Misteri Di Balik Mimpi

SangPujangga

New member
Mimpi itu sendiri memang misteri, namun di balik mimpi tersembunyi banyak misteri. Benarkah orang mampu melukai orang lain saat ia terbuai dalam tidurnya yang lelap?


Selama ini somnabulisme atau tindakan yang dilakukan orang saat tidur, diketahui hanya terbatas pada mengoceh (mengingau), berjalan, atau paling-paling makan sambil tidur (Intisari November 1982 dan April 1993). Banyak peneliti berpendapat serupa, somnambulisme terjadi pada fase tidak bermimpi, atau disebut tahap REM (rapid eye movement) di mana fungsi otot biasanya "lumpuh".

Mimpi membela diri
Namun pernah ditemukan, ada orang yang tidak mengalami "kelumpuhan" otot selama fase REM sehingga mereka melakukan tindakan yang sesuai dengan mimpi mereka. "Pengidap" penyimpangan tidur selama fase REM seperti itu cenderung melukai orang lain. Ini berbeda dengan somnambulisme yang justru cenderung mencelakakan diri sendiri.
Cukup banyak kasus muncul akibat penyimpangan itu, bahkan sampai pada terjadinya misalnya kasus pembunuhan. Pelakunya bisa siapa saja, bahkan yang sehari-harinya dikenal baik hati. Mereka tanpa sadar melukai korban, biasanya orang-orang dekat yang mereka cintai.
Ambil contoh saja, seorang wanita bermimpi rumahnya kebakaran. Namun yang terjadi, ia benar-benar melemparkan anak-anaknya ke luar jendela dari lantai atas untuk menyelamatkan mereka. Contoh lain, seorang pria menembak mati istrinya saat bermimpi sedang berhadapan dengan perampok di rumahnya. Hal serupa terjadi pada seorang gadis 16 tahun dari Kentucky, AS, yang dalam mimpi buruknya melihat beberapa penjahat masuk ke rumahnya. Ia segera bertindak dengan mengambil senapan berburu milik ayahnya untuk menembak para penjahat. Tapi tindakan itu berakibat fatal. Ayah dan adik laki-lakinya tewas, sementara ibunya luka parah.
Ada lagi kisah getir yang mirip naskah cerita film. Seorang detektif polisi terpaksa menyela liburannya di tepi pantai untuk membantu petugas hukum lokal menyelidiki kasus penembakan yang tampaknya tanpa motif. Penembakan itu sendiri terjadi di dekat penginapan sang detektif. Di TKP (tempat kejadian perkara) ia menemukan jejak kaki yang satu jarinya hilang .... Seketika ia gemetar, diakah pelakunya? Mungkinkah ia melakukan semua itu dalam tidur saat bermimpi menangkap penjahat, yang memang sering ia alami?
Yang perlu dilakukan kemudian oleh para penyidik, bagaimana membuktikan bahwa si pelaku beraksi dengan sadar. Sebab, bisa saja setiap pelaku tindak kejahatan berkilah, "Saya sedang tidur! Saya tidak sadar saat melakukannya!"
Menurut dr. Meir Kryger, pimpinan Klinik Penyimpangan Tidur di Winnipeg, Kanada, "Dalam kasus penyimpangan tidur sejati, si pelaku memang tidak dapat bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, meski bebas dari tuntutan, ia tidak boleh dibiarkan bebas berkeliaran sampai perilaku menyimpangnya sembuh."
Lebih membingungkan lagi, psikiater dan ahli saraf tidak menemukan bukti adanya kelainan mental pada kasus-kasus kriminal semacam ini.

Tidur langsung lumpuh
Sampai sekarang pun banyak aspek dalam tidur yang belum benar-benar terungkap. Salah satunya paralysis nocturna alias ketindihan, atau orang Sunda bilang eureup-eureup. Pada kondisi ini selama beberapa detik penderita merasa ditindih sesuatu, sehingga tidak bisa bergerak atau bernapas.
Penjelasan mengenai kasus ketindihan itu bisa beragam. Dari sudut pandang tradisional, Sunda misalnya, penyebabnya adalah laba-laba berjumlah kaki ganjil yang juga menempati kamar tidur pelaku. Sedangkan di Newfoundland kasus itu dikatakan akibat pekerjaan usil tukang sihir.
Kemudian ada peneliti yang mencoba memberikan penjelasan yang lebih masuk akal. Ketindihan itu merupakan kelumpuhan tidur non-REM.
Pada kondisi REM secara otomatis tubuh akan menonaktifkan seluruh otot tubuh demi keamanan. Bila tidak, bisa-bisa kita melakukan apa pun yang muncul dalam mimpi, persis seperti pengidap penyimpangan perilaku tidur fase REM. Biasanya, otot kembali aktif saat bangun tidur - sayangnya, kadang-kadang terlambat. Keterlambatan ini begitu singkat sehingga kita tidak menyadari atau mengamatinya. Namun, bila keterlambatan itu berlangsung cukup lama, lebih dari semenit, alarm kesadaran keburu memberi tahu bahwa kita tidak dapat bergerak.
Sedangkan mengenai sensasi dada tertindih, sebuah teori menghubungkannya dengan refleks menyelam - kemampuan mamalia air untuk memperlambat napas dan denyut jantung agar dapat menyelam lebih lama. Diduga, dahulu kala manusia pernah memiliki kemampuan ini, sehingga meski lewat evolusi manusia telah kehilangan kemampuan ini, sisa-sisanya masih tertinggal dalam kode genetik manusia sekarang.
Dengan asumsi itu, diperkirakan refleks menyelam ini sewaktu-waktu muncul dalam kondisi tidur pulas tanpa mimpi. Manifestasinya, sistem pendukung perlindungan tubuh ditekan, sehingga mengakibatkan terjadinya sensasi ketindihan dan kesulitan bernapas - ditambah rasa takut dan panik. Mungkin ini serupa dengan efek yang menyertai serangan jantung.
Refleks menyelam itu juga diduga sebagai penyebab sindrom kematian mendadak pada bayi, dan pemicu sentakan myoclonik; tiba-tiba terjaga seketika dari tidur lelap karena merasa tersandung atau terpeleset. Sesungguhnya, sentakan ini disebabkan oleh arus listrik besar yang dikirim oleh otak ke otot sebagai bagian dari mekanisme penyelamatan diri. Otak mengejutkan tubuh agar kembali beraksi normal, karena pernapasan dan peredaran darah terlalu lambat.

Datangnya sang "tamu"
Penyimpangan tidur selama REM pun menunjuk pada situasi si pelaku merasa didatangi "tamu". Beberapa ilmuwan mencoba menyelidiki perasaan "ditemani" itu. Menurut ahli saraf Michael Persinger, kondisi itu serupa dengan kesadaran akan keberadaan kita sendiri, yang informasinya tersimpan di belahan otak kiri.
Untuk menjawab rasa ingin tahunya, Persinger mengadakan percobaan dengan merangsang belahan otak kanan dengan sensasi tertentu. Hasilnya, "Muncul perasaan akan kehadiran seseorang pada jarak yang terlampau dekat, sehingga terasa menakutkan."
Kemampuan untuk merasakan halusinasi ini makin besar, bila interaksi antara belahan otak kiri dan kanan makin besar. Hal ini banyak terjadi pada orang yang karena cedera pada otaknya menyebabkan hilangnya bagian pemisah antara dua belahan otak itu. Terbukti 80% pasien Persinger yang mengalami cedera sejenis merasakan situasi demikian. "Mereka mengira sudah mulai gila, padahal itu proses normal bila input tipe tertentu dari belahan otak kanan tak lagi seeksklusif belahan otak kiri."
Dulu, di kalangan masyarakat Eropa, ada yang menghubungkan ketindihan dengan peran Succubus dan Incubus, roh jahat penggoda cinta. Di malam hari, katanya, roh itu akan mendatangi korban di tempat tidur, menduduki dadanya sehingga korban merasa sesak napas, lalu mengajak bercinta. Tak heran bila ketindihan dinamai juga mimpi buruk Incubus.
Yang menjadi pertanyaan, apakah Succubus dan Incubus itu benar ada? Sebaliknya, apakah ketindihan itu sekadar dipicu oleh mimpi buruk? Penulis Colin dan Damon Wilson berhasil melacak beberapa orang, salah satunya psikolog Stan Gooch. Gooch menyebut "tamu"-nya sebagai Succubus yang penampilannya merupakan kombinasi beberapa wanita kenalannya. Ia bersikukuh dalam keadaan sadar saat digoda Succubus, meski ia juga tidak menolak pendapat bahwa Succubus adalah hasil kreasi alam pikirannya sendiri.
Dalam bukunya, Gooch mengutip beberapa orang yang meski dihipnotis tetap mampu menyentuh, melihat, bahkan mendengar sesuai dengan perintah penghipnotis. Halusinasi buatan tidak terbatas pada pendengaran dan penglihatan. Di panggung hipnotis misalnya, sering terlihat seorang penghipnotis membujuk orang untuk meyakini bahwa yang dicicipinya adalah apel yang lezat, padahal itu bawang. Halusinasi taktil atau berkaitan dengan indera peraba pun bisa muncul. Jadi, bukannya tak mungkin, kemunculannya terjadi secara spontan.
Succubus dan Incubus memang sangat mungkin buah pikiran saat tidur. Teknisnya, pengalaman nyata sehari-hari adalah masukan yang diterima dari indera kemudian diolah oleh otak. Demikian juga mimpi, bedanya tanpa terlebih dahulu mendapat masukan dari indera.
Dalam percobaannya peneliti tidur Steven LaBerge menunjukkan, respons otak dan tubuh saat melakukan pelbagai kegiatan - mulai dari memecahkan soal matematika hingga bercinta - di dalam mimpi dibandingkan dengan di alam sadar, ternyata hanya sedikit bedanya.
LaBerge terkenal karena penelitiannya terhadap fenomena mimpi sadar. Pada kondisi mimpi sadar, pelaku tidur tetap dalam keadaan sadar dan bisa melakukan apa pun yang disukainya. Bedanya, di alam mimpi sadar semua terlihat aneh dan lebih indah. Bayangkan, si pelaku merasa mampu melakukan semua yang tidak mungkin terjadi di alam nyata, terbang misalnya.
Mimpi sadar sendiri diperkenalkan pertama kali oleh psikiater Belanda Frederik van Eeden, pada 1913. Dalam survai, lebih dari separuh respondennya melaporkan pernah mendapatkan mimpi itu; malah sekitar 10% mengalaminya secara teratur.
Pernah ada yang berteori bahwa mimpi sadar terjadi dalam episode terjaga singkat, yang pada banyak orang berlangsung lima kali sepanjang malam. Saking singkatnya, ia tidak ingat lagi saat terjaga di esok paginya. Artinya, mimpi sadar lebih mirip lamunan, atau lanjutan mimpi. Hanya saja, karena masih terlalu bingung, yang bersangkutan tidak menyadari bahwa sedang terjaga.
Ini sebenarnya sesuai dengan pendapat peneliti tidur aliran tradisional, bahwa dalam keadaan sadar orang tidak bermimpi. Istilah mimpi sadar kemudian dimasukkan dalam kategori paradoks.
Namun LaBerge membuktikan bahwa mimpi dalam keadaan sadar memang ada. Percobaan yang ia lakukan membuktikan, dalam kondisi terkontrol, ia mampu berkomunikasi dengan subjek penelitiannya dengan menggunakan sinyal gerakan mata. Artinya, subjek dalam keadaan sadar dan terjaga, sementara mesin monitor fungsi tubuh menunjukkan mereka berada tahap tidur REM.
LaBerge yakin, mimpi sadar bermanfaat bagi jiwa manusia, karena dalam mimpi itu ia dapat meraih semua keinginannya. LaBerge juga menunjukkan, mimpi sadar bisa menghibur, seperti permainan virtual reality yang dipertunjukkan oleh komputer terbaik di dunia: otak manusia.
Terhadap karya LaBerge tahun 1992 itu Skeptical Inquirer, jurnal CSICOP - komisi yang melakukan penyelidikan ilmiah terhadap klaim-klaim paranormal - menyatakan, metode yang digunakan LaBerge sangat cermat, sehingga mendorong orang terus memikirkan apakah sifat-sifat alam sadar ... dan apakah sifat-sifat alam imajinasi?

Roh jahat atau dorongan terpendam?
Dalam penelitian terhadap Incubus dan Succubus, Colin dan Damon Wilson menemukan sejumlah kasus di mana "kehadiran" itu terasa mengganggu, bahkan menyakitkan, seperti yang dirasakan Marcia.
Kisahnya bermula ketika Marcia yang master psikologi dari AS itu tengah berlibur di Sao Paulo. Karena tidak percaya takhayul, ia membawa pulang patung kapur kecil berujud Dewi Laut Yamanja yang ditinggalkan orang di pantai sebagai persembahan upacara. Padahal bibinya telah memperingatkan.
Tak lama kemudian, Marcia jatuh sakit, dan dua kali hampir tak terselamatkan dari kecelakaan di rumah: meledaknya pressure cooker dan oven. Yang paling aneh, ia mengaku saat terbaring di tempat tidur, berkali-kali merasakan ada orang (atau sesuatu) masuk ke kamarnya, naik ke tempat tidur dan ... memperkosanya! Serangan-serangan itu baru berhenti setelah bibinya berkonsultasi dengan ahli Umbanda - semacam voodoo - dan mengembalikan patung itu ke pantai.
Yang tak kalah aneh adalah serangan terhadap sejumlah gadis penghuni sekolah asrama di Rietfontein, Botswana, pada 1985. Mereka melaporkan, beberapa sosok laki-laki dan perempuan telah mengoyakkan pakaian, memotongi rambut, dan mencakari mereka.
Pemeriksaan kesehatan bahkan mengungkap adanya sejumlah jarum yang tertanam cukup dalam di bawah luka pada kaki para korban. Sementara serangan terus berlanjut, polisi tidak mampu menemukan pelaku ataupun penjelasan. Apakah ini kasus roh-roh gentayangan yang nakal (poltergeist)?
Namun ilmu pengetahuan percaya, gangguan yang biasanya menimbulkan bunyi ribut, menyebabkan beterbangannya peralatan memasak atau perabot rumah, serta sering menyebabkan luka ringan, bukanlah pekerjaan roh jahat. Justru si korbanlah penyebab semua manifestasi itu. Maka tak aneh bila sering kali kasus poltergeist berakhir begitu korban menjalani terapi kejiwaan.
Bukti nyata tampak pada kasus remaja dari Roma, Eleanora Zugun. Peneliti sempat memeriksa luka serupa cakaran atau gigitan yang muncul mendadak di wajah dan lengannya. Luka-luka itu muncul hanya saat Eleanora merasa tersinggung oleh perbuatan atau perkataan orang lain, yang memang sering terjadi. Serangan itu hilang ketika ia beranjak dewasa dan tidak begitu neurotik lagi.
Korban poltergeist yang kebanyakan adalah remaja, menurut ahli, berhubungan dengan tertekannya dorongan seksual mereka. Korban dari tiga kasus poltergeist terkenal di AS diketahui tergila-gila pada orang terkenal, di antaranya dengan tokoh polisi di film seri TV Starsky and Hutch. Ini menggugah para teoritis untuk menyelidiki, mungkinkah konsentrasi tinggi energi emosional yang terpendam dapat termanifestasikan dalam bentuk-bentuk yang aneh, yang belum kita pahami?
Teori serupa mungkin berlaku pada kemunculan Incubus dan Succubus, yang besar kemungkinan lahir dari pikiran orang juga. Dengan tumbuhnya kedewasaan, bertambah pula kemampuan seseorang untuk mengendalikan dorongan seksual, meskipun saat tidur kontrol itu bisa saja hilang.
Tidur tidaklah sesederhana tampaknya. Di balik kelopak mata yang terkatup, tersimpan misteri dunia lain, dunia supranatural.
 
Back
Top