singthung
New member
Dimensi Alam Kehidupan yang Berbeda
Oleh Bhante Tiradhammo
Oleh Bhante Tiradhammo
? Misteri???.? Itulah kata yang selalu membangkitkan selera orang untuk menemukan klarifikasi dan realitas. Agak aneh kedengarannya upaya mengungkap dan mencari keabsahan misteri. Dan sepertinya mustahil untuk mendapat jawaban realitasnya. Namanya saja sudah misteri. Misteri merupakan fenomena yang tak kunjung usai untuk diburu dengan berbagai cara, baik dengan membaca fenomena-fenomena alam dengan ketajaman insting sebagai pengalaman pribadi, menghayati ungkapan pengalaman spiritual dari tatanan tradisional, maupun menggunakan terapan teknologi. Pendeknya, semua dilakukan untuk mengungkap fenomena misteri itu.
Dalam dunia hiburan di Indonesia, menarik untuk disimak bahwa fenomena misteri menjadi komoditas unggulan yang sangat sensasional sebagai menu tayangan di televise belakangan ini, mulai dari ?Hoka-Hoka?, ?Gentayangan?, sampai ?Memburu Hantu?. Beragam sudut pandang dan versi yang sangat variatif disajikan ; entah sebagai hiburan semata, entah untuk meyakinkan pemirsa akan adanya sisi kehidupan di luar realitas konvensional dunia nyata, yakni apa yang sebagai kesepakatan umum disebut dengan ?Dunia Maya? atau ?Dunia Lain?. Dunia maya yang dimaksud di sini tak lain dan tak bukan adalah suatu dunia dengan karakter dan muatan tata kehidupan yang berbeda dengan realitas duniawi.
Keyakinan apapun, termasuk agama-agama, memiliki klarifikasi dan referensi tersendiri sebagai konfirmasi bahwa dunia maya atau dunia lain benar-benar ada, bukan hanya isapan jempol belaka. Bila kita memanfaatkan analisis batiniah kita secara seksama, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa dimensi dunia lain itu benar-benar ada.
Berbagai agama telah membenarkannya meskipun dengan versi yang bebeda-beda. Bagi agama-agama yang menganut paham teologisme dengan irama dogma yang kaku dan padat, Tuhan memang telah menskenariokan segala sesuatu sedemikian rupa sebagai bukti bahwa Tuhan itu Maha kuasa.. Termasuk dalam kekuasaan-Nya adalah diciptakannya oleh-Nya dimensi dunia yang berbeda dari kehidupan manusia. Bahkan penghuni kehidupan dunia lain adalah makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang tidak dikehendaki. Kalaupun dikehendaki, mereka berfungsi sebagai sarana penguji dan pengganggu manusia agar manusia benar-benar tahan uji untuk bias menghadap ke sisi Sang Pencipta. Jadi manusia sebagai objek dan subjek atau pelaku sebuah scenario yang melibatkan makhluk-makhluk rendah, seperti iblis, hantu, raksasa-raksasa, binatang dan lain-lain. Mereka semua adalah alat peraga ujian bagi manusia. Bila manusia mampu melewati hadangan alat-alat peraga tersebut, maka baginya jalan menuju sisi Sang Pencipta akan mudah. Jadi, pelaku skenario dituntut untuk selalu patuh dan taat. Ia tidak berkesempatan memilih peran dalam lakon yang telah diskenariokan. Bila sudah demikian tentu tidak sulit dijalani, yang penting menerima saja ; yang penting taat dan patuh sepenuhnya. Sang pelakon tidak perlu mengeluarkan dan mengembangkan energi dan potensi spiritualnya. Sang pelakon tidak perlu menggunakan instrument analisis dalam ruang laboratorium intelektual dan realita ? dengan memanfaatkan alat-alat kelengkapan berupa formulasi hukum karma ? untuk menguji keasbahan sebab-akibat fenomena dimensi kehidupan lain (ataupun hal-hal lain). Dalam paham teologisme, yang diperlukan adalah ketaatan menerima apa adanya. Kalaupun orang berusaha untuk tahu labih jauh tentang proses dan adanya sebab-akibat, usaha demikian tidak bisa keluar dari jalur yang sudah ditulis dalam skenario. Jadi tambahan pengetahuan itu hanya berfungsi sebagi suplemen agar ia lebih taat lagi. Kalaupun ia menemukan bahwa penjelasan sebab-akibat tersebut ternyata bukan jalur dan cabang dari paham teologisme, di sana ia sudah terhalang oleh rintangan ?dosa?. Dan orang umumnya gemetar bila berhadapan dengan si dosa itu, sehingga rasa penasaran tentang eksistensi sang pembuat skenario berikut karyanya cukup sampai pada ?Itu sudah rahasia?. Ingin tahu lebih jauh lagi tentang asal muasal dan lain-lain? Stop !
Inilah yang barangkali menjadi formula utama paham teologisme. Apakah Buddhisme, atau yang akrab kita sebut agama Buddha, juga menganut paham ini?
Tidak. Inilah paham yang berbeda dengan apa yang diuraikan di atas, yang sama sekali bukan seperti itu. Agama Buddha menggunakan prinsip humanisme dalam menerapkan praktek tata kehidupan. Umat Buddha dipersilahkan untuk sedapat mungkin mengetahui, menjalani, dan mengalami sendiri tanpa sekat yang membelenggu sepanjang hal itu tidak mengganggu proses pencapaian kebijaksanaan.
Demikian juga halnya, agama Buddha memahami dimensi dunia lain sebagai bagian dari pengetahuan Dhamma. Hal tersebut tentu baik dalam rangka menguatkan sikap dalam menata kehidupan.
Benarkah setan adalah makhluk yang merugikan manusia ?
Dalam agama Buddha, adanya kehidupan makhluk-makhluk di luar dunia kita bukan sesuatu yang aneh atau misterius. Justru agama Buddha jauh lebih memadai dalam menjelaskan hal itu. Ada empat alam rendah, di bawah alam manusia, yang sering diilustrasikan ataupun tidak, makhluk seperti itu memang ada. Namun keberadaannya tentu tidak mudah ditangkap, dengan media visual sekalipun, karena pada dasarnya makhluk demikian dimensinya adalah alam batin, walaupun ada sementara orang yang bisa melihatnya secara kasat mata. Sebenarnya makhluk tersebut bukan merupakan ? kalau boleh saya sebut ? produk gagal dari Sang Pencipta. Setan, iblis atau hantu merupakan wujud akumulasi kolektif akusala kamma atau perbuatan buruk yang dilakukan suatu makhluk (manusia / dewa) semasa hidupnya sebelum terlahir di alam rendah. Hidup bukan hanya berlangsung sekali saja. Bagi orang yang tidak bisa menerima konsep hukum kamma, dalam hal ini kelahiran kembali, sulit dipahami bahwa yang terlahir di alam rendah sebenarnya adalah manusia yang gagal menjalani hidup dengan sifat baik.
Makhluk-makhluk alam rendah terlahir dengan membawa sifat buruk. Ada empat alam rendah. Keempatnya dihuni oleh bentuk dan karakter tata kehidupan yang berbeda-beda. Empat alam tersebut adalah alam binatang (tiracchana bhumi), alam setan (peta bhumi), alam asura (asurakaya bhumi), dan alam neraka (niraya bhumi).
Sudah barang tentu kita tidak penasaran dengan eksistensi alam binatang. ?Anggota-anggotanya? secara fisik hidup berdampingan dengan dunia manusia. Namun tentu tidak demikian halnya dengan makhluk di alam rendah lain seperti setan atau iblis. Makhluk di alam setan, seperti halnya binatang, menjalani proses hidupnya sebagai hasil dari karma buruknya. Makhluk di alam setan ada yang bisa berkehendak baik, misalnya setan yang mampu merasuki tubuh, atau lebih tepatnya merasuki ketidaksadaran manusia, disebabkan oleh adanya keterkaitan karma dengan orang yang dirasuki. Itulah sebabnya kita melihat orang yang ?kemasukan? bisa menjelaskan beberapa hal baik, konon mampu mengobati penyakit tertentu pada orang tertentu pula. Jelaslah bahwa setan juga ada sisi baiknya, meskipun sedikit dan sangat jarang. Lagipula, sekali lagi, tidak semua setan bisa melakukan hal demikian.
Setan adalah makhluk yang "belum terlahir". Ia adalah makhluk gentayangan. Meskipun demikian, ia tetaplah bukan makhluk yang jahat seperti yang dituduhkan oleh para penganut keyakinan/agama tertentu. Tidak terdapat cukup bukti dan alasan yang jelas bahwa setan adalah pengganggu manusia. Justru manusialah yang sering membuat setan menjadi terganggu. Berikut adalah sekilas contoh terganggunya makhluk rendah oleh perilaku manusia.