Borok Demokrasi (bag 6)

andy_baex

New member
Demokrasi Bukan Syuro

Demokrasi berasal dari asal kata ?demo? yang bermakna rakyat, sedangkan lafal kedua adalah ?kratia? yang artinya aturan hukum atau kekuasaan yang apabila digabung maka menjadi kekuasaan rakyat dan untuk rakyat (As Syuura Laa Ad Dimuqratiyah, hal 34 ).

Dalam kamus para pemuja demokrasi, yaitu Kams Collins cetakan London tahun 1979 disebutkan bahwa makna demokrasi adalah hukum dengan perantara rakyat atau yang mewakilinya (Ad demokratiyyah wa Mauqifil Islami Minha). Merupakan salah satu sistem liberal yang memisahkan antara agama dengan politik. Hal ini sangat bertentangan dengan Al Qur an, karena di dalam syariat Islam hukum hanya milik Allah dan rakyat tidak mempunyai hukum dan tidak juga mewakilinya, Allah taala berfirman:

?Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.? (QS. Yusuf: 40)

?Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.? (QS Al Maidah: 49)

Allah Ta ala telah menjelaskan dalam dua ayat ini bahwa hukum tidak menjadi milik rakyat dan juga wakilnya di parlemen. Dan Allah memerintahkan RasulNya untuk memutuskan perkara dengan apa yang Allah turunkan berupa syariat, maka bagaimana mungkin demokrasi disebut Siyasah Syar?iah, bahkan menyamakan demokrasi dengan Syura dalam Islam, padahal pada dasarnya demokrasi bertentangan dengan syariat Islam.

Jelas sekali perbedaan demokrasi dengan syura dalam Islam dengan perbedaan-perbedaan yang mendasar laksana langit dan bumi. Perbedaan tersebut antara lain, syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang kafir, syura dipandang sebagai bagian dari agama, sedangkan demokrasi adalah aturan sendiri. Di dalam syura ada orang-orang berakal yaitu ahlul halli wal aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama ahli fikih dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan, merekalah yang mempunyai kapabilitas menentukan hukum yang disodorkan kepada mereka dengan syariat Islam, sedangkan demokrasi meliputi orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir bahkan kafir sekalipun. Dalam demokrasi semua orang sama posisinya; orang alim dan bertakwa pun sama dengan pelacur, orang shalih sama dengan orang bejat dll, sedangkan dalam syura maka semuanya diposisikan secara proporsional.

Allah berfirman:
?Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian) bagaimanakah kamu mengambil keputusan?? (QS. Al Qalam: 35-36)

Yang lebih parah lagi demokrasi melecehkan hukum Allah dengan masih membahas permasalahan yang sudah jelas hukumnya karena dalam demokrasi bukan mengacu pada Al Qur?an dan sunnah shahihah tapi kepada suara terbanyak, padahal kebenaran tidak diukur dengan jumlah banyaknya orang.

Tapi kesesuaian dengan Al Qur?an dan sunnah. Maka jelaslah demokrasi memang merupakan syariat orang-orang kafir tapi masih saja sebagian dari kita mau menjadi pejuang-pejuang demokrasi bahkan yang lebih parahnya lagi dengan mengatasnamakan perjuangan Islam -naudzubillah min dzalik, nas allullaha salam walafiyah- padahal jelas dalam hadist bahkan dalam perilaku sehari-hari saja kita diperintahkan untuk menyelisihi orang kafir.

?Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Potonglah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian, berbedalah kalian dari golongan majusi (kafir).? (HR. Muslim)

Bahkan lebih tegas lagi sabda beliau yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, ?Barang siapa meniru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.? (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayangnya ayat Al Qur an dan hadist shahih yang dibawakan oleh para ulama ini diabaikan oleh sebagian besar aktivis Islam yang kenyataannya justru mereka masih hijau sekali dalam ilmu dien ini, dengan anggapan bahwa para ulama itu tidak faham dan mengerti masalah politik bahkan mereka berani mencela para ulama salaf dengan tuduhan ulama fiqih (celana dalam wanita) dan sebagian yang lain bahkan menuduh dakwah para ulama salaf sebagai antek-antek zionis (baca: Majalah Suara Hidayatullah).

?Mencela orang muslim adalah kefasikan membunuhnya adalah kekufuran.? (Muttafaqun?alaih)

Apalagi mencela para ulama yang jelas-jelas ahli waris para nabi. Naudzubillah min dzalik. Selanjutnya mereka menganggap bahwa ulama tidak mengerti keadaan yang mereka istilahkan fiqhul waqi dan menggangap orang yang menasihati adalah pendengki yang tidak memperjuangkan Islam.

?Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka (kebatilan) dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah).? (QS. An Nisa: 109)
 
Last edited:
Back
Top