Hirup Udara Bebas, Tajudin Si Penjual Cobek Sujud Syukur

spirit

Mod
3c5eeaa7-b34e-4144-a504-66f4f7e4138c_169.jpg

Tajudin akhirnya bisa menghirup udara bebas setelah 9 bulan ditahan tanpa dosa. Pria penjual cobek ini lalu bersujud syukur dan berdoa sebelum meninggalkan Rutan Kelas I Tangerang.

Tajudin, yang mengenakan kaus warna cokelat dan celana panjang warna hitam, bersujud syukur di depan pintu Rutan Kelas 1 Tangerang, Sabtu (14/1/2017).

Dia kemudian memanjatkan doa. Wajah Tajudin terlihat semringah. "Alhamdulillah, saya bersyukur sama Allah," kata Tajudin setelah keluar dari pintu rutan. Dia melangkah pasti meninggalkan rutan sambil dirangkul tim kuasa hukumnya.

559c847f-82a4-46cc-9a69-00cc019f061a_169.jpg

Penjual cobek miskin Tajudin harus menghuni penjara selama 9 bulan. Kebebasannya dirampas setelah dituduh mengeksploitasi anaknya, yaitu Cepi (14) dan Dendi, yang ikut membantunya menjual cobek di sekitar Jalan Raya Perum Graha Bintaro, Kota Tangerang Selatan.

Akhirnya PN Tangerang memvonis bebas Tajudin karena dirinya tidak terbukti mengeksploitasi anak seperti tuduhan jaksa. Dengan pertimbangan sosiologis, di mana anak-anak membantu orang tuanya.

"Melepaskan terdakwa dari dakwaan. Secara sosiologis, anak-anak sudah biasa membantu orang tuanya," ucap majelis hakim dengan suara bulat, Kamis (12/1).

Sayang, Tajudin belum juga bisa dikeluarkan dari selnya hingga Jumat, 13 Januari kemarin. Sebab, petikan putusan PN Tangerang belum selesai dibuat oleh hakim.

sumber
 
9 Bulan Dibui Tanpa Dosa, Tajudin Minta Keadilan dari Pemerintah

Tajudin belum bisa menghapus trauma selama sembilan bulan mendekam dibui tanpa dosa. Meski akhirnya dibebaskan, pria penjual cobek ini kini menuntut keadilan dari pemerintah.

"Saya tulang punggung satu satunya, di mana itu saya minta keadilan dari pemerintah. Orang benar pasti ada balasannya," kata Tajudin setelah dibebaskan di depan Rutan Kelas I Tangerang, Sabtu (14/1/2017).

Tajudin mengungkapkan ingin lekas berkumpul kembali dengan keluarganya di kampung halaman. "Pulang kampung dulu. Soalnya, sudah ketakutan banget. Saya katanya penjualan orang, mempekerjakan orang. Cuma saya merasa tidak mempekerjakan, saya suruh sekolah tidak mau. Orang tuanya yang menitipkan, mereka keponakan saya," ujar Tajudin.

Penjual cobek miskin Tajudin harus menghuni penjara selama sembilan bulan. Kebebasannya dirampas setelah dituduh mengeksploitasi anak, yaitu Cepi (14) dan Dendi, yang ikut membantunya menjual cobek di sekitar Jalan Raya Perum Graha Bintaro, Kota Tangerang Selatan.

Akhirnya PN Tangerang memvonis bebas Tajudin karena dirinya tidak terbukti mengeksploitasi anak seperti tuduhan jaksa. Dengan pertimbangan sosiologis, di mana anak-anak membantu orang tuanya. "Melepaskan terdakwa dari dakwaan. Secara sosiologis, anak-anak sudah biasa membantu orang tuanya," ucap majelis hakim dengan suara bulat, Kamis (12/1).

Sayang, Tajudin belum juga bisa dikeluarkan dari selnya hingga Jumat, 13 Januari kemarin. Sebab, petikan putusan PN Tangerang belum selesai dibuat oleh hakim.

sumber
 
hm baru tahu yang begini, jarang sekali yang begini kayanya

umur anak 14 tahun sepertinya sudah boleh & banyak yang seumurannya bekerja membantu orangtua, atau mereka kerja sendiri sambilan, lain halnya kalau dieksploitasi sebagai pengemis, ini kan bekerja halal
kalau adiknya Dendi, umur berapa ya ada yang tahu?

apa maksudnya 9 bulan ditahan tanpa dosa ya? keputusan pengadilan kan baru beberapa hari lalu?
 
hm baru tahu yang begini, jarang sekali yang begini kayanya

umur anak 14 tahun sepertinya sudah boleh & banyak yang seumurannya bekerja membantu orangtua, atau mereka kerja sendiri sambilan, lain halnya kalau dieksploitasi sebagai pengemis, ini kan bekerja halal
kalau adiknya Dendi, umur berapa ya ada yang tahu?

apa maksudnya 9 bulan ditahan tanpa dosa ya? keputusan pengadilan kan baru beberapa hari lalu?

tapi Tajudin dapat juga simpati dari WNI yg tinggal di Irlandia setelah membaca beritanya. Tajudin dikirimin duit 2 juta kerekening LBH utk diteruskan ke Tajudin.


..... "Ada WNI di Irlandia, tiba-tiba memberitahukan lewat Whatsapp, dia bilang saya berlokasi di Irlandia ingin bantu pak Tajudin," kata Direktur LBH Keadilan sekaligus kuasa hukum Tajudin, Abdul Hamim Jauzie, kepada detikcom, Sabtu (14/1/2016) malam.

Hamim menambahkan, WNI yang tak ingin disebutkan namanya itu mentransfer dana sebesar Rp 2 juta. Uang itu dikirim dalam dua kali transfer.

Dalam bukti yang diterima, WNI tersebut mengirim uang ke rekening LBH Keadilan. Dana itu dimaksudnya untuk membantu Tajudin.


kalau adiknya Dendi, umur berapa ya ada yang tahu?

dendi berusia 13 tahun

.... Tukang cobek keliling dari Tangerang Selatan, Tajudin dituduh mengeksploitasi anak. Dari tujuh orang yang ikut membantunya jualan cobek, dua di antaranya masih berusia di bawah umur, yaitu Cepi Nurjaman (14) dan Dendi Darmawan (13).
 
selama 9 bulan Tajudin dipenjara, Cepi dan dendi siapa yg ngurus ya? kan tulang punggung kluarga nya Tajudin.
 
Bupati Dedi Akan Sekolahkan 2 Anak yang Dikira Dipekerjakan Tajudin

68a4b527-fc42-4ab8-b9d9-9db3a21e5685_169.jpg

Selain mengundang Tajudin (42), Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi juga mengundang makan malam dua anak yang disebut 'dijual' dalam dugaan kasus trafficking, yakni Dendi Darmawan (15) dan Cepi Nurjaman (16).

Dua anak tersebut sebelumnya disangkakan menjadi korban trafficking oleh Tajudin karena diduga disuruh menjual cobek. Padahal dalam berjualan cobek tersebut tidak ada unsur paksaan apa pun. Sehingga setelah ditahan selama sembilan bulan dalam rangka mengikuti sidang akhirnya majelis hakim mevonis bebas Tajudin.

Ditemui di sela-sela acara makan malam, Dedi dan Cepi kompak menyatakan jika keduanya memang ingin berjualan bukan karena paksaan tapi keinginan diri sendiri untuk mencari uang. Bahkan keduanya tidak mau lagi bersekolah dan memilih untuk ikut berjualan cobek.

"Teu sakola, teu diteruskeun. Hoream, hayang gawe weh. Jual coet ge hayang sorangan teu diajakan ku sasaha. (Tidak sekolah, tidak diteruskan. Malas, pengin kerja saja. Jual cobek juga pingin sendiri tidak diajak siapa-siapa)," ucap Dendi yang juga keponakan Tajudin.

Dendi sebelumnya sempat mengenyam pendidikan hingga lulus SD. Sementara Cepi yang merupakan anak paman Tajudin, sempat meneruskan sekolahnya namun sebelum naik ke kelas dua SMP dia memilih berhenti. Lagi-lagi keduanya beralasan kompak yakni ingin mencari uang sendiri.

Dendi menuturkan, dalam sehari dia bisa membawa delapan cobek ukuran kecil dengan bobot sekira 16 kg. Cobek tersebut dia beli dengan harga Rp 5 ribu per buah, dan bisa dijualnya hingga Rp 40-60 ribu per buah.

Meski memiliki tekad untuk 'berwirausaha' tinggi namun Dendi dan Cepi masih sadar diri dengan fisiknya yang belum biasa mengangkat beban banyak dalam seharian. Sehingga dalam satu minggu keduanya hanya keluar tiga kali untuk jualan berkeliling jalan atau perumahan di sekitaran Tanggerang.

"Bawa delapan juga paling laku hanya dua. Dapet untung Rp 80 ribu itu buat makan, jajan, dan ditabung buat pulang ke rumah. Paling bawa ke rumah itu Rp 500 ribu," katanya.

Pasca-'penyergapan' Tajudin, keduanya pun mengaku merasa trauma. Sehingga mereka tak mau lagi berjualan dan memilih untuk membantu orang tuanya menjadi pengrajin cobek di rumah. "Sekarang nggak jualan tapi bikin coet. Dari bahan batu ditatah. Sehari paling dapat Rp Rp 20-30 ribu," tuturnya.

Sementara dalam pertemuan yang dibalut tawa canda itu, Bupati Dedi, terus merayu kedua anak tersebut untuk mau meneruskan sekolah. Dari mulai mengikuti sekolah kejar paket, iming-iming uang, terus Dedi lakukan demi kedua anak tersebut kembali sekolah.

Namum keduanya keukeuh ingin terus bekerja membantu orang tuanya menjadi pengrajin cobek. Hingga akhirnya Dedi pun menanyakan selain menjadi tukang cobek apa cita-cita kedua anak tersebut. Dan terjawab jika keduanya hobi bermain bola dan ingin menjadi pemain profesional.

Akhirnya setelah pergumulan yang cukup alot Dendi dan Cepi akan ditampung di SMPN 6 Purwakarta yang merupakan satu-satunya sekolah yang menjadi tempat pembibitan pemain bola Asli Sepakbola Asal Desa (ASAD) 313 Jaya Perkasa yang sudah sering menjuarai berbagai kompetisi di tingkat nasional mau pun internasional.

Di sekolah tersebut nantinya Cepi dan Dendi akan tinggal di asrama dan mendapatkan pelajaran seperti pada umumnya. Bedanya di sekolah tersebut anak-anak lebih ditekankan untuk belajar sepakbola, mengaji, dan bahasa inggris.

"Ya sudah mulai besok saya daftarkan di SMPN 6. Kalau memang tetap ingin cari uang dari bikin cobek silahkan, nanti bahannya bawa dari rumah pahat setelah beres latihan bola dan sekolah," jelas Dedi.

Dedi meminta ilmu membuat cobek yang dimiliki oleh Cepi dan Dendi pun agar 'ditularkan' pada temannya yang lain dan dikembangkan. "Kalau perlu dan memang berbakat saya khusus akan panggil guru pahat. Dan kalau memang bakat kalian di pahat-memahat, saya sekolahkan ke Bali," jelas pria yang juga Ketua DPD I Golkar Jabar itu.

Ditemui usai makan malam Dedi pun mengatakan, jika keinginannya untuk menyekolahkan Dendi dan Cepi bukan tanpa alasan. Pasalnya pasca-kasus hukum yang menimpa Tajudin tidak ada kejelasan terhadap kedua anak yang disebut 'korban' trafficking.

"Malah dari pada dagang saya rasa lebih berat membuat cobeknya. Dan dari segi uang yang didapat kedua anak itu juga lebih kecil membuat dari pada menjual. Saya tidak mau mengurusi urusan hukumnya. Terpenting saya ingin membantu hidup Pak Tajudin dan dua anak tadi agar mau sekolah," katanya.

Bagi Dedi, keinginan Cepi dan Dendi untuk mencari uang sendiri adalah sebuah hal yang wajar terlebih melihat status dan kehidupan mereka di rumahnya. Bahkan Dedi pun menyebut saat masih kecil dirinya tak jauh berbeda dengan Cepi dan Dendi. Saat masih sekolah, Dedi pernah merasakan menjadi pedagang es, penjual layangan, tukang foto keliling, hingga menjadi kenek angkutan umum. "Bedanya saya waktu itu masih tetap sekolah," ucapnya.

Bahkan Purwakarta yang mengusung pendidikan berbasis karakter berbudaya, beberapa bulan lalu pun membuat program sekolah vokasional di mana para pelajar setiap dua minggu sekali diharuskan mengikuti pekerjaan orang tuanya. Tujuannya tak lain agar pelajar tahu bagaimana sulitnya orang tua bekerja dan juga sebagai terjemahan pendidikan pancasila yang lebih aplikatif dan produktif.

sumber
 
Back
Top