Pilihan dan Pengharapan

spirit

Mod
Kita orang percaya, hidup di dalam (oleh) janji Allah. Pengharapan dan iman adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pengharapan... Mudah untuk menaruh pengharapan pada waktu keadaan kelihatannya sangat mendukung bertumbuhnya pengharapan itu. Mudah untuk menjadi beriman pada waktu segala sesuatu kelihatannya mendukung bertumbuhnya iman itu. Iman dalam arti yang sederhana namun sudah sangat menjelaskan, percaya walaupun tidak (belum) melihat. Seringkali dalam kehidupan kita, iman yang seharusnya berfungsi justru tidak berfungsi. Ketika keadaan menekan dan berat, iman seharusnya berperan. Ketika kegagalan dan kesulitan datang menghampiri hidup kita, iman seharusnya berfungsi. Seringkali dalam kondisi-kondisi seperti ini, iman menjadi goyah.

Berapa banyak dari kita yang harus menanti digenapinya janji Tuhan dalam kehidupan kita? Mulai dari perkara yang sederhana sampai yang serius. Perkara studi, teman hidup, pekerjaan, keluarga, pelayanan, dsb.

Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang rekan dan berbicara banyak tentang perkara iman. Rekan saya ini berkata bahwa ia sudah kehilangan iman. Sia-sia untuk menaruh pengharapan pada janji-janji Allah. Dia butuh jawaban sekarang juga. Dia harus memenuhi tuntutan dari kebutuhannya yang paling mendasar, mengasihi dan dikasihi.

Tidak ada kata-kata yang dapat menjelaskan lebih dalam untuk disampaikan kepada saudara kita ini tentang iman. Rangkaian kata-kata Alkitabiah seakan-akan sudah tidak berarti lagi. Dia sudah lama menunggu. Dia sudah lama bersabar dan dia tidak bisa lagi bertahan dalam imannya, menantikan janji Allah, bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik baginya.

Seringkali kita pun berbuat demikian. Kita mulai kehilangan iman. Kita mulai berpikir untuk berkompromi. Berpikir lalu bertindak di luar kehendak Allah. Berusaha mendahului Allah, berusaha membuktikan bahwa keputusan yang kita ambil adalah baik dan benar, setidaknya untuk saat ini.

Bagaimana mungkin Tuhan memberikan yang terbaik? Masa lalu yang begitu kelam, kekecewaan dan kesedihan yang datang silih berganti. Aku sudah terlalu sering mengecewakan Tuhan, keluargaku, sahabat-sahabatku. Masih adakah jalan keluar? Masih adakah kesempatan bagiku? Benarkah ada kemuliaan di ujung jalan yang sempit dan berliku-liku ini? Mengapa Tuhan membisu?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang jarang dan aneh. Pertanyaan-pertanyaan ini umum dijumpai dalam perjalanan hidup orang percaya. Bila kita memperhatikan kisah hidup dari orang-orang pilihan Tuhan, baik dalam Perjanjian lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga menghadapi perkara yang sama. Mereka menghadapi suatu masa di mana Tuhan kelihatannya membisu, justru ketika mereka sangat membutuhkan jawaban.

Abraham, bapa dari segala bangsa, harus menanti puluhan tahun untuk memiliki seorang anak yang dijanjikan Tuhan. Di tengah-tengah penantian itu, imannya goyah sehingga menuruti permintaan isterinya untuk mendekati Hagar pembantunya. Namun akhirnya, Sara mengandung dan memiliki seorang anak yang bernama Ishak.

Yusuf, seorang penerjemah mimpi, harus mengalami kekecewaan dan kesedihan atas perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh saudara-saudaranya, keluarga Potifar dan juru minuman yang melupakan dia. Bila kita baca dengan seksama, butuh beberapa waktu lamanya bagi dia untuk menerima dan memaafkan saudara-saudaranya. Namun akhirnya, sambil menangis, dia menerima dan memaafkan saudara-saudaranya. Tuhan memberkati dia dan menjadikan dia pemimpin atas tanah Mesir.

Ayub, seorang kaya yang tiba-tiba jatuh miskin, harus mengalami penderitaan yang begitu dalam, kehilangan harta dan keluarganya. Hampir semua ayat dalam Kitab Ayub memuat keluh kesah Ayub kepada Tuhan. Ayub mengasihi Tuhan dan takut akan Tuhan. Namun, dalam imannya kepada Tuhan dia harus kehilangan segala sesuatu yang dimilikinya. Tuhan dalam kebesaran-Nya, melalui karya ciptaan-Nya, setelah sekian lama membisu, datang menghampiri Ayub. Ayub yang menyadari betapa kecilnya ia di hadapan Allah, jatuh tersungkur bermandikan debu.

Paulus, seorang pembunuh yang terpelajar, mengejar murid-murid Tuhan untuk dipenjarakan dan dibunuh. Dia menjadi salah seorang saksi dan pelaku atas terbunuhnya Stefanus, nabi Allah. Dengan penuh kepercayaan diri atas kemampuan yang ada pada dirinya, ia menjadi seorang hakim atas murid-murid Tuhan. Oleh karena anugerah Tuhan, dalam perjalanannya ke Damaskus, Tuhan menampakkan diri-Nya. Semejak itu, semuanya menjadi berubah dan sekarang dia berkata," Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat. Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, ..."

Pahlawan-pahlawan Allah juga menghadapi krisis iman. Mereka harus berjuang untuk tetap percaya dan mempertahankan imannya kepada Kristus. Kita, yang tinggal di dalam jaman ini dimana hari-hari semakin jahat, juga harus berjuang untuk tetap percaya dan mempertahankan iman kita kepada Kristus. Percaya bahwa Tuhan akan menggenapi janji-janji-Nya dalam hidup kita. Percaya bahwa Ia akan memberikan yang terbaik bagi kita.

Perjuangan kita di dalam iman bukanlah dengan kekuatan kita sendiri. Perjuangan terjadi bila kita memiliki kekuatan dan kekuatan itu bukan berasal dari diri kita sendiri. Perjuangan membutuhkan ketergantungan. Ketergantungan penuh kepada Tuhan. Kita tidak akan pernah bisa menang dalam pertandingan tanpa Tuhan. Kita tidak akan pernah menggapai dan memperoleh hal-hal yang baik tanpa Tuhan. Segala sesuatu berasal dari Tuhan.

Ketika tantangan, kekecewaan, kesedihan, dan penderitaan datang dalam hidup kita, Tuhanlah kekuatan kita. Ketika masa depan kelihatan begitu kabur, Tuhanlah pengharapan kita. Kita harus menetapkan hati dan bertindak, memilih untuk tetap bertahan dalam iman, menantikan digenapinya janji-janji-Nya dalam kehidupan kita. Kekuatan yang dari Tuhan akan mengalir dengan deras ketika kita menyerah. Hadirat dan kemuliaan Tuhan akan turun atas kita ketika kita menyerah. Menyerah berarti meninggalkan keangkuhan dan kekuatan kita sendiri. Menyerah berarti di luar Tuhan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Saudaraku yang kekasih, inilah kuncinya dalam menantikan digenapinya janji-janji Allah dalam hidup kita. (catolic online)
 
Back
Top