" Halimah "

nieuwverhaal

New member

Melihat Halimah berlalu di depan rumahku, membuat aku melayangkan imaginasi pada hal yang tak ber’etika. Kelaki lakianku bergelora penuh, semarak dan menghentak hentak getarkan alam bawah sadar. Namun aku tak ingin merasa itu tak wajar, manusiawi untuk siapapun yang memandang Halimah.

Lekuk tubuhnya yang mengundang para lelaki berdecak kagum, wajah yang bersemu merah dan rambut yang bergelombang berkesan seksi dan menarik narik kami para lelaki untuk berasumsi sendiri sendiri. Itulah yang selalu aku rasakan, dan selalu aku tunggu setiap ia melintasi jalan depan rumahku sepulangnya dari kebun sayur milik bapaknya.

Usianya menginjak 28 tahun, usia yang cukup matang untuk perempuan seperti dirinya. Sudah pantas alat reproduksinya untuk berkembang dan dititipkan sebuah nyawa baru yaitu bayi dari orang yang akan menikahinya. Fantasis menurutku bila itu terjadi, antara aku dan dirinya.
Bagaimana tidak ?

Halimah gadis impianku sejak ia berusia 17 tahun, wooow begitu lama aku menyimpan rasa suka padanya dan tak berani lagi untuk mengungkapkan kedua kalinya. Bukan aku rendah diri, bukan pula aku tak punya nyali. Bahkan aku bisa sangat berani bila kesempatan itu tak terhalang silsilah.

Silsilah ?

Ya.. silsilah keluarga penghalang itu, ibuku dan bapaknya Halimah adalah kakak beradik. Yang berarti saudara sepersusuan dan haram untuk saling menikahi. Hingga detik ini , aku hanya bisa menikahinya dalam khayalanku sendiri. Malangnya Rusman ini … menyimpan cinta dalam khayalan dan berkompensasi dengan imaginasi sesaat setiap waktu. Terganjal etika, terganjal norma dan terganjal tali silsilah. Tapi tidak dengan imaginasiku, aku tak mau punya etika, biarlah seronok dalam alurnya. Alamiah mengalir hingga aku terpuaskan ..

“ Rusman, kenapa pula kau ini ? “

Amak risih melihat aku terpukau nafsu melihat lenggang Halimah yang baru saja melintas cepat. Halimah tahu aku selalu memandangnya dari balik jendela rumah . Rumah panggung khas dusun kami. Ia mempercepat langkahnya tiap kali dan tak berani mendongakkan kepala.

“ Tak apa apa Mak, biasa saja “ mengelak aku dari pertanyaan Amak.

“ Tak pantas kau seperti itu Man, dia adik sepupumu “ keluhnya lagi.

“ Ingatlah, Amak masih sakit hati dengan kejadian itu Man “ pintanya.

“ Ah sudahlah Mak, aku tak berniat apa apa “ aku berlalu dari jendela dan

beringsut ke kamar.

Di kamar berdinding papan Meranti ini, aku kembali melukis paras Halimah tersenyum malu di depanku. Mengantarkan sinyal sinyal asmara terlarang antar dua saudara. Walau aku tak yakin dengan ia berucap saat itu , namun aku tahu Halimah masih menyimpan rasa yang sama. Menginginkan pertalian lebih dari sekedar saudara. Kami hanya berdiam diri dan menikmatinya masing masing. Di alam bawah sadar kami jua.

Usianya baru 17 tahun waktu itu, Halimah bermalam di rumah karena ibu bapaknya sedang ke kota untuk perhelatan saudara jauh. Ia dititipkan pada Amak, selama 5 hari sampai keduanya pulang dari kota. Aku sendiri berusia 25 tahun saat itu, dewasa dalam perkembangan pubertas. Apa apa yang menyodok penglihatanku selalu saja aku terbawa pada khayalan nafsu yang tak terbendung. Hormon testoteronku sudah terlalu berlebihan kurasa.

Hingga malam itu aku mendengar suara orang yang sedang berkecipak dalam kamar mandi, kukira itu Amak yang sedang berwudhu menjelang sholat malam. Biasapun begitu. Lewat sekian menit aku berkeinginan untuk ke dapur sebab leherku terasa kering tercekik, haus yang luar biasa malam itu. Meminum air dari kendi obat haus yang sangat ampuh. Menyegarkan. Melewati dapur, aku menuju rak piring untuk mengambil gelas, tetapi pemandangan yang kudapat membuat darahku mengalir cepat dan tersentak takjub.

Halimah keluar dari kamar mandi berselimut handuk hijau yang hanya membelit dada dan sebagian dari pahanya. Ambooii .. cantiknya pualam ini ? Sisa air di bahu dan lengannya membuat aku menelan ludah dan makin tercekik kehausan. Rambut yang di gelung mempertontonkan tengkuknya yang jenjang di temaramnya lampu dapur. Lupalah aku akan kehausan, namun terbit kehausan yang lain. Sifat kelakianku meledak ledak.

“ Maaf Abang, Limah tak tahu abang ada disini “

Katanya seraya menangkupkan tangan di dada dan cepat cepat merapikan ujung handuk yang membungkus bagian pahanya. Kulihat pipinya merah padam dan tergesa ia menjauhi aku menuju kamar tidurnya. Aku mendesah, kenapa cepat sekali ia berlalu ? Aku belum lagi puas memandanginya dan merangkai kata untuknya. Yang tersisa hanya rasa yang menggantung dan menohok jiwaku.

Sejak itu, aku menyempatkan diri memandanginya diam diam, mengukir ukir rasa untuk memilikinya dan tak kudapat cara sebab itu tak mungkin dan tak boleh terjadi sampai kapanpun. Kecuali aku ingin mendurhakai orangtua dan Tuhan. Incest diharamkan dalam agamaku. Iba aku terhadap perasaanku ini . Cintaku merana dan tak berkembang sempurna , Rusman merayap di panah asmara. Ingin berlabuh namun pelabuhan itu tak bisa tuk bersandar dan membuang sauh di tengah laut. Hanya melihat dari kejauhan. Berpedoman mercu suar yang lampunya hampir sekarat. Klop lah sudah aku tersesat tak tentu arah dan menimbang menimbang dalam khayalan. Halimah…

Suatu hari Halimah, terpergok aku kembali. Tetapi tidak dengan kejadian yang sama. Dia tertangkap basah memandangku dari balik pintu rumahnya yang berdinding kayu Sungkai. Rupanya tergoda juga ia untuk memperhatikan aku sekilas mata. Anak gadis yang beranjak dewasa itu tersipu jengah. Aku membalas senyumnya dengan girang. Bagai kanak kanak.

Kudekati , Halimah tak lagi menjauh. Kusentuh jemarinya yang berpegang gagang pintu. Berjudi aku dengan kata kata semoga tak bertepuk sebelah tangan. Dalam hitungan detik, aku mendapat kalimat pendek untuk menyatakan cinta itu.

“ Limah, abang menyukaimu “ Plass ! lega diriku terucap sudah.

“ Abang, Limah jadi malu “, tapi matanya binar menatapku.

Kau berbohong Limah sayang.

“ Kenapa malu ? “ bersemangat aku menanyakannya.

Ingin jawaban yang sesuai perkiraanku.

“ Sebenarnya, Limah juga suka sama Bang Rusman “ , berlari dia menutupi

malunya.

Aaah, bersambut pula ternyata. Aku bahagia tak kepalang, ingin rasanya aku terbang ke rumah dalam sekejap mata dan menumpahkan hasrat dalam angan angan tentang Halimah. Hanya itu caraku menuangkan kekaguman pada adik sepupuku yang merentas dewasa ini. Sungguh tak beradab aku pada cinta yang yang tumbuh ini. Mengaduk cinta dengan nafsu pada saudara sendiri. Menggapai gapai namun sudah pasti takkan terjangkau olehku.

Sebetulnya aku ini serakah, ingin cinta tetapi lebih dulu ingin memiliki gairah. Bukanlah cinta lebih dulu barulah gairah yang akan menambahkan bumbu pelengkapnya.

Dan entah bagaimana Makcik, begitu bunda Halimah dipanggil mendengar anaknya disukai keponakannya. Berang lah beliau, dan mengira Amak tak pandai mendidik aku. Amak sakit hati dan melarang aku lagi mendekati Halimah. Hingga akhirnya silatuhrahmi keluarga merenggang dan meradang.

Bagiku picik sekali, bila tak setuju dan menganggap itu kesalahan besar yah sudahlah, tak perlulah berlebihan mengurai kata kata pada Amak. Asal dia tahu, Halimah juga mengakui bahwa ia juga menyukaiku. Namun tertahan kendala yang sama, Jadi bukan karena aku yang tak tahu diri dan tak punya sopan santun.. Tangan kami bertepuk bersama. Aku dan Halimah.

Kini sudah 11 tahun berlalu tak jua menyurutkan perasaanku padanya, tetap bergelora. Malah lebih jauh aku menjerumuskan pikiran. Bermain main dengan nafsu yang terpendam dan siap meledak bila tersentuh. Halimah sendiri tak kulihat punya hubungan dengan laki laki di dusun ini. Apakah ia juga memendam cinta padaku ataukah takut dengan ibu bapaknya. Yang ingin Halimah mendapat saudagar kaya dari istana seberang dan dari antah berantah. Tak takutkah mereka Halimah menjadi perawan tua. Posesif orang tua seperti itu. Anak di kandangkan sendiri tanpa diberikan pakan yang cukup. Kuumpamakan hewan ternak jadinya. Mungkin itulah ujung marahku pada saudara ipar Amak yang pongah pada anak perempuannya.

Aku makin terjebak di lumpur birahi , bermandi di kubangan imaginasi. Sehabis melihatnya berlalu lalang di depan rumah maka berpuas puaslah aku berkubang dalam jerat jerat diri sendiri yang terkekang. Membelenggu aku dan tak mampu melepaskan diri. Hingga kelelahan. Merayap lagi berkendara busur asmara yang melesat ke tubuh moleknya. Adik sepupuku Halimah.

Kan kutunggu selalu, ia melintas lagi dan lagi.. dari balik jendela rumah panggung kami.


[/LEFT][/RIGHT][/LEFT]
 
Back
Top