Sukses Kabupaten Sragen Terapkan Teknologi Informasi

Status
Not open for further replies.

pratama_adi2001

New member
Urus KTP Cukup Dua Menit
Sejak April 2003, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) merintis penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Setelah lebih dari tiga tahun, ternyata sistem tersebut belum juga berjalan efektif. Namun, di Sragen, Jawa Tengah, pemerintah daerah sudah mampu menjalankan SIAK ala Sragen sendiri. Cara itu ternyata lebih efektif. Bagaimana praktik cerdas tersebut bisa dijalankan? Lalu, apa perangkat pendukungnya? Berikut laporan Hariatni Novitasari dari Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).
-------

Kalau Anda penduduk Kabupaten Sragen, Anda hanya butuh waktu dua menit untuk mengurus kartu tanda penduduk (KTP). Biayanya juga tidak mahal. Hanya lima ribu rupiah. Tarif dan waktu pengurusan berlaku di seluruh kecamatan di Sragen. Namun, bagi warga Kecamatan Sragen (kota), KTP juga bisa diurus di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Di Sragen, pengurusan KTP secara online telah dilimpahkan ke kecamatan bersamaan dengan pendirian KPT pada 2003. Pada awal penerapan metode itu, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus KTP masih tiga menit.

Selain pengurusan yang mudah, murah, dan cepat, di Sragen tidak ada lagi penduduk yang memiliki identitas ganda. Begitu satu orang mengurus KTP di satu kecamatan, otomatis dia akan masuk ke sistem database kecamatan tersebut. Jadi, orang tersebut tidak bisa mengurus KTP yang lain di kecamatan lain.

Sebelum 2003, dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mengurus KTP. Meski warga sudah memiliki pengantar dari kelurahan, waktu yang dibutuhkan masih lama. Bahkan, tidak ada kejelasan waktu penyelesaian Mengapa demikian? KTP di kecamatan masih diproses secara manual. Dari segi tarif juga tidak transparan. Sangat mungkin pemohon KTP yang ingin mempercepat pengurusan KTP akan dikenai biaya tambahan dari tarif yang sesungguhnya (pungutan liar). Karena antarkecamatan juga belum online, jamak terjadi seorang warga memiliki lebih dari dua KTP (identitas ganda).

Pengurusan KTP yang mudah, murah, cepat, dan transparan di Sragen itu tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan Sragen dalam memanfaatkan Wide Areal Network atau yang lazim disebut WAN. WAN merupakan gabungan antar-Local Area Network (LAN). Sebelum WAN dioperasionalkan, Sragen hanya menggunakan LAN. Itu pun hanya bisa menghubungkan jaringan antarsatuan kerja. WAN memanfaatkan gelombang frekuensi yang menyebabkan koneksitas mudah dan bisa menekan biaya operasional.

Sistem jaringan ini dikelola Kantor Pengelolaan Data Elektronik (KPDE). WAN ini telah bisa menghubungkan antarsatuan kerja di Kabupaten Sragen dan seluruh kantor kecamatan di Sragen. Antarsatuan kerja dan kecamatan bisa saling mengakses data. Hasilnya, pada 2006, data kependudukan di 20 kecamatan telah terpadu dan dijamin tidak ada penduduk yang memiliki identitas ganda.

Langkah Kabupaten Sragen menerapkan Sistem Informasi Kependudukan (Simduk) itu tidak jauh dengan SIAK yang telah dirintis Depdagri. SIAK Depdagri yang diluncurkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati itu bertujuan agar penduduk Indonesia memiliki nomor induk tunggal yang digunakan untuk semua identitas. Antara lain KTP, surat izin mengemudi (SIM), paspor dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Nomor induk tunggal itu akan dimiliki seseorang dari lahir sampai dengan meninggal dunia.

Dalam praktiknya, SIAK Depdagri juga belum berjalan dengan efektif. Di beberapa daerah yang dijadikan uji coba SIAK justru terjadi kericuhan. Misalnya yang terjadi di Kabupaten Pati pada 2005. Uji coba itu ditentang para kepala desa. Menurut para kepala desa, pelaksanaan SIAK justru membuat pengurusan dokumen kependudukan seperti KTP menjadi lebih lama dan banyak pengurusan dokumen menjadi macet.

Memang, sejak awal perintisan SIAK pada 2003, pemerintah masih menghadapi banyak hambatan infrastruktur, yaitu listrik dan telepon. Di antara 410 kabupaten/kota di Indonesia, masih ada 45 kabupaten/kota yang tidak memiliki listrik dan telepon. Padahal, untuk menjalankan SIAK, daerah harus memiliki jaringan listrik. Penggunaan jaringan listrik dan saluran telepon itulah yang membuat biaya SIAK menjadi mahal.

Hanya Rp 1,2 Miliar untuk Bangun Sistem

Bupati Untung Wiyono mengungkapkan, teknologi informasi (TI) bisa menjadi sangat mahal tanpa persiapan sumber daya manusia (SDM). Mahal karena daerah tidak mampu menjalankan teknologi tersebut dan melakukan maintenance. Di banyak daerah, jamak terjadi teknologi informasi menjadi terbengkalai setelah ditinggalkan konsultan TI. Kalau daerah ingin sistem informasi tetap berjalan, daerah harus rela mengeluarkan kocek yang bernilai miliaran rupiah untuk membayar jasa konsultan TI.

Namun, hal itu tidak terjadi di Sragen. Sebelum sistem ini dibangun, bupati merekrut tenaga profesional. Rekrutmen dilakukan sendiri oleh bupati yang berlatar belakang pengusaha itu. Tenaga profesional yang direkrut adalah orang Sragen asli yang berpengalaman di sektor swasta. Gaji mereka pun disamakan dengan gaji ketika bekerja di sektor swasta. Total tenaga profesional yang direkrut 112 orang. Empat di antaranya ahli TI yang kemudian dijadikan staf di Kantor Pengelolaan Data Elektronik (KPDE). Selanjutnya, KPDE mulai membangun sistem jaringan ini.

Awal dibangun, jaringan itu belum terhubung dengan kecamatan. Hanya terbatas pada satuan kerja penghasil pendapatan asli daerah (PAD). Tujuan dibangunnya jaringan itu untuk mengontrol laporan harian. Dari sini, penghasilan satuan kerja PAD bisa dicek setiap hari.

Setelah sukses diterapkan di lembaga teknis, sistem online diterapkan di kecamatan. Online dengan kecamatan inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk keperluan Simduk. Setelah semua dinas teknis dan kecamatan online, pada 2007 ini, giliran desa untuk online. Jadi, data antarsatuan kerja, kecamatan ,dan desa akan terpadu.

Lalu berapa anggaran yang dihabiskan Sragen untuk membangun sistem online ini? Menurut Untung Wiyono, untuk membangun sistem online sejak 2002, pemda hanya menghabiskan Rp 1,2 miliar. Kalau menggunakan konsultan dari luar, dibutuhkan lebih dari Rp 7 miliar untuk membangun sistem ini. Murahnya biaya ini karena untuk semua perencanaan, pelaksanaan, dan maintenance dilakukan sendiri oleh personel KPDE.

Selain itu, sistem tersebut tidak menggunakan jaringan telepon, tetapi menggunakan gelombang frekuensi. Frekuensi bisa digunakan secara gratis karena tidak ada yang memanfaatkannya. Karena itu, pemerintah daerah tidak perlu membayar pulsa telepon. Biaya pun bisa ditekan serendah mungkin.

Ada dua gelombang frekuensi yang digunakan untuk jaringan. Jaringan antarsatuan kerja di wilayah kota menggunakan gelombang 2,4 MHz dan 5,8 MHz untuk antarkecamatan. (email: hnovitasari@jpip.or.id).
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top