MUI Fatwa Haram Buat Yang Ga Milih

Fatwa haram MUI ya? Wew, kl gw bilang si masalah milih atau tidak itu sudah jd hak pribadi masing2 org ga bs dong di campur aduk dengan masalah agama. Sama aja kl qta punya uang, terserah kita dong uang itu mo di pake buat apa. Di pake buat belanja boleh, ditabung jg gpp. Trus tiba2 ada yg bilang semua uang loe harus di sedekahin kalo ga haram. Weleh2, udah ada yg salah jalur nih.

Kl memang golput itu ditakutin sama para pemimpin, seharusnya mereka introspeksi diri dong! Selama bertahun2 rakyat ditindas, bikin KTP aja perlu uang sampai ratusan ribu rupiah padahal katanya "gratis". Bikin SIM jg begitu, lewat jalur biasa lamanya ampun2 deh. Apalagi bikin kartu2 lainnya kayak Akta Kelahiran, Surat Kematian, Kartu Keluarga dan lain - lain. Bisa abis waktu qta cuma ngurus surat2 itu padahal kan qta harus kerja, ngurus anak dan bla bla bla. Demo jg percuma, para wakil rakyat itu udah pada tuli semua. Sekarang giliran qta menghukum mereka dan caleg2 itu berteriak kompak "JANGAN DONG". Rakyat sudah bosan dengan janji2 manis para wakil rakyat sekaranglah saatnya para pemimpin itu sadar bahwa ada yang salah dengan pola kepemimpinan mereka.
 
susah ya kalo mo jadi caleg / presiden...

mesti yakinin yang mo milih.. gimana mo nge yakinin.. masyarakatnya udah terpaku ama yang sebelumnya.. yang dulunya begini lah.. yang dulunya begitulah.. ga dikasih kesempatan... jadinya ya gimana... bingung deh...

sebenernya dakwah juga bisa kan di dalam politik..

gw juga dulu bepikir politik ga boleh dicampur adukkan ama agama..

tapi ternyata pikiran gw skrg berubah.. justru landasan untuk berpolitik adalah agama.. pondasinya adalah agama..
karena kalau agama seseorang kuat, pondasinya bener2 kuat.. kuat yang bener2 kuat, bukan yang bisa rapuh (munafik).. insya Allah ga akan goyah..

kalo gw sih, banyak munafiknya juga...:D bilang ga mau gini, taunya mau begini.. tapi yah namanya manusia... kadang naik, kadang turun..

yah bagi yang mau nyontreng.. pilihlah yang bener2 kalian tau & yakinin..

bagi yang ga nyontreng... selamat libur panjang..:D
 
UU No.10/2008 ttg Pemilu berkata (emang bisa ya), MEMILIH MRP HAK, makanya disebut HAK MEMILIH (bukan HAK PILIH). Jadi UU udah menjamin HAK MEMILIH, pdhl pilihannya adalah IKUT MENYONTRENG atau TIDAK IKUT MENYONTRENG (bisa tdk hadir, bisa hadir tp kertasnya dicoret2 sehingga tidak sah dll).
Nah... aku sendiri tidak hadir... alias MENGGUNAKAN HAK MEMILIH DENGAN TIDAK MEMILIH SEORANGPUN CALEG, jd aku sudah terlepas dari Fatwa MUI yang menyatakan HARAM KLO TIDAK MEMILIH... hayoooooooooooooo....
 
Emangnya MUI itu nabi seenak jidadnya ngomong haram & halal ngurus diri sendirinya aja gak bisa bedain mana haram mana halal yg penting fulus masuk. |:mad:
 
Katanya MUI mem-fatwa HARAM bagi rakyat Indonesia yg tidak ikut memilih... Kok bisa bgitu? Emang bisa yah? Kalo emang ga ada yg sreg n "ngena" ke hati, masa kita ga boleh ga milih sih???

Pada stuju ga dengan fatwa ini? Tanggepannya dong!

klo gw sih gk perduli amat bos..

mw haram kek halal kek gw gk perduli, lgian pemilu kemaren gw gk nyoblos

Fine2 aj tuh,,
 
Kalo Emang Mui Bilang Golput Haram Mana Dalil Yang Menerangkan Golput Haram ...! Ia Gak ....?
Kemudian Tolong Di Pangpang Di Tv Berani Ga.....?
 
Bls: MUI Fatwa Haram Buat Yang Ga Milih

MUI itu benar karena kalau kita tidak memilih nanti penjahat yang menang. Walaupun Banyak Partai yang gak bisa dipercaya kan masih ada partai yang BERSIH. partainya selain bersih harus PEDULI peduli ama orang walopun gak sedang kampanye. yang penting untuk memimpin indonesia itu yang PROFESIONAL. Pasti partai yang kaya gitu jadi Partai Keren Sekali dah.

Berita Rahasia
Kan bapak gw caleg dri pks. dia ngeliat bendera pks dipasang diatas gereja. bapak gw sangka orang pks naro bendera gak izin izin. bapak gw langsung tanya ke cabang pks di nias. ternyata pendetanya sendiri yang nyuruh masang, karena walopun pks partai islam tapi pks adalah satu satunya partai yang nolong gereja itu dari tsunami. emang Partai Keren Sekali.
 
Bls: MUI Fatwa Haram Buat Yang Ga Milih

Dalam konteks yang pertama, ada beberapa hal yang harus dikemukakan. Pertama: Memilih pemimpin memang wajib, tetapi dalam urusan atau perkara yang dibenarkan oleh syariah. Ketentuan ini berlaku, jika ada sekelompok orang, minimal tiga atau lebih, masing-masing mempunyai urusan yang sama (umûr musytarakah), dan urusan mereka sama-sama dibenarkan oleh syariah. Kesimpulan ini ditarik dari nash hadis yang menyatakan:

«إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَ?*َدَهُمْ»

Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Frasa fî safar[in] (bepergian) menunjukkan, bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umûr musytarakah), yaitu sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendiri hukum asalnya adalah mubah (dibenarkan syariah). Dari frasa tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Inilah mafhûm muwâfaqah yang bisa kita tarik dari nash hadis di atas.

Kedua: Kepala negara atau kepala daerah adalah pemimpin yang menjalankan urusan pemerintahan (al-hâkim), yang bertugas menerapkan hukum (munâfidz al-hukm) di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini al-Quran menegaskan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati uli al-amr, yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat (al-hâkim), karena pengertian uli al-amr dalam bahasa Arab tidak ada lain, kecuali al-hâkim. Namun, ayat ini tidak berlaku untuk semua uli al-amr, melainkan uli al-amr minkum, yaitu uli al-amr dari kalangan umat Islam. Tidak juga untuk uli al-amr yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah, karena kita dilarang untuk menaati orang yang bermaksiat kepada Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Ahmad.1

Karena itu, menaati kepala negara atau kepala daerah Muslim yang menjalankan hukum-hukum Allah adalah wajib; mengangkat mereka pun hukumnya wajib. Sebab, jika mereka tidak ada, kewajiban untuk menaati mereka pun tidak bisa dijalankan. Dengan begitu, hukum memilih atau mengangkat mereka pun menjadi wajib. Ini merupakan bagian dari dalâlah iltizâm ayat di atas.

Namun, para ulama sepakat, bahwa kewajiban dalam konteks ini bukanlah kewajiban orang-perorang (fardhu ‘ain), melainkan kewajiban orang secara kolektif (fardhu kifâyah). Inilah yang dijelaskan dalam hadis baiat.2

Ketiga: Islam mempunyai metode baku untuk mengangkat kepala negara, yaitu baiat. Baiat adalah akad sukarela (‘aqd muradhah) antara rakyat dengan kepala negara untuk memerintah mereka berdasarkan hukum-hukum Allah.3 Karena itu, bisa dikatakan, bahwa baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan kepala negara di dalam Islam. Dalam istilah teknis fuqaha’, baiat untuk mengangkat kepala negara tersebut disebut baiat in’iqâd. Sebab, baiat inilah yang secara nyata menandai perpindahan kekuasaan dari tangan umat ke tangan kepala negara (Khalifah). Hukum baiat ini pun wajib. Namun, kewajiban ini tidak bisa dijalankan oleh orang-perorang, karena memang tabiatnya harus dilaksanakan oleh orang secara berkelompok dan mempunyai kemampun untuk menunaikannya.4 Karena itu, disebut fardhu kifayah.

Dengan demikian, hukum baiat in’iqâd dalam rangka mengangkat kepala negara adalah fardhu kifâyah. Karena itu, istilah baiat ini hanya bisa digunakan untuk memilih dan mengangkat kepala negara. Adapun untuk kepala daerah, pemilihan dan pengangkatannya oleh Islam diserahkan kepada kepala negara.

Ini semuanya terkait dengan mengangkat pemimpin untuk memimpin orang dalam melakukan ketaatan. Adapun mengangkat pemimpin dalam konteks maksiat hukumnya jelas berbeda. Melakukan maksiat hukumnya haram. Karena itu, mengangkat pemimpin dalam konteks maksiat pun sama-sama diharamkan.

Dalam konteks kedua, yaitu memilih dan mengangkat pemimpin yang buruk di antara yang terburuk, penjelasannya adalah sebagai berikut: Pertama, baik-buruk dalam konteks kepemimpinan ini bisa dilihat dari dua aspek: person/orang dan sistem. Boleh jadi secara personal pemimpin yang terpilih tersebut memang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh syariah, yang berarti, pemimpin tersebut baik. Sebut saja, seluruh syarat yang ditetapkan (syurûth in’iqâd)—seperti laki-laki, Muslim, berakal, balig, adil (tidak fasik), merdeka dan mampu—telah terpenuhi. Namun, dia tidak memerintah dengan menggunakan sistem yang baik, yaitu syariah Islam. Dalam konteks ini, pemimpin yang secara personal baik, namun memerintah tidak dengan menggunakan syariah, maka statusnya adalah salah satu di antara tiga: kafir, fasik dan zalim, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam surah al-Maidah: 44, 45 dan 47. Dengan demikian bisa disimpulkan, mengangkat pemimpin yang tidak memenuhi kriteria jelas tidak sah, sekaligus melanggar ketentuan syariah, dan karenanya tidak baik. Namun, mengangkat pemimpin yang memenuhi kriteria syar’i pun, jika dia diangkat untuk menjalankan sistem sekular juga haram. Karena itu, kedua pilihan tersebut sama-sama tidak boleh, karena sama-sama melanggar hukum syariah.

Kedua, memang ada kaidah syariah:

«إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكاَبِ أَخَفِّهِمَا»

Jika ada dua keburukan, yang harus diperhatikan adalah mana di antara keduanya yang paling besar bahayanya, dengan mengerjakan yang paling ringan di antara keduanya

Ada juga kaidah sejenis yang lainnya. Dalam praktiknya, kaidah ini sering digunakan secara serampangan. Bahkan banyak yang menjadikan fakta (realitas) sebagai penentu yang menentukan pilihan mana yang harus dipilih. Sebagai contoh, ketika kita disuruh memilih, mana yang harus kita pilih: memilih pemimpin yang “baik” dengan sistem sekular atau tidak memilih? Jika kita memilih untuk tidak memilih maka bisa jadi yang akan terpilih adalah pemimpin yang tidak baik, sistemnya pun tidak berubah, alias tetap sekular. Jadi, memilih pemimpin yang “baik” dengan sistem sekular tetap lebih baik ketimbang tidak memilih. Inilah logika akhaffu ad-dhararayn, yang sering mereka gunakan.

Padahal memilih pemimpin untuk menjalankan sistem sekular itu berarti mempertahankan keburukan dan hukumnya jelas haram. Ini bukanlah pilihan satu-satunya yang harus dipilih. Sebab, ada pilihan lain, yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin yang baik, yang menerapkan sistem yang baik, yaitu syariah. Ini hukumnya wajib. Jadi, memilih pemimpin yang “baik” untuk menjalankan sistem sekular tetap tidak wajib, justru haram. Sebaliknya, berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin yang baik dengan menjalankan sistem yang baik, yaitu syariah, hukumnya wajib. Wallâhu a’lam. []
 
Bls: MUI Fatwa Haram Buat Yang Ga Milih

Dalam konteks yang pertama, ada beberapa hal yang harus dikemukakan. Pertama: Memilih pemimpin memang wajib, tetapi dalam urusan atau perkara yang dibenarkan oleh syariah. Ketentuan ini berlaku, jika ada sekelompok orang, minimal tiga atau lebih, masing-masing mempunyai urusan yang sama (umûr musytarakah), dan urusan mereka sama-sama dibenarkan oleh syariah. Kesimpulan ini ditarik dari nash hadis yang menyatakan:

«إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَ�*َدَهُمْ»

Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Frasa fî safar[in] (bepergian) menunjukkan, bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umûr musytarakah), yaitu sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendiri hukum asalnya adalah mubah (dibenarkan syariah). Dari frasa tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Inilah mafhûm muwâfaqah yang bisa kita tarik dari nash hadis di atas.

Kedua: Kepala negara atau kepala daerah adalah pemimpin yang menjalankan urusan pemerintahan (al-hâkim), yang bertugas menerapkan hukum (munâfidz al-hukm) di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini al-Quran menegaskan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati uli al-amr, yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat (al-hâkim), karena pengertian uli al-amr dalam bahasa Arab tidak ada lain, kecuali al-hâkim. Namun, ayat ini tidak berlaku untuk semua uli al-amr, melainkan uli al-amr minkum, yaitu uli al-amr dari kalangan umat Islam. Tidak juga untuk uli al-amr yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah, karena kita dilarang untuk menaati orang yang bermaksiat kepada Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Ahmad.1

Karena itu, menaati kepala negara atau kepala daerah Muslim yang menjalankan hukum-hukum Allah adalah wajib; mengangkat mereka pun hukumnya wajib. Sebab, jika mereka tidak ada, kewajiban untuk menaati mereka pun tidak bisa dijalankan. Dengan begitu, hukum memilih atau mengangkat mereka pun menjadi wajib. Ini merupakan bagian dari dalâlah iltizâm ayat di atas.

Namun, para ulama sepakat, bahwa kewajiban dalam konteks ini bukanlah kewajiban orang-perorang (fardhu ‘ain), melainkan kewajiban orang secara kolektif (fardhu kifâyah). Inilah yang dijelaskan dalam hadis baiat.2

Ketiga: Islam mempunyai metode baku untuk mengangkat kepala negara, yaitu baiat. Baiat adalah akad sukarela (‘aqd muradhah) antara rakyat dengan kepala negara untuk memerintah mereka berdasarkan hukum-hukum Allah.3 Karena itu, bisa dikatakan, bahwa baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan kepala negara di dalam Islam. Dalam istilah teknis fuqaha’, baiat untuk mengangkat kepala negara tersebut disebut baiat in’iqâd. Sebab, baiat inilah yang secara nyata menandai perpindahan kekuasaan dari tangan umat ke tangan kepala negara (Khalifah). Hukum baiat ini pun wajib. Namun, kewajiban ini tidak bisa dijalankan oleh orang-perorang, karena memang tabiatnya harus dilaksanakan oleh orang secara berkelompok dan mempunyai kemampun untuk menunaikannya.4 Karena itu, disebut fardhu kifayah.

Dengan demikian, hukum baiat in’iqâd dalam rangka mengangkat kepala negara adalah fardhu kifâyah. Karena itu, istilah baiat ini hanya bisa digunakan untuk memilih dan mengangkat kepala negara. Adapun untuk kepala daerah, pemilihan dan pengangkatannya oleh Islam diserahkan kepada kepala negara.

Ini semuanya terkait dengan mengangkat pemimpin untuk memimpin orang dalam melakukan ketaatan. Adapun mengangkat pemimpin dalam konteks maksiat hukumnya jelas berbeda. Melakukan maksiat hukumnya haram. Karena itu, mengangkat pemimpin dalam konteks maksiat pun sama-sama diharamkan.

Dalam konteks kedua, yaitu memilih dan mengangkat pemimpin yang buruk di antara yang terburuk, penjelasannya adalah sebagai berikut: Pertama, baik-buruk dalam konteks kepemimpinan ini bisa dilihat dari dua aspek: person/orang dan sistem. Boleh jadi secara personal pemimpin yang terpilih tersebut memang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh syariah, yang berarti, pemimpin tersebut baik. Sebut saja, seluruh syarat yang ditetapkan (syurûth in’iqâd)—seperti laki-laki, Muslim, berakal, balig, adil (tidak fasik), merdeka dan mampu—telah terpenuhi. Namun, dia tidak memerintah dengan menggunakan sistem yang baik, yaitu syariah Islam. Dalam konteks ini, pemimpin yang secara personal baik, namun memerintah tidak dengan menggunakan syariah, maka statusnya adalah salah satu di antara tiga: kafir, fasik dan zalim, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam surah al-Maidah: 44, 45 dan 47. Dengan demikian bisa disimpulkan, mengangkat pemimpin yang tidak memenuhi kriteria jelas tidak sah, sekaligus melanggar ketentuan syariah, dan karenanya tidak baik. Namun, mengangkat pemimpin yang memenuhi kriteria syar’i pun, jika dia diangkat untuk menjalankan sistem sekular juga haram. Karena itu, kedua pilihan tersebut sama-sama tidak boleh, karena sama-sama melanggar hukum syariah.

Kedua, memang ada kaidah syariah:

«إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكاَبِ أَخَفِّهِمَا»

Jika ada dua keburukan, yang harus diperhatikan adalah mana di antara keduanya yang paling besar bahayanya, dengan mengerjakan yang paling ringan di antara keduanya

Ada juga kaidah sejenis yang lainnya. Dalam praktiknya, kaidah ini sering digunakan secara serampangan. Bahkan banyak yang menjadikan fakta (realitas) sebagai penentu yang menentukan pilihan mana yang harus dipilih. Sebagai contoh, ketika kita disuruh memilih, mana yang harus kita pilih: memilih pemimpin yang “baik” dengan sistem sekular atau tidak memilih? Jika kita memilih untuk tidak memilih maka bisa jadi yang akan terpilih adalah pemimpin yang tidak baik, sistemnya pun tidak berubah, alias tetap sekular. Jadi, memilih pemimpin yang “baik” dengan sistem sekular tetap lebih baik ketimbang tidak memilih. Inilah logika akhaffu ad-dhararayn, yang sering mereka gunakan.

Padahal memilih pemimpin untuk menjalankan sistem sekular itu berarti mempertahankan keburukan dan hukumnya jelas haram. Ini bukanlah pilihan satu-satunya yang harus dipilih. Sebab, ada pilihan lain, yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin yang baik, yang menerapkan sistem yang baik, yaitu syariah. Ini hukumnya wajib. Jadi, memilih pemimpin yang “baik” untuk menjalankan sistem sekular tetap tidak wajib, justru haram. Sebaliknya, berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin yang baik dengan menjalankan sistem yang baik, yaitu syariah, hukumnya wajib. Wallâhu a’lam. []

sumbernya gak ditulis bos..??

apa tulisan ente sendiri ya..?? kalo tulisan ente sendiri sih emang gak perlu pake sumber.... =b==b=
 
Bls: MUI Fatwa Haram Buat Yang Ga Milih

Ketiga: Islam mempunyai metode baku untuk mengangkat kepala negara, yaitu baiat. Baiat adalah akad sukarela (‘aqd muradhah) antara rakyat dengan kepala negara untuk memerintah mereka berdasarkan hukum-hukum Allah.3 Karena itu, bisa dikatakan, bahwa baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan kepala negara di dalam Islam. Dalam istilah teknis fuqaha’, baiat untuk mengangkat kepala negara tersebut disebut baiat in’iqâd. Sebab, baiat inilah yang secara nyata menandai perpindahan kekuasaan dari tangan umat ke tangan kepala negara (Khalifah). Hukum baiat ini pun wajib. Namun, kewajiban ini tidak bisa dijalankan oleh orang-perorang, karena memang tabiatnya harus dilaksanakan oleh orang secara berkelompok dan mempunyai kemampun untuk menunaikannya.4 Karena itu, disebut fardhu kifayah.

sesuai dengan om mahmud ahmadinejad(yg di bawah tulisan qw),
tapi sulit nyari pemimpin yg sukarela sementara ini baru om mahmud yg qw tau, mungkin yg lain ada yg mau nambai
 
Bls: MUI Fatwa Haram Buat Yang Ga Milih

Ketiga: Islam mempunyai metode baku untuk mengangkat kepala negara, yaitu baiat. Baiat adalah akad sukarela (‘aqd muradhah) antara rakyat dengan kepala negara untuk memerintah mereka berdasarkan hukum-hukum Allah.3 Karena itu, bisa dikatakan, bahwa baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan kepala negara di dalam Islam. Dalam istilah teknis fuqaha’, baiat untuk mengangkat kepala negara tersebut disebut baiat in’iqâd. Sebab, baiat inilah yang secara nyata menandai perpindahan kekuasaan dari tangan umat ke tangan kepala negara (Khalifah). Hukum baiat ini pun wajib. Namun, kewajiban ini tidak bisa dijalankan oleh orang-perorang, karena memang tabiatnya harus dilaksanakan oleh orang secara berkelompok dan mempunyai kemampun untuk menunaikannya.4 Karena itu, disebut fardhu kifayah.

sesuai dengan om mahmud ahmadinejad(yg di bawah tulisan qw),
tapi sulit nyari pemimpin yg sukarela sementara ini baru om mahmud yg qw tau, mungkin yg lain ada yg mau nambai
 
Back
Top