Cerpen: Senja di Karimunjawa

Kalina

Moderator
KEMUNING, merah, indah, dan begitu damai. Senja adalah waktu termanis dalam satu hari. Ya, Senja bukan hanya sebuah waktu, tapi juga nama dan seorang gadis kecil berusia sembilan tahun di perkampungan Pantai Karimunjawa.

Langkah kakinya lincah di antara guliran pasir dan gelombang kecil Pantai Karimunjawa. Sesekali tubuh kecilnya berputar centil bak balerina di tepi pantai. Rambut panjangnya yang ikal kian bergolak dan bermain bersama desiran angin pantai sore itu.

Langkah kakinya terhenti dan bibirnya tersenyum manis pada sebuah batu besar di ujung pantai. Perlahan, kaki dan tangan kecilnya mulai beraksi memanjat batu itu. Maka, termangulah ia duduk di sana. Termangu menatap senja yang begitu berarti dan tiap waktu dalam harinya.

Bagi gadis kecil itu, waktu senja mempunyai ikatan yang erat dengan dirinya. Gambaran ikatan dan nama mereka yang sama dan penghibur hati dan ketidaktahuannya akan keluarga dan siapa dirinya.

Gambaran yang ia lukis sendiri dalam benaknya seolah memberikan ketenangan tersendiri dalam waktunya menikmati senja. Mata sayunya bersinar cerah bak menantang mentari yang kian tenggelam.

Wajahnya penuh berseri menatap senja, 5 menit, 10 menit, 15 menit. Akhirnya, hilanglah senja dan pandangannya. Wajah yang tadinya berseri itu mendadak hilang, mata yang tadinya bersinar seakan ikut redup bersama gelapnya hari.

***

"Senja, tunggulah Paman di geladak pantai seperti biasa. Sepertinya, Paman akan memperoleh ikan banyak," ujar seorang lelaki paro baya pada gadis kecil itu. Sang gadis kecil tersenyum dan mengangguk.

"Hati-hati, Paman," jawab gadis kecil itu. Dia tetap berdiri di geladak pantai sampai pandangannya kabur dan perahu serta lelaki paro baya yang ia panggil paman lenyap.

Pada 16.30 WIB, angin pantai bertiup cepat dengan gelombang yang tak biasa. Senja dan beberapa warga pantai tampak resah menanti beberapa nelayan yang tak kunjung datang. Rutinitas harian mereka, pukul 14.00 WIB adalah waktu paling lambat bagi para nelayan untuk kembali dan berlayar.

Pada 18.00 WIB, wajah gadis kecil itu pun pucat pasi terduduk di geladak pantai. Pandangannya kosong menatap laut lepas yang semakin ganas. Hari itu untuk kali pertama ia tak teringat untuk melewatkan waktu termanisnya di atas batu besar di ujung pantai.

***

Senja, di hari ketujuh sejak perahu paman angkatnya menghilang bersama dua orang nelayan lainnya. Langkah kakinya begitu lemah menapak pasir ke arah ujung pantai.

"Senja, tunggu. . .," sebuah suara lantang dan kejauhan menghentikan langkahnya.

"Perahu pamanmu sudah ditemukan," teriak seorang anak pantai sahabat gadis itu. Sang gadis kecil terkejut, langkahnya segera bergerak mendekati sahabatnya.

"Pamanku?" tanya Senja cemas. Sang sahabat hanya tertunduk dan menggeleng pelan. Terdengar sebuah suara lirih mengiringinya.

"Hanya perahunya yang ditemukan pecah," ujar sahabatnya lirih.

Tubuh gadis kecil itu semakin lemah. Langkahnya berbalik arah ke ujung pantai. Kakinya kembali menapak pasir di antara deburan ombak. Ia terduduk bisu di atas batu. Hatinya tak dapat membendung peluh dalam batinnya. Air mata mengucur deras dan mata sayunya semakin redup.

Awan kelabu perlahan menyelimuti penuh langit Karimunjawa. Gerimis turun di antara senja yang tertutup awan. Sang gadis kecil seakan tahu bahwa, Senjanya tak akan kuasa melihat kepedihan dalam hatinya.
 
Back
Top