Cerpen: Terang Cahaya di Kehidupan Berikutnya

Kalina

Moderator
SEKARANG lagi zamannya "ngebunglon", ikut sana ikut sini. Mulai gaya rambut, model baju, gaya bicara, sampai gaya hidup. Begitu juga di kampungku. Semua orang nggak mau dianggap "katro, ndeso, dan ngampung" kalau nggak ngikutin tren atau sesuatu yang baru.

Contohnya aja suasana di kampungku. Bulan kemarin lagi hot potongan rambut gaya Dian Sastro. Jadilah ibu-ibu beserta anak gadisnya ramai memotong rambut mereka masing-masing, meniru gaya Dian. Nggak apalah muka tak secantik artis ibu kota itu.

Menyamai gaya rambutnya saja sudah cukup puas hati mereka. Begitulah kampungku. Kampung yang terletak di pedalaman Cimbuleuit. Sebuah desa yang terletak di Jawa Barat. Banyak disebut orang luar sebagai "Kampoeng Bunglon."

Kampungku terdiri atas 50 kepala keluarga. Karena jumlahnya yang sedikit, hubungan satu keluarga dengan keluarga yang lain sangat akrab. Makanya "ngebunglon" merupakan salah satu tradisi kami.

Memperkecil perbedaan bisa mempererat kekeluargaan. Prinsip mereka hampir sama, kecuali abahku. Dia tuan tanah di kampung ini. Punya berhektare-hektare sawah dan sangat mapan. Abah adalah sosok yang keras dan kaku. Aku heran kenapa emak menikahi abah? Lebih heran lagi, kenapa aku yang menjadi anak semata wayangnya? Itulah abahku

Abah tak pernah ikut-ikutan. Tak pernah menyumbang untuk acara 17 Agustusan. Nggak pernah membeli pestisida. Dia juga nggak pernah menyumbangkan hasil panen untuk acara panen raya yang diadakan di kampung.

"Pejabat dusun yang pelit" begitu orang kampung menyebutnya. Tapi, abah tak pelit. Abah sembunyi-sembunyi dalam hal kebaikan. Waktu itu lagi zamannya melebarkan halaman depan rumah masing-masing. Keluarga yang satu dengan yang lain tak mau kalah. Jadilah jalan kampung menjadi sempit. Mereka melakukannya demi gengsi, kecuali abahku.

Di suatu malam aku pernah menanyakan kepada abah mengapa dia tak ikut melebarkan halaman. "Buat apa melebarkan halaman, toh kita tak punya mobil ataupun motor, cukuplah halaman dipakai untuk tanaman emakmu saja," ia berkata tegas sambil membaca koran yang diterangi cahaya dari lampu teplok.

Bulan berikutnya, datanglah surat dari pamong desa. Surat itu berisi perombakan jalan seperti semula. Proteslah orang di kampungku. Tapi mau apa lagi, yang tinggi selalu menang. Terbuanglah uang mereka. Abahku memang benar...

***

Bulan September saat itu. Masuklah isu yang lama-kelaman menjadi berita heboh. Listrik masuk kampungku! Dimulailah tradisi "ngebunglon." Dipasanglah listrik mulai rumah ketua RT, ketua RW, pamong desa, hingga rumah orang biasa. Kecuali rumahku, rumah terakhir yang gelap di malam hari. Tanpa penerangan cahaya yang modern.

Bulan berikutnya, banyak orang mulai sibuk membeli perangkat-perangkat. Agar listrik di rumah mereka dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tak hanya TV, radio, setrika, tapi juga kulkas, dispenser, VCD player, bahkan home theater. Kampungku sekarang berubah menjadi "Kampoeng Bunglon Modern."

Aku iri kepada temanku yang dapat menonton TV dengan bebas di rumahnya. Nggak seperti aku yang hanya bisa menumpang nonton di rumah Pak RT. Iri kepada temanku yang selalu ditemani cahaya lampu saat belajar di malam hari. Sedangkan aku? Yah... aku masih setia pada lampu teplok-ku. Aku harus membuka mataku lebar-lebar agar bisa membaca. Tak tahan lagi aku kali ini. Aku marah kepada abah.

"Abahmu itu, tetap saja uangnya bertambah banyak, bertambah pelitlah dia." Pak Burhan, seorang pamong desa, berkata saat acara nonton bersama di saung (tempat kumpul-kumpul).

"Memangnya listrik akan menghanguskan semua uang yang disimpannya di bawah bantal?" Bu Narhub berkata.

"Abah tak menyimpan uang di bantal," aku menyahut pelan.

"Yah, tahulah kau bocah. Aku kira saking pelitnya, dia tidur dengan uang yang disimpannya di bawah bantal," Bu Narhub sang pencibir ulung tetap saja mengoceh. "Ha...ha...ha...", semua orang kampung tergelak.

Rasa kesalku kepada abah bertambah. Bulan Desember saat itu bulan kelahiranku, seharusnya menjadi bulan yang indah. Tapi, abah yang mulai sakit-sakitan mulai mengakhiri perjuangan dan menutup lembaran terakhir cerita hidupnya.

Tak banyak orang yang datang pada saat pemakaman abah. Hanya saudara, teman terdekat, dan beberapa orang kampung. Saat prosesi pemakaman. Orang kampung mulai berceloteh, "Abahmu itu terlalu pelitnya sampai akhir hayatnya tak mau memasang listrik di rumahnya."

"Iya betul, tak perlu lagi emakmu susah payah menyalakan sumbu di malam hari. Tidak seperti kami tinggal menyalakan lampu bila malam tiba, rumah kami terang kan?" Mereka terus saling menyahut, seperti bunglon lupa akan suasana khidmat pemakaman.

"Abahmu itu suram, lebih suram dibanding rumah keluargamu di siang bahkan sampai malam hari. Cukuplah membayar listrik untuk memasang satu lampu di ruang tengah, biar rumahmu terlihat terang sedikit,"

"Betul itu...," Aku tetap diam.

"Betul sebutan kami untuk abahmu 'pejabat dusun yang pelit'," beberapa orang menyunggingkan senyuman. Aku tak sabar lagi, aku berkata dengan berbisik sambil menatap satu per satu orang yang berceloteh tadi

"Abah bukannya pelit. Begitulah perawakannya, ia tak mau memasang listrik, tak mau memasang lampu di ruang tengah, ruang baca, musala, dan di bagian mana pun rumah kami." Aku terus menatap mereka.

Tapi abah takut, sangat takut bila ia mendapat begitu banyak terangnya cahaya di kehidupan ini. Abah khawatir tak akan mendapatkannya lagi di kehidupan sesudahnya. Mereka semua tertunduk malu...
 
Back
Top