Tujuh Karunia Roh Kudus

d4gom3z

New member
Pewahyuan karunia-karunia Roh Kudus berakar pada nubuat nabi Yesaya mengenai kedatangan Mesias: “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN; ya, kesenangannya ialah takut akan TUHAN.” (Yes 11:1-3). Sementara nubuat Yesaya ditujukan secara khusus bagi Mesias, Tradisi Gereja menyatakan bahwa karunia-karunia ini diberikan juga kepada semua orang beriman melalui Sakramen Baptis dan teristimewa Sakramen Krisma (Katekismus Gereja Katolik no. 1303).

St Paulus mengajarkan, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya…” (Rm 8:29), menyatakan bahwa melalui rahmat sakramen-sakramen, orang mengenakan identitas Kristus dan beroleh bagian dalam karunia-karunia tersebut yang sesuai dengan peran-Nya sebagai Mesias (setidak-tidaknya yang dapat diberikan kepada kita).

Menegaskan keyakinan ini, St. Ambrosius dalam De mysteriis mengajarkan, “Karena itu, engkau harus ingat bahwa engkau telah menerima pemeteraian oleh Roh: roh kebijaksanaan dan pengetahuan, roh nasihat dan kekuatan, roh pengertian dan kesalehan, roh takut akan Allah; dan peliharalah apa yang telah engkau terima. Allah Bapa telah memeteraikan engkau, Kristus Tuhan telah menguatkan engkau dan memberikan jaminan Roh ke dalam hatimu” (7,42).

Kaum beriman diingatkan akan penganugerahan karunia-karunia ini dalam liturgi. Dalam Misa Pentakosta, ketika umat beriman mengenangkan turunnya Roh Kudus atas para rasul, mereka akan mendaraskan doa ini, “Pada umat beriman, yang mengagungkan serta mengaku Engkau terlebih lagi dengan turunnya tujuh karunia-Mu.”

Dalam pelayanan Sakramen Krisma, bapa uskup berdoa, sambil mengulurkan tangannya atas kelompok penerima Penguatan, “Allah yang Mahakuasa, Bapa Tuhan kami Yesus Kristus, Engkau telah melahirkan kembali para hamba-Mu ini dari air dan Roh Kudus, dan membebaskan mereka dari dosa. Sudilah kiranya mencurahkan Roh Kudus penghibur kepada mereka. Semoga mereka Kauanugerahkan roh kebijaksanaan dan pengertian, roh penasihat dan kekuatan, roh pengetahuan dan ibadat; dan semoga mereka Kaupenuhi dengan roh takwa kepada-Mu. Demi Kristus, Pengantara kami. Amin.” Kemudian bapa uskup meneguhkan masing-masing calon, membuat tanda salib dengan minyak krisma suci di dahi calon sambil mengatakan, “Semoga dimeterai oleh karunia Allah, Roh Kudus.”

Atas dasar ini, menurut Tradisi Gereja ketujuh karunia Roh Kudus adalah:
kebijaksanaan, pengertian, nasihat, keperkasaan, pengenalan, kesalehan dan rasa takut kepada Allah. (Catatan, teks kitab Nabi Yesaya dalam bahasa Ibrani mencatat hanya enam karunia dengan karunia takut akan Tuhan disebutkan dua kali, terjemahan Septuaginta bahasa Yunani dan Vulgata bahasa Latin mencatat tujuh karunia, dengan menambahkan “kesalehan” dan menghilangkan pengulangan “takut akan Allah. Lagipula, dalam Perjanjian Lama, tujuh merupakan angka sempurna, kelimpahan dan perjanjian).

Pertama-tama, istilah “karunia” perlu dijelaskan. Dengan sangat tepat mereka disebut “karunia Roh Kudus” karena Roh Kudus yang mengaruniakannya. Sebab itu, mereka merupakan karunia-karunia rohani yang bekerja dengan cara rohani. Karunia-karunia ini bukanlah karunia yang diberikan pada saat orang berseru dalam saat-saat genting; tetapi karunia ini diberikan kepada orang selama ia tetap berada dalam keadaan rahmat. Dengan demikian, karunia-karunia ini membantu orang untuk mencapai kekudusan dan menghantarnya pada kesempurnaan kebajikan, baik kebajikan ilahi (iman, harapan dan kasih) maupun kebajikan pokok (kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan penguasaan diri). Gagasannya di sini ialah bahwa karunia Roh Kudus membantu orang untuk ambil bagian dalam hidup Allah yang paling intim, baik sekarang dalam kehidupan ini maupun kelak dalam kehidupan kekal. Dalam hal ini, seperti yang ditegaskan oleh St. Thomas Aquinas, karunia-karunia tersebut merupakan kepenuhan dari “habitus” (bahasa Latin, artinya cara hidup) yang menandakan kehadiran dan karya mereka yang tetap. Katekismus menggarisbawahi poin ini: “Kehidupan moral orang-orang Kristen ditopang oleh karunia-karunia Roh Kudus. Karunia ini merupakan sikap yang tetap, yang mencondongkan manusia, supaya mengikuti dorongan Roh kudus…. Mereka melengkapkan dan menyempurnakan kebajikan dari mereka yang menerimanya. Mereka membuat umat beriman siap mematuhi ilham ilahi dengan sukarela” (No. 1830-31).

Definisi dasar berikut dikutip dari karya klasik Rm Aumann, “Spiritual Theology”. Di samping itu, urut-urutannya disusun oleh Paus St. Gregorius Agung, yang berusaha menangkap dinamika spiritual yang dianugerahkan Roh Kudus kepada jiwa melalui karunia-karunia-Nya: “Dengan takut akan Allah, kita dihantar pada kesalehan, dari kesalehan kepada pengenalan, dari pengenalan kita menimba kekuatan, dari kekuatan kepada nasihat, dengan nasihat kita bergerak menuju pengertian, dan dengan pengertian menuju kebijaksanaan, dengan demikian, dengan ketujuh karunia Roh Kudus, terbukalah bagi kita di akhir pendakian, pintu masuk ke dalam kehidupan Surga” (Homiliae in Hiezechihelem Prophetam, II 7,7).

KARUNIA TAKUT AKAN ALLAH memampukan orang “untuk menghindari dosa dan menghindari cinta / kelekatan pada barang-barang duniawi lebih dari rasa cinta dan hormat kepada Tuhan.” Teristimewa, karunia ini membangkitkan rasa hormat mendalam kepada Allah segala kuasa yang Mahatinggi. Di sini, orang menyadari “keterbatasannya sebagai ciptaan” dan ketergantungannya kepada Tuhan, serta tidak akan pernah mau dipisahkan dari Tuhan yang penuh belas kasihan. Karunia takut akan Allah ini membangkitkan dalam jiwa semangat sembah sujud dan takwa kepada Allah yang Mahakuasa serta rasa ngeri serta sesal atas dosa.

Karunia ini kadangkala disalahtafsirkan karena kata 'takut'. Takut yang dimaksudkan di sini bukanlah rasa takut seorang budak, di mana orang melayani Tuhan hanya karena ia takut akan penghukuman, baik hukuman yang sifatnya sementara di dunia ini ataupun hukuman abadi di neraka. Hubungan sejati dengan Tuhan didasarkan atas kasih, bukan takut. Sebab itu, “takut akan Allah” ini lebih merupakan takut anak kepada bapa atau takut karena hormat yang menggerakkan orang untuk melakukan kehendak Tuhan dan menghindari dosa karena kasih kepada Tuhan, yang sepenuhnya baik dan patut mendapatkan kasih kita seutuhnya. Demikian juga halnya, seorang anak hendaknya tidak dimotivasi untuk taat pada bimbingan moral orangtuanya ataupun perintah orangtuanya hanya karena takut akan hukuman, melainkan karena kasih dan hormat kepada mereka. Orang haruslah lebih takut menyakiti orang yang dikasihinya dan merusak kepercayaan orang yang dikasihinya itu, daripada takut akan hukuman. (Namun demikian, orang haruslah memiliki rasa takut yang sehat pada hukuman karena dosa, meskipun hal ini bukan menjadi faktor yang memotivasi orang untuk mengasihi Tuhan.)

Karunia takut akan Allah menghantar orang pada kesempurnaan terutama kebajikan akan pengharapan: manusia menghormati Tuhan sebagai Tuhan, percaya pada kehendak-Nya dan mempercayakan hidupnya dalam tangan-Nya. Di samping itu, ia rindu untuk bersatu dengan Tuhan selamanya di surga. Karunia ini juga merupakan landasan bagi karunia-karunia yang lain. Seperti ditegaskan dalam Kitab Suci, “Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.” (Mzm 112:1) dan “Awal kebijaksanaan ialah ketakutan akan Tuhan.” (Sir 1:14).

Kedua, karunia ini juga menyempurnakan kebajikan akan penguasaan diri, yang rindu untuk mempergunakan segala sesuatu dengan bijaksana, dan sepantasnya, serta tidak berlebihan, khususnya yang mendatangkan kesenangan-kesenangan duniawi. Dengan akal sehat dalam terang iman, penguasaan diri mengendalikan hasrat. Penguasaan diri berhubungan dengan karunia takut akan Allah karena kesadaran dan rasa hormat orang akan kekudusan Tuhan mendorongnya sebagai ciptaan untuk memuliakan Tuhan dengan menguasai diri dalam segala tindakan dan keinginan. Sebagai contoh, kemurnian merupakan suatu kebajikan akan penguasaan diri yang menghormati kebaikan seksualitas diri sendiri, kekudusan perkawinan, dan kekudusan cinta kasih dalam perkawinan; orang yang digerakkan oleh karunia takut akan Allah berjuang untuk hidup murni karena Tuhan adalah pencipta dari segala kebajikan itu dan dengan hidup demikian ia mendatangkan kemuliaan serta puji-pujian bagi-Nya.

Dengan karunia takut akan Allah, orang dihantar pada KARUNIA KESALEHAN: “guna menghaturkan sembah sujud kepada Tuhan terutama sebagai Bapa kita dan berhubungan dengan semua orang sebagai anak-anak dari Bapa yang sama.” Di sini, orang menyatakan rasa hormat pada Tuhan sebagai Bapa yang penuh belas kasihan, serta menghormati sesama sebagai anak-anak Tuhan terutama karena memang begitu mereka adanya. Dengan demikian, karunia kesalehan menyempurnakan kebajikan akan keadilan, memampukan orang untuk memenuhi segala kewajibannya kepada Tuhan dan sesama; ia tidak hanya dimotivasi oleh keadilan yang harus ditegakkan, tetapi juga oleh hubungan cinta kasih yang dialaminya bersama sesama. Sebagai contoh, kita mentaati sepuluh perintah Allah bukan hanya karena perintah-perintah itu sendiri, melainkan karena kasih kita kepada Bapa Surgawi dan kasih kita kepada saudara serta saudari dalam Tuhan.

KARUNIA PENGENALAN adalah karunia yang memampukan orang “untuk menilai dengan benar dalam hal kebenaran iman sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip dari kebenaran yang telah dinyatakan.” Di bawah bimbingan Roh Kudus, akal budi manusia membuat penilaian yang benar atas barang-barang duniawi dan hubungan antara benda-benda tersebut dengan kehidupan kekal dan kesempurnaan Kristiani. Dengan demikian, karunia ini merupakan suatu pencerahan khusus, yang memampukan orang untuk menyadari kesia-siaan barang duniawi bagi diri mereka sendiri sehingga barang-barang tersebut tidak menjadi penghalang bagi persatuannya dengan Tuhan. Pada saat yang sama, karunia pengenalan memampukan orang untuk melihat melalui karya ciptaan, Tuhan yang menjadikan semuanya. Karenanya, daripada menganggap karya ciptaan sebagai penghalang persatuan dengan Tuhan, jiwa memandangnya sebagai sarana persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian, orang melihat bagaimana memanfaatkan karya ciptaan dengan benar dan bahkan dengan cara yang kudus. Lagipula, karunia ini menimbulkan dalam diri orang rasa iman, sensus fidei, artinya orang memiliki insting ilahi tentang ya atau tidaknya sesuatu. Misalnya tentang suatu devosi, apakah sesuai dengan iman atau tidak, meskipun ia tidak pernah mengenyam pendidikan teologi secara formal. Karunia ini menimbulkan beberapa efek yang sungguh bermanfaat bagi pengudusan jiwa: introspeksi diri, memampukan orang melihat keadaan jiwanya; lepas dari kelekatan terhadap hal-hal materi; dan rasa sesal atas penyalahgunaan barang-barang materi atau apabila barang-barang tersebut telah menjadi penghalang hubungannya dengan Tuhan. St. Thomas mengajarkan bahwa karunia pengenalan menghantar orang pada kesempurnaan kebajikan akan iman, tetapi berhubungan juga dengan kesempurnaan kebajikan akan kebijaksanaan, keadilan dan penguasaan diri.

Dengan KARUNIA KEPERKASAAN, orang dapat “mengatasi persoalan-persoalan atau menanggung derita dan sengsara dengan kekuatan dan keperkasaan yang dianugerahkan Tuhan.” Sama seperti karunia-karunia yang lain, karunia keperkasaan bekerja atas dorongan Roh Kudus, dan memberikan kekuatan kepada orang untuk melawan yang jahat serta bertekun demi kehidupan kekal. Karunia ini menghantar keutamaan keperkasaan pada kesempurnaan, mengisinya dengan energi, ketekunan dan ketangkasan. Lagipula, karunia ini mendatangkan kepercayaan akan keberhasilan dalam kebajikan. Sebagai contoh, St. Maximilianus Kolbe tidak hanya memiliki keperkasaan yang mengagumkan dalam bersegera menawarkan nyawanya sebagai ganti nyawa orang lain dan menanggung kematian yang mengerikan, tetapi juga kepercayaan bahwa ia akan berhasil mengatasi kekuasaan si jahat dan memperoleh kehidupan kekal. Terakhir, karunia keperkasaan memampukan orang untuk mengamalkan kebajikan-kebajikan lain dengan gagah berani, untuk menderita dengan tabah dan penuh sukacita, untuk mengatasi segala suam-suam kuku dalam melayani Tuhan.

KARUNIA NASIHAT adalah karunia “untuk membangkitkan ketaatan dan pasrah diri orang pada nasihat Tuhan dalam segala tindakannya demi mencapai kekudusan dan keselamatan.” Terutama, karunia nasihat memampukan orang untuk menilai tindakan pribadi sebagai baik dan harus dilakukan, atau sebagai jahat dan harus dihindari. Nasihat dibuat sesuai pandangan pribadi akan kekudusan dan tujuan akhir rohaninya. Oleh karenanya, karunia ini mendorong orang untuk bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah tindakan ini menghantar pada kekudusan? Apakah tindakan ini menghantar ke neraka?”

Jelaslah, karunia nasihat berhubungan dengan kebajikan akan kebijaksanaan; namun demikian, jika kebajikan akan kebijaksanaan bekerja sesuai dengan akal budi dalam terang iman, karunia nasihat bekerja di bawah bimbingan Roh Kudus. Sebagai konsekuensinya, nasihat yang diberikan mungkin tidak akan dapat dijelaskan dengan akal sehat. Sebagai contoh, teladan St. Maximilianus Kolbe, suatu tindakan pengorbanan diri yang sedemikian itu bagi orang lain merupakan tindakan yang benar dilakukan, tetapi tidak sesuai dengan jalan pikiran akal sehat yang normal yang menggerakkan orang untuk mempertahankan diri dan bukannya mengorbankan diri.

Juga, karunia nasihat membantu orang menghadapi situasi genting. Sebagai contoh, melalui karunia nasihat, Roh Kudus membantu orang yang sedang menghadapi dilema akan perlunya menjaga rahasia dengan kewajiban mengatakan kebenaran. Karunia nasihat membantu kebajikan akan kebijaksanaan, dan mengarahkannya pada kesempurnaan. Karunia ini juga mendatangkan banyak manfaat: memelihara suara hati yang baik, menyediakan solusi dalam menghadapi situasi-situasi sulit dan tak terduga, serta membantu memberikan nasihat kepada orang-orang lain, terutama dalam hal kekudusan dan keselamatan pribadi.

KARUNIA PENGERTIAN adalah karunia “untuk memberikan pengertian dan pemahaman mendalam akan kebenaran ilahi dalam iman, bukan sebagai pencerahan sementara, melainkan sebagai intuisi tetap.” Dengan pencerahan akal budi terhadap kebenaran, Roh Kudus membantu orang untuk mengerti kebenaran iman dengan mudah dan mendalam, serta memahami kedalaman kebenaran-kebenaran tersebut. Karunia pengertian tidak hanya membantu dalam memahami kebenaran-kebenaran yang telah dinyatakan, tetapi juga kebenaran-kebenaran alamiah sejauh mereka berhubungan dengan akhir hidup rohani. Kualitas terpenting dari karunia ini adalah “memahami intuisi” - dalam beberapa hal menjangkau yang tak nampak. Karunia ini, yang memberikan pemahaman akan kebenaran-kebenaran iman, bekerja dalam beberapa cara: menyingkapkan makna tersembunyi dalam Kitab Suci; mengungkapkan makna simbol-simbol dan bilangan (seperti St. Paulus memandang Kristus sebagai pemenuhan akan batu karang dalam kisah Keluaran yang memancarkan air untuk melegakan dahaga bangsa Israel (1Kor 10:4); menunjukkan tangan Tuhan yang berkarya dalam hidup manusia, bahkan dalam peristiwa-peristiwa yang paling misterius atau penuh persoalan hidup (misalnya penderitaan); dan mengungkapkan kebenaran rohani yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa (misalnya pemahaman akan misteri kurban Kristus dalam ritual Misa). Karunia ini menghantar kebajikan akan iman pada kesempurnaan. Karenanya, St. Thomas mengatakan, “Dalam hidup ini, apabila mata rohani dimurnikan oleh karunia pengertian, orang dapat dengan suatu cara tertentu melihat Tuhan” (Summa theologiae II-II, q. 69, a. 2, ad. 3).

Yang terakhir dari ketujuh karunia adalah KARUNIA KEBIJAKSANAAN yaitu “untuk menilai dan mengatur segala sesuatu sesuai dengan norma-norma ilahi dan dengan kewajaran yang memancar dari persatuan kasihnya dengan Tuhan.” Roh Kudus membantu mengkontemplasikan perkara-perkara ilahi, memampukan orang untuk bertumbuh dalam persatuan mesra dengan Tuhan. Dengan karunia kebijaksanaan, bahkan suatu “jiwa yang tak berpendidikan” dapat memiliki pengetahuan ilahi yang sangat mendalam. Sebagai contoh, St. Theresia dari Liseux tidak memiliki pendidikan formal dalam teologi, namun demikian ia memiliki kebijaksanaan dalam mengenal jalan-jalan Tuhan; oleh karena alasan ini, ia digelari Pujangga Gereja.

Sementara karunia kebijaksanaan membantu mengkontemplasikan perkara-perkara ilahi, karunia ini juga mendukung praktek kebijaksanaan praktis. Karunia kebijaksanaan menerapkan ilham-ilham Tuhan untuk menilai baik perkara-perkara duniawi maupun ilahi. Karenanya, karunia ini mengarahkan tindakan-tindakan manusia agar sesuai dengan yang ilahi.

Karunia kebijaksanaan mendatangkan banyak manfaat: dengan karunia ini orang akan melihat serta mengevaluasi segala hal - baik sukacita ataupun dukacita, kegembiraan ataupun penderitaan, keberhasilan ataupun kegagalan - dari sudut pandang Tuhan, serta menerima semuanya dengan ketabahan. Dengan kebijaksanaan, segala hal, bahkan yang terburuk sekalipun, dipandang sebagai memiliki nilai rohani. Misalnya, karunia kebijaksanaan memberikan penghargaan kepada kemartiran. Di sini, orang diangkat melampaui kebijaksanaan dunia ini, dan tinggal dalam kasih Allah. Sebab itu, karunia kebijaksanaan mendatangkan kesempurnaan cinta kasih.

Karunia-karunia Roh Kudus tak diragukan lagi merupakan karunia-karunia yang teramat penting bagi kekudusan dan keselamatan kita. Setiap umat Kristiani yang dibaptis dan dikuatkan dalam Krisma sepatutnya memohon dengan sangat kepada Roh Kudus untuk mengobarkan karunia-karunia ini dalam jiwanya. Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Dengan karunia-karunia dan kualitas seperti ini, kita siap sedia menghadapi segala macam tugas dan cakap mengatasi segala macam kesulitan.”

Semoga bermanfaat :terimakasih:
 
Back
Top