Cerpen: Bohong Demi Pesantren

Kalina

Moderator
MENJELANG imtihan ataun Ramadan tiba, para santri lewat kumpulan-kumpulan organisasinya mengadakan persiapan berbagai macam kegiatan. Mereka akan menggelar acara itu di daerah masing-masing sepulang imtihan nanti. Beragam kegiatan yang mereka persiapkan, antara lain, latihan pidato, baca puisi, teatrikal drama, diskusi, latihan mengajar, dan sebagainya.

Berkumpulnya mereka pun beragam cara. Ada yang hanya ditemani lampu neon. Ada yang ditemani secangkir kopi, ada yang malah hanya dengan segelas teh hangat atau dingin. Ada juga kopi susu dan ada kopi jahe yang ditemani sebungkus kacang goreng, tempe, dan tahu goreng.

Bahkan, ada yang hanya ditemani kuda-kuda kiai sedang makan di lapangan bagi santri yang memilih berkumpul di lapangan. Meski demikian, kaum-kaum sarungan itu tetap antusias dengan kegiatan mereka masing-masing. Mereka berharap kegiatan yang akan mereka persembahkan untuk masyarakat sepulang nanti bisa berjalan sukses dan mendapatkan dukungan masyarakat.

"Paling tidak, dengan kegiatan kita ini, ada masyarakat yang tertarik melihat kegiatan kita dan memondokkan anaknya tahun depan ke pesantren kita," ungkap Cholil kepada puluhan temannya di sela-sela memimpin rapat persiapan Ramadan Ceria malam itu. Aku juga termasuk di antara santri-santri yang sedang rapat tersebut.

Aku dan santri-santri lain duduk bersila saat menerima wejangan. Begitulah, aku dan santri-santri lain duduk melingkar mendengarkan sang ketua mulai membuka rapat. Juga beberapa penjelasan sekilas soal materi-materi yang akan jadi perbincangan rapat saat itu.

"Chief, aku yakin kegiatan kita nanti sukses di rumah. Pasti ada santri baru yang akan masuk ke pesantren kita ini." ujarnya seolah meyakinkan. Ghoul memulai rapat lanjutan di antara kami bertiga.

"Ya, aku juga yakin Iho. Soalnya, di daerah yang akan kita jadikan lokasi nanti, kan belum ada sama sekali santrinya. Wong, pesantren aja belum ada, mungkin saja Islamnya masih diragukan," sahut Romi memecah keheningan malam.

Aku hanya bisa manyun mendengarkan ungkapan kedua temanku itu. "Ya, aku juga yakin kok. Asalkan kita bisa memformat kegiatan Ramadan Ceria ini dengan sebaik-baiknya, tentu bisa memikat masyarakat," aku meyakinkan kedua temanku.

"Yah, itu dia masalahnya Chief, sementara kita belum menyusun proposal kegiatan, dana juga belum ada. Belum tentu alumni dan wali santri mau menolong kita." Cholil mulai ragu dengan apa yang telah dirapatkan tadi.

"Terus, bagaimana?" tanya Romi, seolah ikut ragu sambil memasukkan dua butir kacang ke mulutnya.

Aku mencoba memberikan solusi kepada kedua temanku. "Gini aja, sekarang minggu ini kita pikirkan dulu proposalnya. Kemudian, kita ajukan ke pengasuh. Nah, jika sudah mendapatkan restu dari pengasuh, kan gampang, tinggal jalan," ujarku.

Kedua temanku setuju dengan usulku tadi. Lalu, malam itu juga, kami membuat proposal kasar yang akan kami ajukan ke pengasuh.

Proposal kegiatan rampung kami buat dan siap diajukan ke pengasuh. Demikian pula santri-santri lain. Mereka juga siap mengajukan proposal kegiatan masing-masing untuk mendapatkan bubuhan tanda tangan pengasuh.

Proposal kegiatan yang aku, Cholil, dan Romi ajukan termasuk di-acc lebih awal. Sebab, kegiatan yang akan aku, Cholil, dan Romi jalankan nanti menarik di mata pengasuh. Apalagi, yang akan kami sentuh adalah masyarakat pinggiran yang sama sekali belum mengenal pendidikan pesantren.

Dana dalam proposal itu kami atur seminim mungkin. Padahal, kalau mau jujur-jujuran plus akal-akalan, kalkulasi yang kami anggarkan mencapai Rp 5 juta. Namun, kami hanya menulis sekitar Rp 2 juta.

Layaknya santri-santri yang meminta rekomendasi dari pengasuh. Apalagi para santri yang berasal dari daerah banyak mendukung peran pengasuh. Seperti dalam politik atau aksi-aksi solidaritas. Masyarakat yang fanatik terhadap kiai jelas akan memberikan dukungan banyak kepada pesantren.

Kefanatikan yang dimiliki masyarakat, wali santri, termasuk alumni, ternyata, tidak disia-siakan santri dari daerah itu. Cukup dengan berbekal tanda tangan pengasuh, wali santri, simpatisan, dan alumni akan memberikan bantuan berapa pun yang diminta santri. Padahal, itu belum tentu direstui sama pengasuh.

Dengan demikian, tidak terasa kami menjual tanda tangan pengasuh demi mendapatkan uang atau dukungan wali santri, alumni, dan simpatisan pondok kami. Aku, Cholil, dan Romi tidak ketinggalan melakukan hal itu.

Di sekitar tempat tinggal kami bertiga, banyak yang ngefans sama pengasuh pesantren. Sehingga dalam setiap acara yang digelar pesantren -seperti maulidan, imtihan, tasyakuran, Isra Mikraj- masyarakat di daerah asal kami bertiga banyak menyumbang.

Mereka mendukung suksesnya acara yang digelar pesantren. Entah dengan sumbangan berupa uang, beras, kayu, atau tenda, bahkan sekadar ikut menyebarkan undangan.

Proposal sudah kelar. Tanda tangan pengasuh sudah tampak jelas di surat permohonan bantuan dana proposal kami. Tinggal sebulan imtihan digelar. Proposal itu sudah kami jalankan ke wali santri, alumni, dan simpatisan. Romi yang kami utus kelihatan bangga sepulang menyebarkan surat permohonan itu. Sebab dia menerima banyak sumbangan dari wali santri, alumni, dan simpatisan pondok kami.

Bahkan, setelah dihitung ulang, dana yang diperoleh melebihi anggaran yang kami ajukan ke pengasuh. Belum lagi ada wali santri yang siap memberikan berbuka dan sahur gratis nanti. Juga ada yang siap memberikan sumbangan berupa air mineral, mi rebus untuk dibawa ke posko kegiatan.

"Wah, ternyata bohong atas nama orang terkenal dan dikenal itu enak juga," suatu ketika temanku berkata kepadaku. Namun, aku tidak begitu mengerti dengan ungkapan itu.

Selama 15 hari tersisa pada Ramadan, aku, Cholil, dan Romi mulai mengomando teman-teman lainnya berangkat ke kegiatan Ramadan Ceria yang kami siapkan saat di pesantren sebelum imtihan. Di salah satu desa, tepatnya di musala yang sederhana, kami mengadakan ceramah agama sebagai satu rangkaian acara Ramadan Ceria. Lewat ceramah-ceramah inilah, sembari kami memberikan petuah-petuah, hadis-hadis, dan ayat-ayat Alquran, kami tidak lupa mempromosikan pesantren. Tentu dengan muatan yang sudah kami lakukan sebelumnya.

Kali ini aku kebagian menjadi pembawa kata sambutan atas nama panitia sekaligus mewakili pesantren. Yang pasti, aku akan menceritakan keadaan pesantrenku dengan hal yang baik-baik.

Acara selesai, masyarakat menyambut dengan baik. Kalender yang diwajibkan kami bawa dari pesantren habis dibeli masyarakat tempat kami melakukan kegiatan. Berikutnya, kami akan pindah dengan kegiatan yang sama ke desa atau kampung lain. Di kampung itu pula, aku, Choli, Romi, dan teman-teman santri lainnya akan melakukan hal sama lagi, berbohong demi pesantren.

Dengan hasil kegiatan kami selama enam hari pindah dan satu kampung ke kampung yang lain atau dan satu desa ke desa yang lain, aku mendapat kabar bahwa lima santri baru akan masuk tahun depan ke pesantrenku. Mereka tertarik dengan cerita-cerita kami. Penasaran dengan gambar-gambar bagus di kalender pesantren kami. Tertarik dan tertarik.

Sehabis Hari Raya Idul Fitri, aku, Cholil dan Romi mengadakan acara halalbihalal dengan sesama alumni, santri, wali santri. Lokasinya di sebuah tempat yang jadi wisata. Selesai acara, kami ngomong-ngomong santai sambil melihat ombak yang saling berkejaran dan mendengar deru suara ombak.

"Lil, kamu tahu nggak kalau selama ini kita banyak berbohong". Aku memulai angkat kata. "Berbohong gimana?" tanyanya seolah tidak tahu.

"Ya, kita senang dalam kegiatan seperti yang telah kita laksanakan, selalu menceritakan pesantren kita baik-baiknya saja," ungkapku menjelaskan. "Tapi gini, Lil, Mi, bukan hanya kita saja yang mempromosikan almamater. Masih mending cara kita baik. Kalau yang dilakukan kebanyakan orang, yang pada akhirnya menjerumuskan orang lain, kan lebih parah akibatnya. Jadi, aku kira apa yang kita lakukan ini belum seberapa daripada orang-orang yang ada di sana? Yang selalu berbohong dan membohongi rakyat," jelasnya. Tanpa kujelaskan lebih panjang, kedua temanku mengerti apa yang aku maksud itu.

Alasan kami berbohong memang sederhana. Kalau aku akan menceritakan yang jelek-jelek tentang pesantren, masyarakat tidak akan percaya lagi. Tentu santri semakin berkurang. Nama pengurus akan tidak baik di mata masyarakat luar, wali santri, alumni, dan simpatisan. Termasuk, nama pengasuh. Aku mengakhiri penjelasanku kepada kedua temanku, Cholil dan Romi. (*)
 
Back
Top