngusir) halusnya mau dibetulin kontrakannya," kata Marni.

Andro dan Nurdin boleh jadi bisa bernafas lega sekarang. Meski dikabulkan sebagian, setidaknya mereka bisa membuktikan kalau mereka tidak bersalah.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Negara harus membayar ganti rugi buat keduanya atas kasus salah tangkap senilai Rp72 juta. Jumlah itu jauh dari nilai gugatan Andro dan Nurdin yang senilai Rp1 miliar. Andro dan Nurdin mengaku ingin menggunakan duit itu buat modal usaha. Mereka tak ingin lagi berkeliaran mengamen di jalan.


yaallah kasian dipukulin smpai di strum . parah banget tu polisi nyiksa anak orang kayak nyisak binatang saja . coba jngan mau di kasih 72 juta , ga ada apa'' nya duit itu dibanding mereka yg dipukulin . sampai tetangga kmpung ga setujuh sama mereka
 
yaallah kasian dipukulin smpai di strum . parah banget tu polisi nyiksa anak orang kayak nyisak binatang saja . coba jngan mau di kasih 72 juta , ga ada apa'' nya duit itu dibanding mereka yg dipukulin . sampai tetangga kmpung ga setujuh sama mereka

mereka itu hanyalah anak miskin, maka terkadang petugas juga merendahkan org miskin seperti itu. Andai anak pejabat atau seorang pekerja kantoran tentu perlakuan petugas akan berbeda karena petugas juga akan di tuntut atas kekerasan yg ia lakukan
 
mereka itu hanyalah anak miskin, maka terkadang petugas juga merendahkan org miskin seperti itu. Andai anak pejabat atau seorang pekerja kantoran tentu perlakuan petugas akan berbeda karena petugas juga akan di tuntut atas kekerasan yg ia lakukan

itula namanya dunia ini ga adil den . giliran orang miskin selaluh dibelakangi . coba orang kaya raya biarpun salah masih aja tetap dibela . bener ga den
 
itula namanya dunia ini ga adil den . giliran orang miskin selaluh dibelakangi . coba orang kaya raya biarpun salah masih aja tetap dibela . bener ga den

tergantung arah politik. ada juga org kaya yg terhakimi karena urusan kekuasaan. Contohnya Antasari Azhar, dia kan masuk kategori kaya. Tapi berhubung karena urusan politik. Karena jabatan dia sebagai ketua KPK maka ia dicarikan kesalahan. Sama juga mantan ketua KPK penggantinya Abraham Samad, dia dipenjara karena dengan tuduhan yang dipaksakan.

intinya keadilan di bumi indonesia itu belum merata. Berbeda dengan negara2 maju. Keadilan itu hak siapapun
 
Back
Top