Hidup adalah Pilihan

singthung

New member
Hidup adalah Pilihan



Dhammañ care sucaritaṁ, Na taṁ duccaritaṁ care,
Dhammacārī sukhaṁ seti, Asmiṁ loke paramhi ca

Hiduplah sesuai dengan Dhamma, tidak mengikuti cara hidup yang salah. Seseorang yang mengikuti ajaran Dhamma secara benar akan hidup bahagia dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.

(Dhammapada 169)


Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak dari jaman dahulu, sekarang maupun yang akan datang, semua makhluk terutama manusia menginginkan kesejahteraan, kedamaian, kenyamanan ataupun kebahagiaan. Dalam mewujudkan semua itu, setiap makhluk menggunakan cara yang berbeda-beda sehingga memberikan hasil yang berbeda-beda pula. Ada cara yang pantas dan pula cara yang tidak pantas. Kita hendaknya selalu berusaha menggunakan cara-cara yang baik dan benar. Kalau cara-cara yang digunakan tidak benar, maka akan menyebabkan kerugian, kesulitan, ataupun penderitaan bagi diri kita maupun pihak lain, sehingga kebahagiaannya pun akan seperti umpan dengan mata kail. Sebagai contoh, hewan dalam memenuhi kebutuhan selalu berusaha untuk saling mengalahkan, merebut, bahkan tidak sedikit yang saling membunuh.

Pada jaman sekarang yang semakin modern, tidak sedikit manusia yang perilakunya seperti hewan bahkan lebih dari itu, sehingga menyebabkan penderitaan bagi banyak makhluk. Bila dibandingkan, hewan sedikit lebih baik daripada manusia yang buruk perilakunya, karena hewan merasa lapar maka mereka akan mencari makanan sesuai dengan kebutuhannya. Sudah kenyang lalu beristirahat, kalaupun menimbun makanan hanyalah sedikit dan cukup untuk dirinya atau kelompoknya. Berbeda dengan manusia yang moralnya buruk, setelah mendapat yang diinginkan, masih ingin lagi dengan berbagai alasan, menimbun sebanyak-banyaknya. Kalau perlu semuanya diambil, tidak peduli dengan yang lain, yang penting hasratnya terpenuhi. Kalau demikian, bukankah manusia lebih berbahaya dari hewan?

Bila dalam pemenuhan kebutuhan cara-cara yang digunakan tidak sesuai dan bertentangan dengan kemoralan, maka kebahagiaannya akan bersifat semu, berubah menjadi penderitaan. Seperti ikan yang memakan umpan yang di dalamnya terdapat kail, sesaat merasakan kesenangan tetapi sesaat itu pula mendapatkan penderitaan. Demikian pula dengan pemakai barang-barang narkotik, minuman keras, dan sejenisnya, maka kesenangan yang didapat hanyalah sementara, tetapi akibatnya sangatlah buruk terhadap batin dan jasmani. Secara fisik, organ-organ tubuhnya akan mudah terserang penyakit, sedangkan mentalnya akan mudah muncul rasa marah, benci, curiga, dendam, serakah, dan lainnya yang bertentangan dengan tujuan pencapaian kebahagiaan. Setelah itu bukan hanya dirinya yang mengalami penderitaan, orangtua, keluarga, kerabat bahkan banyak pihak turut mendapatkan kesusahan.

Patut kita renungkan, bahwa hidup ini sungguh singkat dan tidak pasti, sedangkan kematian adalah pasti. Perubahan terjadi sungguh cepat dan terus-menerus. Bila kita tidak bergegas berbuat kebajikan, maka kita hanya akan menyesal di kemudian hari. Seperti Dhammapada syair 116 berikur: ”Bergegaslah berbuat kebajikan dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan. Barangsiapa lamban berbuat baik, maka pikirannya akan senang dalam kejahatan. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita hanya bersenang-senang tanpa membuat sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan sekarang ini. Tujuan melaksanakan Dhamma adalah untuk mengakhiri penderitaan, bukan untuk kesenangan intelektual ataupun untuk diperdebatkan. Dalam Āḷavaka Sutta, Sutta Nipāta syair 189, ada empat cara yang dapat menunjang kehidupan seseorang untuk mencapai kebahagiaan terutama dalam pergaulan hidup dengan lingkungan. Keempat cara itu adalah:

1. Sacca: kebenaran atau kejujuran. Dalam keadaan apapun hendaknya kita senantiasa bertindak jujur. Membiasakan kebenaran atau kejujuran, kita akan mudah mendapat tempat dalam pergaulan, dipercaya banyak orang dan dapat diandalkan. Kebenaran atau kejujuran juga membimbing seseorang memiliki kesetiaan.

2. Dama: pengendalian diri, usaha untuk melatih diri agar dapat mengendalikan perbuatan melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani. Ketika berada dalam kondisi yang baik atau kurang baik, pengendalian diri sangat penting untuk memunculkan kebijaksanaan. Ketika hal-hal baik muncul, tidak menjadi terbuai, terhanyut, serakah ataupun melekat, dan sebaliknya hal-hal buruk muncul maka tidak menjadi marah, benci, ataupun memusuhinya.

3. Khanti: kesabaran. Kita hendaknya berusaha mengembangkan kesabaran dalam segala kondisi. Bekerja, belajar, dan menunggu adalah suatu kondisi untuk melatih kesabaran. Bukan hanya pada saat mengalami penderitaan kita harus bersabar, tetapi saat bahagia pun kita harus mengembangkan kesabaran. Dalam kehidupan sehari-hari, kesabaran harus dikembangkan. Ketika menghadapi situasi yang baik, hendaknya tanpa dilandasi dengan rasa keserakahan, dan ketika menghadapi situasi yang tidak baik hendaknya rasa kebencian tidak dimunculkan. Jika kita telah benar-benar menunaikan hal-hal tersebut, maka kita dapat disebut orang yang sabar.

4. Cāga: kemurahan hati, adalah suatu usaha untuk meringankan penderitaan makhluk lainnya. Kita harus saling berbagi dengan sesama sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Melalui pikiran; kita dapat memberikan ide, gagasan, atau paling tidak berusaha berpikir positif setiap saat. Melalui ucapan; bertutur kata yang ramah, sopan, tidak menyinggung orang lain, menghindari isu, gosip, ataupun ucapan yang tidak benar. Melalui jasmani; kita dapat membantu dengan tenaga, menjaga kebersihan dan kerapian, minimal di tempat kita berada. Bentuk lain dari kemurahan hati adalah dengan cara memaafkan kesalahan orang lain. Terhadap hewan, kita berusaha menghindari penyiksaan dan pembunuhan, bahkan kita dapat memberikan kebebasan dengan melepaskannya pada tempat yang sesuai. Melalui hal-hal tersebut kita dapat berlatih kemurahan hati.

Kehidupan yang sesungguhnya adalah sebuah pilihan. Kebahagiaan dan penderitaan ditentukan oleh perbuatan masing-masing individu. Siapapun berhak untuk menentukan jalan hidupnya dan akan merasakan hasil yang sesuai dengan perbuatannya. Kebahagiaan yang diperoleh bukan hadiah ataupun bonus, melainkan sebagai bentuk konsekuensi dari kebajikan-kebajikan yang pernah dilakukan. Demikian juga penderitaan yang terjadi, bukan suatu kutukan atau hukuman, melainkan hasil dari perbuatan-perbuatan tidak sehat, negatif atau buruk yang memberikan akibat sesuai dengan syarat-syarat dan kondisi yang mendukung.

Sebagai contoh, bila kita ingin memetik buah dari pohon, kita harus membuat kondisi dan syarat agar pohon tersebut tumbuh dengan baik dan subur dengan cara memperhatikan benih, air, tanah, sinar matahari, pupuk, penyakit, hama, dan sebagainya sehingga dapat menghasilkan buah yang maksimal.

Demikian juga dengan perbuatan yang kita lakukan. Kebahagiaan sebagai tujuan dari semua makhluk dapat dicapai dalam kehidupan ini, bahkan sebagai manusia kita mempunyai potensi yang sangat besar untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Kata manussa dalam bahasa Pāḷi, bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah manusia yang berasal dari kata mana yang berarti pikiran, sehingga arti dari manussa adalah makhluk manusia yang dapat mengembangkan, mengolah, dan meningkatkan pikiran menuju kesempurnaan. Oleh sebab itu, janganlah sia-siakan kesempatan hidup sebagai manusia, karena untuk terlahir sebagai manusia tidaklah mudah. Manusia memiliki potensi yang besar untuk mencapai kesempurnaan serta mengakhiri penderitaan. Marilah kita bersama-sama meningkatkan kualitas perbuatan baik dan berusaha mengikis keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.


Semoga semua makhluk berbahagia.



 
Back
Top