Presiden Minta Pencarian DPO Poso Diteruskan

Status
Not open for further replies.

andy_baex

New member
Warga yang Disiksa Polisi Berani Testimoni
JAKARTA - Kasus penggerebekan daftar pencarian orang (DPO) di Poso pada 22 Januari lalu yang berbuntut kerusuhan hingga menewaskan belasan warga sipil kemarin dibahas di istana. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam rapat terbatas bidang polkam meminta agar polisi meneruskan pencarian DPO kasus Poso tersebut. Polisi juga diminta mengurangi risiko dalam operasi pencarian itu.

Rapat terbatas (ratas) yang dipimpin SBY-Kalla tersebut dihadiri Menko Polhukam Widodo A.S., Menhan Juwono Sudharsono, Mendagri M. Ma?ruf, Panglima TNI Djoko Suyanto, Wakapolri Komjen Makbul Padmanagara, serta Kepala BIN Syamsir Siregar.

Ada empat hal yang digariskan SBY dalam rapat kemarin. "Yang pertama, polisi diminta melanjutkan mencari 29 DPO sampai tertangkap semua. Sebab, itu bagian dari penegakan hukum," kata Widodo A.S. dalam konferensi pers setelah ratas kemarin.

Berikutnya, polisi diminta mencegah ekses operasi pencarian DPO tersebut. "Presiden juga menekankan perlunya sosialisasi kepada masyarakat untuk mencari pelaku kejahatan. Masyarakat diharapkan bisa membantu menemukan orang-orang yang termasuk dalam DPO untuk menyerahkan diri," katanya. Selain itu, polisi diminta meyinkronkan dan berkoordinasi secara cermat agar operasi bisa dilakukan seefektif mungkin.

Menurut Widodo, Polri tidak bisa langsung disalahkan dalam kasus jatuhnya korban di Poso. Sebab, Polri sudah melakukan langkah-langkah persuasif selama tiga bulan terakhir. Selain itu, dalam penggerebekan DPO tersebut, polisi mendapatkan perlawanan bersenjata dari DPO dan pendukungnya. "Hal itu dibuktikan oleh adanya penembakan serta pelemparan bom," ungkapnya.

Dia menjelaskan, operasi penegakan hukum tersebut sudah membuahkan hasil. Yaitu, penangkapan 26 DPO serta ditemukannya 24 senjata rakitan, lebih dari 3.500 amunisi, 414 detonator, dan 21 bom rakitan. Dari operasi tersebut, tercatat seorang aparat meninggal, enam aparat terluka, dan 13 warga sipil meninggal.

Dari senjata yang ditemukan, ternyata sebagian merupakan senjata organik milik Polri. Senjata tersebut milik polisi yang hilang ketika gudang Brimob di Ambon dibobol pencuri. "Kami sudah membuktikan, tiga senjata yang mereka pakai itu diambil waktu terjadi penyerbuan kantor asrama dan gudang Brimob di Ambon," jelas Kepala BIN Syamsir Siregar saat ditanya wartawan di Kantor Presiden.

Menurut dia, polisi telah mengecek nomor seri tiga pucuk senjata tersebut. Hasilnya, memang benar senjata itu milik Brimob di Ambon. Kemungkinan masih beredarnya senjata milik Brimob lainnya di Poso masih diselidiki.


Testimoni Korban

Sejumlah warga sipil, yang mengaku menjadi korban penganiayaan berat aparat kepolisian saat operasi penggerebekan orang-orang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Senin lalu (22/1) di Poso, kemarin memberi testimoni. Sebanyak 20 orang itu satu per satu menceritakan nasib buruknya di depan Dedy Askari, kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah (Sulteng) di Masjid Raya Poso.

Mereka rata-rata mengaku menerima tekanan fisik dan mental yang luar biasa saat penangkapan plus interogasi oleh aparat bersenjata lengkap. Mereka mengaku dipukul, ditonjok, dipopor senjata, ditendang, dan diinjak-injak. Ada juga yang dipaksa mengaku sebagai kelompok DPO dan teroris.

"Sekitar jam lima sore (22/1), semua laki-laki yang ada di kompleks saya disuruh keluar rumah. Semua disuruh buka baju, kedua tangan diikat di belakang, dipopor, dan disuruh merayap," cerita Adnan, 31, salah seorang korban penganiayaan, yang mengaku tidak tahu apa-apa. "Setelah itu, kami dinaikkan mobil Baracuda untuk dibawa ke polres. Di dalam mobil yang berdesakan itu, kami diinjak-injak. Sampai di polres, kami dimasukkan sel. Di dalam sel, kami masih disiksa sekitar 30 anggota polisi," lanjut Adnan. Dia menyatakan kecewa terhadap perlakuan polisi yang kelewat batas itu.

Warga sipil lain, Amin Topo, 40, mengalami hal yang sama. Dalam keterangannya kepada pers usai pertemuan dengan Komnas HAM, Amin menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya. "Pipi saya ditonjok dengan moncong senjata. Saya dituding sebagai pelaku yang ikut aksi kekerasan serta terlibat baku tembak dengan polisi. Padahal, saat itu saya sedang nonton TV," terang Amin Topo sambil menunjukkan pipinya yang lebam. "Beberapa pria yang tinggal di petak (kos, Red) juga tak luput dari penganiayaan," tambah salah seorang pegawai di Dinas Praswil itu.

Seorang pemuda lainnya, Raharjo, 28, menerima perlakuan sama dengan yang diderita Adnan dan Amin. "Sama. Apa yang dilakukan polisi terhadap teman-teman itu juga saya terima. Luka di dahi saya ini karena ditonjok dengan ujung lop senjata," jelas Raharjo sembari memperlihatkan luka menghitam di dahinya.

Ketiga warga itu dan 17 lainnya mengaku ditahan di Mapolres Poso satu malam. "Karena tidak terbukti, Selasa pagi (23/1), kami dibebaskan. Tapi, kami sudah babak belur," ujar Raharjo yang diamini rekan-rekannya.

Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulteng, Dedy Askari, kepada wartawan mengatakan, apa yang dilakukan aparat kepolisian sejak 11-22 Januari lalu itu adalah bentuk nyata kearogansian polisi di lapangan. "Polisi seharusnya menegakkan hukum. Bukan eksekusi hukum," kritik Dedy Askari.

Jika hukum ditegakkan, kata Dedy, polisi tidak perlu membunuh DPO, tapi cukup menangkapnya. Dengan demikian, eksekusi hukum yang dilakukan polisi tidak seharusnya dirasakan warga sipil lain yang tidak tahu apa-apa.

Dedy menambahkan, pihaknya akan segera melengkapi informasi serta data-data yang telah diterima Komnas HAM Sulteng untuk selanjutnya dibawa dalam rapat paripurna Komnas HAM Pusat di Jakarta. "Data segera kami lengkapi. Dalam rapat paripurna Komnas HAM nanti, masalah rangkaian kejadian di Poso mulai 11-22 Januari menjadi agenda utama pembahasan," ujar Dedy.

Kapolres Poso AKBP Rudy Sufahriadi saat dikonfirmasi wartawan soal penganiayaan oleh anggotanya terhadap warga sipil yang ditangkap mengaku belum mengetahuinya. "Saya belum tahu soal penganiayaan itu," ungkap Rudy.


FUI Ditangani Komnas HAM
Protes terhadap penggerebekan DPO oleh polisi yang menewaskan 14 korban jiwa di Poso belum surut. Sikap polisi menindak pelaku tanpa dibarengi penyelesaian akar masalah, yaitu menyeret seluruh pelaku kekerasan Poso ke meja hijau, diyakini hanya memperpanjang rasa dendam di masyarakat.
Hal itu terungkap dalam audiensi Forum Umat Islam (FUI) di Komnas HAM Jakarta kemarin yang dihadiri Ustad Abu Bakar Ba?asyir.
"Untuk apa ada pemerintah jika tidak bisa mengayomi warga? Saya mengharapkan pemerintah bisa menyelesaikan kasus ini. Segera atasi sebelum ada jihad umum di Indonesia," kata Abu Bakar. (tom/naz/bud/jpnn)
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top