Untung Rugi Tanda Panggil Lagu Pada Ponsel

Rizki9anteng

New member
Didi memutar nomor hp sepupunya, Emi. Namun ketika terdengar isyarat jawaban, cepat-cepat ia matikan. Sehingga pulsanya tetap. Karena terlalu sering, Emi pun mengambil tindakan filterisasi. Setiap panggilan dari Didi menjadi tidak terdengar. Fasilitas ini memang tersedia, yang untuk beberapa merek tertentu, dengan memilih opsi "No Tone". Sehingga ia tidak dikagetkan lagi oleh suara yang dianggapnya mempermainkan.

Namun herannya, selalu muncul kata "missed call" pada layar, yang ketika diklik, eh ternyata dari nomor yang sama. Kadang- kadang tertulis 10 miscall yang menunjukkan frekwensi kontak yang Didi lakukan. Emi pun geli, Seolah-olah ia berkata, "Belum tahu dia, nomornya sudah difilter". Barulah Emi sadar ketika menjumpainya secara langsung pada saat menghadiri salah satu pesta keluarga. Didi mengaku, semua itu ia lakukan bukan untuk mempermainkannya, tetapi mendengarkan klip lagu kesukaannya yang kebetulan dijadikan "tanda panggil".

Seperti diketahui, beberapa operator ponsel menyediakan fasilitas lagu, instrumen maupun vokal. Pemilik ponsel bisa memilih serta memesannya melalui prosedur tertentu. Siapa pun yang mengontaknya, terlebih dulu akan mendengarkan alunan lagu sampai si pemilik memberi jawaban. Karena memang tujuan awalnya untuk memberikan pelayanan plus bagi para penelepon, agar tidak jenuh oleh "tanda panggil" yang monoton, "Tut ... tut ... tut menunggu, sehingga langsung dimatikan.

Yang menjadi masalah, fasilitas tersebut bisa menciptakan "miskomunikasi" baru. Apalagi bila durasi maksimalnya sama dengan masa putar lagu itu sendiri. Si penerima menganggap dering telepon sebagai tanda adanya orang yang hendak menelepon, sementara si penelepon hanya sekedar menikmati lagu. Celakanya bila penelepon menyembunyikan nomornya, sehingga layar ponsel penerima hanya bertuliskan "privat number". Bagaimana mau kontak balik, lisan maupun tulisan?

Dampak merugikan lanjutannya ketika ada orang yang hendak menelepon dalam artian yang sebenarnya, tetapi terhalang penelepon yang sedang asyik mendengarkan musik. Syukur-syukur berita yang disampaikan masih bisa ditunda. Kalau tidak, seperti musibah keluarga atau momentum bisnis, berarti fasilitas tersebut membawa ekses bencana pula di samping hiburan.

Hal yang sama bisa terjadi saat penerima telepon dalam perjalanan pulang dan terjebak macet. Misalkan, ia tiba-tiba membutuhkan pertolongan sanak famili, tetapi tidak bisa menggunakan hp karena baterainya sudah terkuras oleh penelepon yang sekedar nenikmati lagu.

Saya menulis ini karena sudah mempraktekkannya. Tetapi tidak nyolonong masuk. Minta izin terlebih dulu kepada yang bersangkutan, meskipun belum pernah bertemu langsung, yaitu dengan mengirimkan SMS : "Saya menyenangi lagu pilihan anda sebagai tanda panggil. Bolehkah saya memutar nomor anda ini sekedar menikmatinya?" Dari sekian orang, hanya dua yang bersedia. Ini pun dengan catatan, dilakukan pada tengah malam. Tetapi tidak jadi, karena pada waktu itu saya sudah tidur.

Seharusnya divisi kreatif, inovatif, atau inisiatif pada perusahaan mempertimbangkan kehadiran lagu "tanda panggil" secara komprehensif. Mencakup berbagai karakeristik masyarakat Indonesia dengan berbagai tingkat pendidikan. Apalagi telekomunikasi yang sudah serba digital ini memberi kesempatan sangat variatif bagi ditemukannya solusi yang strategis.

Jangan sampai maksud meningkatkan value ekonomis di satu sisi, tetapi di sisi lain mengurangi kenyamanan. Bayangkan saja, seorang pemilik ponsel yang biasanya mengisikan baterai sekali dalam sehari, misalnya, menjadi harus setiap enam jam, karena terkuras oleh perilaku tersebut. Seolah-olah ponselnya dijadikan penyiar lagu bagi masyarakat, sedangkan ia sendiri tidak memperoleh keuntungan apapun, malah nombok berupa pengisian energi maupun penyitaan waktu.

Jadi ibarat suara tape recorder di warung nasi. Untuk bunyi "tut... tut... tut..." tentu akan dilewati saja. Akan lain ceritanya bila musik dangdut. Tidak tertutup kemungkinan orang yang tidak punya malu masuk hanya untuk menikmatinya, malah sekalian berjoget. Padahal tujuan sebenarnya untuk menghibur mereka yang sedang makan.

Nah, mumpung fasilitas ini belum menyebar merata di kalangan pengguna ponsel, perusahaan perlu mengantisipasi kemungkinan mewabahnya praktik tersebut sejak dini. Misalkan menyediakan opsi yang membuat tanda panggil suara pop "lagu" bisa dialihkan ke suara tradisional : "tut ... tut ... tut ..." bagi nomor ponsel yang nakal. Ya, esensinya semacam "Screening Number". Saya rasa, siapa pun tidak berselera menikmatinya.


Sebenarnya perusahaan secara teknis mampu mengakomodasi mereka yang ingin mendengarkan lagu pilihan sendiri melalui ponsel. Mekanisme digitalnya sudah memberi kesempatan luas. Tinggal merumuskannya dalam bentuk software.

Hanya tentu saja harus mempertimbangkan untung rugi. Pola kalkulasinya tidak bisa mengikuti tarif percakapan mengingat peta persaingan bisnisnya berbeda. Bila terlalu mahal, konsumen akan merasa lebih baik berpaling ke tape recorder, radio, atau CD player. Sebaliknya, akan menghambat perkembangan produk utama yang sedang berjalan, terlebih keharusan membayar royalti kepada pemegang hak cipta. Jadi perlu "win win solution". (Nasrullah Idris/Bidang Studi : Reformasi Sains Matematika Teknologi)
 
Semua itu sebenarnya tidak penting kalau hanya lagu ponsel. Berhubung memang tidak terlalu urgen untuk hpnya.
 
Back
Top