Aborsi Menurut Pandangan Agama Buddha

singthung

New member
ABORSI MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA


Peristiwa aborsi memang ada di sepanjang sejarah manusia. Sesungguhnya di mana ada orang yang ingin hamil maka di tempat yang sama juga ada kehamilan yang tidak diinginkan. Banyaknya kasus aborsi di kalangan remaja saat ini yang berakibat merenggut nyawa menunjukkan pendidikan seks bagi remaja sudah saatnya dipikirkan.

Mencermati kasus ini memang dibutuhkan pemikiran jernih. Sejauh ini masyarakat khususnya kalangan remaja intelektual tergesa-gesa dalam menyimpulkan kasus aborsi hanya dilakukan karena pergaulan bebas dan mengutuk perilaku sang pelaku tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ada di dalamnya. Kenyataannya ada kesenjangan antara respons masyarakat yang kebanyakan bernada tunggal tersebut dengan realita yang terjadi.

Dari fakta hasil penelitian selama ini jelas salah kalau kita menganggap bahwa kehamilan yang tidak dikehendaki selalu dihubungkan dengan akibat pergaulan bebas apalagi kalau berpikir bahwa itu hanya terjadi pada remaja. Padahal masih banyak sikap-sikap di masyarakat kita sendiri yang mendorong perempuan untuk terpaksa melakukan aborsi. Sikap yang ditanamkan sesungguhnya memang mempunyai latar belakang yang berbeda seperti :

a) Keluarga yang tidak siap karena memiliki ekonomi pas-pasan sehingga cenderung bersikap menolak kelahiran anak.

b) Masyarakat cenderung menyisihkan dan menyudutkan wanita yang hamil di luar nikah. Wanita selalu disalahkan, tidak ditolong atau dibesarkan jiwanya tetapi malah ditekan dan disudutkan sehingga dalam reaksinya wanita tersebut akan melalukan aborsi.

c) Ada aturan perusahaan yang tidak memperbolehkan karyawatinya hamil (meskipun punya suami) selama dalam kontrak dan kalau ketahuan hamil akan dihentikan dari pekerjaannya.

d) Pergaulan yang sangat bebas bagi remaja yang masih duduk di bangku sekolah, misal SMA, mengakibatkan kecelakaan dan membuahkan kehamilan. Karena merasa malu, dengan teman-temannya, takut kalau kesempatan belajarnya terhenti dan barangkali masa depannya pun menjadi buruk.
Ditambah dengan tekanan masyarakat yang menyisihkan sehingga akhirnya ia melakukan aborsi supaya tetap eksistensi di masyarakat dan dapat melanjutkan sekolah.

e) Dari segi medis diketahui umur reproduksi sehat antara 20-35 tahun. Bila seorang wanita hamil di luar batasan umur itu akan masuk dalam kriteria risiko tinggi. Batasan ini sering menakutkan, sehingga perempuan yang mengalaminya lebih menjurus menolak kehamilanya dan ujung-ujungnya akan melakukan aborsi.

f) Pandangan sebagian orang bahwa tanda-tanda kehidupan janin antara lain adanya detak jantung yakni umur sekitar tiga bulan. Maka hal ini akan memicu seorang wanita yang mengalami suatu masalah akan melakukan aborsi dengan alasan usia bayi belum sampai 3 bulan.

g) Praktik aborsi adalah fenomena yang timbul karena perubahan nilai di masyarakat. Sama halnya dengan praktik pelacuran, praktik aborsi tidak dapat diantisipasi dengan hanya bentuk pelarangan semata.

h) Selama ini indikasi medis yang dipakai sebagai dasar bolehnya aborsi hanya didasarkan pada kesehatan badan/keselamatan jiwa dan mengabaikan konsep definisi kesehatan secara keseluruhan (sehat fisik, psikis dan sehat sosial). Padahal sebagaimana tercantum dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Sementara itu dalam RUU Kesehatan tentang aborsi terdapat pada pasal 60 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggungjawab melalui perundang-undangan. Dalam ayat 2 dijelaskan pengguguran kandungan yang tidak bermutu antara lain di lakukan tenaga kerja tidak profesional dan dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku.

Dalam pasal itu terlihat bahwa pembatasan aborsi hanya pada upaya-upaya praktik aborsi oleh tenaga non medik seperti melalui dukun, obat-obat tradisional, sementara batasan-batasan mengenai syarat dan kondisi seseorang diperbolehkan melakukan aborsi sama sekali tidak dibahas. Dengan kata lain seseorang diperkenankan melakukan aborsi (dengan alasan kesehatan badan/keselamatan jiwa) asalkan dilakukan oleh dokter yang profesional dengan fasilitas yang memadai dan ditunjuk oleh pemerintah.

Perlindungan terhadap kesehatan perempuan berkaitan dengan hak-hak reproduksinya pada dasarnya telah diatur dalam UU No.7 tahun 1984. Selain hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan kesehatan, konvensi ini jelas menjamin hak-hak reproduksi perempuan. Antara lain hak untuk memutuskan kapan dan akankah perempuan mempunyai anak. Dengan demikian konvensi ini memberi peluang bagi perempuan untuk malakukan aborsi sebagai pilihan bebas menyangkut hak-hak reproduksinya. Baik dalam keputusan-keputusan di pengadilan maupun dalam pembelaan menyangkut soal perempuan konvensi ini jarang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Sebab sistem hukum yang ada sama sekali tidak sensitif gender dan cenderung mengabaikan kepentingan perempuan.

Apakah melakukan aborsi berarti melakukan pembunuhan? Seringkali pertanyaan ini menjadi bahan perdebatan dari berbagai sudut pengetahuan.

Dalam masalah aborsi pandangan medis maupun agama yang dikembangkan di masyarakat adalah satu, aborsi identik dengan pembunuhan. Inilah yang kemudian diadopsi di dalam substansi hukum sebagaimana yang diatur lewat KUHP. Dalam pandangan medis abortus yang diperbolehkan adalah abortus berdasarkan indikasi medis (abortus artificialis therapicus) selebihnya aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis dikategorikan sebagai abortus kriminal (abortus provocatus criminalis).

Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.

Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup :

a) Mata utuni hoti : masa subur seorang wanita

b) Mata pitaro hoti : terjadinya pertemuan sel telur dan sperma

c)Gandhabo paccuppatthito : adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta), yang memiliki energi karma

Dari penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut :

a) Ada makhluk hidup (pano)
b) Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c) Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d) Melakukan pembunuhan ( upakkamo)
e) Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)

Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka pembunuhan ini akan berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan panjang".

Bagi mereka yang menyediakan jasa aborsi tidak resmi dan ketahuan tentu akan mendapat ganjaran menurut hukum negara, setelah melalui proses peradilan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ini juga sebagai akibat dari perbuatan (karma) buruk yang dilakukan saat ini.

Hendaknya kasus aborsi yang sering terjadi menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi para remaja tidak menyalahartikan cinta sehingga tidak melakukan perbuatan salah yang melanggar sila. Bagi pasangan yang sudah berumah tangga mengatur kelahiran dengan program yang ada dan bagi pihak-pihak lain yang terkait tidak mencari penghidupan dengan cara yang salah sehingga melanggar hukum, norma dan ajaran agama.

Mudah-mudahan masyarakat luas dan umat Buddha pada khususnya dapat memahami hal ini sehingga tidak terjerumus pada perbuatan buruk yang merugikan diri sendiri dan makhluk lain.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata - Semoga semua makhluk berbahagia


 
memang topik yang sangat sensitif. terima kasih sudah di ulas sini dalam pandangan agama buddha, jadi kita semua bisa belajar
 
Back
Top