Megha
New member
JAKARTA 250208 - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah menyelidiki temuan Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) soal adanya susu formula dan makanan bayi yang diduga mengandung zat berbahaya jenis enterobacter sakazakii.
Direktur Survailance dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM Azizah Nuraini Prabowo mengatakan pihaknya telah menindaklanjuti temuan tersebut dan telah melakukan pertemuan dengan Tim IPB, Departemen Pertanian (Deptan), dan Departemen Kesehatan (Depkes). "Pertemuan akhir pekan lalu dan diambil kesepakatan untuk mem-follow up secara spesifik temuan itu," kata Azizah kepada Persda Network, Minggu (24/2).
Menurut dia, pihaknya perlu tahu dimana bakteri itu ditemukan apakah pada bahan baku, proses produksi, atau hasil produksi. "Follow up kita permasalahannya dimana. Apakah penggunaan teknologinya atau apa. Ini laporannya belum lama. Dan secara resmi belum masuk laporannya," kata Azizah.
Kalau terbukti mengandung zat berbahaya, Azizah mengatakan pihaknya akan menarik dari pasaran produk yang telah merugikan masyarakat tersebut. "Kita sudah kerjasama dengan Deptan karena bahan baku susu domain Deptan. Networking internasional juga kita jalin kerjasama. Kita tunggu saja hasilnya,"katanya.
Seperti dilansir dari www.ipb.ac.id, peneliti Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang diketuai Dr Sri Estuningsih mengungkapkan sebanyak 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April - Juni 2006 terkontaminasi enterobacter sakazakii. "Sampel makanan dan susu formula yang kami teliti berasal dari produk lokal," kata Estu.
Enterobacter sakazakii dianggap sebagai zat beracun. Hasil pengujian enteroksin murni dan enteroksin yang dipanaskan dan bakteri mengakibatkan enteritis (peradangan saluran pencernaan), sepsis (infeksi peredaran darah) dan meningitis (infeksi pada lapisan urat saraf tulang belakang dan otak). Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan metode hispatologi menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin.
Menurut Estu, selain dirinya, beberapa staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang bergabung dalam penelitian ini antara lain: Drh.Hernomoadi Huminto MVS, Dr I Wayan T Wibawan, dan Dr Rochman Naim.
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, isolasi dan identifikasi enterobacter sakazakii dalam 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi. Tahap kedua, menguji 12 isolat enterobacter sakazakii dari hasil isolasi dan kemampuannya menghasilkan enteroksin (racun) melalui uji sitolisis (penghancuran sel). Dari 12 isolat yang diujikan terdapat 6 isolat yang menghasilkan enteroksin. Uji selanjutnya adalah menguji isolat tersebut pada kemampuan toksinnya setelah dipanaskan. Terdapat 5 dari 6 isolat tersebut yang masih memiliki kemampuan sitolisis setelah dipanaskan.
Selanjutnya Estu menentukan satu kandidat dari isolat tersebut dan menguji enterotoksin serta bakteri vegetatifnya pada bayi mencit berusia enam hari. Bayi mencit diinfeksi melalui rute oral (cekok mulut) menggunakan sonde lambung khusus dan steril.
Setelah 3 hari kemudian dilakukan pengambilan sampel organ mencit tersebut. "Hasil pengujian enteroksin murni dan enteroksin yang dipanaskan dan bakteri mengakibatkan enteritis (peradangan saluran pencernaan), sepsis (infeksi peredaran darah) dan meningitis (infeksi pada lapisan urat saraf tulang belakang dan otak). Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan metode hispatologi menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin.
Penelitian ini menyimpulkan di Indonesia terdapat susu formula dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh enterobacter sakazakii yang menghasilkan enterotoksin tahan panas dan menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis pada bayi mencit. Dari hasil pengamatan histopatologis yang diperoleh masih dibutuhkan penelitian senada yang lebih mendalam untuk mendukung hasil penelitian tersebut. Sangat penting dipahami bahwa susu formula bayi bukanlah produk steril, sehingga dalam penggunaannya serta penyimpanannya perlu perhatian khusus untuk menghindari kejadian infeksi karena mengkonsumsi produk tersebut.
Estu secara pribadi telah melihat langsung fasilitas salah satu perusahaan makanan dan susu formula dengan omzet terbesar di Indonesia. "Sebagian besar fasilitas tersebut telah memenuhi standar operasional prosedur perusahaan susu formula bayi, dan saat ini masih terus dilakukan upaya untuk mencegah kontaminasi tersebut," ujar Estu.
(Persda Network/aco) TRIBUN KALTIM.
Direktur Survailance dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM Azizah Nuraini Prabowo mengatakan pihaknya telah menindaklanjuti temuan tersebut dan telah melakukan pertemuan dengan Tim IPB, Departemen Pertanian (Deptan), dan Departemen Kesehatan (Depkes). "Pertemuan akhir pekan lalu dan diambil kesepakatan untuk mem-follow up secara spesifik temuan itu," kata Azizah kepada Persda Network, Minggu (24/2).
Menurut dia, pihaknya perlu tahu dimana bakteri itu ditemukan apakah pada bahan baku, proses produksi, atau hasil produksi. "Follow up kita permasalahannya dimana. Apakah penggunaan teknologinya atau apa. Ini laporannya belum lama. Dan secara resmi belum masuk laporannya," kata Azizah.
Kalau terbukti mengandung zat berbahaya, Azizah mengatakan pihaknya akan menarik dari pasaran produk yang telah merugikan masyarakat tersebut. "Kita sudah kerjasama dengan Deptan karena bahan baku susu domain Deptan. Networking internasional juga kita jalin kerjasama. Kita tunggu saja hasilnya,"katanya.
Seperti dilansir dari www.ipb.ac.id, peneliti Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang diketuai Dr Sri Estuningsih mengungkapkan sebanyak 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April - Juni 2006 terkontaminasi enterobacter sakazakii. "Sampel makanan dan susu formula yang kami teliti berasal dari produk lokal," kata Estu.
Enterobacter sakazakii dianggap sebagai zat beracun. Hasil pengujian enteroksin murni dan enteroksin yang dipanaskan dan bakteri mengakibatkan enteritis (peradangan saluran pencernaan), sepsis (infeksi peredaran darah) dan meningitis (infeksi pada lapisan urat saraf tulang belakang dan otak). Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan metode hispatologi menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin.
Menurut Estu, selain dirinya, beberapa staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang bergabung dalam penelitian ini antara lain: Drh.Hernomoadi Huminto MVS, Dr I Wayan T Wibawan, dan Dr Rochman Naim.
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, isolasi dan identifikasi enterobacter sakazakii dalam 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi. Tahap kedua, menguji 12 isolat enterobacter sakazakii dari hasil isolasi dan kemampuannya menghasilkan enteroksin (racun) melalui uji sitolisis (penghancuran sel). Dari 12 isolat yang diujikan terdapat 6 isolat yang menghasilkan enteroksin. Uji selanjutnya adalah menguji isolat tersebut pada kemampuan toksinnya setelah dipanaskan. Terdapat 5 dari 6 isolat tersebut yang masih memiliki kemampuan sitolisis setelah dipanaskan.
Selanjutnya Estu menentukan satu kandidat dari isolat tersebut dan menguji enterotoksin serta bakteri vegetatifnya pada bayi mencit berusia enam hari. Bayi mencit diinfeksi melalui rute oral (cekok mulut) menggunakan sonde lambung khusus dan steril.
Setelah 3 hari kemudian dilakukan pengambilan sampel organ mencit tersebut. "Hasil pengujian enteroksin murni dan enteroksin yang dipanaskan dan bakteri mengakibatkan enteritis (peradangan saluran pencernaan), sepsis (infeksi peredaran darah) dan meningitis (infeksi pada lapisan urat saraf tulang belakang dan otak). Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan metode hispatologi menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin.
Penelitian ini menyimpulkan di Indonesia terdapat susu formula dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh enterobacter sakazakii yang menghasilkan enterotoksin tahan panas dan menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis pada bayi mencit. Dari hasil pengamatan histopatologis yang diperoleh masih dibutuhkan penelitian senada yang lebih mendalam untuk mendukung hasil penelitian tersebut. Sangat penting dipahami bahwa susu formula bayi bukanlah produk steril, sehingga dalam penggunaannya serta penyimpanannya perlu perhatian khusus untuk menghindari kejadian infeksi karena mengkonsumsi produk tersebut.
Estu secara pribadi telah melihat langsung fasilitas salah satu perusahaan makanan dan susu formula dengan omzet terbesar di Indonesia. "Sebagian besar fasilitas tersebut telah memenuhi standar operasional prosedur perusahaan susu formula bayi, dan saat ini masih terus dilakukan upaya untuk mencegah kontaminasi tersebut," ujar Estu.
(Persda Network/aco) TRIBUN KALTIM.