Alasan Pengusaha Larang Karyawannya Kawin dengan Teman Sekantor

spirit

Mod
32c771c6-ba3d-4a6e-84d8-6ab2330c8a83_169.jpg

Acap kali cinta tumbuh dan bersemi antarkaryawan di satu kantor. Tapi sering kali juga perusahaan melarang mereka menikah dengan pilihan salah satu dari mereka harus mengundurkan diri. Dinilai tak sesuai dengan konsep hak asasi manusia, aturan itu digugat ke MK.

Aturan perkawinan dengan teman sekantor diatur dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan. Pasal itu berbunyi:

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal itu menjadi dasar hukum bagi perusahaan membuat perjanjian kerja yang melarang sesama karyawan menikah. Tidak terima dengan peraturan itu, delapan karyawan menggugat Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan ke MK.

"Ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 153 Ayat 1 huruf f adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar dalam menjaga hak setiap warga negara untuk menikah, tetapi sekaligus juga untuk menjaga setiap hak setiap orang yang bekerja guna mendapatkan perlakuan yang adil di mana kedua hal tersebut merupakan hak asasi manusia yang sama diatur di dalam UUD 1945," kata kuasa hukum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Gustaf Evert Matulessy sebagaimana detikcom kutip dari website MK, Selasa (16/5/2017).

Hal itu disampaikan dalam sidang pada Senin (15/5) kemarin. Dalam sidang itu, DPR juga diundang tapi tidak hadir. Apindo menyatakan MK tidak perlu mengubah pasal yang digugat dan tidak perlu mengabulkan permohonan pemohon.

"Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan ini memberikan jaminan kondusif hubungan kerja sesama pekerja maupun pekerja dan manajemen perusahaan sehingga mempengaruhi profesionalitas kerja dan memberikan keadilan bagi pekerja itu sendiri maupun bagi perusahaan," ujar Gustaf.

Apindo menyatakan pada prinsipnya perusahaan tidak melarang seorang untuk menikah. Akan tetapi, apabila suami-istri bekerja dalam suatu perusahaan yang sama, akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil keputusan dalam internal perusahaan dan dapat mengganggu objektivitas serta profesionalisme dalam pekerjaannya.

"Misalnya berkaitan dengan penilaian kinerja pekerja dalam pengembangan karier, dalam promosi, pemberian sanksi, dan sebagainya yang akan mengganggu rasa keadilan bagi pekerja yang lainnya yang tidak memiliki hubungan khusus sebagai suami-istri dalam suatu perusahaan yang tujuannya tentu lebih banyak," papar Gustaf.

Baca Juga: Larangan Kawini Teman Sekantor, Ketua MK: Di Sini Nggak Masalah

Menurut Apindo, dampak positif dari perkawinan sesama pekerja dalam suatu perusahaan adalah pasangan pekerja tersebut secara emosional akan saling menguatkan hubungan keluarganya sehingga merasa aman dan tenteram karena saling melindungi.

Meski demikian, selain dampak positif tersebut, terdapat dampak negatif yang berhubungan dengan perasaan saling melindungi tersebut yang berpotensi negatif, yakni dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, objektivitas kerja dari hubungan kerja antara pekerja dan manajemen perusahaan.

"Sebagai contoh seorang manajer HRD di satu perusahaan mempekerjakan istri atau suami dari atasan kerjanya, yakni general manager di satu perusahaan sebagai supervisor, di mana pada satu keadaan tertentu istri atau suami atau manajer HRD tersebut melakukan pelanggaran, indisipliner, atau pelanggaran lainnya yang dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dengan kondisi tersebut, secara psikologis akan terjadi konflik batin bagi manajer HRD tersebut untuk menegakkan aturan di perusahaannya," tutur Gustaf menceritakan contoh kasus nyata.

Namun keterangan Apindo tidak ditelan mentah-mentah oleh para hakim konstitusi. Seperti pertanyaan hakim konstitusi Saldi Isra yang meminta Apindo menajamkan fakta terkait kasus yang diperkarakan.


"Bisa nggak Apindo memberikan data empiris kepada kami yang membuktikan sebetulnya bahwa orang yang bekerja dalam status hubungan suami-istri dalam perusahaan yang sama itu lebih banyak negatifnya dibanding positifnya?" tanya Saldi.

Demikian juga dengan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, yang masih menyangsikan argumen Apindo.

"Itu hanya berdasarkan asumsi ataukah ada satu hasil riset? Kalau ada hasil riset, akan bagus itu. Ataukah ini hanya kompromi antara pihak perusahaan atau pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh ketika pembahasan undang-undang ini," tanya Palguna.

Atas perintah MK itu, Apindo akan memberikan jawaban tertulis. Sidang tersebut masih berlangsung di MK untuk mendengarkan para pihak.

sumber
 
yg aq tau sih ga pake nikah. selingkuh saja cukup.
(banyak kejadian khususnya kalo ruang kantor tertutup, dibilik khusus. mudah2an minggu depan pimpinan ngajukan anggaran pembelian bed+selimut sekalian)
kalo aku ngusul sih di pns gak boleh kerja borongan. suami istri anak cucu jadi pns.
1 keluarga hanya boleh ada 1 saja. kecuali anak/cucu sudah berkeluarga sendiri.

- n1 -
 
sebetulnya sih nikah sesama teman kantor itu gpp
tapi asalkan yang bisa menjaga sikap selama di kantor aja
toh perusahaan kan gk mau karyawannya gk konsentrasi sewaktu kerja
tapi aku gk setuju juga masak di larang menikah hadeh
 
Last edited by a moderator:
ohh.. iya betul .. "konflik batin bagi manajer HRD tersebut untuk menegakkan aturan di perusahaannya" setuju ..
 
Back
Top