Belajar dari Kegagalan Honda

xraith

New member
Kegagalan merupakan label yang seringkali kita hubungkan dengan suatu tindakan yang tidak berhasil. Saat diterapkan, label ini membuat kita dikatakan sebagai orang yang tidak mampu, sehingga hal ini dapat menurunkan semangat kita untuk menjadi orang yang sukses. Pada saat kita masih kecil, kegagalan tidak mempunyai makna karena kita tidak mempunyai konsep ’kegagalan’. Jika kita memiliki konsep kegagalan, maka kita tidak akan dapat berbicara, menulis, dan berjalan. Karena untuk berbicara, menulis, dan berjalan, kita harus melalui kegagalan yang tak terhitung jumlahnya. Demikian juga dalam dunia kepemimpinan, juga dapat meniru kegagalan kita di masa kecil dan kita dapat belajar dari kegagalan tersebut.

Soichiro Honda sudah harus keluar dari sekolah pada 1922. Ia hanya mengenyam pendidikan selama delapan tahun. Anak yang baru berusia 15 tahun dari kota kecil merasa bangga dengan memperbaiki 10 mobil pada saat ramai. Ia diangkat sebagai asisten mekanik, tetapi pekerjaannya kadang-kadang hanya sebagai ‘baby-sitter’ anak laki-laki pemilik bengkel tersebut. Honda bermimpi untuk menjadi ahli mekanik mobil dan ia tidak pernah mendapat kesempatan itu. Ia frustasi, kemudian mengemasi tasnya dan keluar dari pekerjaannya dan meninggalkan kota besar. Enam bulan kemudian, saat bengkel membutuhkannya, ia dipanggil untuk membantu memperbaiki mobil. Akhirnya, ia memperoleh peluang untuk meraih mimpinya.

Seperti halnya negara lain, Jepang dihantam depresi besar pada tahun 1930-an. Pada tahun 1938, ketika memulai membuka bengkel dan mengembangkan konsep piston berbentuk cincin, Soichiro Honda masih sekolah. Ia berencana untuk menawarkan idenya kepada Toyota Ia bekerja siang dan malam, bahkan sering tidur di bengkel. Ia selalu percaya bahwa ia dapat menyempurnakan rancangan dan memproduksi suatu produk yang bermanfaat. Untuk memulai usaha, ia menggunakan modal berupa perhiasan dari istrinya. Ketika rancangan tersebut dibuat sampel dan ditawarkan kepada Toyota, piston tersebut tidak memenuhi standar. Para teknisi mentertawakan rancangannya. Meskipun gagal, ia tetap kukuh pada pendiriannya dan belajar dari kegagalannya. Setelah dua tahun lebih bertahan dan merancang ulang, ia memenangkan kontrak dari Toyota. Ia membangun pabrik untuk memenuhi permintaan Toyota, tetapi pabriknya dibom dua kali semasa perang, sehingga menjadi berantakan. Ia tetap gigih untuk mewujudkan impiannya untuk mendirikan pabrik, tetapi sekali lagi pabriknya dihancurkan oleh gempa bumi yang dahsyat.

Setelah perang usai, terjadi kekurangan bahan bakar yang memaksa orang-orang untuk berjalan atau menggunakan sepeda. Honda membuat mesin kecil yang dapat dipasang di sepeda, tetapi ia kesulitan mendapatkan material, sehingga tidak dapat memenuhi permintaan. Honda menulis surat kepada 18.000 pemilik toko sepeda, tetapi ia hanya memperoleh uang yang sedikit. Meskipun demikian, dengan uang seadanya tersebut, ia membuat mesin kecil untuk sepeda. Pada model pertama, hasilnya terlalu memakan tempat agar dapat bekerja secara baik. Oleh karena itu, ia terus mengembangkan dan mengadaptasi sampai akhirnya menghasilkan mesin yang kecil. ‘The Super Cub’ menjadi kenyataan dan meraih sukses. Setelah sukses di Jepang, Honda mulai mengekspor ke Eropa dan Amerika

Pada 1970-an terjadi kelangkaan bahan bakar, maka di Amerika orang-orang berpindah dari kendaraan besar ke kendaraan yang lebih kecil. Honda dengan cepat menangkap trend ini. Sekarang, Honda Corporation mempunyai karyawan lebih dari 100.000 orang di Amerika dan Jepang, membawahi 43 perusahaan di 28 negara yang merupakan salah satu perusahaan kendaraan terbesar di dunia dan menjadi perusahaan peringkat 26 yang paling mengagumkan dunia pada tahun 2003. ”Apa yang dilihat orang pada kesuksesan saya hanya 1 %, tetapi apa yang tidak mereka lihat 99 %, yaitu kegagalan-kegagalan saya,” kata Soichiro Honda.

Penulis : M. Suyanto , Ketua STMIK AMIKOM
 
yah... menurutku hal yang paling sulit adalah bagaimana caranya qt bertahan menghadapi kegagalan-kegagalan qt....
 
Pernah liat sepeda biasa yang dipasangi mesin di rumah salah satu murid les saya, ortunya punya toko spare-part sih, dan murid saya itu kayaknya suka otak-atik juga.

kadang-kadang bakat itu menurun ke generasi baru dalam keluarga. Misalnya ayah seorang petinju, maka anak2nya ada yang nurun bakat ayahnya
 
Back
Top