Kerajaan Medang Atau Kerajaan Mataram Kuno

  • Rakai Watuhumalang

    Sri Maharaja Rakai Watuhumalang adalah raja kedelapan Kerajaan Medang periode Jawa Tengah yang memerintah sekitar tahun 890-an.

    Menurut daftar para raja Kerajaan Medang dalam prasasti Mantyasih, Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan menggantikan Rakai Kayuwangi. Prasasti tersebut dikeluarkan tahun 907 oleh Dyah Balitung, yaitu raja sesudah Rakai Watuhumalang.

    Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya. Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).

    Tidak dapat dipastikan apakah Mpu Teguh identik dengan Rakai Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh yang sama, maka dapat dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg sangat singkat. Pada tahun 896 ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada tahun 899 (prasasti Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.

    Menurut analisis para sejarawan, misalnya Poerbatjaraka dan Boechari, tokoh bernama Dyah Balitung naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung adalah menantu Rakai Watuhumalang.

    Hubungan antara Rakai Watuhumalang dengan raja sebelumnya, yaitu Rakai Kayuwangi juga belum jelas. Nama putra mahkota zaman Rakai Kayuwangi adalah Mahamantri Hino Mpu Aku, yang kemungkinan besar berbeda dengan Rakai Watuhumalang.

    Ditemukan pula prasasti atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi (prasasti Munggu Antan, 887) dan atas nama Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra (prasasti Poh Dulur, 890). Padahal keduanya tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Mungkin, pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi telah terjadi perpecahan di lingkungan Kerajaan Medang.

    Sementara itu, menurut prasasti Telahap, permaisuri Dyah Balitung merupakan cucu dari Rakai Watan Mpu Tamer, yaitu istri raja yang dimakamkan di Pastika. Menurut analisis Pusponegoro dan Notosutanto, raja yang dimakamkan di Pastika adalah Rakai Pikatan, ayah dari Rakai Kayuwangi.

    Apabila Dyah Balitung benar-benar menantu Rakai Watuhumalang, berarti Rakai Watuhumalang adalah putra (atau mungkin menantu) Rakai Pikatan yang lahir dari selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Sedangkan Rakai Kayuwangi lahir dari permaisuri bernama Pramodawardhani. Dengan kata lain, Rakai Watuhumalang adalah saudara tiri (atau mungkin ipar) Rakai Kayuwangi, raja sebelumnya.

    Apabila dugaan-dugaan di atas benar-benar terjadi, maka jalannya peristiwa dalam sejarah Kerajaan Medang dapat ditafsirkan sebagai berikut.

    Rakai Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan Rakai Watuhumalang mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin menantunya. Sementara itu hubungan dengan Rakai Limus Dyah Dewendra masih belum dapat diperkirakan.

    Sepeninggal Rakai Pikatan, putra yang bungsu ditunjuk menjadi raja, yaitu Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi yang lebih tua merasa cemburu. Pada akhir pemerintahan adiknya, ia pun memisahkan diri dan menjadi maharaja tandingan (prasasti Munggu Antan).

    Mungkin perpecahan dalam keluarga tersebut menimbulkan peperangan yang berakibat kematian Rakai Kayuwangi dan putra mahkotanya, yaitu Rakai Hino Mpu Aku. Takhta Kerajaan Medang kemudian jatuh kepada Rakai Watuhumalang yang semula hanya sebagai raja bawahan.

    Rakai Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya sepeninggal Rakai Watuhumalang.

    Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung terjadi persekutuan antara Mpu Daksa dengan Rakai Gurunwangi (prasasti Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh kudeta yang dilakukan kedua tokoh tersebut.

  • Dyah Balitung

    Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 899–911. Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.

    Analisis para sejarawan, misalnya Boechari atau Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung.

    Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.

    Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa.

    Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.

    Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah prasasti Telahap tanggal 11 September 899. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899.

    Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang dipegang oleh Mpu Daksa.

    Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah dari para penyeberang.

    Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung.

    Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya “korban”, sedangkan Bali artinya “persembahan”.

    Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 berisi tentang anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya.

    Pada tahun 907 tersebut Balitung juga memberikan desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.

    Pengangkatan Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan besar melahirkan rasa cemburu di hati Mpu Daksa, yaitu putra raja sebelumnya yang tentunya lebih berhak atas takhta Kerajaan Medang.

    Mpu Daksa yang menjabat sebagai Rakai Hino ditemukan telah mengeluarkan prasasti tanggal 21 Desember 910 tentang pembagian daerah Taji Gunung bersama Rakai Gurunwangi.

    Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa, Rakai Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai maharaja pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi dan awal pemerintahan Rakai Watuhumalang. Berdasarkan prasasti Plaosan, Rakai Gurunwangi diperkirakan adalah putra Rakai Pikatan.

    Dyah Balitung berhasil naik takhta menggantikan Rakai Watuhumalang diperkirakan karena kepahlawanannya menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Mungkin Rakai Gurunwangi yang menyimpan dendam kemudian bersekutu dengan Mpu Daksa yang masih keponakannya (Rakai Gurunwangi dan Daksa masing-masing adalah anak dan cucu Rakai Pikatan).

    Sejarawan Boechari yakin bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir akibat pemberontakan Mpu Daksa. Pada prasasti Taji Gunung (910) Daksa masih menjabat sebagai Rakai Hino, sedangkan pada prasasti Timbangan Wungkal (913) ia sudah bergelar maharaja.

  • Mpu Daksa

    Mpu Daksa adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno yang memerintah sekitar tahun 913–919, bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya.

    Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti Tang berbunyi Tat So Kan Hiung, yang artinya “Daksa, saudara raja yang gagah berani”.

    Dyah Balitung diperkirakan naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu Daksa pun disebut sebagai putra raja tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah Rakai Watuhumalang yang memerintah sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih.

    Menurut prasasti Telahap, Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.

    Rakai Gurunwangi adalah salah satu anak Rakai Pikatan yang tertulis dalam prasasti Plaosan. Pada akhir pemerintahan adiknya, yaitu Rakai Kayuwangi, Rakai Gurunwangi memisahkan diri dan mengaku sebagai maharaja, dengan bukti ditemukannya prasasti Munggu Antan (887).

    Sepeninggal Rakai Kayuwangi, takhta Kerajaan Medang jatuh ke tangan Rakai Watuhumalang. Kemungkinan besar menantu raja baru tersebut yang bernama Dyah Balitung berhasil menaklukkan Rakai Gurunwangi. Atas jasa kepahlawanannya itu, Balitung pun menjadi raja Medang selanjutnya, sedangkan Mpu Daksa (yang kemungkinan putra Rakai Watuhumalang) dijadikan sebagai Rakryan Mapatih Hino.

    Pengangkatan Balitung sebagai raja mungkin membuat Daksa sakit hati. Ia pun bersekutu dengan Rakai Gurunwangi membagi daerah Taji Gunung pada tanggal 21 Desember 910. Dalam prasastinya, Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya” yang berselisih 717 tahun sesudah kalender Masehi. Rupanya Daksa ingin menunjukkan kalau dirinya adalah keturunan asli Sanjaya, yaitu pendiri Kerajaan Medang.

    Sejarawan Boechari berpendapat bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh pemberontakan Mpu Daksa dan Rakai Gurunwangi.

    Prasasti tertua atas nama Daksa sebagai maharaja yang sudah ditemukan adalah prasasti Timbangan Wungkal yang mencantumkan tahun 196 Sanjayawarsa atau 913 Masehi. Isinya tentang pengaduan Dyah Dewa, Dyah Babru, dan Dyah Wijaya yang dulu mendapatkan hak istimewa dari Rakai Pikatan, namun kemudian dipermasalahkan oleh Dang Acarya Bhutti yang menjabat sebagai Sang Pamgat Mangulihi.

    Selain itu ditemukan pula prasasti Ritihang tanggal 13 September 914 tentang persembahan hadiah dari Mpu Daksa untuk permaisurinya.

    Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Mpu Daksa berakhir. Prasasti selanjutnya yang ditemukan adalah prasasti Lintakan tahun 919 atas nama Rakai Layang Dyah Tulodhong sebagai raja baru.

    Prasasti Ritihang yang dikeluarkan Mpu Daksa juga menyebut adanya tokoh bernama Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang perempuan yang berkedudukan tinggi sehingga tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong.

    Kemungkinan besar, Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan menggantikan mertuanya sebagai raja Kerajaan Medang selanjutnya.

  • Dyah Tulodhong

    Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno, yang memerintah sekitar tahun 919–924.

    Dyah Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong.

    Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.

    Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil.

    Prasasti Lintakan tanggal 12 Juli 919 adalah prasasti tertua yang pernah ditemukan dengan menyebut Tulodhong sebagai raja. Dalam pemerintahannya, yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti. Sedangkan yang menjabat Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.

    Prasasti Harinjing tanggal 19 September 921 berisi pengukuhan anugerah untuk anak-anak Bhagawanta Bhari yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-mana. Bhagawanta Bhari adalah tokoh yang berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Ia sendiri telah mendapat anugerah dari raja sebelumnya.

    Prasasti untuk anak-anak Bhagawanta Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927, di mana mereka mendapatkan desa Culanggi sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak). Pembaharuan tersebut dilakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas saran dari Rakai Sumba yang menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.

    Prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 menyebut adanya raja baru bernama Rakai Sumba Dyah Wawa. Ia diyakini sebagai raja pengganti Dyah Tulodhong.

    Seperti diketahui, Rakai Sumba sebelumnya adalah menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, semacam pegawai pengadilan. Ia sendiri mengaku sebagai putra dari Kryan Landhayan, yaitu tokoh penculikan anak dan istri Rakai Kayuwangi dalam peristiwa Wuatan Tija.

    Sejarawan Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa telah melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan Medang dengan cara menyingkirkan Dyah Tulodhong dan Mpu Ketuwijaya. Mungkin kudeta ini dibantu oleh Mpu Sindok yang semula menjabat sebagai Rakai Halu, dan kemudian naik pangkat menjadi Rakai Hino.

  • Dyah Wawa

    Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga adalah raja terakhir Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 928–929.

    Dyah Wawa naik takhta menggantikan Dyah Tulodhong. Nama Rakai Sumba tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret 927, menjabat menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja.

    Dalam prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija.

    Saudara perempuan Rakryan Landhayan yang menjadi istri Rakai Kayuwangi bernama Rakryan Manak, yang melahirkan Dyah Bhumijaya. Ibu dan anak itu suatu hari diculik Rakryan Landhayan, namun keduanya berhasil meloloskan diri di desa Tangar. Anehnya, Rakryan Manak memilih bunuh diri di desa Taas, sedangkan Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan pulang ke hadapan Rakai Kayuwangi.

    Makam Rakryan Landhayan sang pelaku penculikan diberitakan terdapat di tengah hutan. Mungkin ia akhirnya tertangkap oleh tentara Medang dan dibunuh di dalam hutan. Peristiwa tersebut terjadi tahun 880. Mungkin saat itu Dyah Wawa masih kecil. Jadi, Dyah Wawa merupakan sepupu dari Dyah Bhumijaya, putra Rakai Kayuwangi (raja Medang 856–890-an).

    Dengan demikian, Dyah Wawa tidak memiliki hak atas takhta Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan Medang.

    Kemungkinan besar kudeta yang dilakukan oleh Dyah Wawa mendapat bantuan dari Mpu Sindok, yang naik pangkat menjadi Rakryan Mapatih Hino. Sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, Mpu Sindok menjabat sebagai Rakryan Halu, sedangkan Rakai Hino dijabat oleh Mpu Ketuwijaya.

    Peninggalan sejarah Dyah Wawa berupa prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 tentang penetapan desa Sangguran sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.

    Kehancuran Istana Medang Mataram

    Raja sesudah Dyah Wawa adalah Mpu Sindok yang membangun istana Kerajaan Medang baru di daerah Tamwlang, dan kemudian dipindahkan ke Watugaluh. Kedua tempat tersebut saat ini masuk wilayah Jawa Timur. Mpu Sindok mengaku bahwa Kerajaan Medang di Watugaluh adalah kelanjutan dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram.

    Perpindahan istana Medang dari Mataram menuju Tamwlang menurut teori van Bammelen terjadi karena letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga trerjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh.

    Letusan Gunung Merapi tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. Konon, istana Kerajaan Medang di Mataram (dekat Yogyakarta sekarang) sampai mengalami kehancuran akibat bencana alam tersebut.

    Sejarawan Boechari berpendapat bahwa bencana alam Gunung Merapi tersebut terjadi sebagai hukuman Tuhan atas perebutan takhta yang sering terjadi di antara keluarga Kerajaan Medang sejak zaman pemerintahan Rakai Pikatan.

    Prasasti tertua atas nama Mpu Sindok yang sudah ditemukan ditulis tahun 929, sedangkan prasasti Dyah Wawa ditulis tahun 928. Perpindahan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur dipastikan terjadi pada salah satu tahun tersebut.




bersambung.....




-dipi-
 
  • Mpu Sindok

    Mpu Sindok adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929 – 947, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa.

    Mpu Sindok dianggap sebagai pendiri dinasti baru bernama Wangsa Isana.

    Mpu Sindok pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong menjabat sebagai Rakai Mahamantri Halu, sedangkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, naik pangkat menjadi Rakai Mahamantri Hino. Kedua jabatan tersebut merupakan jabatan tingkat tinggi yang hanya dapat diisi oleh keluarga raja. Dengan demikian, Mpu Sindok merupakan seorang bangsawan kelas tinggi dalam Kerajaan Medang.

    Mpu Sindok memiliki permaisuri bernama Sri Parameswari Dyah Kebi putri Rakai Bawa. Sejarawan Poerbatjaraka menganggap Rakai Bawa sama dengan Dyah Wawa. Dengan demikian, Mpu Sindok dianggap sebagai menantu Dyah Wawa. Namun, Rakai Bawa adalah nama suatu jabatan, sedangkan Dyah Wawa adalah nama orang, sehingga keduanya tidak bisa disamakan.

    Stutterheim menemukan tokoh Rakai Bawang Mpu Partha, yaitu seorang pejabat zaman pemerintahan Mpu Daksa. Menurutnya, Mpu Partha ini lebih tepat dianggap sebagai ayah Dyah Kebi daripada Dyah Wawa.

    Selain itu ditemukan pula nama Rakryan Bawang Dyah Srawana yang bisa juga merupakan ayah Dyah Kebi.

    Perpindahan Ibu Kota Medang

    Istana Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram.

    Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang. Dalam beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya, ditemukan kalimat berbunyi Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.

    Menurut teori van Bammelen, istana Medang di Mataram hancur akibat letusan Gunung Merapi yang disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik. Tidak diketahui dengan pasti apakah bencana alam ini terjadi pada masa pemerintahan Dyah Wawa ataukah pada pemerintahan Mpu Sindok.

    Mpu Sindok memimpin penduduk Medang yang selamat pindah ke timur. Ia membangun ibu kota baru di daerah Tamwlang (prasasti Turyan, 929). Kemudian istana dipindahkan ke Watugaluh (prasasti Anjukladang, 937). Baik Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan berada di sekitar daerah Jombang sekarang.

    Riwayat Pemerintahan

    Mpu Sindok merupakan raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur. Sedangkan yang menjabat sebagai Rakai Mapatih Hino adalah Mpu Sahasra. Pemerintahan Mpu Sindok cukup banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti.

    Prasasti Turyan tahun 929 berisi permohonan Dang Atu Mpu Sahitya terhadap tanah di barat sungai desa Turyan supaya dijadikan sebagai tempat bangunan suci.

    Prasasti Linggasutan tahun 929 berisi tentang penetapan desa Linggasutan, wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana, sebagai sima swatantra untuk menambah biaya pemujaan bathara di Walandit setiap tahunnya.

    Prasasti Gulung-Gulung masih dari tahun 929 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura agar sawah di desa Gulung-Gulung dijadikan sima bagi bangunan suci Mahaprasada di Himad.

    Prasasti Cunggrang juga bertahun 929 berisi tentang penetapan desa Cunggrang sebagai sima swatantra untuk menrawat makam Rakryan Bawang Dyah Srawana, yang diduga sebagai ayah dari sang permaisuri Dyah Kebi.

    Prasasti Jru-Jru tahun 930 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura supaya desa Jru-Jru di daerah linggasutan dijadikan sima swatantra untuk merawat bangunan suci Sang Sala di Himad.

    Prasasti Waharu tahun 931 berisi tentang anugerah untuk penduduk desa Waharu yang dipimpin Buyut Manggali, karena setia membantu negara melawan musuh.

    Prasasti Sumbut juga bertahun 931 berisi tentang penetapan desa Sumbut sebagai sima swatantra karena kesetiaan Mapanji Jatu Ireng dan penduduk desa itu menhalau musuh negara.

    Prasasti Wulig tanggal 8 Januari 935 berisi tentang peresmian bendungan di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya yang dibangun para penduduk desa Wulig di bawah pimpinan Sang Pamgat Susuhan. Peresmian ini dilakukan oleh seorang istri Mpu Sindok bernama Rakryan Mangibil.

    Prasasti Anjukladang tahun 937 berisi tentang penetapan tanah sawah di desa Anjukladang sebagai sima swatantra dan persembahan kepada bathara di Sang Hyang Prasada, serta pembangunan sebuah jayastambha atau tugu kemenangan. Tugu ini sebagai peringatan atas kemenangan melawan serangan Kerajaan Sriwijaya yang mencapai daerah tersebut.

    Mpu Sindok meninggal dunia tahun 947 dan dicandikan di Isanabajra atau Isanabhawana. Meskipun dirinya seorang penganut Hindu aliran Siwa, namun tetap menaruh toleransi yang besar terdapat agama lain. Misalnya, ia menganugerahkan desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana, yang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.

    Menurut prasasti Pucangan, Mpu Sindok digantikan oleh putrinya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Raja perempuan ini memerintah bersama suaminya yang bernama Sri Lokapala.

  • Sri Isyana Tunggawijaya

    Sri Isyana Tunggawijaya adalah raja perempuan Kerajaan Medang yang memerintah sejak tahun 947. Ia memerintah berdampingan dengan suaminya yang bernama Sri Lokapala.

    Sri Isyana Tunggawijaya merupakan putri dari Mpu Sindok, yaitu raja yang telah memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Tidak banyak diketahui tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang bernama Sri Lokapala merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.

    Peninggalan sejarah Sri Lokapala berupa prasasti Gedangan tahun 950 yang berisi tentang anugerah desa Bungur Lor dan desa Asana kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba. Namun, prasasti Gedangan ini merupakan prasasti tiruan yang dikeluarkan pada zaman Kerajaan Majapahit untuk mengganti prasasti asli yang sudah rusak.

    Prasasti atau piagam dianggap sebagai benda pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Apabila prasasti tersebut mengalami kerusakan, ahli waris biasanya memohon kepada raja yang sedang berkuasa untuk memperbaharuinya. Prasasti pembaharuan ini disebut dengan istilah prasasti tinulad.

    Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, yang menjadi raja selanjutnya adalah putra mereka yang bernama Sri Makuthawangsawardhana.

  • Makutawangsawardhana

    Sri Makutawangsawardhana adalah raja Kerajaan Medang yang memerintah sebelum tahun 990-an.

    Jalannya pemerintahan Makutawangsawardhana tidak diketahui dengan pasti. Namanya hanya ditemukan dalam prasasti Pucangan sebagai kakek Airlangga. Disebutkan bahwa, Makutawangsawardhana adalah putra pasangan Sri Lokapala dan Sri Isana Tunggawijaya putri Mpu Sindok.

    Prasasti Pucangan juga menyebut Makutawangsawardhana memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Dalam prasasti itu juga disebut adanya nama seorang raja bernama Dharmawangsa, namun hubungannya dengan Makutawangsawardhana tidak dijelaskan.

    Dharmawangsa Teguh merupakan raja Kerajaan Medang yang memerintah sejak tahun 991. Airlangga mengaku sebagai anggota keluarganya. Berdasarkan hal itu, para sejarawan pun sepakat bahwa Dharmawangsa adalah saudara dari Mahendradatta, dan keduanya merupakan anak dari Makutawangsawardhana.

    Teori yang berkembang ialah, Makutawangsawardhana memerintah sampai tahun 991, dan digantikan oleh putranya yang bernama Dharmawangsa. Sedangkan putrinya yang bernama Mahendradatta menikah dengan raja Bali bernama Udayana dan kemudian melahirkan Airlangga.

  • Dharmawangsa Teguh

    Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah raja terakhir Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 991–1007 atau 1016.

    Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.

    Pada umumnya para sejarawan sepakat menyebut Dharmawangsa sebagai putra Makuthawangsawardhana. Teori ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa sebagai anggota Wangsa Isana.

    Jadi kesimpulannya, Makuthawangsawardhana memiliki dua orang anak, yaitu Mahendradatta dan Dharmawangsa. Mahendradatta menjadi permaisuri di Bali dan melahirkan Airlangga. Sementara itu, Dharmawangsa menggantikan Makuthawangsawardhana sebagai raja Kerajaan Medang. Setelah dewasa, Airlangga diambil sebagai menantu Dharmawangsa untuk mempererat kekeluargaan.

    Selain prasasti Pucangan dan prasasti Sirah Keting, nama Dharmawangsa juga ditemukan dalam naskah Mahabharata bahasa Jawa Kuna, pada bagian Wirataparwa, yang ditulis pada tanggal 14 Oktober 996.

    Prasasti Sirah Keting juga menyebutkan nama asli Dharmawangsa yaitu Wijayamreta Wardhana.

    Menyerang Sriwijaya

    Berita Cina dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po.

    Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Cina. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh tentara Cho-po.

    Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Campa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam perlindungan Cina.

    Utusan Cho-po juga tiba di Cina tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh. Dengan demikian, dari berita Cina tersebut dapat diketahui kalau pemerintahan Dharmawangsa dimulai sejak tahun 991.

    Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, namun pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra.

    Mahapralaya Medang

    Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran Kerajaan Medang yang dikenal dengan sebutan Mahapralaya atau “kematian besar”.

    Dikisahkan Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan seorang pangeran Bali yang baru berusia 16 tahun, bernama Airlangga. Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba istana diserang Haji Wurawari dari Lwaram dengan bantuan askar-askar Sriwijaya. Istana Dharmawangsa yang terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa sendiri tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Airlangga lolos dari maut. Tiga tahun kemudian Airlangga membangun istana baru di Wwatan Mas dan menjadi raja sebagai penerus takhta mertuanya.

    Dari prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan kemudian pindah ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di daerah Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Madiun, sedangkan Wwatan Mas terletak di dekat Gunung Penanggungan.

    Mengenai alasan Haji Wurawari membunuh Dharmawangsa terjadi beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yang berpendapat bahwa Wurawari merupakan bawahan yang ambisius yang hendak mengambil alih kekuasaan Dharmawangsa.

    Prasasti Pucangan yang keadaannya sudah tua melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana Wwatan Mas. Golongan pertama membaca angka tahun berupa kalimat Suryasengkala yaitu Locana agni vadane atau tahun 1010 Masehi, sedangkan golongan kedua membacanya Sasalancana abdi vadane atau tahun 1016.

    Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana Wwatan atau kematian Dharmawangsa terjadi pada tahun 1007, sedangkan versi kedua menyebut peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi tahun 1016.



Sumber:
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
Re: Kerajaan Mataram Kuno

Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.


Perpindahan karena Gunung Merapi mesti kita lihat lebih cermat karena perpindahan itu terjadi jauh sebelum merapi mengelami letusan hebat. Kalau kita lihat temuan candi-candi yang ada terakhir di UII kita tidak menemukan korban Letusan seperti Gunung Vesuvius. Tapi terkbur oleh lahar dingin selama ratusan tahun. Bahkan sebelum terkubur sudah ada pepohonan yang cukup tinggi sempat hidup lama sebelum terkubur.
 
Back
Top