Adakah Kehidupan Setelah Mati?

singthung

New member
Adakah Kehidupan Setelah Mati?



Adakah kehidupan lain setelah suatu makhluk mengalami kematian? Apakah kematian merupakan akhir dari kehidupan dan akhir dari segala-galanya? Apakah suatu makhluk yang mati akan musnah tak berbekas? Ke manakah makhluk hidup pergi setelah mati? Benarkah ada alam surga dan neraka? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang senantiasa mengusik pikiran umat manusia sejak dahulu kala.

Banyak orang yang menyangsikan adanya kehidupan setelah kematian. Raja P?y?si yang memerintah Kota Setavy? adalah salah satu contohnya. Di hadapan K?mara Kassapa Thera, beliau mengungkapkan pandangan bahwa tidak ada kehidupan lampau maupun mendatang, tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk. Ketika ditanya apa alasan yang membuat beliau berpandangan demikian, Raja P?y?si mengisahkan bahwa beliau mempunyai menteri, saudara serta kerabat yang sering berbuat jahat; membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berdusta? Sewaktu mereka sakit keras dan akan meninggal dunia, beliau berpesan apabila mereka masuk ke alam neraka karena akibat kejahatan yang diperbuat agar datang memberitahu beliau. Mereka menyanggupi pesan ini. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka yang datang kendati waktu telah berlangsung cukup lama. Inilah yang menjadi alasan bagi beliau untuk menolak adanya kehidupan mendatang... K?mara Kassapa Thera menanggapi alasan ini dengan sebuah perumpamaan tentang penjahat. Ada penjahat yang telah tertangkap basah dan akan dihukum mati karena perbuatannya. Ketika hukuman ini akan dijalankan, dia meminta izin untuk pulang memberitahu sanak-keluarganya terlebih dahulu. Apakah dia akan diizinkan? Tentunya tidak! Demikian pula, mereka yang masuk ke alam neraka, tidak mendapat izin kembali ke alam manusia untuk menyampaikan kabar.

Raja P?y?si mengemukakan alasan lain. Beliau pernah berpesan kepada menteri, saudara serta kerabat yang suka berbuat baik agar datang memberitahu beliau apabila masuk ke alam surga. Tak satu pun di antara mereka ada yang datang meskipun sudah berjanji akan kembali menemui beliau. Hal inilah yang membuat beliau tidak mempercayai adanya kehidupun mendatang... K?mara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang orang yang terjatuh ke dalam lubang lumpur. Setelah ditolong, diangkat ke atas, tubuhnya dibersihkan dan didandani dengan pakaian, wewangian serta perhiasan yang mewah, dan dihibur dengan kenikmatan lima indera; apakah dia ingin masuk ke dalam lubang lumpur lagi? Raja P?y?si menjawab: ?Tidak!? Mengapa? Karena lubang lumpur itu kotor, berbau busuk, dan menjijikkan. Demikian pula, manusia merupakan makhluk yang kotor, berbau busuk dan menjijikkan bagi para dewa. Bagaimana mungkin mereka yang berbuat baik dan masuk ke alam surga akan datang kembali ke alam manusia untuk memberitahu?

K?mara Kassapa Thera memberikan penjelasan tambahan bahwa waktu di dunia ini tidaklah sama dengan waktu di alam surga. Semakin tinggi tingkat alamnya, semakin lama pula perbedaan waktunya. Waktu seratus tahun di dunia ini sebanding dengan satu hari satu malam waktu di Surga T?vati?sa, misalnya. Usia rata-rata makhluk di sana sekitar 1,000 tahun kedewaan. Para dewa mungkin berpikir kita bersenang-senang di sini selama dua tiga hari dahulu, baru kemudian pergi menemui Raja P?y?si. Karena perbedaan waktu, beliau mungkin telah meninggal dunia saat itu. ?Tetapi,? bantah Raja P?y?si, ?Bagaimana bisa diketahui bahwa dewa di Surga T?vatimsa mempunyai waktu yang lama seperti itu? Saya tidak mempercayainya!? K?mara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang orang buta sejak lahir. Ia mungkin tidak percaya adanya warna merah, hitam, putih serta lainnya, dan juga mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang mampu melihat warna-warna tersebut. Apakah pendapat orang buta itu dapat dibenarkan? Tentunya tidak. Ada pertapa atau brahmana yang tinggal di tempat sunyi, senantiasa waspada, dan mengembangkan usaha dalam pemusatan batin hingga mencapai ?mata kedewaan? (dibba-cakkhu), yang melebihi kemampuan mata biasa. Dengan mata kedewaan ini, mereka dapat melihat kehidupan lain dan makhluk-makhluk yang terlahirkan dengan seketika. Masalah kehidupan lampau tidak seharusnya dimengerti hanya berdasarkan apa yang bisa dilihat dengan mata biasa.

Raja P?y?si mengatakan bahwa beliau pernah melihat ada pertapa dan brahmana yang mempunyai kesilaan luhur. Mereka tetap mencintai kehidupannya, dan tidak ingin mati; masih mendambakan kebahagian, dan tidak menginginkan penderitaan. ?Jika merasa yakin bahwa dengan melaksanakan kesilaan mereka pasti terlahirkan kembali di alam surga, mengapa mereka tidak mencoba bunuh diri dengan meminum racun, menggantung leher, atau meloncat ke jurang?,? tanya Raja P?y?si. K?mara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang dua orang istri yang ditinggal mati suami. Yang pertama mempunyai anak berusia sepuluh tahun, sementara yang kedua sedang mengandung tua. Si anak menagih warisan kepada ibu tirinya. Sang ibu meminta kelonggaran waktu untuk memastikan apakah anak yang sedang dikandungnya laki laki atau perempuan. Pada zaman itu, hanya anak laki-laki yang berhak atas kekayaan peninggalan orangtuanya. Si anak tidak sabaran, dan terus-terusan mendesak. Sang ibu akhirnya mengambil jalan pintas dengan membedah perutnya sendiri. Dengan berbuat demikian, tidak hanya jiwa anaknya yang terancam, tetapi juga kehidupannya sendiri, dan ia niscaya tidak akan memperoleh bagian dari harta kekayaan suaminya. Orang bijaksana tidak akan menempuh jalan pintas semacam ini. Demikian pula halnya dengan para pertapa dan brahmana. Meskipun yakin atas kehidupan yang akan datang, mereka tidak akan memetik buah yang belum waktunya masak. Mereka menempuh kehidupan secara wajar demi kebahagiaan bagi diri sendiri maupun orang lain.

Raja P?y?si menceritakan bahwa beliau pernah menghukum penjahat dengan memasukkannya ke dalam gentong dalam keadaan masih hidup. Setelah ditutup rapat, gentong itu diletakkan di atas perapian hingga penjahat yang berada di dalamnya mati. Ketika dibuka kembali, beliau tidak melihat adanya jiwa yang keluar dari dalamnya. K?mara Kassapa Thera bertanya kepada Raja P?y?si apakah pernah bermimpi pergi ke hutan, melihat kolam dan sebagainya. ?Pernah,? jawab beliau. ?Pada waktu itu, apakah ada penjaga yang melihat jiwa beliau keluar masuk tubuh?? Raja P?y?si menjawab tidak ada. ?Jika yang masih hidup saja jiwanya tidak dapat dilihat, bagaimana mungkin Baginda dapat melihat jiwa penjahat yang mati dibakar dalam gentong?,? tanya K?mara Kassapa Thera.

Raja P?y?si mengisahkan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menimbang berat badan seorang penjahat sebelum dihukum gantung. Begitu mati dan ditimbang lagi, berat badannya justru bertambah. Jika memang ada jiwa yang keluar dari tubuhnya, seharusnya berat badannya berkurang. K?mara Kassapa Thera mempertanyakan manakah yang lebih ringan antara sebongkah besi yang terbakar dan yang dingin? Besi yang terbakar lebih ringan karena perbedaan unsur api dan unsur anginnya. Demikian pula, karena berpadu dengan usia [yang memberikan kelangsungan hidup], kehangatan, dan kesadaran, tubuh manusia yang masih hidup lebih ringan.

Raja P?y?si beralasan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menghukum mati penjahat tanpa merusak bagian kulit, daging, otot atau bagian tubuh lainnya. Setelah mati dan badannya digoyang-goyang serta dibolak-balik, ternyata tidak ada jiwa yang keluar dari tubuhnya. K?mara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang sangkakala (terompet dari kerang). Penduduk terpencil yang selama hidupnya belum pernah melihat sangkakala mungkin tidak tahu bagaimana cara memakai alat musik tersebut. Dengan diketuk-ketuk, digoyang-goyang atau dibolak-balik, tentu tidak ada suara yang berbunyi.

Raja P?y?si menambahkan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menghukum mati penjahat dengan mengiris-iris bagian kulit, daging, otot serta bagian tubuh lainnya. Namun, tidak ada jiwa yang dapat ditemukan di sana. K?mara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang seorang anak kecil yang disuruh br?hmana pemuja-api untuk menjaga api pemujaan supaya tidak padam. Karena kelalaian si anak, api pemujaan itu menjadi padam. Si anak tidak tahu bagaimana cara menyulut api. Ia mencobanya dengan membelah-belah kayu bakar menjadi bagian kecil-kecil, tetapi tidak berhasil karena caranya salah. Demikian pula, kehidupan lampau serta mendatang tidaklah dapat diketahui dengan cara yang tidak tepat.

Meskipun telah terpojokkan oleh pelbagai perumpamaan yang masuk akal, Raja P?y?si masih tetap bersiteguh untuk mempertahankan pandangannya bahwa tidak ada kehidupan lampau maupun mendatang, tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk. Beliau bersikap demikian karena perasaan gengsinya. Masyarakat dan para raja dari banyak negara tetangga mengetahui bahwa beliau mempunyai pandangan begitu dalam waktu yang lama. Jika kemudian dilepaskan, mereka akan mencelanya sebagai raja yang bodoh, yang memegang pandangan sesat.

Atas sikap tidak mau melepaskan pandangan lama yang sesat dan berpaling dari kebenaran ini, K?mara Kassapa Thera memberikan empat macam ibarat yang dua di antaranya dapat diringkaskan sebagai berikut:

Ibarat seorang pemuda yang memelihara babi yang sewaktu pergi ke tempat lain menemui setumpukan kotoran kering. Dengan berpikir bahwa ini dapat menjadi makanan bagi babi-babi peliharaannya, ia membungkus kotoran tersebut dengan pakaiannya dan membawa pulang dengan menyunggihnya di atas kepala. Di tengah perjalanan, hujan turun dengan keras. Meski demikian, ia tidak rela untuk membuang kotoran yang karena basah menetes ke kepala serta tubuhnya. Orang-orang yang melihat saling mencela kebodohannya dan menganggapnya sebagai orang gila. Akan tetapi, pemuda pemelihara babi justru berpikir bahwa merekalah yang bodoh karena kotoran yang dibawanya dapat dimanfaatkan untuk memelihara babi-babinya.

Ibarat dua lelaki yang pergi bersama ke pedalaman untuk mencari harta. Di tengah perjalanan mereka menemui bongkahan besi, tembaga, perak, dan emas. Setiap kali bertemu dengan barang-barang yang lebih berharga, lelaki yang pertama menukarkan bawaannya. Akan tetapi, lelaki yang kedua tidak mau, dan tetap setia untuk mempertahankan barang pertama yang dijumpainya dengan alasan karena sudah terlanjur dibawa sejak lama, dan telah diikat erat. Ketika mereka sampai kembali di desanya, masyarakat serta sanak keluarganya memuji kecerdasan lelaki pertama yang membawa emas bernilai tinggi, sedangkan yang kedua tidak mendapat pujian apa pun. Sikap Raja P?yasi dapat diibaratkan seperti lelaki yang tidak mau menukar barangnya dengan yang lebih bernilai.

Raja P?y?si benar-benar takjub atas penjelasan K?mara Kassapa Thera, dan selanjutnya meyakini Sang Tiratana sebagai pernaungan serta menyatakan diri sebagai umat Buddha (up?saka). Setelah mangkat, Raja P?y?si terlahirkan kembali di Surga C?tumah?r?jika.

Pada masa kehidupan Buddha Gotama, pemimpin kaum heretik yang mengajarkan paham ?Ucchedav?da? atau Kemusnahan (Annihilation) ialah Ajita Kesakambala. Ia menyangkal adanya kehidupan setelah kematian. Pandangannya mirip dengan kaum materialis C?rv?ka penganut sistem Lok?yata yang didirikan oleh Bhaspati ?seorang figur legendaris. Ujaran atas pandangannya yang sangat menyesatkan ialah sebagai berikut: ?Tidak ada hasil/buah dari pemberian d?na, pemujaan, dan persembahan. Tidak ada pula akibat setimpal dari perbuatan baik atau buruk. Tidak ada dunia sekarang ataupun mendatang. Perlakuan baik atau buruk terhadap ibu atau ayah tidak berakibat apa pun. Tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika. Di dunia ini tidak ada pertapa atau br?hmana yang telah menjalankan praktek dengan benar; yang telah menempuh kehidupan dengan baik; serta memiliki ketenangan batin, yang dengan kebijaksanaan sendiri telah menembus dunia sini maupun dunia sana, dan selanjutnya mengamalkan pengetahuannya kepada makhluk-makhluk lain. Manusia terbentuk atas empat unsur dasariah (c?tummah?bh?ta).

Apabila seseorang meninggal, sifat mengeras dan melunak dalam dirinya akan berubah menjadi tanah; sifat mencair dan mengental menjadi air; sifat memanas dan mendingin menjadi api; sifat mengetat dan mengendor menjadi udara; dan segala inderanya akan melayang ke angkasa. Empat orang pemikul dengan sebuah tandu mengiring mayatnya sambil menguncarkan doa hingga sampai di tanah kubur. Di sana tulang-belulangnya memudar/memutih, dan persembahan-persembahannya berakhir menjadi abu. Pemberian d?na yang diajarkan oleh orangorang dungu, yang dikatakan memberikan hasil/pahala, semuanya adalah omong kosong belaka, dusta, tak beralasan. Baik orang dungu ataupun orang bijaksana, ketika badan jasmaninya tercerai-berai, keduanya niscaya akan termusnahkan. Setelah kematian ini, tidak ada kehidupan lagi (kelahiran kembali).?(10)

Kematian, dalam pandangan Agama Buddha, tidaklah selamanya merupakan akhir dari kehidupan. Selama benih kehidupan belum dilenyapkan, kematian suatu makhluk niscaya akan berlanjut pada kehidupan mendatang. Kehidupan sekarang ini adalah hasil dari kehidupan-kehidupan lampau. Kehidupan-kehidupan lampau ditambah dengan kehidupan sekarang ini, niscaya akan menghasilkan kehidupan mendatang.


NB:

10 Menurut Mah?bodhi J?taka, Sang Buddha telah menyangkal pandangan Ajita sejak dalam kehidupan-kehidupan yang lampau.

 
Back
Top