Sang Buddha Dipankara

singthung

New member
Sang Buddha Dipankara​



Penduduk kota Rama yang merupakan pengikut biasa (umat awam), memberikan dana yang besar kepada para bhikkhu yang dipimpin Sang Buddha dan juga menghargai dan menghormatinya dengan karangan bunga, parfum dan seterusnya. Ketika Beliau telah makan dan menarik kembali tangannya dari mangkuk, mereka duduk dekat, dan ingin sekali mendengarkan pernyataan mengenai dana yang diberikan itu. Kemudian Sang Bhagava memberi mereka pernyataan yang terindah, menuntun ke dalam batin.

Berdana dianggap sebagai sumber kebahagiaan tertinggi dan seterusnya, dan dikatakan menjadi sebuah tangga, suatu pendukung ke alam dewa. Berdana adalah tempat berlindung manusia, dana adalah suatu pertolongan dalam hubungan. Berdana adalah tujuan makhluk hidup yang menderita. Berdana dianggap sebagai perahu yang menyeberangi (manusia) dari penderitaan; dan pemberian dana, yang menjaganya dari ketakutan, dipuji sebagai sebuah kota. Dan pemberian dana diibaratkan sebagai seekor ular beracun dalam arti sulit untuk diserang; pemberian dana adalah setangkai bunga teratai yang tidak ternodai oleh keserakahan dan seterusnya.

Di dunia ini tidak ada pertolongan bagi manusia seperti pemberian dana, oleh karena itu latihlah perbuatan bajik ini dengan lebih baik."

Memberian dana-dana yang bijaksana adalah sumber untuk terlahir kembali ke alam surga. Siapakah manusia yang ada di dunia itu, yang ingin sejahtera, yang tidak akan berdana? Siapakah manusia yang ketika ia mendengar bahwa pemberian dana akan menghasilkan pencapaian di antara para dewa, tidak mau memberi dana, tali kebahagiaan, menyenangkan dalam pikiran? Selama ia menjalankan hidup dengan memberi dana, ia dapat menemukan kebahagiaan untuk masa waktu yang lama, dikelilingi oleh para dewi di Nandana, taman para dewa Tavatimsa.

Pemberi dana mendapat semangat yang luhur; ia hidup dihormati di dunia ini, dan seorang pemberi dana mencapai kemashyuran yang tak berakhir, dan seorang pemberi dana dapat dipercaya.

Orang tersebut, setelah memberikan dana, akan menjadi makmur, kaya dan umur panjang; ia juga memiliki tubuh yang indah; ia bermain bersama para dewa di surga, bertempat tinggal di tempat yang indah yang penuh senandung berbagai jenis suara burung merak.

Kekayaan para pencuri, musuh, raja, air, api tidak terbagi, tetapi dana yang Anda berikan adalah dalam lingkup pengetahuan para Savaka, dalam lingkup para Pacceka Buddha, dan dalam lingkup para Buddha.

Setelah Beliau memberikan pernyataan tentang dana, dalam cara demikianlah awalnya dan telah menjelaskan keuntungan dalam memberikan dana, Beliau seketika menjelaskan tentang kebiasaan melaksanakan sila. Kebiasaan melaksanakan sila ini yang merupakan akar dari pencapaian di dunia ini dan dunia yang lebih tinggi.

Moralitas adalah sumber tertinggi kebahagiaan; orang yang bermoral akan ke alam tiga puluh tiga dewa berdasarkan sila, moralitas adalah sebuah tempat bernaung dan gua penolong bagi yang telah jatuh ke alam samsara. Dan di manakah, di sini atau di alam lain, ada pertolongan bagi manusia yang sebanding dengan moralitas. Moralitas adalah pendukung utama bagi orang dengan kualitas khusus seperti bumi bagi yang diam dan mendukung yang bergerak. Moralitas sungguh indah, moralitas adalah yang utama di dunia ini. Ia disebut sebagai manusia bermoral yang melaksanakan jalan kehidupan Ariya."

Tiada perhiasan yang menyamai perhiasan moralitas. Tiada parfum yang sebanding dengan parfum moralitas. Tiada cara membersihkan noda kekotoran batin yang sebanding dengan moralitas. Tiada cara meredakan demam dari nafsu yang membakar yang sebanding dengan moralitas. Tiada cara membangkitkan kemasyuran yang sebanding dengan moralitas. Tiada tangga untuk ke surga yang sebanding dengan moralitas. Dan tiada pintu masuk menuju kota Nibbana yang sebanding dengan moralitas. Seperti yang telah dikatakan:

Para raja yang berhiaskan mutiara dengan permata yang bersinar tidak sama dengan para raja yang menjaga sila dan dihiasi dengan moralitas. Di manakah ada parfum yang harum seperti parfum moralitas yang tersebar angin dan sama melawan angin? Parfum dari bebungaan tidak dapat melawan angin, begitu pula dengan cendana atau dupa maupun bunga melati; orang baik kebajikannya menyebar ke semua arah dan harum kebajikannya selalu melawan angin.

Cendana atau dupa dan teratai, juga melati kembar - di antara parfum moralitas adalah yang utama di antara parfum ini. Bukan Sungai Gangga maupun Sungai Jumna, Sungai Sarabhu atau Sarassati, Aciravati yang dalam atau bahkan Sungai Besar Mahi yang dapat membersihkan kotoran yang berasal dari makhluk hidup. Hanya air moralitas yang dapat membersihkan kotoran makhluk hidup.

Bukan angin yang membawa awan hujan ataupun cendana kuning, juga bukan kalung atau permata maupun sinar terang bulan yang dapat menyembuhkan demam makhluk hidup, seperti halnya moralitas yang terjaga dari para Ariya. Moralitas menghapuskan secara keseluruhan kecemasan dan rasa tidak puas dan bagi orang yang bermoral akan mendapatkan kemashuran dan kepuasan.

Di mana tangga lain yang sebanding dengan moralitas untuk naik ke surga atau bahkan pintu masuk menuju kota Nibbana? Oleh karena itu moralitas dikenal sebagai keuntungan yang terutama, akar dari semua kebaikan dan pengikis semua kekuatan buruk.

Setelah Sang Bhagava menjelaskan keuntungan moralitas ini, Beliau berkata, bersandar pada moralitas, demikianlah surga diraih" dan untuk menjelaskan ini Beliau berbicara mengenai surga, surga ini cocok, menyenangkan, disukai, dan seluruhnya bahagia. Mereka mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan terus-menerus. Para dewa dari Catumaharajika menerima kebahagiaan dewa, berkah dewa selama sembilan juta tahun, para dewa dari Tavatimsa selama tiga puluh enam juta tahun." Kemudian Beliau berbicara tentang hal yang dimulai dengan kualitas khusus surga. Setelah menggoda mereka mengenai surga, Beliau berkata, "Tetapi surga ini tidak permanen, tidak bertahan lama, seharusnya tidak ada lobha dan kemelekatan di sini," dan menjelaskan secara mendetail hal-hal yang menyebabkan bahaya, sia-sia, keburukan inderawi dan keuntungan bila meninggalkannya, Beliau membabarkan Dhamma yang puncaknya adalah keadaan tanpa kematian.

Setelah Beliau mengajarkan Dhamma pada kerumunan besar penduduk dan telah menyebabkan beberapa orang berlindung kepada Dhamma, dan beberapa menjalankan Pancasila, dan beberapa orang mencapai sotapatti magga, dan beberapa orang mencapai sakadagami magga, dan beberapa orang mencapai anagami magga, dan juga beberapa orang mencapai Arahatta magga, beberapa dalam tevijja, beberapa dalam enam abhinna, beberapa mencapai delapan jhana, bangkit dari tempat duduknya, Beliau berangkat dari kota Ramma dan memasuki Sudassana Arama. Seperti apa yang telah dikatakan:

Kemudian mereka, setelah menghibur pemimpin dunia bersama dengan Sangha, mendekati Sang Bhagava Dipankara untuk minta perlindungan. Sang Tathagata secara resmi menyaksikan dan menuntun beberapa orang dalam tiga perlindungan, beberapa dalam Pancasila, lainnya dalam Dasa Sila. Kepada beberapa orang Beliau memberikan jalan hidup petapa yang membuahkan keempat kesucian magga, kepada beberapa orang Beliau memberikan pengetahuan Patisambhida, hal-hal yang tak terbandingkan. Kepada beberapa oarng, Beliau memberikan delapan pencapaian jhana; dan kepada yang lain Beliau melimpahkan tiga pengetahuan (tevijja) dan kepada yang lain enam abhinna.

Dengan cara ini Sang Petapa Agung memberi petunjuk kepada banyak orang. Dengan cara ini ajaran Beliau, Sang Pelindung dunia menjadi tersebar luas. Beliau, Dipankara, yang kuat rahangnya, bahu yang lebar, menyebabkan banyak orang menyeberang, ia membebaskan mereka dari kelahiran yang buruk. Melihat orang-orang yang telah sadar meskipun mereka seratus ribu yojana jauhnya, dalam seketika itu Sang Petapa Agung pergi kepada mereka, menyadarkan mereka.

Dikatakan bahwa setelah Beliau mencapai ke-Buddha-an, Sang Buddha Dipankara melewatkan waktu selama tujuh minggu lamanya di bawah pohon Bodhi. Pada minggu kedelapan, untuk memenuhi permintaan pembabaran Dhamma dari Maha Brahma yang agung, Beliau memutarkan roda Dhamma di Sunanda arama dan menyebabkan seratus koti (1 koti = 1 juta) dewa dan manusia meminum inti sari Dhamma. Ini adalah penembusan Dhamma yang pertama.

Kemudian Sang Bhagava, setelah mengetahui PutraNya sendiri Samavattakkhanda Usabhak-khanda pengetahuannya telah matang, membuat putra kandung Beliau yang terutama, Beliau mengajarkan Dhamma mirip nasihat kepada Rahula, membuat sembilan puluh koti dewa dan manusia menembus Dhamma. Ini adalah penembusan Dhamma kedua.

Lagi, Sang Bhagava, setelah ia memperlihatkan keajaiban ganda (Yamaka Patihariya) di bawah pohon akasia pintu gerbang kota Amaravati dan telah membebaskan sangat banyak dari ikatan di antara yang hadir, duduk dikelilingi oleh kumpulan dewa-dewa seperti sinar matahari

yang cemerlang, di batu berhias dalam naungan yang indah di bawah pohon Paricchattaka (ini adalah pandukambalasilatala yaitu singgasana dewa Sakka) di alam dewa, di surga Tavatimsa. Ditujukan terutama kepada Ibu Beliau sendiri, Ibu Sumedha yang merupakan pembawa semangat kepada semua dewa, Sang Buddha Dipankara, dewanya para dewa, yang dikenal di dunia sebagai dewa karena kesucian, mengajarkan Abhidhammapitaka dalam tujuh bagiannya, menyebabkan sembilan puluh ribu koti dewa memperoleh inti sari Dhamma. Ini adalah babaran penembusan Dhamma ketiga. Seperti apa yang dikatakan:

Pada penembusan pertama, Sang Sugata menyadarkan seratus koti. Pada penembusan kedua Sang Pelindung menyadarkan sembilan puluh koti,

Dan ketika Sang Sugata mengajarkan Dhamma di alam dewa ada penembusan ketiga oleh sembilan puluh ribu koti.

Dan Sang Bhagava Dipankara memiliki tiga kumpulan Sangha, Kumpulan yang pertama berjumlah seratus ribu koti, di Sunanda arama.

Sang Buddha Dipankara memiliki tiga kumpulan Sangha. Kumpulan yang pertama seratus ribu koti.

Kemudian Beliau Sang Pemilik Dasabala, dengan dikelilingi oleh empat ratus ribu bhikkhu, berkelana memasuki kampung-kampung, pasar-pasar dan kota; menolong banyak sekali manusia, secara bertahap akhirnya tiba di daerah tertentu di gunung yang menyenangkan yang dinamakan puncak Narada. Tempat itu dipuja oleh orang banyak, terkenal di seluruh dunia, dihuni oleh makhluk bukan manusia yang menakutkan. Sebuah puncak yang merupakan suaka pohon-pohon dan bunga-bungaan yang wangi, puncaknya sering dikunjungi oleh kumpulan hewan buas. Dikatakan bahwa keseluruhan tempat dihuni oleh yakkha yang bernama Narada, dan banyak orang yang memberikan korban manusia kepada yakkha itu setahun sekali.

Kemudian Sang Bhagava Dipankara, setelah melihat pencapaian kualitas-kualitas orang banyak yang berada di sana, mengirim para bhikkhu dari sana ke empat penjuru. Sendirian, tanpa pengiring, Beliau mendaki gunung Narada, hatinya penuh dengan rasa kasihan, dengan tujuan membimbing yakkha itu.

Kemudian, yakkha, pemakan manusia itu tidak peduli dengan kesejahteraannya sendiri, gemar membunuh manusia, tidak menahan angkara-murkanya, pikirannya diliputi oleh kemarahan, ingin mengusir Beliau, Sang Pemilik Dasabala, menakut-nakuti-Nya dengan mengguncang gunung. Tetapi ketika gunung itu dibuat berguncang, dengan keagungan Sang Bhagava guncangan itu bagaikan jatuh ke arah kepalanya. Oleh karena ia ketakutan dan berpikir, "Datang kamu sekarang, saya akan menyalakan api" dan ia menyalakan api yang lama-kelamaan manjadi besar. Api yang besar itu seolah terlempar melawan angin, hanya membawa kesedihan yang mendalam bagi dirinya karena tidak dapat membakar secuilpun jubah Sang Bhagava.Tapi yakkha berpikir, "Apakah petapa ini terbakar atau tidak."

Pada saat memandang ke sekelilingnya ia melihat Beliau Sang Pemilik Dasabala bagai bulan musim gugur yang tak bernoda membawa ketenangan bagi semua orang dan pada penglihatannya Sang Bhagava seolah-olah duduk di atas bunga teratai yang ada di permukaan air. Ia berpikir, "Ah petapa ini memiliki kekuatan yang besar. Hal jahat apapun yang aku perbuat kepadanya, itu hanya akan membalik pada diriku. Tapi selain petapa ini saya tidak mempunyai dukungan atau pertolongan. Baiklah, saya akan berlindung kepada petapa ini juga.

Setelah ia berpikir demikian, ia bernamakara dengan kepalanya menyentuh tapak kaki Sang Bhagava, tapak kaki yang dihiasi dengan (tanda) roda dan berkata, "Bhagava yang terhormat, aku melakukan pelanggaran" ia pergi kepada Sang Bhagava untuk meminta perlidungan.

Kemudian Sang Bhagava memberikan nasehat Dhamma kepadanya. Pada akhir pengajaran, Beliau mencapai Sotapatti phala dengan sepuluh ribu yakkha lainnya. Dikatakan bahwa pada hari itu, penduduk Jambudipa, tiap orang membawa seorang dari tiap desa sebagai persembahan kepadaNya, juga membawa beras, kacang-kacangan, madu, minyak, mentega, dan sebagainya. Kemudian pada hari itu yakkha melimpahkan semua yang telah dibawa penduduk kepada Beliau Sang Pemilik Dasabala.

Kemudian Sang Bhagava mentahbiskan mereka menjadi bhikkhu dengan "Ehi bhikkhu" upasampada. Akhirnya mereka mencapai tingkat kesucian Arahat dalam tujuh hari. Pada bulan purnama di bulan Magha, Sang Bhagava di tengah-tengah seratus koti bhikkhu mengucapkan patimokkha pada Sangha yang memiliki empat faktor, yaitu semuanya Ehi bhikkhu, semua memiliki enam abhinna, semua datang tanpa diundang, dan terjadi hari Uposatha bulan terang di bulan Magha. Sesuai apa yang dikatakan:

Sekali lagi ketika Sang Panakluk pergi menyendiri ke Gunung Narada, berkumpullah seratus koti yang kekotoran batin dan nodanya telah hilang.

Dan ketika penduduk Jambudipa sedang mengadakan perayaan tahunan di puncak gunung, Dipankara, Sang Pemimpin dunia, pergi ke tempat bervassa (kediaman musim hujan) di gunung bernama Sudassana. Dikatakan bahwa orang yang berkumpul untuk keramaian itu, melihat Beliau Sang Pemilik Dasabala, mendengarkan Dhamma, menemukan kepuasan dalam batin dan menjadi bhikkhu. Pada hari undangan raya (maha-pavarana), Sang Bhagava berbicara tentang pandangan terang, yang sesuai dengan watak setiap orang. Ketika mereka mendengarnya, dan merenungkan semua kondisi-kondisi (sankhara), mereka setahap demi setahap mencapai tingkat kesucian Arahat. Kemudian Sang Bhagava diundang untuk maha-pavarana bersama dengan sembilan puluh ribu koti bhikkhu. Ini adalah Pertemuan Sangha ketiga. Sesuai apa yang dikatakan:

Selama Sang Pahlawan berada di Gunung Sudassana, Sang Bhagava diundang bersama dengan sembilan puluh ribu koti bhikkhu.

Saya, pada saat itu adalah petapa rambut terjalin, keras dalam pertapaan, melayang melalui udara, ahli dalam lima abhinna. Syair ini ditulis dalam Atthasalini, Dhammasangani Atthakatha, untuk menjelaskan tentang kisah Buddha Dipankara. Tapi Buddhavamsa, tidak ada alasan mengapa yang itu lebih cocok. Kenapa? Dikatakan seperti itu berhubungan dengan petapa Sumedha.

Ketika Sang Buddha Dipankara membabarkan Dhamma, ada penembusan (Dhamma) oleh puluhan ribu dan dua puluhan ribu. Tidak terhitung penembusan oleh satu (orang), dua, tiga, dan empat. Oleh karena itu pembabaran Dhamma dari Sang Buddha Dipankara dikenal secara luas oleh banyak orang. Sesuai apa yang dikatakan:

Ada penembusan Dhamma oleh puluhan dan dua puluhan ribu. Penembusan oleh seorang dan dua orang tidak dapat dihitung jumlahnya.

Pembabaran Dhamma yang sempurna oleh Sang Bhagava Dipankara dikenal luas di antara penduduk, pembabaran Dhamma itu sukses dan berhasil.

Empat ratus ribu petapa yang telah mempunyai enam kemampuan supernatural (abhinna), memiliki kekuatan batin yang hebat mengelilingi Dipankara, Sang Guru tiap waktu. Pada waktu itu mereka yang ketika wafat masih sekha puggala dicela, tujuan hanya untuk menghancurkan kekotoran batin, mencapai nibbana yang sempurna. Oleh karena itu pembabaran Dhamma Sang Buddha Dipankara, berbunga sempurna, sangat sukses, bersinar luar biasa dengan para bhikkhu yang kekotoran batinnya telah lenyap. Sesuai apa yang dikatakan:

Empat ratus ribu yang memiliki enam pengetahuan supernatural, mempunyai kekuatan batin luar biasa, senantiasa mengelilingi Sang Buddha Dipankara, Sang Pengenal Segenap Alam. Mereka yang wafat sebagai sekha puggala (Sotapatti, Sakadagami, dan Anagami) yang wafat sebagai manusia tanpa mencapai tujuan dicela. Dunia yang mekar bersinar terus-menerus dengan para Arahat yang teguh, kekotoran batinnya telah hancur, tanpa noda.

Kota Sang Bhagava Dipankara disebut Rammavati, ayahnya seorang raja kasta khattiya bernama Sudeva, ibunya bernama Sumedha, Sumangala dan Tissa adalah dua siswa utama, pelayan Beliau bernama Sagata, dua siswa wanita bernama Nanda dan Sunanda. Pohon Bodhi Sang Bhagava adalah Pipphali. Tinggi badan delapan puluh hasta (1 hasta + 1/2 meter), masa hidup rata-rata saat itu seratus ribu tahun.

Tapi apakah tujuan menunjukkan kota dan sebagainya di mana mereka lahir? Dikatakan bahwa siapapun yang kota kelahirannya atau ayah dan ibunya tidak dapat diketahui, jika kota kelahirannya, ayahnya, atau ibunya tidak diketahui, dewa atau sakka, yakkha, brahma, mara, atau dewa lainnya akan menganggap bahwa keajaiban seperti ini sungguh alami, mereka akan menganggap bahwa ia tidak perlu didengarkan. Oleh sebab itu tidak terjadi penembusan Dhamma, jika tidak ada penembusan Dhamma maka kata-kata seorang Buddha tidak akan berguna dan ajaranNya tidak akan membawa pada pembebasan. Oleh karena itu, pembatasan berdasarkan kota kelahiran dan sebagainya dari seluruh Buddha harus ditetapkan. Sesuai apa yang dikatakan:

Rammavati adalah nama kotanya, Sudeva seorang raja kasta khattiya adalah ayahNya, Sumedha adalah nama ibu Sang Buddha Dipankara, Sumangala dan Tissa adalah dua siswa utama, Sagata adalah pelayan Sang Buddha Dipankara.

Nanda dan Sunanda adalah dua siswi utama (aggasavika). Pohon Bodhi Sang Bhagava adalah Pipphali. Tinggi tubuh Beliau adalah delapan puluh hasta. Beliau bersinar seperti pohon cahaya, seperti raja pohon sala waktu berbunga, bermekaran. Usia Sang Petapa Agung seratus ribu tahun. Hidup sedemikian panjang usianya menyebabkan banyak orang yang menyeberang. Setelah menerangkan Dhamma yang benar dan menyebabkan banyak orang yang menyeberang, menyala bagaikan lautan api, Ia dengan para muridNya meredup. Dan kekuatan batin tersebut menghilang, para pengikutnya, dan harta karun roda itu di kakiNya telah hilang semuanya. Tidakkah semua susunan adalah hampa?

 
Back
Top