Infeksi Kelamin Berisiko Keguguran

anguy

New member
Infeksi Kelamin Berisiko Keguguran

KENYATAAN bahwa infeksi kelamin dapat memengaruhi kandungan juga pernah dibuktikan dalam sebuah penelitian di Inggris beberapa waktu silam.

Para peneliti mendapati bahwa infeksi kelamin yang umum terkait dengan risiko keguguran pada trimester kedua. Untuk itu, wanita hamil disarankan untuk melakukan skrining dan penanganan sedini mungkin sejak awal kehamilan sehingga mengurangi risiko keguguran.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa wanita dengan Bacterial Vaginosis (BV) tiga kali lebih berisiko mengalami keguguran dalam minggu pertama trimester kedua kehamilan. Pada studi sebelumnya, peneliti Philip Hay MDBS dan timnya mendapati bahwa infeksi juga terkait dengan risiko keguguran lima kali lebih besar pada wanita yang hamil 16-24 minggu.

"Dari penelitian yang lalu kita tahu bahwa infeksi dapat meningkatkan risiko keguguran pada kehamilan, dan hasil penelitian selanjutnya bahkan melaporkan bahwa risiko ini bisa datang lebih cepat, yakni pada usia kehamilan trimester kedua," ujarnya.

BV merupakan infeksi kelamin paling umum pada wanita usia reproduksi. Center for Dissease Control (CDC) Amerika memperkirakan sebanyak 16 persen wanita hamil mengalaminya, yang ditandai dengan ketidakseimbangan.

Dalam penelitian yang dipublikasikan British Medical Journal tersebut, Hay dan timnya melakukan tes BV pada 1.200 wanita yang tengah hamil kurang dari 10 minggu. Sebanyak 121 wanita mengalami keguguran sebelum usia kehamilan mereka menginjak 16 minggu.

Studi yang dilakukan Institut Kesehatan Nasional Inggris juga mendapati penanganan infeksi ###### lainnya, yakni trichomoniasis dengan obat-obatan seperti metronidazole mungkin perlu mempertimbangkan dampaknya bagi wanita hamil.
Trichomoniasis, seperti halnya BV, juga menunjukkan peningkatan risiko kelahiran prematur.

Dalam studi tersebut, peneliti Mark Klebanoff MD mencatat jumlah wanita hamil yang mengalami kelahiran prematur dua kali lebih banyak pada mereka yang ditangani dengan obat-obatan tersebut ketimbang wanita hamil yang tidak mengonsumsi obat-obatan. Kemungkinan hal tersebut karena penanganan yang terlambat. Maksudnya, andai saja dilakukan sejak awal, pengobatan mungkin sukses menyembuhkan tanpa adanya efek samping apa pun.

"Kita perlu mendesain studi untuk membuktikan bahwa penanganan dini mungkin dapat bermanfaat lebih baik. Namun, alangkah jauh lebih baik bila wanita mencegah jangan sampai terinfeksi," katanya.

Di samping infeksi kelamin, penyakit menular seksual (PMS) di Inggris juga terus meningkat. Hampir 400.000 kasus infeksi baru terdiagnosis tahun lalu, yang itu berarti peningkatan sekitar 6 persen pada tahun 2006. Separuh dari kasus baru ditemukan pada orang dewasa muda usia 16-24 tahun yang merupakan 12 persen dari populasi.

Agen Perlindungan Kesehatan Inggris merekomendasikan seluruh orang dewasa muda untuk melakukan tes chlamydia setiap tahun sebagai bagian dari program deteksi (skrining) nasional. Chlamydia merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang paling lazim terjadi.

Gwenda Hughes, staf Agen Perlindungan Kesehatan Inggris untuk Penyakit Infeksi mengungkapkan, orang dewasa muda paling rentan terpengaruh IMS. "Pasalnya, mereka lebih aktif secara seksual, kerap memiliki pasangan lebih dari satu, serta punya kecenderungan untuk berhubungan seksual secara berlebihan atau sebagai aksi iseng-iseng," ujarnya
 
Last edited by a moderator:
Penatalaksaan apabila Bacterial Vaginosis (BV) (+)

Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4 wanita akan sembuh dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme Lactobacillus vagina kembali meningkat ke level normal, dan bakteri lain mengalami penurunan jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila bakterial vaginosis tidak diberi pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu perlu mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan hendaknya tidak membahayakan dan sedikit efek sampingnya.(7)
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis.(6,7,9)

a. Terapi sistemik
1. Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x 400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal, maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang merupakan pilihan kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan sekitar 66%).(4,6,16,20)
- Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari
- Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi anaerob.(1)
Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi gelap.(7)
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil klindamisin dapat menembus ASI, oleh karena itu sebaiknya menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.(6)
3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap metronidazol.(6)
4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.(6)
5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.(6)
6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.(6)
7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.(6)
b. Terapi Topikal
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.(6)
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.(6)
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.(6)
4. Triple sulfonamide cream.(3,6) (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan angka penyembuhannya hanya 15 – 45 %.(6)
c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat muncul masalah.(6,9) Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus.(6,12) Dosis yang lebih rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan yang rendah.(6)
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim.(6)
d. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual
Terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan.(21)


KOMPLIKASI
Pada kebanyakan kasus, bakterial vaginosis tidak menimbulkan komplikasi setelah pengobatan.(5,12) Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi yang berat.(11) Bakterial vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit radang panggul (Pelvic Inflamatory Disease/PID), dimana angka kejadian bakterial vaginosis tinggi pada penderita PID.(5,6)
Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan komplikasi antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun tidak menunjukkan gejala sama sekali.(5,6)
Bakterial vaginosis disertai peningkatan resiko infeksi traktus urinarius. Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan frekuensi di tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis atas berhubungan dengan bakterial vaginosis.(6)

KESIMPULAN
Bakterial vaginosis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (Bacteroides Spp, Mobilincus Spp, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis) menggantikan flora normal vagina (Lactobacillus Spp) yang menghasilkan hidrogen peroksida sehingga vagina yang tadinya bersifat asam (pH normal vagina 3,8 – 4,2) berubah menjadi bersifat basa.
Menurut Amsel, untuk menegakkan diagnosa dengan ditemukannya tiga dari empat gejala, yakni : sekret vagina yang homogen, tipis, putih dan melekat, pH vagina > 4,5, tes amin yang positif; adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20% dari seluruh epitel) yang merupakan penanda bakterial vaginosis.
Pengobatan bakterial vaginosis biasanya menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan.
 
ngambil darimana? pustakanya klo bisa disebutin.

Ada baiknya jika bijak mengembalikan ke yang lebih ahli (dokter/dokter spesialis), terapinya "OK" tapi harus memikirkan juga penggunaan pada ibu hamil. misalnya tetrasiklin.
Penulisan terapi dalam forum yang masih awam bisa disalah artikan.
Mari bersama mencerdaskan masyarakat menjadi sehat.

Nice Info
 
makasih atas infonya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Vaginosis Bakterial. In: Maskur Z. editor. Penyakit menular seksual. Edisi kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2003.p. 79-84.

2. Sylvia Y M. Deteksi dini vaginosis bakterial pada kehamilan dapat menurunkan resiko persalinan preterm. [Online] 2001 [cited 2008 Feb 1]:[5 screens]. Available from : URL : http://www.kalbe.co.id/12 Deteksi Dini Vaginosis Bakterial.pdf/12 Deteksi Dini Vaginosis Bakterial.html.

3. Andra. Vaginosis bakterialis. [Online] 2007 [cited 2008 Feb 2]:[2 screens]. Available from : URL : http://www.majalah-farmacia.com.

4. Edwarda L. Vaginitis and balanitis. In: Edward L. editor. Genital dermatologis atlas. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2004. p.232-33.

5. Gor HB.Vaginitis.[Online]2006[cited 2008 Feb 1]:[12 screens] Available from : URL :http://www.emedicine.com/med/topic2358.htm.

6. Rahma SN, Adriani A, Tabri F. Vaginosis bacterial. In : Amiruddin MD. editor. Penyakit menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004. p. 147-60.

7. Judanarso J. Vaginosis bakterial. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia; 2005.p.384-90.

8. Faro S. Sexually transmitted diseases in women. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003.
9. Clutterbuck, D. Specialist training in: sexually transmitted infections and HIV. Edinburgh: Elsevier Mosby;2004.

10. Dharmawan N, Muchtar S V, Amiruddin MD. Flour Albus. In Amiruddin MD, editor. Penyakit menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;2004. p. 55-61.

11. Bacterial vaginosis. [online] 2008 [cited 2008 Feb 2]:[3 screens]. Available from: URL: http://www.wikipedia.org.

12. Stoppler M. Bacterial vaginosis. [Online] 2008 [cited 2008 Feb 2]:[4 screens]. Available from: URL: http://www.medicinenet.com/bacterialvaginosis/article.htm.

13. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz IS, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 6th ed. New York. McGraw – Hill; 2003.p.2212.

14. Neinstein LS. Sexually Transmitted Infections-Vaginitis (B3). [online] 2008 [cited 2008 Feb 26]:[6 screens]. Available from: URL : http://www.usc.com.

15.Campana A, editor. Bacterial vaginosis – Gardnerella vaginalis. [online] 2008 [cited 2008 Feb 26]:[2 screens]. Available from: URL: http://www.gfmer.ch/selected images V2/detail list.php.

16. Eichman AR. Other veneral diseases. In: Fitzpatrick TB, Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 4th ed. New York. McGraw-Hill; 2003.p.2764-68.

17. Makmur AAA, Ilyas SF, Djawad K. Trikomoniasis. In: Amiruddin MD, editor. Penyakit menular seksual. Makassar : Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004.p.243-51.


18. Hidalgo, J A. Candidiasis. [online] December 15, 2006 [cited 2008 Feb 5]:[6 screens]. Available from: URL: http://www.emedicine.com.

19. Musafirah S, Djawad K, Amin S. Kandidiasis vulvovaginal. In Amiruddin MD, editor. Penyakit menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004.p.253-62.

20. McKay M. Infections vulvovaginitis; candidiasis, trichomoniasis, and bacterial vaginosis. In: Black M. McKay M. Braude PR, Jones SAV, Margesson LJ, editors. Obstetric and gynecologic dermatology. 2th ed. Edinburg: Mosby; 2002.p.97-8.

21. Agustini S. Keputihan – Si Putih Yang Mengganggu. [online] May 11,2007 [cited 2008 Feb 27]:[3 screens]. Available from: URL: http://www.medikaholistik.com/2o33/2004/11/28.medika.html&module document.
 
Um..yeah..PICS

Click on the links for bigger sizes :)...or whatever. I don't know if I can post images or not :eek:
 
Last edited by a moderator:
Back
Top