Cerpen: Serangan Mendadak Para Panu

Kalina

Moderator
Astaga! Aku terkejut bukan kepalang. Mataku melotot dan hampir aja keluar. Saking tak percayanya dengan apa yang kulihat sekarang. Aku berdiri tepat di depan cermin. Karena belum merasa yakin dengan penglihatanku sendiri, aku lebih mendekatkan kepala ke cermin. Tapi, tetap aja yang aku lihat barusan nggak berubah.

Yah, ada bercak-bercak putih di pundak, leher, dagu, dan entah di mana lagi. Mungkin di punggungku juga ada. Ada yang kecil, ada yang sedang, dan ada yang besar. Itu adalah "PANU! Oh, God, sejak kapan panu ini berjokol di sini? Kenapa aku nggak sadar ada panu di tubuhku."

Aku segera meraih selembar kapas dan membasahinya dengan pembersih muka. Aku berharap bercak putih-putih itu hanya sisa noda make-up. Aku menggosoknya kuat-kuat, berharap nodanya hilang. Tapi sampai kulitku terasa panas dan memerah, bercak putih itu tak kunjung hilang.

Aku semakin pusing. Aku ambil kapas baru lagi. Kali ini aku membasahinya dengan alkohol sampai kapasnya benar-benar basah. "AAUWW!" Perih sekali saat kapas penuh alkohol itu menyentuh kulitku. Tapi, aku tidak peduli. Aku terus menggosok-gosok kulitku dengan frustrasi. Sampai tanganku pegal dan kelelahan. Sekarang kulit di leherku tidak hanya merah, tapi malah lecet.

Aku semakin stres. Bagaimana bisa kuliah dengan kondisi seperti ini. Bisa habis nanti kalau sampai semua teman tahu aku punya panu. Mereka pasti ngeledek habis-habisan. Aduh, gimana dong! Aku berjalan cepat menyusuri koridor menuju kelas. Sedapat mungkin aku menghindari tempat-tempat di mana teman-teman biasa nongkrong.

Aku tidak sanggup ketemu mereka saat ini. Penampilanku saat ini persis seperti orang sakit. Pakai sweeter yang kerahnya ke atas agar bisa menutupi leher. Itu dipadu dengan syal rajutan yang kulilitkan di leher sampai daguku ikut tertutup. Aku sampai di kelas dan masih sepi.

Fiuh... Aku lega. Seenggaknya untuk setengah jam ke depan, sebelum kelas dimulai. Aku duduk di bangku paling pojok belakang dan mulai berpikir. Siapa kira-kira yang paling berpotensi menularkan panunya padaku. Sebab, nggak mungkin panu ini muncul tanpa ada yang menulari.

Aku kan orangnya perfect banget. Baik soal menjaga kebersihan badan maupun pakaian. Jadi, nggak mungkin ada panu mampir ke badanku yang superbersih ini. Tadi sudah aku periksa semua badan anggota keluargaku. Papa, mama, juga kakak nggak ada seorang pun yang punya panu.

Arrgg!! Aku semakin frustrasi. Aku pukul-pukul bangku di depanku untuk melampiaskan kekesalan. Saat itu kulihat ada seseorang yang masuk ke dalam kelas. Seseorang yang membuatku lebih frustrasi lagi kalau melihatnya. Aku diam saja, pura-pura tidak melihatnya. Kulirik jam di tanganku, 10 menit lagi kelas akan dimulai. Itu berarti sebentar lagi kelas ini dipenuhi mahasiswa. Juga, menuntut jawaban kenapa aku berpakaian kayak orang sakit bengek begini.

Aku melirik cowok yang masuk tadi. Dia diam saja duduk di bangku pojok depan dekat pintu masuk. Dia tampak sibuk menulis di bukunya, entah lagi nulis apa. Aku sama sekali tidak peduli. Ta... tapi... tunggu, tunggu... Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Dua hari lalu aku pingsan pas lagi ada acara bakti kampus. Trus waktu sadar, aku lihat Maya ngerawat aku pake handuk kecil yang jelas bukan handuk aku. Itu handuk siapa? Nah, ketemu sekarang! Pasti handuk itulah biang keroknya.

Sekarang aku harus menginterogasi si Maya. Aku melihat jam di tanganku lagi. Sebentar lagi mereka pasti masuk ke dalam kelas. Benar saja, semenit kemudian Maya and the gank masuk. Persis seperti dugaanku, mereka langsung mengguyur dengan pertanyaan saat melihatku.

"Nu, kamu kenapa? Kamu sakit, ya, Nu?" tanya Maya penuh kecemasan.

"Perasaan kemarin kamu baik-baik aja, Nu, kenapa sekarang tiba-tiba sakit?" tanya Feril sama cemasnya.

Belum lagi yang lain, pake megang-megang mukaku sok ngecek suhu tubuhku. Arrrgg... aku menepis tangan-tangan itu. Kutarik tangan Maya mendekat ke arahku. Tapi, belum sempat membuka mulut, tiba-tiba terdengar seseorang bicara dan membuatku shock.

"May, handuk yang habis kamu pakai kemarin ditaruh mana?" Saat menyadari siapa yang bicara, mulutku langsung kaku. Tidak bisa bicara apa-apa. Ja... jadi, itu handuknya si...

"Oh, udah aku cuci, kok. Tadi aku titip ke Tio. Habis dan tadi aku cariin kamu nggak ketemu." jawab Maya.

"Thanks, ya," kata si pa. . .nu... dan langsung balik ke bangkunya tanpa melihat sedikit pun ke arahku. Uhg, sombong, sok kecakepan. Tapi masak sih, dia punya panu dan... nular ke aku.

"Huaah! Nggak mungkin, Nggak mungkin!" Tanpa sadar aku teriak-teriak histeris. Membuat seisi kelas melihat ke arahku, termasuk Pak Waski. Sadar telah berlaku konyol, aku celingukan sambil meringis yang menurutku sendiri lebih mirip cengiran kuda.

"Huuu..." Kelas langsung gemuruh.

"Nu, besok kamu datang, kan ke pesta Anya?" tanya Maya penuh semangat.

Tapi, aku mendengarnya dengan tidak semangat. Gila. Gimana bisa datang dengan badan penuh panu begini. Kan malu namanya atau mau pamer panu?

"May, jadi handuk yang kamu pakai untuk ngerawat aku kemarin lusa itu handuknya orang brengsek itu?"

"I... iya, emang kenapa?" aku menghela napas. Diam.

"Habis, waktu itu aku panik banget lihat kamu pingsan. Lagian yang nolong kamu kali pertama kemarin lusa itu si Andre, kok." Aku semakin shock.

"Dia yang nemuin kali pertama pas kamu pingsan. Malah dia lebih panik daripada aku. Dia gendong kamu sambil lari dari pintu gerbang sampai ke klinik di gedung D. Kamu bayangin, jarak pintu gerbang sampai klinik, kan hampir satu kilo. Trus sampai di klinik, dia sendiri yang ngerawat kamu, ngipasin kamu, ngelap muka kamu, leher kamu, trus ngasih kamu minyak kayu putih, alkohol, wah dia benar-benar kayak Superman waktu itu. Hebat banget."

"Emang kamu ke mana, kok nggak nolongin aku?!" Aku benar-benar tidak tahan mendengar semua ocehan Maya yang penuh semangat 45 nyeritain kepahlawanan si brengsek itu.

"Aku, aku ada di samping kamu, kok. Tapi aku shock, bingung mau ngapain. Tapi, pas kamu udah mulai bergerak, dia langsung nyerahin semuanya ke aku dan pergi gitu aja." Jadi benar, panu ini berasal dan cowok brengsek itu. Orang yang paling menyebalkan, memuakkan, dan aku benci. Sekarang tiba-tiba panunya nular ke aku.

Saat ini rasanya aku ingin ambles. Masuk ke perut bumi yang paling dalam dan nggak keluar-keluar lagi. Aku menangis sejadi-jadinya di belakang gedung D. Karena aku pikir cuma tempat itulah yang paling aman untuk nangis.

Aku jongkok dan menutupi mukaku dengan tangan. Aku sesenggukan. Saat itulah tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang duduk di sampingku. Aku terkejut setengah mati, aku pikir ada hantu mendekat. Si brengsek dengan santainya menyodorkan sapu tangannya ke aku. Serta-merta aku menepisnya dan bangkit untuk segera meninggalkannya.

Tapi, dengan sigap tangannya menyambar pergelangan tanganku. Walau sudah sekuat tenaga mengibas-ngibaskan tanganku agar terlepas, tetap aja gagal. Cengkeramannya terlalu kuat. Kemudian dia ikut bangkit dan berdiri di hadapanku.

"Apa, sih, mau kamu? Belum puas juga kamu nyakitin aku? Apa masih mau ditambah lagi?! Masih mau menghina aku lagi?!" Dia diam tidak menjawab.

Hanya matanya yang terus menatap ke arahku. Tajam tapi juga lembut, menembus langsung ke ulu hatiku. Jantungku jadi blingsatan tak karuan. Kata-kata yang tadinya sudah aku susun rapi dan siap aku tumpahkan ke mukanya mendadak lenyap.

Mulutku gagu. Sejurus kemudian, di luar dugaan, mendadak dia merengkuh kepalaku dan membenamkannya ke dalam dekapannya. Aku berontak berusaha untuk melepaskan. Tapi, tangannya terlalu kuat memelukku. Sampai dadaku ikut sesak. Akhirnya aku pasrah dan menangis dalam pelukannya.

"Maaf, sudah membuatmu benci sama aku. Aku sayang sama kamu." Aku terkejut karena tidak yakin apa yang diucapkannya barusan. Sebab, sikapnya selama ini beda banget dengan sikapnya sekarang. Apa dia mau mempermainkan aku lagi?

"Tapi, sayangnya panuku tidak kompak. Dia tidak sabar untuk menyampaikan perasaanku sama kamu."

"Kamu nggak malu, kan, punya pacar yang panuan?" Aku tidak tahan untuk tidak ketawa. Melihat aku tertawa, dia pun ikut tertawa.

Cuma karena panu, dia malu untuk menyatakan cintanya sama aku. Dia lebih memilih bersikap dingin dan acuh sama aku. Sekarang berkat jasa panu juga, akhirnya kami bisa saling jujur dengan perasaan masing-masing dan bisa menjalin kasih.
 
Back
Top