Bhagavadgita Online

Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 11

Berkatalah Arjuna:

51. Sekali lagi kulihat bentuk manusiaMu yang lembut, oh Kreshna, dan jiwaku berubah tenang. Aku kembali ke sifatku yang semula.
Mulailah hilang rasa takut dan gentar sang Arjuna, setelah melihat vujud lembut Yang Maha Pengasih. Yang dimaksud dengan wujud lembut Sang Kreshna adalah wujudNya sebagai manusia. Di versi lain Bhagavat Gita yang diterjemahkan oleh pengarang-pengarang lainnya, maka di sloka-sloka di atas diterangkan bahwa Yang Maha Esa, mengubah DiriNya dari bentukNya yang menyeramkan ke bentuk Sang Batara Vishnu yang lembut dan bertangan empat, dan langsung kemudian merubah DiriNya lagi ke bentuk lembut Sang Kreshna. Walaupun oleh penterjemah buku ini XL Vaswani tidak disebutkan secara jelas hal di atas ini, tetapi sudah terang maksudnya demikian, karena pada sloka-sloka di bawah ini ada hubungannya dengan bentuk Sang Vishnu tersebut.



Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

52. Sukar sekali untuk melihat bentukKu yang telah kau saksikan ini (bentuk Sang Vishnu bertangan empat). Bahkan para dewa mendambakan sekali melihatKu dalam bentuk ini.


53. Tetapi tak dapat Aku terlihat dalam bentuk yang telah kau saksikan ini, walaupun dengan (mempelajari) Veda-Veda, dengan puasa, dengan pemberian-pemberian atau dengan pengorbanan-pengorbanan.
Sang Kreshna menegaskan sekali lagi kepada Arjuna, bahwa tidak mungkin la dapat terlihat dalam bentuk agungNya seperti yang disaksikan oleh Arjuna baru saja, walaupun seseorang menyiksa dirinya setengah-mati, atau beramal sebanyak apapun juga, atau bahkan dengan mempelajari Veda-Veda selama apapun juga. Mengapa Sang Kreshna mengulang semua pernyataan ini kepada Arjuna? Karena dibalik itu tersirat suatu jalan untuk melihatNya dalam bentukNya yang mulia dan maha suci ini, dan jalan itu juga terbuka untuk kita semua. Perhatikanlah sloka-sloka yang menyusul di bawah ini, karena sebenarnya yang dikenhendaki oleh Yang Maha Esa dari kita semuanya ini amat sederhana sifatnya dan bukan yang sukar-sukar atau yang menyiksa diri sendiri. Lihat sloka yang berikutnya ini.


54. Tetapi hanya dengan kesetiaan kepadaKu semata — kesetiaan (dedikasi) yang tak terpecah-pecah — maka Aku akan diketahui dan terlihat dalam intisariKu dan bahkan dimasuki ke dalamNya, oh Arjuna!


55. Seseorang yang bekerja untukKu, yang menjadikan DiriKu sebagai tujuan yang suci dan agung -- ia, pemujaKu, lepas dari keterikatan, tanpa rasa-jahat kepada sesama makhluk, ia datang kepadaKu, oh Arjuna!
Jadi sebaiknya seseorang tak perlu untuk mencari-cari kekuatan-kekuatan gaib untuk dirinya agar menjadi sakti atau berpengaruh secara duniawi. Yang Maha Esa dan yang peneranganNya tidak dapat dicapai dengan kesaktian jenis apapun juga, karena kesaktian yang sejati diberikanNya sendiri kepada mereka-mereka yang memenuhi kriteria-kriteriaNya untuk hal-hal tersebut; penggunaan kesaktian-kesaktian ini umumnya harus bersifat kemanusiaan dan untuk sesamanya dan demi pengabdian kepadaNya semata. Kesaktian semacam ini umumnya timbul atau datang tanpa diminta dan merupakan karuniaNya yang khusus untuk pemuja-pemujaNya yang tulus dan beriman dan tanpa-pamrih. Maka seyogyanyalah berdedikasi kepadaNya tanpa terpecah-pecah iman maupun pikiran kita, terpusat seluruhnya kepadaNya semata, dan jadikanlah Ia tujuan kita yang suci dan agung, dan cintailah, hormatilah, dan tolonglah sesama makhluk di dunia ini secara merata dan tanpa diskriminasi, karena bagaimana mungkin sesorang mencintaiNya dengan tulus kalau ia tidak mencintai atau mengasihi semua ciptaanNya di alam semesta ini secara tulus. Jangan sekali-kali menyakiti hati orang lain, atau mengusik makhluk lainnya yang tidak berdosa maupun yang berdosa tanpa seseuatu alasan yang pasti dan dapat dipertanggung-jawabkan kepadaNya. Dengan begitu kita akan meniti jalan ke arahNya. Jadi intisari ajaran-ajaran Sang Kreshna adalah kalau seseorang ingin melihatNya atau ingin mencapaiNya atau dengan kata lain ingin mengetahui dan mengenal ilmu pengetahuan yang agung dan suci dan kebijaksanaan yang agung dan suci ini, maka jalannya amat sederhana, yaitu "dedikasi dan kesetiaan yang tulus kepadaNya semata." Benar kata Sri Shankar Acharya, seorang guru besar Hindu di masa yang lalu, bahwa sloka 55 pada bab ini sebenarnya adalah "intisari dari seluruh Bhagavat Gita."
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kresnha dan Arjuna, bab ini adalah bab yang kesebelas yang disebut: Vishvarupa Darshana Yoga atau Ilmu pengetahuan Tentang Penglihatan Bentuk Kosmos.
 
Bab 12 - Jalan Dedikasi (Bhakti)

Berkatalah Arjuna:

1. Para pemuja yang selalu harmonis, memujaMu, dan para pemuja lainnya yang memuja Yang Tak Terbinasakan, Yang Tak Berbentuk - di antara mereka ini, yang manakah yang lebih terpelajar dalam ilmu pengetahuannya (dalam yoganya.)
Pertanyaan ini mungkin telah menggelitik kita selama ini, karena pasti merupakan salah satu pertanyaan di dalam hati sidang para pembaca yang terhormat. Yang manakah yang lebih baik atau sempurna, memuja Sang Kreshna dalam bentuk manusiaNya, atau memuja Yang Maha Esa (Para Brahman), Yang Maha Agung dan Abadi, Yang Tak Berbentuk, Yang Maha Hadir dan Yang Tak Terbinasakan. Jalan manakah yang terbaik: berbhakti kepada Sang Kreshna atau berkonsentrasi kepada Sang Brahman Yang Tak Terlihat oleh mata duniawi kita? Dalam pemujaan terhadap Sang Kreshna terdapat dua faktor penting, yaitu bhakti dan/atau dedikasi, dan kedua seva atau pekerjaan/pemujaan yang dipersembahkan kepadaNya. Dengan kata lain: bekerja untukNya. Tetapi dalam pemujaan kepada Yang Maha Esa Para Brahman, bhakti atau seva tidaklah dianggap penting, yang penting adalah meditasi secara terus-menerus (berkesinambungan) atau pemfokusan pikiran (mental) yang terus-menerus kepada Yang Maha Esa (kontemplasi). Tentu saja bagi Arjuna di masa itu, dan bagi kita di masa kini, pertanyaan akan timbul, pemujaan yang manakah yang terbaik, sebenarnya bukankah Sang Kreshna dan Para Brahman ini sama saja, dua dalam satu, atau satu yang menjadi dua.


Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

2. Mereka yang memusatkan pikirannya kepadaKu, memujaKu, yang selalu harmonis dan terlapis dengan iman yang tertinggi - merekaKu anggap sebagai yogi-yogi yang terbaik.

3. Mereka yang memuja Yang Maha Tak Terbinasakan, Yang Tak Terterangkan, Yang Tak Berbentuk, Yang Selalu Hadir, Yang Tak Terpikirkan, Yang Tak Berganti-ganti, Yang Tak Bervariasi, Yang Konstan -
4. (Mereka yang memuja dengan cara demikian), menahan indra-indranya, memandang setiap benda secara sama-rata, bahagia dengan kesentosaan setiap makhluk -- mereka pun datang padaKu.
5. Mereka yang pikirannya terpusat kepada Yang Maha Esa (Yang Tak Berbentuk), berusaha secara susah-payah (untuk mencapaiNya); karena jalan ke arah Yang Maha Esa ini sukar bagi mereka yang memiliki raga.
Sang Kreshna mengatakan bahwa kedua bentuk methode dedikasi atau pemujaan di atas adalah benar, tetapi dengan memuja Sang Kreshna dalam bentuk manusia itu lebih efisien atau mudah, karena manusia cenderung memilih bentuk yang mudah dimengerti, sedangkan Yang Maha Esa dalam bentukNya yang tak terlihat dan tak berwujud, tentu saja sukar untuk dihayati dan dijangkau oleh rata-rata manusia, apa lagi yang masih gemar akan kenikmatan duniawi, tetapi ini tidak berarti lalu tidak ada manusia yang mampu langsung mencapaiNya (Para Brahman). Sebenarnya dalam sejarah agama Hindu terdapat banyak bukti bahwa banyak sekali individu-individu suci yang mampu menjangkauNya (mencapai Yang Maha Esa) dan bersatu denganNya. Bagaimana pun juga setelah tahap pemujaan kepada Sang Kreshna maka pemuja ini pada kesempatan berikutnya akan diteruskan kepada Sang Brahman juga. Di sini Sang Kreshna bertindak amat demokratis dan fleksibel, la memperbolehkan para pemuja untuk memuja dengan jalan apa saja sesuai dengan keinginan kita.

6. Mereka yang mengkonsentrasikan setiap tindakan mereka kepadaKu, memandangKu sebagai Tujuan Yang Agung dan Suci, dan yang dengan dedikasi yang tunggal, memujaKu dan bermeditasi kepadaKu,

7. Mereka ini, oh Arjuna, dengan segeraKu selamatkan dari samudra kematian dan kehidupan, mereka yang pikirannya selalu terpusat kepadaKu.
Di sini terlihat Sang Kreshna menganjurkan Arjuna untuk memilih jalan bhakti kepada Sang Kreshna, karena sebagai manusia yang memiliki raga, jalan ini lebih cepat dan mudah. Dan dengan jalan ini pun asalkan dedikasinya tak terpecah-pecah, maka pasti akan diselamatkan dari dunia yang penuh dengan derita ini.

8. Pusatkan padaKu semata pikiranmu dan letakkan pengertianmu di dalamKu. Dan tanpa ragu lagi sesudah ini dikau akan tinggal denganKu semata.

9. Tetapi jika dikau tak mampu secara teguh memusatkan pikiranmu padaKu, sebaiknya dikau berusaha untuk mencapaiKu, oh Arjuna, dengan yoga yang penuh konsentrasi dan usaha yang terus-menerus.

10. Dan juga sekiranya dikau tak mampu untuk mengusahakan konsentrasi, beritikadlah untuk bertindak demi Aku. Bekerjalah demi Aku, dan dikau akan mencapai kesempurnaan.

11. Dan sekiranya dikau tak bersemangat untuk bertindak demikian, maka lepaskan hasrat untuk mendapatkan hasil dari tindakan-tindakanmu, carilah perlindungan dan berdedikasilah kepadaKu, dengan cara mengendalikan dirimu.
Sang Maha Pemurah Hati, Sang Kreshna mulai menerangkan cara-cara atau tahap-tahap dedikasi menuju Sang Kreshna, dan semua keterangan ini diberikan dengan cara yang amat demokratis dan tidak mengikat atau memaksa Arjuna atau pun kita semua. Cara-caraNya amat mudah dan dapat disarikan sebagai berikut ini:
a. Pusatkan pikiran kepadaNya semata dan usahakan agar pengertian kita ada dalam DiriNya (Sang Kreshna atau Yang Maha Esa). Konsentrasi pikiran dan daya intelek kita pada Sang Kreshna, Yang Maha Esa, secara perlahan, terarah dan pasti, adalah cara yang terbaik. Berkonsentrasi kepadaNya walaupun ditengah-tengah kesibukan pekerjaan kita menandakan makin matangnya kita dan dedikasi kita kepadaNya. Pikiran (mind) dan buddhi (intelek atau pengertian yang benar) kalau digabung dan dipusatkan kepadaNya pasti akan menghasilkan keajaiban-keajaiban atau pengalaman-pengalaman yang menakjubkan dan tak dapat dipercaya oleh orang lain. Dengan jalan lain semua ini mengajurkan kita untuk bermeditasi atau bersemedi barang sejenak setiap harinya dengan meluangkan sekedar waktu yang khusus untuk dan kepada Sang Kreshna, Yang Maha Esa dengan penuh bhakti dan dedikasi, dan kasih yang tulus.
b. "Dengan ilmu pengetahuan (yoga) yang penuh usaha, cobalah untuk mencapaiKu," kalau pertama di atas tadi seseorang dianjurkan bermeditasi atau memusatkan pikiran dan inteleknya kepada Sang Kreshna, maka pada anjuranNya yang kedua disabdakan kepada mereka yang tidak mampu melakukannya untuk mencoba dengan usaha-usaha untuk mencapaiNya, dan ini disebut abhyasa-yoga (yoga usaha atau disiplin kebebasaan), yang merupakan tahap yang lebih mudah bagi seseorang. Abhyasa atau kebiasaan memujaNya pasti lambat laun akan meningkat menjadi suatu yang teguh, dan kemudian proses ini lambat laun akan berubah menjadi meditasi pada suatu saat. Untuk menjadi meditasi maka Yang Maha Kuasa pasti akan menunjukkan jalannya waktu saat untuk itu tiba.
c. "Berkemauanlah bekerja demi Aku," kalau samadhi atau meditasi belum dapat dilaksanakan maka sebaiknya abhyasa, tetapi kalau yang kedua ini pun masih sukar untuk dilaksanakan, maka cobalah jalan ketiga yang bersifat tahap yang lebih awal lagi dari dua jalan di atas tadi, yaitu kita sebaiknya mencoba bekerja demi Sang Kreshna, Yang Maha Esa, dalam setiap tindakan kita. Secara mental kita berusaha untuk menyerahkan semua hasil pekerjaan kita kepadaNya. Apapun yang kita lakukan, apakah itu makan dan minum, tidur, bekerja demi keluarga, kewajiban apapun yang kita lakukan, lakukan demi pemujaan terhadap Yang Maha Esa semata, jadikanlah Ia tujuan atau cita-cita akhir kita semuanya.
d. "Serahkan atau pasrahkan semua hasil pekerjaanmu kepadaNya," dan kalau bekerja unrukNya masih terasa sukar, maka Sang Kreshna dengan amat demokratis dan banyak kompromi, dan dengan kasihNya menganjurkan agar hasil atau efek atau buah dari setiap tindakan, pekerjaan, aksi atau perbuatan kita dipersembahkan kepadaNya. Tidak berlebihan bukan anjuran Yang Maha Pengasih ini? Kita tetap saja bekerja demi keluarga dan kewajiban kita, tetapi semua hasil atau efek dari pekerjaan ini secara mental kita persembahkan kepadaNya, dan terserah kepadaNya apapun hasil pekerjaan itu, karena bukankah semua ini dariNya, untukNya dan olehNya juga! Pasrahkanlah semua nya kepada Yang Maha Esa, dan terjadilah apa yang harus terjadi sesuai dengan kehendakNya semata. Berimanlah kepadaNya selalu, dan semuanya akan berakhir dengan baik sesuai dengan rencana-rencanaNya yang telah diaturNya secara cermat dan terperinci masing-masing untuk setiap individu dan makhluk dan lain sebagainya. Sekali semuanya sudah dipasrahkan dan dipersembahkan kepadaNya, maka semua itu bukan masalah atau kenikmatan kita lagi, tetapi sudah menjadi persoalan Yang Maha Esa kembali, jadi terjadilah apa yang harus terjadi. Yang penting adalah iman kita kepadaNya dalam segala-galanya. Serahkanlah setiap sukses dan kegagalan kita kepadaNya, dan jangan sekali-kali meminta atau mengharapkan apapun dariNya kecuali kehendakNya, dan bekerjalah selalu sesuai dengan kewajiban kita. Terimalah semua kehendakNya dengan senang, pasrah, tulus dan jujur dan tanpa pamrih. Berterima-kasihlah untuk semua yang telah diberikanNya kepada kita, apapun itu sifatnya. Sloka-sloka berikutnya banyak menyiratkan pemberian dan kasih-sayang Yang Maha Esa kepada kita semua.

12. llmu pengetahuan itu lebih baik sifatnya daripada usaha konsentrasi yang terus-menerus, meditasi itu lebih baik daripada ilmu pengetahuan, dan yang lebih baik dari meditasi adalah persembahan semua hasil perbuatan karena setelah itu menyusullah kedamaian,

Secara bertahap sebenarnya Sang Kreshna menganjurkan kita meniti jalan ke arah kedamaian dalam hidup ini, yaitu melalui abhyasa (usaha dan konsentrasi) lalu menanjak ke ilmu pengetahuan, alau naik lagi ke meditasi, dan lalu yang lebih tinggi lagi, yaitu pemasrahan secara total semua hasil dari perbuatan kita, dan setelah pemasrahan total ini maka akan ditemui kedamaian. Sebenarnya semua tahap atau jalan yang diajarkan Sang Kreshna itu penting bagi kehidupan spiritual kita, tetapi yang paling penting adalah pemasrahan secara total semua hasil dari perbuatan kita secara sadar dan tulus, dan tanpa pamrih yang diikuti oleh mental atau pikiran dan buddhi kita secara paralel. Inilah sebenarnya rahasia agung dan suci yang tersirat dalam ajaran-ajaran Sang Kreshna dalam Bhagavat Gita, dan kalau kita secara tulus, suci dan sadar melaksanakan semua ini, maka yang dikembalikan kepada kita ini adalah rasa kedamaian yang tak ada taranya, dan apa lagi yang lebih penting untuk sesuatu makhluk hidup di dunia ini kalau bukan rasa damai yang tanpa disertai rasa takut atau khawatir dalam menjalani hidup ini!

13. Seseorang yang tak mempunyai itikad buruk terhadap siapapun (dan apapun), bersikap bersahabat dan selalu simpatik, bebas dari rasa egoisme dan rasa memiliki, dalam suka dan duka bersikap tenang, selalu memaafkan;

14. Sang yogi ini yang selalu menerima apa yang didapatkannya, selalu harmonis dan menjadi tuan (yang berkuasa) atas diri pribadinya sendiri, tegas, dengan pikiran dan intelek yang didedikasikan kepadaKu — ia, pemujaKu ini, adalah yang Kukasihi.
Sang Kreshna menyambung ajaran-ajaran dan keterangan-keterangan spiritual yang penting untuk dipelajari Arjuna dan kita semua. Kita kemudian sekarang ini dapat menilai diri-pribadi kita masing-masing, menilai karakter dan jiwa kita masing-masing apakah jalan-hidup kita sudah sesuai dengan yang dianjurkan Sang Kreshna Yang Maha Pengasih ini atau masih jauh dari itu semua? Dan kalau sudah memenuhi semua kriteria-kriteria di atas maka, apakah ungkapan itu jujur dan tulus dan disertai rasa kesadaran yang sejati, atau hanya dibuat-buat atau dirasakan saja? Berkarakter atau bersifat seperti yang dianjurkan Sang Kreshna ini tidaklah mudah dilakukan oleh manusia yang duniawi sifatnya, walaupun nampaknya anjuran-anjuran Sang Kreshna ini mudah dan sederhana. Diperlukan latihan, penghayatan dan kesadaran yang harus dilalui dengan proses yang memakan waktu dan disiplin spiritual yang ketat dan tegar.

15. Seseorang yang tidak mengusik dunia ini dan tidak terusik oleh dunia ini, yang bebas dari rongrongan rasa nikmat, marah, dan takut — ia adalah yang Kukasihi.

Yang dimaksud Sang Kreshna di atas ini adalah seseorang yang tak mengusik, mengganggu dan menyusahkan orang lain, makhluk-makhluk lain dan alam serta benda-benda di mana pun juga tanpa sesuatu alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan; dan tindakan semacam ini tidak dapat ditolerir olehNya walaupun sekecil apapun tindakan ini. Juga orang ini (pemujaNya) sebaliknya tidak merasa susah atau merasa diganggu atau terusik oleh orang maupun makhluk lain, karena sadar bahwa semua ini adalah ciptaan-ciptaanNya dan terjadi karena kehendakNya dan pada dasarnya adalah la juga. Orang yang sadar ini disebut harmonis sifatnya. la telah lepas dari segala bentuk rasa takut, senang, marah dan penampilannya selalu harmonis dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Orang semacam ini adalah "kekasihNya" (Yang dikasihiNya).

16. Seseorang yang tak berambisi, yang bersih, cekatan dan cerdik dalam tindakan, tak bernafsu, bebas dari rasa takut, yang mempersembahkan hasil dari setiap keputusannya kepadaKu - ia, pemujaKu adalah yang Kukasihi.

17. Seseorang yang tidak bergembira, tidak membenci, tidak bersedih, tidak bernafsu (berangan-angan untuk memiliki atau menikmati sesuatu), yang mempersembahkan buah dari kebaikan dan keburukan - pemujaKu yang setia adalah yang Kukasihi.

Seseorang yang tak berambisi untuk diri-pribadinya sendiri dan tak mengharapkan apapun juga dari segala tindakan-tindakannya, baik secara fisik, mental maupun spiritual dan material; yang tegas, peka, ahli dan bekerja dengan cekatan demi kebenaran dan hal-hal yang positif; yang secara cepat mengambil keputusan dalam suatu keadaan darurat, dan yang selalu memasrahkan hasil dari setiap keputusan dan perbuatannya baik yang buruk maupun yang baik kepadaNya semata, tidak akan mempunyai rasa takut untuk menghadap masa depan dan semua yang dihadapiNya. Yang tak mementingkan atau menginginkan sesuatu dan tak bersedih hati untuk apapun yang dihadapinya adalah yang "dikasihiNya," yang dikasihi oleh Sang Kreshna. Andaikan sang pemuja yang penuh dedikasi dan kesetiaan ini sudah mempersembahkan dirinya secara total sebagai alat kepada Yang Maha Esa, maka sang alat ini lalu sadar bahwa ia seharusnya berkewajiban untuk dipergunakan oleh Yang Maha Esa sesuai dengan kehendakNya, apapun kehendakNya itu, dan semua hasil pekerjaan yang dilakukannya bukan miliknya tetapi milik Yang Maha Menentukan, jadi lalu apa lagi yang harus disedihkan dan apa lagi yang harus digembirakan? Apa lagi yang harus membuatnya marah, benci atau dendam dan bebagainya? Tidak ada lagi! Semua adalah pekerjaanNya, dan semua adalah alat-alatNya semata yang memainkan peranannya masing-masing di dunia ini; dalam kehidupan kita ini! Semakin ia sadar akan hal ini, semakin dikasihi ia olehNya, Yang Maha Pengasih dan berbahagialah ia yang merasa dikasihi dan dilimpahi oleh kasih Yang Maha Kuasa, karena mencapai status ini tidaklah mudah dan boleh dikatakan amat langka dalam dunia yang penuh dengan ilusi duniawi ini. Yang Maha Esa Sendiri sebenarnya Amat Pengasih, terserah pada kita ingin mendapatkan limpahan kasihNya yang bersinar terus secara sama rata untuk setiap makhluk-makhlukNya, atau terserah kita untuk menolak kasih ini dan lebih erat lagi merangkul nafsu-nafsu duniawi kita dan terikat erat kepada nafsu-nafsu ini.

18. (Seseorang) yang bersikap sama terhadap seorang teman atau seorang musuh, sama terhadap dingin dan panas, terhadap kenikmatan dan penderitaan, bebas dari keterikatan,

19. Menerima secara sama rata pujian dan fitnah, bersikap diam, merasa cukup dengan apa yang diterimanya, tak memiliki rumah, berpikiran stabil, ia pemujaKu yang setia, adalah orang yangKu kasihi.

Andaikan seseorang bersikap sama terhadap semua kejadian yang menimpanya, seperti senang dan susah, pujian atau hinaan, panas atau dingin, dan merasa semua itu sama saja kadarnya, dan selalu merasa cukup dengan apa yang melandanya dan apa yang diterimanya dan menganggapnya sebagai pemberianNya jua, maka orang suci semacam ini adalah orang yang dikasihiNya. Andaikan ia tenang dan damai dalam menghadapi segala sesuatu dan menyebarkan kedamaian ini pada orang-orang di sekitarnya dan pada dirinya secara senantiasa, maka jadilah ia seorang mauni (yang tenang dan damai secara lahir dan batin). Andaikan ia merasa tak memiliki rumah atau tempat-tinggal (aniketah), yaitu dengan kata lain berarti ia merasa dunia ini bukan milik atau rumahnya yang sejati, tetapi ia hanya seorang musafir yang sedang melakukan perjalanannya (yatra) demi suatu kewajiban yang disandangnya demi Yang Maha Esa, dan merasa bahwa rumah atau tempat-tinggalnya yang abadi ada di dalam Sang Kreshna, Yang Maha Esa, maka jadilah ia seorang yang paling dikasihi oleh Sang Kreshna, dan manusia suci semacam ini selalu tersenyum penuh arti dalam segala tindakannya; ia selalu bersikap tenang-tenang saja penuh arti.

20. Mereka, yang benar-benar memuja dharma (hukum) yang abadi ini, seperti yang diajarkan ini, dan penuh dengan iman, mempercayaiKu sebagai Yang Maha Agung dan Suci -- mereka, para pemujaKu, adalah yangKu kasihi.
Dan seorang pemuja yang tulus yang memuja dan menjalani dharma atau hukum yang diajarkan Sang Kreshna ini, yang adalah suatu bentuk dharma yang abadi dan tak akan pernah sirna sepanjang masa, dan yang mengantarkan kita semua kepada tujuan Yang Agung dan Suci, yaitu Sang Kreshna atau Yang Maha Esa itu Sendiri; pemuja semacam ini adalah yang dikasihiNya. Jelas sudah pesan-pesan Sang Kreshna untuk kita semuanya. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ke dua-belas ini disebut:
Bhakti Yoga Atau Ilmu pengetahuan Tentang Dedikasi
 
Bab 13 - Falsafah Kehidupan

Berkatalah Arjuna:

Oh Kreshna, daku berhasrat sekali untuk mempelajari hal-hal tentang Prakriti (alam) dan Purusha (Sang Jiwa), tentang ladang dan tentang Yang Mengetahui ladang ini (Sang Pengenal ladang), tentang ilmu pengetahuan (kebijaksanaan) dan tentang hal-hal yang perlu untuk diketahui.
Sloka di atas ini tak bernomor, dan sering tak diterjemahkan karena dianggap sebuah sisipan.


Berkatalah Yang Maha Pengasih:

1. Raga ini, oh Arjuna, disebut sebagai ladang. Seseorang yang sadar (tahu, mengenal) akan hal ini disebut sebagai sang pengenal ladang ini, oleh mereka yang mengetahuinya (para resi).
2. Kenalilah Aku sebagai Yang Mengetahui ladang dari semua ladang-ladang, oh Arjuna! Ilmu pengetahuan tentang ladang dan yang mengetahuinya -adalah ilmu pengetahuan yang Ku anggap sebagai ilmu pengetahuan yang sejati.

Dalam bab ini Sang Kreshna menerangkan tentang filsafat (falsafah) kehidupan ini; ibaratnya menilai suatu kehidupan di atas batu-karang yang kering dan gersang, maka setiap manusia sebenarnya memerlukan suatu filsafat-kehidupan (suatu pegangan) agar kehidupan dapat dijalaninya dengan sempurna. Dan untuk itu, pertama-tama amat penting untuk menyadari atau memahami dua sifat dominan — manusia dan alam semesta kedua sifat ini disebut — Prakriti dan Purusha. Prakriti adalah benda atau raga, dan diibaratkan sebagai ladang (kshetrari), dan Purusha adalah Sang Jiwa yang disebut dan dikenal sebagai Yang mengetahui tentang ladang ini (Kshetragnd).
Bahkan dalam Injil pun Yesus Kristus pun sering menyebut tentang ladang dan penabur benih dalam parabel-parabelnya. Jadi bukan saja hal ini disiratkan dalam agama Hindu saja tetapi dapat juga dilihat dan dihayati dalam agama-agama lainnya. Di sini dapat dikatakan bahwa yang disebut ladang adalah raga kita sendiri dan Sang Penabur Benih adalah Sang Kreshna, Yang Maha Mengetahui ladang ini, la bersemayam di dalam diri kita. Dan yang disebutkan sebagai benih di sini adalah kebijaksanaan (gnanam), yang selalu ditaburkan olehNya untuk kita semua agar sadar dan kembali ke jalanNya. Sang Kreshna di sini berbicara tentang ladang, tentang yang mengenal ladang dan tentang ilmu pengetahuan dalam bentuk kebijaksanaan. Prakriti adalah ladang: di dalamnya setiap benda dan makhluk tumbuh dan berkembang, lalu layu dan akhirnya binasa, dan hidup dan tumbuh baru lagi. Prakriti adalah suatu bentuk aktivitas. Di dalam Prakriti dituai buah atau hasil dari setiap tindakan dan perbuatan kita ~ ibarat sebuah ladang saja. Fungsi Prakriti adalah aktivitas tanpa dilandasi oleh kesadaran sejati.

Gnanam (kebijaksanaan) adalah benih yang ditabur dan dituai dari ladang ini; kebijaksanaan ini adalah ilmu pengetahuan tentang ladang dan tentang Yang Mengetahui atau Yang Mengenal ladang ini. Di alam semesta ini apapun yang kita lihat adalah gabungan atau kombinasi dari Purusha dan Prakriti, antara Sang Jiwa dan benda, antara roh dan raga. Sang Jiwa, Sang Purusha adalah Kshetragna (Yang Mengetahui Ladang) dan Yang Mengetahui adalah Sang Kreshna, yang dengan kata lain adalah Yang Maha Esa itu Sendiri.

3. Dengarkanlah secara terperinci, dariKu, apakah ladang itu, dan apakah sifatnya, apakah modifikasi-modifikasinya, bilakah la (ada), apakah la (Yang Mengetahui tentang ladang) itu, dan apa sajakah kekuatan-kekuatanNya?

4. Para resi telah meyabdakannya dengan berbagai cara, dengan berbagai mantra, dengan sabda-sabda dalam Brahma-Sutra — disabdakan dengan penuh alasan dan kata-kata yang konklusif, penuh dengan kebijaksanaan Yang Maha Abadi.
Ajaran mengenai ladang dan yang mengetahui ladang ini, bukan ajaran baru, tetapi sudah muncul dalam pustaka-pustaka dan ajaran-ajaran Hindu kuno, dan sudah dikenal oleh orang-orang yang mempelajarinya di zaman dahulu.
5. Lima elemen kasar, dan rasa "ke-aku-an," juga pengertian akan yang tak berbentuk kesepuluh indra dan pikiran, dan kelima indra yang utama,

6. Keinginan (nafsu) dan rasa-benci, kenikmatan dan penderitaan, bentuk kolektif, intelegensia, keteguhan - semua ini, secara terperinci diterangkan, sebagai yang mencakup ladang ini dan modifikasi-modifikasinya.
Kshetra (atau ladang) ini terdiri dan 24 prinsip, yaitu:

1. Avyakta - yang tak berbentuk. Ini adalah Sang Maya (Ilusi-Ilahi), di mana semua akan terserap sewaktu terjadi pralaya atau kiamat.
2. Ahankara — rasa ego, rasa ego yang didasarkan kepada pengalaman-pengalaman pribadi, pada personalitas, pada diri-pribadi, merupakan kesadaran dari dan untuk diri pribadi saja.
3. Buddhi — alasan-alasan, pemahaman, pengertian yang membedakan antara yang benar dan salah, intuisi, kekuatan untuk langsung mengetahui sesuatu.
4. Mana — sering disebut juga sebagai ekam atau satu;
(5-14) Terdiri dari sepuluh bentuk indra, yaitu terbagi dua. Yang lima pertama adalah gnana-indra yang terdiri dari mata (penglihatan), kuping (pendengaran), hidung (penciuman), lidah (rasa), sentuhan atau organ aksi. Kemudian lima indra yang berikutnya adalah karma-indra atau juga disebut indra-indra fungsi yang terdiri dari tangan, kaki, mulut (wicara), anus dan penis (kemaluan).
(15-19) Kemudian yang disebut lima indra yang penting (indriyah-gocharah) adalah sparsha (sentuhan), rasa (merasakan), rupa (pengetahuan), gandha (penciuman) dan shabda (suara).
(20-24) Lima elemen kasar (mahabhuta) adalah bhum (tanah), apa (air) anala (api), vayu (udara) dan khan (ether).
Kshetra atau ladang ini mempunyai lima vikara, yaitu bentuk atau transformasi, atau bisa disebut juga penggantian atau modifikasi, dan sebagainya. Yang masing-masing adalah:
a. iccha dan dvesha — yaitu keinginan dan aversi (rasa dualisme yang saling bertentangan seperti suka-tak suka, panas-dingin, benci-sayang, dan lain sebagainya);
b. sukham dan dukham — yaitu kenikmatan dan penderitaan;
c. sanghata — yaitu bentuk kolektif tubuh atau raga;
d. chetana — yaitu kesadaran, intelegensia, pikiran dan pengetahuan;
e. dhriti — yaitu keteguhan, ketegaran dan tekad yang kuat.
Harus diketahui bahwa fungsi psikological seperti nafsu (keinginan) dan aversi, kenikmatan, dan penderitaan, intelegensia, keteguhan adalah sifat-sifat yang berhubungan dengan kshetra (ladang) dan bukan pada Sang Atman. Kshetra atau ladang ini terbentuk dari raga dan pikiran dan bukan dari Sang Atman. Sebaliknya kshetra ini merupakan tempat bersemayam Sang Atman ini. Vikara atau modifikasi timbul dalam kshetra karena sang jiwa kita berhubungan dengan Sang Maya; Sang Maya kemudian mempermainkan jiwa kita dan timbullah gelombang-gelombang dan pergantian-pergantian dalam pikiran dan jiwa kita, yang selalu terombang-ambing oleh permainan atau ilusi Sang Maya ini. Sekali terlibat dan tenggelam dalam manis dan pahitnya Sang Maya maka sukarlah bagi seorang manusia untuk lepas dari cengkeramannya dan jadilah kita budak duniawi ini. Jiwa kita dengan statusnya yang suci (Sang Atman) tidak ditakdirkan sebagai tuan dari Sang Maya ini, lain dari para Avatar a, yaitu Yang Maha Esa yang menjelma menjadi manusia seperti Sang Kreshna dan Sang Rama, mereka ini masing-masing pada zamannya sewaktu bereinkarnasi sebagai manusia tidak dapat dikuasai oleh Sang Maya, sebaliknya merekalah yang menguasai atau menjadi tuan dari Sang Maya ini.

7. Rendah-diri, tidak berpura-pura, tidak menyakiti makhluk lainnya kesabaran, bertindak berdasarkan kebenaran, merawat dan bekerja demi guru-spiritual, pembersihan diri (raga dan pikiran), ketegaran dan kendali-diri,
8. Bersikap tidak acuh pada benda-benda atau hal-hal yang berhubungan dengan indra-indra, tak mempunyai rasa egois, mengenal akan sifat-sifat buruk dari kelahiran, kematian, masa-tua, penyakit dan penderitaan.

9. Tanpa keterikatan, tidak mengidentifikasikan dirinya dengan putra-putrinya, dengan istri dan rumahnya, dan selalu bersikap sama rata secara konstan terhadap hal-hal dan kejadian-kejadian yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan.

10. Dedikasi kepadaKu tanpa henti-hentinya, melalui yoga (ilmu pengetahuan), menyepikan diri ke tempat-tempat yang tenang, tak berkeinginan untuk berkumpul secara duniawi.

11. Selalu berusaha untuk mempelajari ilmu pengetahuan tentang Sang Atman, intuisi langsung dengan maksud untuk mengenal Kebenaran - inilah yang disebut kebijaksanaan. Semua hal yang berlawanan dengan ini adalah kebodohan (tak-berpengetahuan).

Pelajaran atau jalan kebijaksanaan dipaparkan dengan baik dan terperinci oleh Sang Kreshna di atas. Semuanya berjumlah 20 karakter atau sifat, dan kedua-puluh sifat ini adalah akar atau fondasi dari kebijaksanaan yang akan mengantarkan seseorang kepada Yang Maha Esa, ke ilmu pengetahuan sejati tentangNya. Kebijaksanaan ini kalau dipelajari dengan seksama adalah indikasi dari sifat-sifat moral yang amat super atau prima, yang menjadi dasar dari tindakan-tindakan kita yang baik dan benar, yang lepas dari rasa duniawi, dan rasa memiliki, dari nafsu-nafsu dan malahan menjadi dasar yang kokoh dan benar dari setiap tindakan kita dan mendorong kita untuk lebih banyak melihat ke dalam diri kita sendiri. Kedua-puluh sifat ini menunjukkan arah seseorang kepadaNya tanpa pamrih dan penuh dedikasi dan kebenaran bagiNya semata.

12. Akan Ku sabdakan tentang sesuatu yang harus diketahui, yang setelah diketahui, maka tercapailah keabadian — Sang Brahman, Yang Tak bermula, Suci dan Agung, Yang dapat disebut Sat (Berbentuk) dan juga dapat disebut Asat (Tidak Berbentuk).

Yang mengetahui ladang ini disebut Kshetmgna, lalah Yang Maha Suci dan Agung Para Brahman. la tak dapat dikualifikasikan karena Yang Maha Esa ini di luar kualifikasi yang dibuat manusia, seyogyanyalah la lalu disebut sat dan asat (berbentuk dan tidak berbentuk). la diluar kedua faktor ini dan Maha Agung dan Suci. Ia hadir dan ada tetapi pada saat yang bersamaan Ia pun tak hadir dan tak ada atau tak terlihat. Yang Maha Esa tak dapat dikualifikasikan atau digambarkan karena dengan begitu malahan membatasiNya, dan tak mungkin Ia dapat dibatasi karena Maha Tak Terbatas Yang Maha Esa ini.

13. Di mana pun Sang Brahman ini mempunyai tangan-tangan dan kaki-kaki, di mana pun Ia bermata, berkepala dan bermulut. Ia mendengar di setiap tempat, dan Ia tinggal di dunia ini, menyelimuti (meliput) semuanya.

14. Ia bersinar di semua fungsi indra-indra, tetapi lepas dari indra-indra ini. tak terikat, tetapi Ia lah penunjang semuanya. Ia bebas dari segala kualitas (Nirgunam), tetapi Ia juga yang menikmati semua kualitas.
Sang Brahman ada tapi tak ada. Ia hadir dalam Prakriti tetapi tak terlihat oleh kita. Ia sukar menemukan istilah yang tepat tentang Yang Maha Esa ini dan Ia hanya dapat dijelaskan secara minim dalam paradoks-paradoks saja. Ia hadir dalam setiap hal, sifat, bentuk atau aksi, tetapi tak pernah terlibat secara langsung.

15. Di luar dan di dalam semua makhluk Ia hadir dan juga bergerak. Terlalu sukar untuk dipersepsikan Ia ini. Ia dekat tetapi juga Ia amat jauh.
Benar kata filsuf Meister Eckhart, "Semakin dalam Tuhan di dalam diri sesuatu, semakin di luar Ia berada dari sesuatu tersebut." Ia bergerak tetapi tanpa gerak, Ia dekat tapi jauh. Ia tak dapat diterangkan tetapi Ia dapat dirasakan kehadiranNya ditengah-tengah kita

16. Ia hadir tak terbagi-bagi di dalam makhluk-makhluk, tetapi Ia bersemayam secara sama rata (di dalam diri makhluk-makhluk seakan-akan terpisah-pisah). Ia penunjang semua makhluk dan benda. Ia pemusnah kehidupan, tetapi Ia juga pemberi kehidupan.

Di atas sudah cukup tergambar atau terbayang atau terasa dan terlihat oleh kita akan semua kebesaranNya., sebagai pemusnah sekaligus pemberi kehidupan, sebagai yang tak ada di dalam setiap yang ada, sebagai yang beraksi dalam setiap tak-aksi, atau pun sebaliknya.

17. Ia adalah Cahaya dari semua cahaya. Ia yang dikatakan sebagai di luar kegelapan. Ia adalah kebijaksanaan, tujuan dan kebijaksanaan yang dicapai dengan kebijaksanaan. Ia bersemayam di dalam hati semuanya.
Salah satu sifatNya adalah Cahaya atau Nur, Sang Surya Yang Eka, tetapi bersinar dalam hati setiap insan dan makhluk. Ia juga adalah ilmu pengetahuan yang sejati, sekaligus obyek dan tujuan ilmu pengetahuan sejati tersebut. Para pencariNya melakukan perjalanan spiritual guna mencariNya, justru dari luar ke dalam diri mereka sendiri karena Ia bersemayam dalam diri setiap insan dan makhluk ciptaanNya. Ia hadir di mana-mana, tangan-tangan dan kakinya tersebar di setiap sudut dan penjuru dunia. Ia adalah satu-satuNya yang berada di kegelapan, karena Ia lah Cahaya dari semua cahaya.

18. Begitulah telah Ku katakan kepadamu, secara singkat dan terperinci, tentang ladang ini, tentang ilmu pengetahuan dan obyek dari ilmu pengetahuan ini. PemujaKu, setelah mengetahui ini, memasuki DiriKu.
Tiga hal yang penting untuk diketahui, yaitu ladang (kshetra); ilmu pengetahuan (gnana), yang dimaksud ini bukan ilmu pengetahuan yang ilmiah, tetapi justru yang gaib dan dianggap sejati; obyek dari ilmu pengetahuan ini (gneya). Mengenal, mengetahui atau menghayati ketiga prinsip ini dalam kehidupan kita sehari-hari berarti mencapai Yang Maha Esa, Yang Agung dan Suci lepas dari segala penderitaan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan ini akan mencapai cinta-kasih (bhakti). Yang Maha Esa dapat dicapai oleh mereka yang sederhana, rendah-hati dan penuh kasih, yang telah memurnikan jiwa dan hatinya. Yang ingin mengenalNya dengan baik harus belajar terlebih dahulu untuk mencintai semuanya, sadar bahwa semua orang dan makhluk dan benda adalah alat-alatNya belaka yang harus memainkan peranannya masing-masing di kehidupan ini. Setelah sadar akan hakikat cinta-kasih yang sejati maka orang ini akan meningkat untuk 'bercinta-kasih denganNya." Hidup ini lalu berubah penuh dengan cinta-kasihNya. Hidup tidak seharusnya dihitung dari tahun-ke-tahun atau hari-ke-hari, tetapi dari dalamnya cinta-kasih kita terhadapNya dan terhadap semua ciptaan-ciptaanNya. Bagaimana seseorang yang suci-murni dapat merusak atau mencederai ciptaan-ciptaanNya yang lain, sekiranya la betul-betul telah murni cinta-kasihnya pada Yang Maha Esa?
Seorang mistik bernama Bayazid sekali masa pernah ditanya umurnya, dan ia menjawab baru berusia empat tahun. Padahal usianya telah mencapai 74 tahun. Tentu saja para penanya menjadi heran karenanya. Tetapi Bayazid dengan rendah hati menerangkan bahwa selama 70 tahun ia jauh dari Tuhan, dan dekat dengan dunia. Baru empat tahun terakhir ini ia merasakan dekat kepadaNya dan merasakan kasih-sayangNya yang tak terhingga, mendengarkanNya Yang tak pernah didengarNya sebelum ini, merasakanNya Yang tak pernah tersentuh olehNya selama ini. "Jadi baru empat tahun ini aku betul-betul hidup!" seru Bayazid.

19. Ketahuilah bahwa Prakriti (unsur benda atau sifat) dan Purusha (sang Jiwa), kedua-duanya tidak bermula. Dan ketahuilah bahwa semua modifikasi dan guna (kualitas) lahir dariNya.

Prakriti dan Purusha tak bermula dan sudah hadir sebelum penciptaan dunia. Tetapi semua pergantian, modifikasi dan sifat-sifat alam ini berasal dari Prakriti, yang lahir dariNya.

20. Benda atau alam dikatakan sebagai yang menjadi penyebab yang memancarkan sebab dan akibat; sang Jiwa dikatakan sebagai penyebab dari pengalaman suka dan duka.

21. Sang Jiwa yang bersemayam di dalam benda mencicipi kualitas-kualitas (guna) yang lahir dari benda. Keterikatannya terhadap guna inilah yang menjadi penyebab kelahirannya secara baik dan buruk.
Kita lihat sekarang dalam sloka 19-23 tersirat adanya pemikiran baru yang terbagi pada tiga prinsip, yaitu Prakriti-Benda-Alam, Purusha-Jiwa-Roh dan Purusha-Parah, Sang Jiwa Yang Maha Agung dan Maha Suci. Purusha dan Prakriti, kedua-duanya bersifat anadi (yaitu tanpa mula) dan terpancar atau berasal dari Yang Maha Abadi, Yang Maha Esa, Sang Jiwa Yang Maha Agung dan Maha Suci. Sang Purusha, atau Jiwa yang telah tergabung dan bersatu dengan Sang Prakriti, menikmati semua pengalaman-pengalaman duniawi seperti suka-duka dan lain sebagainya. Karena Jiwa bebas berkehendak maka ia sudah menyalah-gunakan kehadirannya dalam raga dan ia hanya tenggelam dalam kenikmatan duniawi ini dan terjebak oleh ikatan waktu dan ruang.
Jiwa sebenarnya adalah bentuk spiritual tetapi ia diberikan kebebasan untuk menuju kepada Yang Maha Esa. la dapat memberikan kasih dan dedikasinya kepada Yang Maha Esa atau kepada Sang Maya (Sang Ilusi-Ilahi). Sekali ia menjadi budak Sang Maya ia akan bertolak-belakang dari Yang Maha Esa. Dan sekali ia terjebak dalam ilusi ini, maka ia akan timbul-tenggelam di dalamnya, terjebak dalam ikatan waktu dan spasi duniawi ini.
22. Dalam raga (yang dimaksud di sini adalah raga manusia) bersemayam Sang Jiwa Yang Maha Agung dan Suci. la disebut sebagai Pengamat, Yang Mengabulkan, Yang Menunjang, Yang Menikmati Pengalaman, Tuhan Yang Agung, dan Sang Jati Diri Yang Agung dan Suci.
Dalam raga setiap makhluk terdapat Sang Jati Diri (Sang Atman) Yang dikenal atau disebut juga sebagai Purusha Parah, Sang Purusha Yang Maha Agung dan Suci. Ia lah sebenarnya Tuhan yang Maha Esa dan Agung dengan nama dan sebutan yang beraneka-ragam. Yang Maha Esa bersemayam dalam diri kita masing-masing sebagai Pengamat, dari setiap tindakan dan pikiran kita; dari sang Jiwa atau Roh kita. la membiarkan tindakan kita untuk kemudian dikoreksi yang salah (teguran hati nurani selalu hadir sebenarnya dalam setiap tindakan kita yang salah, tetapi sering sekali kita mengabaikannya karena faktor-faktor ego duniawi kita). Ia, Yang Maha Kuasa, sebenarnya hadir dalam setiap makhluk. Seandainya Sang Jiwa atau Roh kita jatuh ke jalan Sang Maya, maka Sang Paratman atau Sahabat Pengamat kita ini pun mengikutinya, menegurnya, menjaganya, memberikan peringatan-peringatan kepada sang Jiwa kita ini, dan tak sekalipun Sang Paratman ini mengabaikannya, Ia bahkan menuntun sang Jiwa ini kembali ke jalannya yang benar. Dengan caraNya Sendiri Sang Paratman ini mengajari, mempengaruhi dan mengajak sang Jiwa yang tersesat ini kembali ke arahNya. Maha Besar dan Pengasih, Ia sebenarnya, karena selalu menyelamatkan kita semua dari jalan kesesatan dalam hidup ini, agar tercapai misi kita yang seharusnya kita lakukan, yaitu bersatu kembali denganNya. Sang Paratman adalah "bintang-harapan" kita yang akan selalu menuntun kita dalam kegelapan duniawi ini, sehingga akhirnya tak ada satu jiwa pun yang akan tersesat, semuanya akan dituntun ke arahNya. Sebenarnya Ia adalah tujuan kita semuanya, kalau saja kita mau menyadari hal ini secara sejati.

23. Seseorang yang mengetahui (menyadari) tentang Purusha dan Prakriti dengan segala kualitas-kualitasnya, apapun keadaannya -- ia tak akan lahir kembali.

Seseorang yang sadar tentang pengetahuan Purusha dan Prakriti ini dengan ketiga guna (sifat atau kualitas) nya, akan menuju ke arah pembebasan, yaitu lepas dari dunia ini dan bersatu denganNya. Seseorang yang benar-benar sadar siapa Sang Purusha Yang Maha Agung dan Suci ini betul-betul adalah seorang yang telah bebas.

24. Sementara orang menyaksikan Sang Atman melalui Sang Atman dengan jalan meditasi (dhyana), sementara orang lagi menyaksikan melalui jalan Sankhya-yoga (jalan ilmu pengetahuan), dan sementara orang lagi melalui Yoga perbuatan (tindakan, aksi atau pekerjaan)

25. Yang lainnya lagi, tidak mengenal jalan-jalan yoga ini, memuja, karena pernah mendengarkannya dari yang lain-lainnya; dan mereka pun lepas dari kematian, pedoman mereka adalah skripsi-skripsi (shruti).
Ada empat metode yang menuntun kita ke arah Yang Maha Esa, atau yang disebut juga Purusha Yang Maha Agung dan Suci dan juga boleh disebut Kebebasan atau Penerangan. Masing-masing metode terurai di bawah ini:
a. Meditasi (dhyana) — Banyak yang melakukan metode ini, dan menemukan Sang Jati Diri di dalam dirinya sendiri. Dengan bermeditasi kita mencoba untuk berhubungan dengan Sang Atman secara konstan dan penuh konsentrasi, dengan menjauhkan segala gangguan. Yang penting dalam meditasi adalah ketenangan, dan makin kita tenang dan tak terusik oleh pikiran dan keadaan-keadaan di sekitar kita, maka makin mendekatlah kita kepadaNya. Berbicara tanpa henti malahan membuang-buang energi. Sebaliknya ketenangan dalam meditasi menjauhkan kita dari hal-hal yang buruk dan kesalahan-kesalahan duniawi. Sebaiknya dan seharusnya setiap hari kita menyediakan sedikit waktu kita untuk berdiam diri dan menyatu denganNya. Dapat kita mulai dengan lima menit saja dahulu, kemudian meningkat sampai setengah atau satu jam secara bertahap. Janganlah jadi budak dari pekerjaan-pekerjaan kita, dari kenikmatan dan penderitaan kita, dan dari kesibukan kita yang tak kunjung ada habisnya. Sisihkanlah sejenak waktu setiap pagi dan malam untukNya, dan dapatkanlah kenikmatan yang tak dapat diperoleh di semua kesibukan, kenikmatan dan penderitaan duniawi kita. Sekali tercapai komunikasi denganNya, kita akan mengalami keajaiban-keajaiban yang akan mengubah cara hidup kita, dan makin tabah dan tegarlah kita dalam menghadapi kehidupan yang unik ini. Ketenangan yang utama adalah dengan memulainya dalam kehidupan dan diri kita sendiri, dan jalan terbaik adalah dengan berlatih meditasi dan selalu berusaha untuk bersatu denganNya, Yang sebenarnya bersemayam tidak jauh, tetapi dalam diri kita masing-masing, agar tercapai jalan kehidupan yang suci dan sempurna.
Ada yang perlu dilakukan dalam bermeditasi, yaitu mengucapkan japa secara berulang-ulang. Japa atau mantra ini dapat bermacam-macam sesuai yang diberikan oleh sang guru meditasi, tetapi semakin pendek japa ini, semakin efektif hasilnya. Misalnya satu kata OM atau Tuhan atau Allah atau Hari atau Rama atau Kreshna atau Yesus, dan lain sebagainya yang sebaiknya dipilih sendiri yang sesuai dengan diri kita pribadi, yang sesuai dengan hati sebaiknya dipilih sendiri yang sesuai dengan diri kita pribadi, yang sesuai dengan hati nurani dan panggilan jiwa kita sendiri. Pilihlah atau temukanlah sendiri satu kata atau beberapa kalimat puja-puji yang menggambarkan kebesaran Yang Maha Esa, dan sewaktu bermeditasi ucapkanlah berulang-ulang penuh konsentrasi, dedikasi dan kasih. Lama-kelamaan kata yang spesifik tersebut atau juga japa dan mantra yang telah teringat itu akan terus mengiang atau terucap dalam kita melakukan pekerjaan kita sehari-hari, bahkan di tengah-tengah kesibukan atau sedang berolah-raga misalnya. Kalau ada problem yang datang mengganggu ucapkan kata sakti tersebut, memohon Yang Maha Esa untuk melindungi kita semua, dan usahakanlah untuk menyatu denganNya selalu di mana saja dan kapan saja dan lama-kelamaan perhatikanlah efeknya. Seluruh hidup kita akan berubah menjadi lebih stabil dan tenang, dan kita jauh dari segala gejolak nafsu kita dan juga jauh faktor-faktor buruk dan negatif, secara bertahap tetapi pasti hidup akan bertambah tenang, stabil dan kesadaran akan menyusup masuk ke dalam diri kita berkat kasihNya yang tak terbatas.
Bagi sementara orang atau para pemula, bermeditasi dengan membayangkan atau memusatkan pikiran pada suatu bentuk juga sangat bermanfaat; contoh, membayangkan wajah atau figur Sang Kreshna, Rama, Shiva, Buddha untuk mereka yang beragama Hindu dan Buddha. Dan untuk mereka yang beriman Kristiani dengan membayangkan figur Tuhan Yesus, dan lain sebagainya sesuai dengan masing-masing kepercayaannya.
b. Metode Sankhya - metode dengan dasar intelektual atau ilmu pengetahuan yang mencoba atau mempelajari tentang Sang Jati Diri, sebagai sebagian dari Yang Maha Esa.
c. Karma-yoga — yaitu metode kerja atau tekad tanpa pamrih dan penuh dengan pengorbanan dan disiplin bagiNya semata. Sang karma-yogi dalam hal ini melakukan semua perbuatan, tugas dan pekerjaan duniawinya dalam bentuk dedikasinya kepada Yang Maha Esa dan tak mengharapkan apapun juga dari hasil pekerjaannya ini, yang semuanya diserahkan secara utuh dan bulat-bulat kembali kepadaNya. Hidup sang karma yogi jadi suci dan bersih karena setiap tindakan dan efeknya dipasrahkan kepada Yang Maha Esa dan ia selalu berpikir dan berkata terjadilah kehendakNya" dan ia pun menerima semua kehendakNya tanpa protes dan penuh ketenangan, walaupun yang ia terima itu dalam bentuk suka dan duka, nikmat atau penderitaan, baik atau buruk, positif atau negatif, semuanya diterima dengan kasih dan dedikasi sebagai kehendak Yang Maha Kuasa juga. Hidupnya adalah pencetusan dari kehendak Yang Maha Kuasa, dan diterimanya tanpa pamrih.
d. Metode upasna — dalam metode ini seseorang memuja Yang Maha Esa sesuai dengan yang dipelajarinya atau yang didengarkannya dari sang guru atau orang-orang lain. Cara ini dilakukan oleh para pemula. Dan lama-kelamaan mereka pun terangkat ke permukaan pemujaan mereka dan mendapatkan penerangan Ilahi. Ternyata Yang Maha Pengasih secara amat bebas membuka berbagai jalan untuk mencapaiNya, jalan atau metode apa saja yang diambil seseorang, yang penting adalah dedikasi, kesetiaan, dan kasih yang tulus kepadaNya, dan Ia akan selalu beserta kita menuntun kita ke jalanNya yang terang dan suci.

26. Benda atau makhluk apapun yang dilahirkan, oh Arjuna, baik ia bergerak maupun tidak bergerak, ketahuilah itu datang dari gabungan antara ladang dan Yang Mengetahui ladang ini.
Setiap benda atau makhluk, atau apapun saja yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di alam semesta ini tercipta karena gabungan atau kombinasi dari Kshetra (ladang) dan Kshetragna (Sang Pengenal Ladang), gabungan dari Purusha dan Prakriti, dari Sang Jiwa dan benda atau alam dan sifat-sifatnya.
27. Seseorang yang melihat Tuhan Yang Maha Agung dan Suci bersemayam secara sama di setiap benda dan makhluk, Yang Maha Tak Terbinasakan dalam setiap benda atau makhluk yang dapat binasa — ia benar-benar melihat.

Yang Maha Esa bersemayam dalam setiap bentuk ciptaannya secara adil sama rata, jadi lupakanlah pendangan atau rasa yang penuh diskriminasi atau yang merendahkan martabat orang lain atau sifat melecehkan makhluk lain. Diskriminasi akan kasta atau orang-orang yang dianggap berdosa dan buruk harus dijauhi, ingat Yang Maha Kuasa hadir dalam semuanya tanpa diskriminasi! Ia hadir di setiap sisi dan sudut alam semesta ini dalam berbagai ciptaan-ciptaanNya. Jangan sekali-kali memandang tinggi kasta kita, kedudukan atau pun martabat dan kekayaan kita, apalagi kemampuan kita berbuat sesuatu, karena semua itu sebenarnya tidak berarti sama-sekali di mataNya. Yang berarti hanyalah la dan kehadiranNya di mana saja, baik yang di kecil maupun yang di besar. Siapakah kita ini sebenarnya yang hanya bisa membeda-bedakan saja, yang hanya bisa melihat baik dan buruk seseorang tanpa mau tahu akan hakikat dari kebenaran kehidupan ini. Mengetahui kehadiran Yang Maha Esa di setiap ciptaanNya berarti menghilangkan rasa takut, benci, diskriminasi, iri-hati pada sesama kita, dan sebaliknya kemudian menimbulkan kasih-sayang kepada sesama kita baik itu berupa manusia, makhluk-makhluk di alam semesta ini, pepohonan, batu-batuan dan semua unsur-unsur alam di sekeliling kita.

Ia Yang Maha Kuasa adalah Yang Tak Terbinasakan tetapi Ia hadir dalam setiap ciptaan-ciptaanNya yang tak pernah abadi, yang selalu binasa dan lahir lagi. Ini mengingatkan kita kepada dialog antara St. Catherine dari Sienna dalam komuninya dengan Yesus Kristus. la bertanya kepada Tuhan Yesus, "Siapakah daku, Tuhan? Dan beritahu daku siapakah Engkau?" Dan Yesus menjawabnya, "PutriKu, engkau adalah yang tiada dan Aku adalah yang Ada." Yang Ada ini selalu hidup dalam yang tiada, yaitu kita semuanya ini, dan sadarlah akan sesuatu hal, mengapa Yang Ada ini mau dan bersedia tinggal dalam diri-diri kita ini, yang sering oleh kita sendiri dianggap sebagai tubuh-tubuh atau raga-raga yang penuh dengan dosa-dosa dan nafsu-nafsu iblis? Betulkah semua perkiraan kita ini? Ataukah pernah terpikir oleh kita semua, bahwa Yang Maha Esa menciptakan raga ini sebagai suatu tempat bersemayam yang sifatnya agung dan suci, kalau tidak mengapa pula Ia (Sang Atman) mau bersemayam di dalam diri setiap makhluk-makhlukNya?
Lihatlah sisi lain dari alam semesta dan ciptaan-ciptaanNya ini, bukankah semua ini adalah refleksi atau cermin dariNya semata, dari keindahanNya, dari kesucian dan keagunganNya. Dan kalau anda setuju akan konsep ini, maka bernyanyilah, memujalah, berbahagialah dalam DiriNya. la hadir dalam diri kita dan kita ada dalam DiriNya, seharusnyalah kita berorientasi kepadaNya dan jangan mempergunakan kebebasanNya secara salah dan kemudian terseret dan terjebak oleh Sang Maya. Satukan diri kita dengan alur Ilahi Yang Murni dan Suci, bergembiralah kepadaNya. Ingat kita ini adalah kuil-kuil suci tempat la bersemayam, dan seharusnya kita bertindak suci dan murni. Renungkanlah pemikiran ini. Om Tat Sat.

28. Melihat, secara benar, Tuhan Yang Sama hadir di mana pun juga, seseorang tak akan merusak Diri ini dengan dirinya, dan dengan berbuat demikian ia mencapai Tujuan Yang Suci dan Agung.

Seperti kita ketahui sekarang, maka di dalam setiap makhluk yang bernyawa hadir bentuk "diri" yang rendah dan kecil sifatnya, dan juga bentuk "Diri" Yang Agung dan Tinggi sifatNya, yaitu yang disebut Sang Atman, Yang Maha Esa itu Sendiri dalam bentuk yang bersifat sebagian dariNya juga. Menyadari hal ini, seseorang tak akan membiarkan jiwa-raganya membunuh atau mengotori dan menodai DiriNya Yang Agung dan Suci yang bersemayam di dalam jiwa-raga itu sendiri, dan kesadaran semacam ini akan menuntun kita ke arah Yang Maha Esa atau dengan kata lain ke Tujuan Yang Suci dan Agung.

29. Seseorang yang melihat bahwa semua perbuatan dilakukan oleh Prakriti (alam) dan bahwa Sang Atman itu tak bertindak - ia melihat secara benar.
Alam atau Prakritilah yang bertugas untuk bekerja, beraksi atau bertindak dan berbuat, tetapi Sang Atman tak pernah melakukan apapun juga. la hadir sebagai saksi, penuntun, pengamat, tetapi ditegaskan Sang Kreshna, Sang Atman tidak berbuat suatu tindakan apapun juga. Semua perbuatan kita terjadi akibat dari ikatan kita pada guna-guna yang berkaitan dengan Prakriti. Sang Jiwa mengikuti kita terus selama kita mengembara di dunia fana ini sebagai saksi, penuntun dan pengamat kita dan dengan kasihNya melepaskan kita dari ikatan Prakriti ini yang diakibatkan oleh ulah kita sendiri yang terlalu bebas untuk 'bermain' dengan Sang Maya.

30. Bila seseorang menyadari bahwa berbagai bentuk kehidupan ini berakar pada Yang Esa dan terpancar (tersebar) keluar dari Yang Maha Esa, maka ia mencapai Brahman.

Menyadari seluruh alam semesta ini berasal dariNya secara sejati, apapun bentuk atau manifestasinya, maka seseorang yang benar-benar sadar secara sejati dan menghayati kesadarannya itu dalam kehidupannya sehari-hari langsung juga akan segera menyadari akan hakikat Yang Maha Esa. Melihat atau menyadari Yang Maha Esa adalah mencapaiNya.

31. Sang Atman Yang Tak Terbinasakan, Yang Agung dan Suci ini, oh Arjuna, tak bermula dan tanpa guna (sifat-sifat Prakriti). Dan walaupun la bersemayam di dalam raga, tetapi la tak bertindak atau pun terpengaruh oleh tindakan (raga ini).

Sang Paratman, Yang bersemayam secara Agung dan Suci dalam diri kita ini, dikatakan oleh Sang Kreshna sebagai tak bermula, dan tanpa sifat-sifat Prakriti. Walaupun Ia selalu hadir, Ia tidak bertindak sedikit pun, dan walaupun Ia hadir di dalam raga kita Ia juga tak tercemar oleh tindakan-tindakan kita yang buruk dan negatif, begitupun Ia tak tersentuh oleh perbuatan-perbuatan kita yang baik dan positif. Ia tak terpengaruh sedikit pun oleh kita, sebaliknya makin kotor perbuatan kita maka makin jauhlah kita ini dariNya, dan makin positif tindakan kita, maka makin teranglah Ia hadir ke hadapan kita. Maka ibaratkanlah diri kita sebagai cermin yang bersih, agar refleksi atau bayanganNya tersingkap atau jatuh secara jelas di raga kita ini. Renungkan ini dengan seksama. Ia jauh kalau kita jauh, Ia dekat kalau kita dekat. Padahal sebenarnya Ia selalu dekat di dalam diri kita.

32. Bagaikan ether, walau hadir di mana pun juga, tak pernah ternoda, karena bentuknya yang lembut (tak terlihat), begitu pun Sang Atman, walau hadir di raga mana pun, (la) lepas dari segala noda-noda.

Bagaikan ether yang terdapat di seluruh alam semesta ini dan menjadi penunjang hidup kita yang amat vital, tetapi tak pernah terlihat oleh mata kita karena sifat-sifat alaminya yang demikian lembut, maka begitu juga Sang Atman Yang Mana Hadir di mana saja dan kapan saja dalam setiap ciptaan-ciptaanNya tak pernah nampak oleh mata duniawi kita karena kebodohan dan kekurangan-pengetahuan kita, maka singkapkanlah semua kebodohan kita ini agar dapat kita mengenalnya lebih terang lagi, dan masuk menyatu kedalamNya. Om Tat Sat.

33. Bagaikan satu mentari yang menyinari seluruh dunia ini, maka begitu juga Penguasa dari ladang ini menyinari seluruh ladang ini, oh Arjuna!
Perumpamaan satu mentari dengan Sang Atman Yang Juga Eka (satu) sifatnya adalah suatu perumpamaan yang menarik, karena Sang Surya walaupun hanya satu yang terlihat dari bumi ini (dunia ini), ternyata mampu menyinari seluruh bumi kita bahkan juga rembulan dan spasi-spasi diantara bumi dan bulan dan juga sekitarnya. Sang Surya dari kejauhan nampak kecil dan amat terang-benderang, tetapi sebenarnya ia amat jauh letaknya dari bumi kita ini. Begitupun Sang Atman, la dekat tapi jauh, la jauh tetapi dekat, bahkan sangat dekat dan menerangi kita semua. Dan seperti juga Sang Surya yang menerangi kita tetapi tak tercemar oleh perbuatan kita, maka Sang Atman pun tak pernah tercemar atau ternoda oleh perbuatan-perbuatan kita yang buruk atau terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan yang baik.
Suatu saat, Sokrates, seorang filsuf terkenal dari Yunani di masa lalu, pernah ditanya oleh salah seorang muridnya tentang 'kebaikan,' yang selalu diajarkan Sokrates kepada murid-muridnya, dan Sokrates menunjuk kepada matahari sebagai suatu contoh dari 'kebaikan' yang selalu hadir dari masa ke masa, dari waktu ke waktu, tetapi tak pernah tercemar oleh bumi dan manusia. Mungkin pemikiran atau ajaran Sokrates ini pun baik untuk kita renungkan untuk lebih menghayati akan kebesaran dan kehadiran Sang Atman dalam diri kita. Sang Surya selalu bersinar tanpa bosan-bosannya demi alam yang harus ditunjangnya. Bukankah Yang Maha Esa itu Sendiri bersifat atau berkarakter demikian juga, selalu mengasihi tanpa bosan-bosannya dan tanpa henti-hentinya kepada kita semuanya, walaupun sering sekali kita tersesat dalam perjalanan hidup kita ini. Tetapi Ia Maha Penunjang dan Penuntun kita semuanya. Om Tat Sat.

34. Mereka yang melihat perbedaan antara ladang dan Sang Pengenal Ladang ini, dengan mata kebijaksanaan, dan yang sadar bagaimana makhluk-makhluk maupun benda-benda dapat lepas dari Prakriti - bebas dari bentuk alam - mereka benar-benar pergi ke Yang Maha Agung dan Suci.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ketiga-belas ini disebut:
Kshetra Kshetragna Vibhaga Yoga Atau Ilmu Pengetahuan tentang Perbedaan antara Ladang dan Sang Pengenal Ladang
 
Bab 14 - Penguasaan Atas Ketiga Sifat

Bersabdalah yang maha pengasih

1.Sekali lagi akan Ku sabdakan kepadamu kebijaksanaan Yang Suci dan Agung –kebijaksanaan yang terbaik dari semua kebijaksanaan- mengetahui hal mana, para resi kemudian menuju kearah kesempurnaan yang paling tinggi.

2.Berlindung pada kebijaksanaan ini, mereka lalu bersifat sama dengan Ku. Mereka tidak lahir pada waktu penciptaan dan tidak binasa pada waktu penghancuran (kiamat).

Sang Kreshna di Bab ini menguraikan mengenai pengetahuan tentang ketiga guna (sifat-sifat alami), kemudian hubungan guna ini dengan prakriti dan penguasaan atas guna ini oleh para resi dan orang-orang suci di zaman dahulu kala. Dengan menguasai ketiga guna ini maka akan tercapailah kebijaksanaan yang agung dan suci dari hidup ini. Dan dengan mencapai kebijaksanaan ini para resi dan orang-orang suci itu telah mencapai kesempurnaan yang agung dan suci yang disebut nirvana atau pari-nirvana.
Berlindung dibawah kebijaksanaan ini para orang-orang suci ini lalu diberkahi oleh yang maha esa sifat-sifat identik dari diri Sang Kreshna dan merekapun lalu tumbuh dan hidup dalam bentuk Sang Kreshna yang suci dan agung. Inilah hasil mengikuti dengan setia dan penuh dedikasi ajaran-ajaran Sang Kreshna. Dengan kata lain mereka ini, para orang-orang suci, berasimilasi dengan sari atau inti Sang Kreshna itu sendiri; atau dengan bahasa singkat dan sederhana, menyatu dengan Sang Kreshna.
Dan sekali bersatu denganNya, mereka ini lepas dari kehidupan duniawi ini, lepas juga mereka ini dari siklus lahir dan mati yang berulang-ulang, bahkan penciptaan dan penghancuran kehidupan-kehidupan berikutnyapun mereka tidak diikut sertakan lagi karena dianggap Yang maha Esa mereka ini telah mencapai status pari-nirvana, yaitu menyatu denganNya kembali secara abadi. Om Tat Sat.

3.KandunganKu adalah Sang Brahma yang agung; dan disitu aku letalkan benih ini, dari kandungan ini lahirlah setiap benda dan mahluk, Oh Arjuna.

4.Dalam setiap kandungan apapun juga, lahir berbagai bentuk kehidupan, Oh Arjuna, dan Sang Brahma Agung adalah kandungan mereka ini, dan Aku adalah Sang Ayah yang menabur benih-benih ini.

Yang dimaksud dengan Sang Brahma Agung di sini adalah mahad-brahma, yaitu Sang Maya yang juga diibaratkan atau disamakan dengan kandungan di mana Sang Kreshna sebagi seorang Ayah menaburkan benih-benihNya, yang kemudian tumbuh menjadi berbagai bentuk ciptaan-ciptaanNya.
Mahad-Brahma atau Sang Brahma yang agung ini juga sama dengan Prakriti atau alam ini, dan Sang Kreshna adalah Ayah atau Bapak dari setiap benih yang ditaburkanNya. Jadi hanya Ia yang dapat menentukan lahirnya seseorang atau makhluk atau benda di alam semesta ini dan ingat di dalam setiap ciptaanNya terdapat Sang Jiwa atau juga benih kehidupan yang bersal dariNYa. Dan menurut Bhagawat Gita, maka benih yang ditaburkan ini berasal dari Sang Kreshna, Yang Maha Esa, jadi dengan kata lain dalam setiap ciptaanNya hadir sebagian dari Yang Maha Esa, atau Yang Maha Esa itu sendiri ada di dalam setiap Ciptaan-ciptaanNya Sendiri. Sayang sekali, kita manusia sering sekali lupa bahwa kita berasal dari benih Yang Agung dan Suci, dan kita lebih suka tenggelam dalam alur kehidupan duniawi ini, dalam kandungan Sang Maya itu sendiri. Padahal Sang Maya atau Prakriti ini hanyalah alat yang mengandung kita dan menumbuhkan kita agar kita tumbuh dan lahir untuk kembali kepadaNya lagi. Bukanlah itu maksud dan tujuan Yang Maha Esa, tetapi kita diberikan kebebasan untuk memilih maka kebanyakan kita memilih untuk terus tinggal di dalam kandungan Sang Maya yang penuh ilusi kenikmatan, padahal itu semua berada di dalam kegelapan. Pikirkanlah dengan seksama, bukankah kita semua harus kemnbali dan berbakti pada Ayah kita Yang Agung dan Suci dan menyatu kembali denganNya? Pikirkanlah secara seksama dan menurut hati-nurani anada mana yang benar dan mana yang salah? Dengan kasih Sang Ayah yang suci dan Agung ini pasti kita akan dituntun kembali kepadaNya. Om Tat Sat.

5. Ketiga kualitas (guna), yaitu sattva, raja dan tama lahir dari Prakriti. Mereka ini mengikat erat di dalam raga, Oh Arjuna, Yang Tak Terbinasakan yang bersemayam di dalam raga.
Ketiga guna atau kualitas alami ini yang lahir dari Prakriti dan merupakan sifat-sifat dominan dari Sang Prakriti itu sendiri, selalu hadir dalam diri kita. Setiap tindakan kita sebenarnya didasarkan pada ketiga sifat Prakriti ini, dan ketiga sifat ini sedemikian dominannya di dalam raga kita sehingga diibaratkan mengikat Sang Atman (Yang Tak Terbinasakan) yang bersemayam di dalam diri kita. Ikatan erat ini begitu gelap sifatnya, sehingga kita yang sudah mabuk duniawi ini tidak dapat melihat Sang Atman yang sebenarnya hadir bercahaya terang di dalam diri kita sendiri.

6. Diantara sifat-sifat ini, sattva, karena kesuciannya, membawa penerangan dan kesehatan. Sifat ini mengikat dengan ikatan kebahagiaan dan ikatan ilmu pengetahuan, oh Arjuna.

Apakah sattva itu? Sattva adalah sifat-sifat kesucian atau kemurnian atau penerangan. Tetapi walaupun disebut kemurnian toh sifat ini dapat mengikat jiwa kita ke raga dan menimbulkan keterikatan. Sifat sattva membuat kita selalu berorientasi pada tindakan-tindakan yang baik dan pencarian ilmu pengetahuan yang benar. Tetapi sering sekali sattva pun mengarahkan kita kepada keterikatan-keterikatan dalam bentuk ilmu pengetahuan ini sehingga terikatlah seseorang pada pikiran-pikiran, analisis dan metode-metode dan lain sebagainya, dan semua ini menjadi tujuan ilmu pengetahuan mereka yang mempelajarinya, bukan jalan untuk mengenalNya, Yang Maha Pencipta. Semua ini membuat seseorang yang bersifat Sattva terikat pada pekerjaan dan kebaikan-kebaikannya, tetapi tidak membuat orang-orang ini berorientasi kepada Yang Maha Esa secara murni, padahal sifat dasar mereka ini sattvik.
Di dunia barat misalnya banyak terdapat ilmuwan yang bersifat sattvik, tetapi tujuan mereka hanya terpusat pada ilmu pengetahuan itu dan pemecahannyasecara ilmiah saja, mereka sama sekali tidak berpikir tentang Yang Maha Esa, Sang Pencipta ilmu-ilmu ini. Sebaliknya di timur, Yang Maha Esa masih manjadi tujuan atau akhir dari semua ilmu pengetahuan ini, sehingga tidak mengherankan kalau pada abad modern dewasa ini masih banyak orang yang dianggap pandai atau terpandang melepaskan jabatan mereka dan terjun ke dunia spiritual dan melepaskan semua ikatan-ikatan dan unsur-unsur duniawi mereka untuk mencari penerangan ilahi. Mereka ini benar-benar jalan dengan sifat-sifat sattva dan mengarahkan sifat-sifat suci ini untuk tujuan yang mulia dan tak mau terikat oleh sifat-sifat ini. Dengan kata lain, sifat-sifat sattva ini hanyalah alat-alat belaka bagi orang-orang suci ini.

7. Ketahuilah olehmu, oh Arjuna, bahwa sifat raja, yang berciri emosional ini adalah sumber dari keterikatan dan rasa tak puas. Dan sifat raja ini mengikat jiwa yang ada di dalam raga dengan keterikatan-keterikatan aksi atau perbuatan.

Sifat-sifat raja adalah energi, mobilitas, emosi dan raja juga berati keinginan atau kehausan untuk hidup. Dengan kata lain, sifat raja dapat diartikan energi yang penuh dengan keinginan dan nafsu-nafsu yang tak terpuaskan. Sifat ini adalah anak dari nafsu-nafsu yang kuat dan juga dari keterikatan itu sendiri. Raja mengikat kita, mengikat jiwa kita erat-erat ke Sang Prakriti melalui aktivitas dan aksi.
Di kala seseorang penuh dengan keserakahan atau penuh dengan kegelisahan eksternal yang dikarenakan aktivitas-aktivitasnya, maka dapat dipastikan sifat-sifat raja sedang berkuasa atas diri orang itu. Seseorang yang amat aktif, ambisius dan penuh semangat kerja atau daya juang yang tinggi untuk kebutuhan-kebutuhan duniawinya juga menunjukan sifat-sifat raja yang sedang dominan dalam dirinya.
Seseorang yang bersifat raja atau rajasik ini bekerja keras bagi dirinya sendiri, bukan untuk Sang Kreshna atau Yang Maha Esa. Ia ingin selalu berkuasa atau berpengaruh atas orang-orang disekitarnya. Seorang dengan sifat raja ini penuh dengan aksi, inisiatif, ambisi pribadi yang tinggi dan penuh dengan keresahan. Sebaiknya jika ia ingin keluar dari lingkaran raja ini, maka cara terbaik adalah bertindak, bekerja, beraksi atau berbuat demi Sang Kreshna atau Yang Maha Esa semata tanpa pamrih. Tetap bekerja apa saja sesuai dengan profesi dan kewajibannya, tetapi demi Yang Maha Esa, pekerjaannya kemudian dengan cara ini akan berubah menjadi yagna.

8. Tetapi sifat tama (kegelapan total yang penuh kekacauan) ketahuilah olehmu, lahir dari kebodohan dan adalah sifat yang memperbodoh jiwa. Sifat ini mengikat dengan ketidakperdulian, kemalasan dan tidur, oh Arjuna.
Sifat-sifat tama bukanlah bersifat energi atau penerangan, atau aktivitas atau kesucian. Sebaliknya adalah sifat-sifat kemalasan, ilusi kosong dan kebodohan yang berkepanjangan sifatnya. Sifat ini mengikat jiwa seseorang dengan kebodohan, kemalasan, dengan ketidak-acuhan terhadap setiap hal yang positif. Dengan kata lain di mana terlihat kegelapan total dalam diri seseorang maka sudah pasti sifat tama sedang berkuasa.
Seseorang yang bersifat tama hidup tak ubahnya seperti binatang saja. Ia makan, tidur, minum dan memenuhi hasrat-hasrat raganya saja dari saat ke saat. Tidak ada idealisme atau cita-cita dalam dirinya. Ia malas, bodoh, tak perduli dan selalu tak acuh pada hal-hal yang bersifat baik. Tetapi sifat tama ini juga bisa didobrak dan seseorang yang terjerat dalam lingkaran kebodohan ini dapat keluar juga. Caranya adalah dengan berdharma bakti kepadaNya semata, meminta perlindunganNya semata dan bekerja tanpa pamrih untuk Yang maha Esa. Sang Bayu (angin) tidak saja merambah dan bertiup diantara dedaunan pohon-pohon yang besar dan tinggi saja, tetapi Sang bayu juga bertiup diantara rerumputan liar dan kecil yang berada di bawah pohon-pohon besar ini. Yang penting adalah kemauan kita sendiri untuk merasakan tiupan ini, merasakan kehadiranNya diantara kita semuanya dan mau mengikuti ajaran-ajaranNya.

9. Sattva mengikat (seseorang) kepada kebahagiaan, raja mengikat kepada aksi, oh Arjuna. Dan sifat tama membungkus kebijaksanaan, mengikat seseorang kepada ketidak-perdulian.


10. Sewaktu sattva berada diatas raja dan tama, maka berkuasalah sattva, oh Arjuna! Di kala raja berada diatas sattva dan tama, maka berkuasalah raja. Dan di kala tama berada diatas sattva dan raja, maka berkuasalah tama.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 14

11. Di kala sinar kebijaksanaan mengalir keluar dari semua gerbang sang raga, maka ketahuilah bahwa sattvalah yang berkuasa, oh Arjuna!


12. Di kala keserakahan, aktivitas eksternal, ambisi untuk bekerja, keresahan, nafsu-nafsu iri terlihat jelas, ketahuilah bahwa rajalah yang berkuasa, oh Arjuna!


13. Di kala kegelapan, non-aksi ketidakperdulian dan kegelapan terlihat jelas, ketahuilah bahwa tamalah yang berkuasa, oh Arjuna!

14. Kalau seseorang meninggal dunia di kala sattva berkuasa didalamnya, maka ia akan pergi ke loka-loka yang tak ternoda di mana tinggal mereka yang mengenal Yang maha Tinggi.

Seorang sattvik, setelah meninggal dunia maka jiwanya akan pergi ke loka-loka yang tak ternoda oleh dosa-dosa dan kebodohan. Tetapi ia masih harus bekerja keras untuk mencapai Yang Maha Esa. Karena setelah habis karmanya di tempat-tempat ini (Devachana), ia harus kembali lagi ke dunia ini, tetapi ia akan lahir di tengah-tengah keluarga pencinta Yang Maha Esa, dan jalan ke arahNya akan makin lembut saja sesudah itu.

15. Meninggal dunia sewaktu sifat raja masih berkuasa, maka orang itu akan lahir diantara orang-orang yang terikat pada aksi; dan sekiranya seseorang meninggal dunia sewaktu sifat tama masih berkuasa maka ia akan lahir di dalam kandungan-kandungan yang tak berindra.
Yang tak berindra disini mungkin dimaksudkan dengan ciptaan Yang Maha Kuasa seperti pepohonan, tumbuh-tumbuhan atau juga jenis makhluk-makhluk lainnya yang tak memiliki ratio dan intelektual.


16. Hasil dari perbuatan sattvik disebut harmonis dan suci, hasil dari sifat raja disebut penderitaan dan hasil dari sifat tama adalah kedunguan dan kebodohan.

Setiap pekerjaan maupun tindakan yang dibuat dalam pengaruh sattva akan lepas dari noda-noda dan dosa-dosa. Sedangkan setiap pekerjaan dibawah pengaruh sifat raja akan menghasilkan dhuka, yaitu efek yang penuh dengan penderitaan. Dan setiap tindakan atau perbuatan di bawah pengaruh tama akan membuahkan yang lebih buruk dari penderitaan, yaitu kebodohan atau kedunguan (agnana), yang berarti menjadi lebih jauh lagi dari Yang Maha Esa.

17. Dari sattva lahirlah ilmu pengetahuan, dari raja lahir keserakahan, dan dari tama lahir sifat acuh tak acuh, kemalasan dan agnana (kebodohan).

18. Mereka yang telah tegar dalam sattva menanjak ke atas; mereka yang dalam raja berdiam di tempat yang paling tengah; dan mereka yang bersifat tama pergi kebawah terikat pada sifat-sifat paling rendah.


19. Bila seseorang yang melihat, menyadari bahwa tidak ada unsur yang lain selain ketiga guna ini dan mengenal Ia yang hadir di atas ketiga guna ini, ia akan masuk ke dalam diriku.

20. Bila seseorang (jiwa yang terbungkus oleh raga ini) telah melampaui ketiga guna ini –di mana semua bentuk raga diproduksi—maka ia benar-benar lepas dari kelahiran dan kematian, dari usia tua dan penderitaan, ia lalu meneguk air kehidupan yang abadi (tak dapat binasa lagi).
Di sloka-sloka di atas ini tersirat pesan Sang Krishna bagi Arjuna dan kita semuanya, yaitu kuasailah ketiga sifat ini, dan jadilah seorang yang sadar atau yang dapat melihat dengan jelas dan benar. Seorang yang melihat atau sadar ini melihat (a) bahwa keterbatasan dari semua unsur duniawi ini dapat dicapai jika seseorang benar-benar sadar bahwa hanya ketiga sifat guna itu sajalah yang sebenarnya bertindak, bekerja, beraksi atau berbuat dan bukan Sang Atman yang bersemayam di dalam diri kita bahkan bukan raga kita juga, dan (b) bahwa ada Ia yang lepas dari semua unsur–unsur Prakriti ini, Yang Maha Suci dan Agung. Ia lebih tinggi sifatNya dari ketiga guna ini yang sebenarnya lahir dari Prakriti, dan dari ketiga guna ini lahirlah bentuk-bentuk dan sifat-sifat alam, raga-raga kita dan juga makhluk-makhluk lainnya yang tak terbilang banyak jumlah dan ragamnya.
Orang-orang yang bijaksana yang telah menyeberangi ketiga guna ini malahan dapat mengendalikan sifat-sifat ini pada diri mereka, karena mereka telah sadar bahwa sifat-sifat inilah penyebab semua tindakan dan perbuatan baik dan buruk di dunia ini, sedangkan Sang Atman hanya bertindak sebagai saksi saja di dalam raga kita masing-masing. Mereka ini oleh Sang Kreshna diibaratkan sebagai yang telah meminum air keabadian dan tak perlu lagi menjalani kehidupan dan kematian lagi. Mereka telah bersatu di dalamNya secara abadi.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 14

Berkatalah Arjuna:

21. Apakah ciri-ciri dari seseorang yang telah melampaui ketiga guna ini? Bagaimana cara hidupnya? Dan bagaimana caranya ia melampaui ketiga guna ini?


Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

22. Seseorang yang tidak menghindar (atau menolak) cahaya (pengetahuan) atau aktivitas atau kebodohan di kala faktor-faktor ini timbul, dan tidak mengharapkan faktor-faktor ini di kala tidak hadir.

23. Seseorang yang duduk tanpa khawatir tak terusik oleh guna, terpisah, tanpa goyah, dan mengetahui bahwa hanya guna-guna ini yang bertindak.

24. Seseorang yang merasakan kenikmatan dan penderitaan adalah serupa, yang terpusat pada Sang Atman, dan baginya tanah liat atau batu ataupun emas adalah satu, yang sama kepada yang dicintainya dan yang tidak dicintainya, yang jalan pikirannya tak goyah, yang bersikap sama di kala terhina dan dalam kemasyuran.

25. Yang memandang sama rata akan rasa dihormati dan tidak dihormati, dan yang bersikap sama terhadap sahabat dan musuhnya, yang telah melepaskan semua ambisi—orang ini disebut telah melewati semua guna-guna ini.
Seseorang yang telah melewati, melampaui atau mengatsi ketiga guna (sifat-sifat Prakriti) akan berubah cara hidup dan cara berpikirnya. Ia akan menjadi ibarat seorang tuan atau majikan yang sudah dapat menguasai atau memperalat sifat-sifat alam ini, dan tanda-tanda atau ciri-ciri orang ini adalah:
a. Ia bersikap sama saja kepada ketiga sifat-sifat atau kualitas Prakriti ini di kala sifat-sifat ini hadir dan sedang beraksi baik dalam dirinya maupun dalam diri orang lain, karena ia sadar bahwa setiap sifat ini mempunyai evolusi atau naik turunnya sendiri.
b. Ia tak terganggu atau terusik oleh efek atau hasil atau karma dari setiap tindakan, apakah itu tindakan baik maupun tindakan buruk. Ia sadar bahwa setiap perbuatan atau aktivitas adalah milik guna-guna ini, milik dan merupakan alat permainan sang Prakriti. Baginya alam dan sifat-sifatnya selalu sedang bekerja dan ia sendiri sedang duduk di tengah-tengahnya, merasa tak asing tetapi juga tak khawatir. Tak dapat ia digoyahkan dari jalan pikirannya ini oleh sifat-sifat Prakriti. ”Hanya sifat-sifat ini saja bergerak” katanya, dan ”semua objek adalah benda-benda mainan yang dipermainkan oleh guna-guna ini”. Ia merasakan dirinya sebagai musafir yang sedang melakukan perjalanan atau pekerjaannya saja di dunia ini, ibarat mimpi yang tak dapat mengganggu mereka yang tidak tidur, maka guna atau sifat-sifat inipun tidak dapat mengganggu sang musafir ini, yang tenang dengan tugas atau perjalanannya kearah Yang Maha Esa.
c. Baginya setiap benda, makhluk dan kejadian adalah hal yang sama atau satu sifatnya. Ia Bersikap selalu sama rata terhadap hal-hal, kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman yang berlawanan seperti suka-duka, panas-dingin, teman-musuh, penghormatan penghinaan, cinta-benci dan lain sebagainya. Emas atau tanah liat baginya sama saja nilainya, sama-sama ciptaan Yang Maha Esa yang tak ada bedanya dan mempunyai fungsi masing-masing di dunia ini, tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah.
d. Ia tidak berambisi lagi dengan tujuan-tujuan tertentu dalam melakukan pekerjaannya. Baginya setiap aksi, perbuatan, tindakan dan pekerjaan adalah dharma baktinya kepada Yang Maha Esa, yang tidak diiringi oleh pamrih sama sekali. Baginya pekerjaan apapun sama saja kadar atau sifatnya, tidak ada yang lebih agung dan tidak ada yang lebih hina, apapun jenis pekerjaan itu harus didedikasikan secara tulus dan tanpa pamrih kepada Yang Maha Esa semata.

26. Seseorang yang mengabdi kepadaKu dengan dedikasi yang tanpa pamrih, melampaui semua sifat-sifat alami ini dan bersatu dengan Sang Brahman.
Apakah caranya agar seseorang dapat melampaui ketiga guna ini dan bersatu dengan Yang Maha Esa, Yang Maha Abadi. Caranya: (a) pengabdian yang terus-menerus tanpa henti dan tanpa pamrih, dan (b) mengabdi kepadaNya dengan cinta kasih yang tulus. Dalam cinta kasih terhadapNya yang tulus ini dan tanpa henti ini maka secara lambat laun ia akan menyatu dengan yang dikasihiNya, dan ia sendiri berubah menjadi nol untuk dirinya sendiri, tetapi menjadi Satu dengan Yang Maha Esa. Ini disebut Atma-Svarupa, yaitu menyatu dengan Sang Kreshna dan bersatu dengan Yang Maha Esa. Om Tat Sat.

27. Karena Akulah tempat bersemayam Sang Brahman, Air Kehidupan Abadi yang tak ada habis-habisnya. Akulah fondasi dari kebenaran yang abadi dan sumber dari keberkahan yang tak ada akhirnya.
Mengasihi atau mencintai Sang Kreshna adalah upaya untuk menyatu dengan Sang Brahman, karena Sang Kreshna dan Sang Brahman adalah Satu. Kreshna itu Brahman, dan Brahman itu Kreshna. Sang Kreshna adalah sumber dari (a) keabadian dan (b) Hukum Dharma (Hukum Kebenaran) yang abadi dan (c) berkah yang tak ada duanya dan tak kunjung berakhir—keberkahan yang absolut. Sekali lagi Sang Kreshna menegaskan bahwa Ia lah Sang Brahman yang menitis menjadi Kreshna (manusia utama) karena kasihNya kepada para pemujaNya. Sang Kreshna adalah manifestasi dari Sang Brahman, Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Agung dan Suci. Om Tat Sat.

Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, karya sastra yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah yang keempat-belas dan disebut:
Guna Traya Vibhaga Yoga atau Yoga mengenai Perbedaan Ketiga Sifat Alam.
 
Bab 15 - Pohon Dunia

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

1. Dengan akar-akarnya yang tumbuh ke atas dan cabang-cabangnya yang menurun, Ashvattha (pohon beringin yang abadi) ini dikatakan sebagai yang tak dapat dihancurkan. Dedaunannya adalah mantra-mantra Veda. Seseorang yang kenal akan pohon ini, kenal akan Veda-Veda.



Di sini Sang Kreshna menerangkan atau menggambarkan Prakriti (kosmos, alam semesta, atau dunia) sebagai pohon beringin yang abadi, yaitu Ashvattha. Kata Asvattha berarti 'tidak stabil' atau 'selalu bergoyah.' Pohon ini dipercaya oleh orang-orang Hindu sebagai sebuah pohon beringin yang mempunyai akar-akar yang tumbuh ke atas, dan cabang-cabangnya tumbuh ke bawah. Sebenarnya bukahkah dunia ini sama saja ibarat pohon beringin ini, yang abadi tetapi selalu tak pernah stabil, karena ia lahir dari Sang Maya. Akar-akar pohon ini tumbuh ke atas, ini diartikan terpusat kepada Yang Maha Esa. Jadi dunia atau alam kosmos atau Prakriti atau Sang Maya adalah ibarat pohon beringin yang tak stabil ini, yang sebenarnya terpusat atau berakar pada Yang Maha Esa, Yang Maha Abadi dan Stabil. Yang Maha Abadi inilah sebenarnya Unsur Yang Abadi dan Stabil dan bukan alam semesta dengan segala efek-efeknya. Tetapi hanya manusia yang penuh dengan vairagya (lepas dari keterikatan duniawi) saja yang dapat melihat 'pohon-dunia' ini di dalam Yang Maha Esa dan sadar bahwa dunia ini sebenarnya berakar atau terpusat pada Yang Maha Pencipta dan Abadi.
Akar-akar pohon ini adalah Sang Maya, pohon beringin adalah Prakriti atau alam kosmos ini, dan tempat akar pohon ini berasal adalah Yang Maha Esa. Daun-daun dari pohon ini adalah mantra-mantra Veda-Veda. Dedaunan yang rindang ini diartikan sebagai ilmu pengetahuan sejati atau kasih Yang Maha Esa yang memberikan naungan atau keteduhan kepada mereka-mereka yang ingin berlindung dibawah pohon beringin yang rindang ini. Dengan kata lain dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita semua dapat mencari keteduhan dan perlindungan dengan mempelajari mantra-mantra atau ajaran-ajaran Veda, ajaran atau pikiran-pikiran agung para resi dan orang-orang suci pada masa-masa yang telah lama silam, ajaran-ajaran ini tercakup dalam Veda-Veda dan kitab-kitab suci lainnya.


2. Ke bawah dan ke atas tersebar cabang-cabang pohon ini. Pohon ini mendapatkan sarinya dari guna-guna. Obyek-obyek indra adalah putik-putiknya. Menurun ke bawah, tumbuh lagi akar-akarnya yang lain, akar-akar ini menjadi pengikat setiap tindakan di dunia manusia ini.
Pohon ini mempunyai banyak cabang yang tumbuh ke atas dan juga tumbuh ke bawah. Cabang-cabang ini diartikan sebagai jiwa-jiwa Cabang-cabang yang mencuat ke atas adalah para dewa, yang ke bawah adalah manusia, fauna, flora, reptil, serangga, dsb. Semua cabang-cabang ini mendapatkan hidupnya dari sari atau makanan, dan makanan ini adalah air, udara, dan lain sebagainya. Yang disebut sari atau makanan ini adalah ketiga guna (sifat-sifat alam dari Prakriti). Sayang sekali kita manusia sering sekali atau setiap kali lebih tertarik akan sari atau makanan pohon kehidupan ini dan tidak sadar akan fungsi akar-akar yang ke atas yang terpusat pada Sang Pencipta. Kita lebih tertarik atau terikat pada guna, padahal itu hanyalah makanan atau penunjang dari cabang-cabang dari pohon kehidupan ini. Subyek utamanya malahan terlepas dari perhatian kita, karena enak dan nikmatnya makanan ini. Sang Pohon ini juga memiliki putik-putik bunga dan ini diartikan sebagai obyek-obyek luar atau eksternal (vishaya). Pohon beringin kehidupan ini juga mempunyai bentuk akar-akar yang lain yang menjuntai ke bawah. Akar-akar ini menurun dan mengikat pohon ini ke tanah. Akar-akar yang ke bawah ini diartikan sebagai vasana, trishna, raga-dvesha, semuanya ini adalah keinginan-keinginan dan nafsu-nafsu duniawi dan badani, yang mengikat pohon atau kehidupan ini pada karma (aksi) dan hukum-karmanya, mengikat kita semua pada kelahiran dan kematian yang tak ada henti-hentinya. Akar-akar yang tersembunyi di dalam tanah ini (vasana) mengikat manusia dunia ini ke dalam lingkaran-lingkarannya yang tak ada putus-putusnya.


3. Di sini tak dapat dibedakan bentuk asli Pohon ini, juga tidak akhir, asal, dan dasarnya. Tertancap kuat pohon Ashvattha ini. Tebaslah pohon ini sampai tumbang dengan senjata tak-keterikatan.


4. Dengan begitu dikau akan meniti jalan ke mana tak ada jalan kembali, dan dengan begitu dikau akan mencapai Yang Maha Utama Yang dariNya terpancar keluar Proses Kosmos ini (energi yang telah ada semenjak masa yang amat silam).
Sayang manusia tidak melihat atau menyadari Pohon ini secara keseluruhannya, dan tak mengerti akan kepentingan pohon ini. Manusia lebih terserap kepada daun-daunnya, pada buah-buah dan putik-putiknya, dengan kata lain manusia terjebak pada rasa manis dan kenikmatan yang dikeluarkan pohon ini dan langsung terjebak di dalamnya, dalam ilusi duniawi. Pohon ini sendiri tampaknya tidak bermula dan tak ada akhirnya; siapa pula yang akan pernah tahu akan asal-mulanya dan akhirnya? Bukankah Pohon ini berasal dari Sang Maya? Tetapi Sang Maya ada asal dan akhirnya, yaitu Yang Maha Pencipta. Sedangkan Sang Maya atau pohon Kehidupan ini sebenarnya hanyalah pantulan atau ilusi. Dan selama kita sibuk berkelana di hamparan luasnya pohon kehidupan ini, selama itu juga kita akan sesat di dalamnya tanpa jalan keluar karena begitu luas dan banyaknya jalan-jalan yang salah di dalamnya seakan-akan tanpa akhir. Maka di situ-situ juga kita akan berkelana tanpa pernah tahu akan hal-hal yang berada di luar itu, yaitu Sang Empunya pohon ini. Jalan satu-satunya untuk keluar dari pohon ini adalah menebasnya sama-sekali dan jalan atau metode ke arah penebasan ini adalah dengan menebas rasa keterikatan duniawi kita secara total dan pasrahkan hasilnya kepada Sang Kreshna, kepada Yang Maha Esa, dan la akan menyelamatkan kita semua dan menyatukan yang menebas pohon kehidupan ini, denganNya. Jalan ketidakterikatan duniawi ini berulang-ulang ditekankan dalam Bhagavat Gita karena inilah faktor yang amat vital untuk menyadari atau menyingkapkan kebodohan kita, agar terbuka ilmu pengetahuan yang sejati, ilmu tentang arti dan hakikat dari kehidupan ini yang sebenarnya, agar tercapailah kesatuan antara kita denganNya, yang menjadi tujuan utama mengapa kita dilahirkan sebagai manusia yang berakal-budi, tidak seperti ciptaan-ciptaan yang lainnya yang berbentuk fauna, flora dan benda-benda tak bergerak. "Seseorang yang dirinya tak terikat pada obyek-obyek luar, mendapatkan kebahagiaan yang ada di dalam dirinya sendiri," kata Bhagavat Gita, dan lagi, "Seseorang yang telah melepaskan semua keinginan, dan hidup bebas dari keterikatan, mendapatkan ketenangan."
Kebebasan dari keterikatan adalah penting dan perlu dihayati bagi seseorang yang ingin kenal dengan Yang Maha Esa, karena ini sudah merupakan syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, dan kebebasan dari keterikatan ini harus dilaksanakan secara sadar dan tulus dan tidak dapat dibuat-buat. Sang Jiwa di dalam raga kita harus disadarkan dari ilusinya dan sang jiwa ini (bukan Sang Atman yang bersemayam di dalam jiwa ini!) harus melepaskan keterikatannya akan uang, harta-benda, berbagai miliknya seperti rumah, keluarga, negara, posisi, kedudukan, kemasyhuran dan sebagainya. Bukan berarti semua ini harus diabaikan atau ditinggalkan tanpa tanggung-jawab, tetapi rasa memiliki semua itu harus ditanggalkan, dan orang ini harus hidup secara amat sederhana saja, dengan merasa semua itu hanyalah titipan atau ilusi yang dapat datang dan pergi setiap saat. Bukankah agama-agama besar lainnya juga menyiratkan hal yang sama, bahwa harta-benda duniawi ini sebenarnya hanyalah pengikat jiwa kita ke dunia ini, dan selama jiwa kita terikat pada dunia ini, bagaimana mungkin sang jiwa membersihkan dirinya agar menjadi suci dan bersih dan mengenal Tujuannya Yang Sejati?
Jadi usahakanlah semaksimal mungkin untuk tidak terikat kepada dunia atau pohon kehidupan ini, bekerjalah demi dharma-bhakti kita kepadaNya semata. Hidup dan bekerjalah demi Ia semata dengan motto atau semboyan, "Aku ini sebenarnya tak memiliki apa-apa, dan aku ini sebenarnya bukan apa-apa." Dengan menjadikan diri kita nol-besar dan tak memiliki apapun juga di dunia ini, maka akan turunlah Berkah Yang Maha Besar, yang kemudian akan menuntun pemuja ini ke arahNya yang abadi dan pasti. Ia hanya dikenal oleh mereka yang tak memiliki apapun di dunia fana ini selain dari DiriNya Yang Sejati. Cobaan yang maha berat sebenarnya bukan harta-benda, milik atau rasa hormat atau pun keluarga, tetapi adalah diri kita sendiri. Pengorbanan atau tak-keterikatan yang sejati sebenarnya adalah pemasrahan total dari diri kita sendiri. Kita mungkin bisa tak terikat pada harta-benda duniawi, tetapi selama kita belum melepaskan rasa ego kita, maka jalan kepadaNya masih terasa amat jauh atau bahkan nampak sia-sia saja. Kata seorang sufi yang suci, "Percuma saja mengganti baju dan cara makanmu, percuma saja engkau menyantap sehelai rumput selama hidupmu atau hanya memakai sehelai baju selama hidupmu, atau mengasingkan dirimu jauh dari masyarakat kalau engkau masih terbius oleh ego juga. Rasa ego sebenarnya juga salah satu keinginan atau nafsu diri yang amat licik dan lincah mempermainkan dan menipu seseorang." Seseorang yang benar-benar tak terikat pada dunia ini adalah yang secara lahir dan batin telah berpasrah total kepadaNya. Orang semacam ini tak meminta atau bernafsu apapun juga, ia hanya menerima apa yang diberikan oleh Yang Maha Esa, ia hanya menerima semua kehendak Yang Maha Esa secara utuh dan tulus dan merasa puas dengan apa saja yang diterimanya. la selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa, "Tuhan, Engkau Maha Tahu, akan apa terbaik dan pantas untukku." Om Tat Sat.
Seseorang pernah bertanya kepada seorang sufi mistik yang bernama Junayd Baghadi, agar memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya sang sufi dapat melihat Tuhan Yang Maha Esa. Orang itu yakin bahwa Yang Maha Esa akan memenuhi permintaan sang sufi yang suci ini. Tetapi apa jawab sufi ini? la berkata dengan tenang, "Aku telah beritikad tidak meminta atau menginginkan sesuatu. Bukankah Nabi Musa pernah meminta melihat Tuhan dan doanya tak terkabul, sedangkan Nabi Muhammad mendapatkanNya tanpa pernah memintanya? Suatu waktu nanti kalau sudah tiba saatnya, maka Yang Maha Kuasa akan menghapus semua rintangan dan memperbolehkan aku melihatNya sendiri tanpa aku harus memintanya." Dengan cara berpasrah total kepadaNya, tanpa keterikatan duniawi, tebaslah pohon kehidupan yang penuh dengan ilusi ini, agar tampak Sinar Terang Ilahi menuntun kita kepadaNya juga. Caranya dengan sekali lagi bertekad untuk tidak terikat kepada semua unsur atau obyek-obyek duniawi ini dan hanya berpasrah total kepadaNya dan menerima semua kehendakNya sebagai pemberian dariNya.


5. Mereka pergi ke Rumah Yang Tak Dapat Dihancurkan, mereka ini tak memiliki rasa keangkuhan dan rasa moha (cinta-kasih yang mengikat), yang telah menang dan bangkit atas keterikatan yang baik dan buruk, yang selalu terpusat pada Sang Adhyatman, yang telah meninggalkan nafsu-nafsunya, yang telah bebas dari rasa dvandva (rasa dualisme yang saling bertentangan), dari kenikmatan dan penderitaan.


6. Tiada surya atau pun chandra atau agni yang bersinar di sana; tiada juga yang setelah sampai di sana kembali lagi. Itulah kediamanKu yang suci dan agung.
Maka mereka ini pun pergi ke tempat yang tak ada jalan kembali ke dunia ini. Mereka-mereka ini yang hati dan hidupnya sederhana dan tak terpengaruh oleh noda-noda duniawi. Mereka yang telah mengalahkan semua ikatan-ikatan duniawi, nafsu dan emosi, yang hidupnya terfokus atau terpusat pada Sang Adhyatman, Yang Bersemayam di dalam diri mereka masing-masing, Sang Atman. Mereka ini hidup di dalam Rumah Abadi Sang Kreshna, dan di Rumah ini tak diperlukan cahaya mentari, rembulan atau pun cahaya api untuk meneranginya karena cahaya Sang Kreshna Sendiri sudah tak tertandingi terangnya di sana.


7. Sebagian dari DiriKu Yang Abadi ditransformasikan dalam dunia kehidupan, ke dalam jiwa yang hidup, dan menarik melingkupi dirinya dengan indra-indra yang mana sang pikiran adalah indra yang keenam -- yang terbungkus dalam bentuk benda.
Dalam Pohon Kosmosnya Sang Prakriti terlahir jiwa-jiwa, individu-individu, dan lain sebagainya. Dan siapakah mereka semua ini dan juga kita? Setiap jiwa dan setiap makhluk adalah salah satu fragmen kecil dari Sang Kreshna Yang Maha Esa itu Sendiri, dan setiap fragmen atau bagian kecil ini timbul atau lahir ke dunia ini sebagai makhluk atau individu (jiwa-bhuta), sebagai jiwa yang berkelana dalam raga-raga yang berlainan bentuk dan ragamnya. Ditegaskan di sini bahwa semua jiwa-jiwa ini baik yang nampak maupun yang tak terlihat oleh mata kita, berasal dari Sang Kreshna juga, Yang Maha Abadi dan Esa. Inilah fakta-fakta yang dilupakan oleh manusia, dan manusia kebanyakan cenderung untuk tenggelam dalam dunia ini dengan segala kenikmatan dan penderitaannya, tetapi tidak mau mengenali diri dan jiwanya yang agung, yang merupakan sebuah fragmen dari Yang Maha Esa. Manusia cenderung mementingkan buah, cabang dari pohon kehidupan ini daripada asal pohon ini.
Fragmen-fragmen atau jiwa-jiwa ini kemudian diatur sedemikian rupa oleh Prakriti (Alam) agar terbungkus oleh indra-indra kita yang jumlahnya semua adalah lima indra organ dan satu indra pikiran. Sang Jiwa ini kemudian diatur sedemikian rupa sehingga bebas memilih terjerumus ke dalam nafsu-nafsu duniawi atau menyibak pembungkus Prakriti ini sehingga dapat melihat Sinar Terang yang sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri, yaitu Sang Adhyatman, Sang Jati Diri, atau Yang Maha Esa iru Sendiri dalam bentukNya yang kecil. Sang Kreshna adalah Adi Purusha (Manusia Yang Terutama) di dalam (1) setiap jiwa yang berbentuk aneka-ragam dan (2) dan sebagai Alam Semesta secara keseluruhan. Ia lah Sang Jati Diri, Sang Jiwa dalam yang besar dan kecil, dalam alam semesta dan dalam makhluk-makhluk, roh-roh atau jiwa-jiwa, secara menyeluruh dalam setiap yang hidup ini. Ia adalah Adhyatman (Sang Atman Yang Tertinggi, Terutama dan menyeluruh dan sumber dari semua jiwa-jiwa ini)!


8. Sewaktu Yang Maha Esa (Sang Jiwa) memasuki sebuah raga dan sewaktu la meninggalkannya, la membawa serta semua indra dan pikiran ini dan pergi bersama mereka, ibarat sang angin yang menerbangkan wewangian dari tempat asalnya. (Contoh: wewangian bunga yang terbangkan jauh dari sang bunga itu sendiri.)
Sang Jiwa yang mengembara di alam kosmos ini dari satu tubuh ke tubuh yang lainnya, selalu membawa serta semua indra-indra ini dalam tubuh halusnya. Semua ini kemudian jadi asal-mula karma barunya lagi dalam kelahiran yang berikutnya.


9. Secara suci bersemayam di telinga, di mata, di kulit dan di hidung - dan juga di dalam pikiran — la menikmati obyek-obyek sensual.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 15

10. Mereka yang tidak sadar (kurang pengetahuannya) tidak menyadariNya sewaktu la berpisah atau beristirahat atau merasa, sesuai dengan kerja-samaNya dengan guna-guna. Tetapi mereka yang memiliki mata kebijaksanaan dapat melihat.



11. Para yogi pun yang berusaha melihatNya di dalam diri mereka; tetapi mereka yang tidak sadar, yang tidak bersih, mereka berjuang tetapi tidak melihatNya.
Bagi mereka-mereka yang bijaksana dan berpengetahuan (dalam agama Hindu selalu dipergunakan kata berpengetahuan untuk mereka yang sadar akan Yang Maha Esa dan kata bodoh atau kurang-pengetahuan untuk mereka yang masih jauh dariNya, dan masih bergelimang akan dosa-dosa. Kata dosa jarang dipergunakan), maka terlihatlah oleh mereka Sang Atman yang bersemayam di dalam raga kita dengan menikmati obyek-obyek indra, Ia terlihat hadir di telinga, di mata, di kulit, di lidah, di hidung dan di pemikiran (pikiran) kita. Bagi yang masih kurang sadar (agnana), maka kenyataan ini tidak nampak oleh mereka, walaupun sebenarnya banyak di antara mereka yang berjuang ke arah Yang Maha Esa. Mengapa begitu? Karena sebenarnya mereka-mereka ini masih terselimut oleh ego mereka, sehingga tidak sucilah diri mereka ini. Ingatlah! Sedikit saja ego itu masih tersisa di dalam diri kita maka masih jauh kita ini dari Yang Maha Esa, ingat juga walaupun itu ego yang baik sifatnya, selama namanya masih ego dan bukan demi Yang Maha Kuasa, maka selama itu pula jauh kita ini dari Yang Maha Esa!


12. Ketahuilah bahwa gemerlapnya cahaya sang surya yang menerangi dunia ini, dan cahaya rembulan dan api, semua kebesaran itu datang terpancar dariKu.


13. Memasuki bumi ini, Kutunjang semua makhluk dengan energi vitalKu dan, dengan menjadi cairan lembut dari Sang Chandra (sari Soma) yang nikmat, Kuhidupi semua tumbuh-tumbuhan.


14. Dengan menjadi api-kehidupan, yang bersemayam di dalam raga setiap makhluk yang bernafas, dan menyatu dengan kehidupan (nafas yang ditarik dan yang dikeluarkan), Kucernakan semua bentuk makanan (empat jenis makan).


15. Dan Aku bersemayam di dalam hati semuanya; dan dariKu timbul memori (ingatan) dan gnana (pengetahuan atau kesadaran) dan kekuatan yang menangkis dan menolak keragu-raguan atau pikiran-pikiran yang negatif. Akulah yang dimaksud dalam Veda-Veda, dan Akulah yang dimengerti oleh Veda-Veda ini, dan juga Akulah Pengarang Vedanta - 'akhir' dari Veda.
Sang Kreshna atau Yang Maha Esa adalah kehidupan total dari alam semesta ini. Setiap unsur dari alam semesta ini berasal dariNya atau dengan kata lain Ia juga semuanya ini. Ia juga sumber dari energi di alam semesta ini, Ia juga cahaya yang bersinar di dalam matahari, rembulan dan api. Ia juga sari Soma dalam rembulan yang menghidupi tumbuh-tumbuhan di bumi ini. Ia juga api-kehidupan dalam setiap manusia dan makhluk-makhluk lainnya, Ia lah sumber tanpa batas dari segala-galanya. Ia juga yang bersemayam dalam pikiran kita yang membedakan antara pikiran yang jahat dan yang baik. la juga yang selalu disebut-sebut dalam Veda-Veda dan kitab-kitab suci lainnya sebagai Tujuan Yang Abadi, Tuhan Yang Maha Esa, bahkan Ia sendiri adalah Sang Pengarang dari Vedanta, yaitu kitab suci Hindu yang terakhir dalam jajaran kitab-kitab Veda.


16. Ada dua Purusha (energi) di dunia ini, yaitu yang dapat binasa dan yang tak dapat binasa. Yang dapat binasa adalah semua makhluk dan benda-benda, yang tak dapat binasa disebut Kutashta (duduk secara tegar, terbungkus oleh misteri dan bersemayam dalam Sang Maya).


17. Ada lagi seorang Purush -- Yang Maha Tinggi - Yang disebut Purushottama (Sang Jati Diri Yang Suci dan Agung). la menunjang semuanya; la menghidupi ketiga loka-loka ini. Ia lah Yang Maha Abadi (Yang Tak Dapat Binasa).


18. Karena Aku berada di atas yang dapat binasa, dan juga Aku lebih tinggi dari yang tak dapat binasa, maka baik di dunia ini maupun di dalam Veda Aku dikenal sebagai Manusia Yang Maha Agung dan Suci.
Ada tiga bentuk Purusha, atau orang atau energi di alam semesta ini:
(1) Disebut Kshara-prakriti atau berarti yang tidak abadi, yang dapat berganti-ganti, sama dengan semua makhluk dan benda-benda yang dapat binasa.
(2) Akshara-prakriti atau Kutashta (yang duduk tegar bagaikan batu di dalam Sang Maya) — yaitu Sang Jiwa atau Chaitanya-shakti yang melahirkan bentuk purusha yang pertama tadi.
(3) Uttama Purusha, atau Purushottama, Paramatman, atau Sang Jati Diri Yang maha Agung dan Suci. Ia adalah Yang Maha Esa Yang menunjang, menghidupi, menghadirkan alam semesta ini. Ia lah Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om Tat Sat.
Di bab VII, oleh Sang Kreshna, kedua bentuk energi ini disebut Purusha dan Prakriti, sebagai dua buah bentuk dari PrakritiNya. Di bab XV ini, Sang Kreshna menyebut kedua-duanya sebenarnya bermakna sama, yaitu dua bentuk Energi (atau Upadhi) dari Satu Purusha Yang Maha Agung dan Suci, yaitu Yang Maha Esa, Sang Purushottama, Sang Kreshna, Yang Hadir dan Berkuasa di atas Kshara dan Aksara.

19. Seseorang yang telah sadar, mengenalKu sebagai Purushottama, orang ini tahu akan semua hal dan ia memujaKu dengan seluruh jiwanya, oh Arjuna!

20. Demikian telah ku beritahukan kepadamu ajaran yang amat rahasia ini, oh Arjuna! Seseorang yang tahu akan hal ini, adalah orang yang telah mencapai penerangan dan tugas-tugasnya selesai sudah, oh Arjuna!
Ilmu pengetahuan tentang Sang Kreshna sebagai Purushottama menuntun seseorang ke arah bhakti (dedikasi tulus tanpa pamrih). Ilmu atau pengetahuan ini memberikan rasa pengertian atau penerangan akan Yang Maha Esa dan segala aspek-aspekNya yang terlihat di alam semesta dan diri kita. Dan seseorang yang telah sadar akan hal ini adalah orang yang telah mendapatkan penerangan Ilahi, dan menurut Sang Kreshna selesai sudahlah tugas-tugas dan kewajibannya di dunia ini. Orang ini lalu sadar bahwa semua yang manis dan baik dalam hidup ini, seperti sahabat-sahabat, orang-orang yang dikasihinya, kekayaan, kesehatan, ilmu-ilmu pengetahuan dan lain sebagainya, hanyalah merupakan 'bunga-bunga' dan 'buah-buah' kehidupan belaka, yang merupakan hadiah atau pemberian Sang Purushottama kepadanya, untuk digunakan demi menunjang kehidupannya selama ia berkelana di dunia ini. la tak akan pernah lupa, bahwa tujuannya ke dunia ini sebenarnya adalah untuk mengenal Yang Maha Esa, bekerja demi Yang Maha Esa, dan berusaha untuk kembali kepadaNya lagi secara sadar. Untuk mencapai Rumah Yang Maha Esa ini maka semua materi-materi yang merupakan penunjang hidupnya di dunia ini harus ditinggalkannya, bukan diikat erat-erat dengannya. Seseorang yang secara sejati telah menyadari akan hakikat ini disebut Vairagi. la sadar dunia beserta seluruh isinya dapat binasa, tetapi Yang Maha Esa adalah Abadi. Pemuja semacam ini walau sehari-hari tetap bekerja seperti biasa dan sesuai dengan kewajibannya, sebenamya secara spiritual tugas-tugasnya di dunia ini telah selesai, karena walau masih memiliki raga ia sudah mencapai dan mengenal Sang Misteri Yang Maha Agung dan Suci, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang memiliki Keajaiban-Keajaiban Yang Tak Tertandingi. Pemuja yang suci ini di dalam hidupnya telah mencapai Nirvana. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka bab ini adalah yang kelima-belas dan disebut:
Purushottama Yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang Manusia Utama Yang Maha Agung dan Suci
 
Bab 16 - Yang Berhati Suci dan Yang Berhati Iblis

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

1. Tidak memiliki rasa takut, kemurnian hati, ketegaran dalam ilmu dan yoga, memberikan dana, kendali diri, pengorbanan, mempelajari buku-buku suci, tindakan disiplin spiritual (meditasi, puasa, pantangan dan lain sebagainya), menjunjung tinggi kebenaran;



2. Tidak mencelakakan yang lainnya, kejujuran, jauh dari rasa amarah, penyerahan total hasil dari tindakan-tindakannya, kedamaian, tidak mencari-cari kesalahan, rasa sayang terhadap semua makhluk hidup, kesederhanaan, jauh dari rasa ketidak setiaan;


3. Keperkasaan (keberanian), pemaaf, dapat menahan penderitaan, kesucian, jauh dari rasa iri, bebas dari rasa sombong yang berlebih-lebihan — ini semua, oh Arjuna, adalah ciri-ciri seseorang yang lahir dalam keturunan yang suci.
Di dunia ini ada dua jenis manusia, yaitu yang suci dan yang bersifat iblis. Manusia-manusia yang lahir dengan karakter-karakter yang suci secara mendasar sudah spiritual sifatnya. Mereka-mereka ini adalah jiwa-jiwa yang hidup dalam raga tetapi tak terpengaruh oleh Sang Maya. Mereka ingat dan sadar akan kesucian yang menunjang mereka untuk sampai ke Rumah Tujuan akhir nanti. Segala perbuatan dan tindak-tanduk mereka memancarkan kesucian dan kemurnian bagi sesamanya dan diri mereka sendiri. Dalam tindak-tanduk mereka di dunia ini mereka tidak menunjukkan nafsu atau keinginan-keinginan duniawi baik dalam cara berpikir, aspirasi maupun perbuatan mereka. Mereka ini selalu terserap dalam yoga dan jauh dari segala bhoga (kenikmatan-kenikmatan duniawi). Semenjak lahir, dalam diri mereka telah nampak tendensi-tendensi suci. Bakat-bakat kesucian ini mereka bawa dari karma yang terdahulu, dan dipraktekkan dengan lebih aktif lagi di kelahiran mereka yang berikutnya secara lebih intensif.


Mereka-mereka yang dianggap memiliki ciri-ciri keturunan suci ini (daivi sampad), dan telah siap melangkah ke arah pembebasan duniawi ini menampakkan dua-puluh enam ciri-ciri atau tanda-tanda khas, seperti berikut ini:
1) Tak memiliki rasa takut. Kita sering sekali dilanda rasa takut dan khawatir dalam hidup ini seperti takut dan khawatir kehilangan barta-benda, milik atau seseorang yang tersayang dan lain sebagainya. Seseorang yang telah menyerahkan atau memasrahkan semua tindakan dan hasil tindakan mereka kepada Yang Maha Esa, dan yakin akan kehendakNya semata tak akan pernah takut, khawatir dan gentar mengarungi hidup ini. Baginya hidup ini adalah suatu tindakan atau pekerjaan yang suci demi Yang Maha Esa, jadi tak ada lagi rasa takut dalam diri mereka, karena selain merasa tak memiliki sesuatu apapun juga di dunia ini, mereka ini juga dapat merasakan kasih-sayang Ilahi Yang Tak Terbatas yang tak dapat dirasakan oleh mereka-mereka yang belum sadar sepenuhnya.


2) Kesucian atau kemurnian hati. Kebersihan hati berarti lepas dari segala unsur-unsur atau sifat-sifat palsu, betapa kecilpun sifat palsu itu. Biasanya seorang yang tabah dalam hidupnya dan sudah lepas dari segala rasa takut, akan berubah menjadi seorang 'anak-kecil' yang bersih dan murni hati dan tingkah-lakunya. Goethe pernah berkata, "Bersihkan dirimu dengan merendahkan dirimu." Untuk menjadi murni dan bersih ini, seseorang harus selalu berpikir bahwa raga ini adalah 'kuil dari Sang Atman Yang Suci dan Agung. Hati yang suci-bersih tak pernah menuntut atau mengingini apapun juga selain mengasihi Yang Maha Esa dan menerima semua kehendakNya semata tanpa pamrih. Jadilah dikau hati yang suci dan murni dalam segala tindak-tandukmu, dalam segala pikiran dan puja-pujimu.


3) Ketegaran atau keteguhan dalam ilmu pengetahuan sejati mengenai Yang Maha Esa, dan ketekunan dalam yoga adalah praktek-praktek disiplin ketat dalam menekuni ilmu-sejati ini. Ketegaran ini dasarnya adalah moral dan iman yang kuat. Caranya ada beberapa macam dan semuanya menuntut keyakinan, ketekunan dan keteguhan yang tak ada putus-putusnya dalam melakukan: (a) meditasi setiap harinya, (b) usaha-usaha spiritual seperti puasa dan sembahyang dan lain sebagainya yang dipilih masing-masing individu, (c) cinta-kasih yang tulus pada setiap makhluk, benda dan sesamanya, (d) melayani atau bekerja tanpa pamrih demi membantu fakir-miskin, orang-orang tua, orang-orang sakit dan mereka-mereka yang pantas ditolong, dan semuanya ini harus dilakukan tanpa pamrih. Dalam melakukan semua usaha-usaha ini akan banyak ditemui hambatan-hambatan yang sukar dan sering sekali terjadi para pemula tumbang karena tidak melihat hasil yang nyata dan segera. Tetapi seseorang yang tegar akan berjalan dan melangkah terus dengan perlahan tapi pasti, dan suatu saat karena keyakinannya yang tegar ia akan sampai ke tujuannya yang mulia. la sadar sukar dahulu, mudah kemudian, itulah jalannya.


4) Dana atau amal dianjurkan bukan saja dalam agama Hindu tetapi juga dalam agama-agama besar lainnya, dan ini merupakan salah satu jalan untuk membersihkan diri kita. Yesus sendiri berkata, "Secara cuma-cuma engkau telah menerimanya, secara cuma-cuma pula berikanlah!" Lalu apakah dalam hidup ini, kita benar-benar rela memberikan harta-benda yang kita kira sudah jadi milik kita kepada yang paling membutuhkannya? Relakah kita berkorban sedikit saja demi sesama makhluk atau manusia lainnya yang menderita? Sebenarnya dana atau amal-perbuatan yang baik tidak dihitung dari segi kuantitasnya melainkan dari segi kualitasnya. Dan yang paling penting dari semua itu adalah itikadnya, itikad yang ada di balik semua perbuatan baik itu. Dana atau amal itu datang dari hati-nurani kita yang tulus dan bukan dari harta-benda atau pun kedudukan kita, bukan juga dari paksaan atau keadaan tertentu. Sebuah senyum kecil yang simpatik untuk seseorang yang membutuhkannya adalah dana, memberikan air kepada seorang musafir yang kehausan adalah dana, menyingkirkan kulit pisang di jalan agar orang lain tidak terpeleset adalah dana, menyisihkan waktu sedikit untuk menolong seseorang yang memerlukannya adalah dana. Tiga faktor utama dalam ajaran agama Islam adalah amal, puasa dan sembahyang. Alkisah suatu waktu seorang yang bernama Bernard ingin bergabung dengan St. Francis dalam melakukan misi-misi sucinya, maka berkatalah St. Francis kepadanya, "Pertama-tama pergi dan juallah apa yang kau punya dan berikanlah kepada yang miskin dan papa."


5) Kendali diri, yaitu kendali pada indra-indra kita dan menguasai selera dan nafsu-nafsu kita yang selalu kelaparan akan obyek-obyek indra ini. Kuda-kuda liar dapat dijinakkan, begitupun indra-indra ini adalah ibarat kuda-kuda ini, merekapun harus dijinakkan. Bagaimana caranya? Jadilah engkau seorang kusir atau penunggang kuda ini dan bukan sebaliknya! Raga kita sebenarnya diciptakan agar menjadi karma-kshetra, tetapi kebanyakan diantara kita malahan menjadikannya bhoga-kshetra (ladang untuk mencicipi kenikmatan). Kuasailah semua trishna atau keinginan-keinginan dan selera-selera, kendalikanlah nafsu-nafsu dan hasrat-hasratmu, dan jadilah seorang majikan atas dirimu sendiri dan bukan sebaliknya! Intisari kebijaksanaan yang diajarkan oleh filsuf Sokrates adalah kata-kata yang berbunyi, "Kenalilah dirimu sendiri!" Intisari dari kebijaksanaan Hindu adalah, "Kuasailah dirimu sendiri!" Sedangkan Pythagoras yang terkenal itu pernah berkata, "Tidak ada seorang pun yang dapat disebut merdeka (bebas) yang tak dapat memerintah atas dirinya sendiri!"


6) Pengorbanan, persembahan (yagna), jenis yagna atau pengorbanan ini ada banyak caranya. Persembahan spiritual ini didasarkan pada pemikiran bahwa dewa-dewa, manusia, dan makhluk-makhluk halus, semua ini membentuk suatu simfoni kehidupan. Yagna menunjukkan suatu itikad berkorban atau menolong sesama makhluk di dunia ini baik yang terlihat maupun yang tak terlihat, yang membutuhkan pertolongan kita di alamnya masing-masing. Yagna juga mengajarkan kita untuk menjadi sederhana dan tulus dalam hidup kita sewaktu kita melakukan yagna ini untuk para dewa, dan mengajarkan kita akan kewajiban dan perhatian kita pada para leluhur kita agar mereka tak terlupakan. Karena karma yang lalu para leluhur yang berada di alam sana hidupnya belum tentu bahagia, jadi mereka selalu saja membutuhkan pertolongan kita agar kuranglah dosa-dosa mereka. Pada hakikatnya yagna ini secara bertahap mengajarkan kita untuk berkewajiban dan berkorban secara murni kepada Yang Maha Esa. Untuk itu kita harus belajar dahulu dengan ber-yagna untuk para dewa dan leluhur. Intisari sesungguhnya dari yagna ini adalah berkoban secara tulus dengan mengorbankan seluruh hidup kita ini kepadaNya tanpa pamrih, yaitu bekerja demi Ia semata tanpa pamrih dan tanpa bosan-bosannya!
7) Mempelajari skripsi-skripsi atau ajaran-ajaran suci (ini disebut Svadhaya).
Terangkan dalam ajaran-ajaran ini adalah pemujaan oral (puja-puji dan nyanyian) kepada Yang Maha Esa pada setiap kesempatan yang ada.


8) Tapa atau tindakan-tindakan disiplin spiritual yang aneka ragam bentuknya seperti puasa, meditasi, dan berbagai tindakan disiplin spiritual lainnya. Intisari dari tapa ini adalah selalu berusaha untuk tidak berbohong kepada diri sendiri maupun orang lain, jadi setiap pembicaraan harus benar dan jujur, mencintai kebenaran dan kehidupan yang jauh dari kemewahan.


9) Menjunjung tinggi kebenaran, tegas dan tulus dalam tindakan (arjavam). Mereka yang memiliki sifat-sifat yang suci dan agung selalu berkata dan bertindak tegas dalam setiap aspek kehidupan mereka, tetapi jiwa mereka sebenamya amatlah lembut, tulus dan jujur akan kebenaran. Inilah sebenarnya yang mendasari tindakan dan ucapan mereka yang tegas. Mereka juga amat tinggi dalam menjunjung nilai-nilai kebenaran walaupun untuk hal-hal yang amat kecil sekalipun.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 16

10) Mereka menjalankan praktek-praktek ahimsa, yaitu tidak menyakiti seseorang atau makhluk lainnya baik dalam tindakan mereka atau kata-kata mereka. Di dunia yang penuh dengan manusia-manusia yang berwajah srigala ini, masih ada saja manusia-manusia tulus dan suci yang melakukan ahimsa ini secara total. Inilah salah satu ciri khas dari yang memiliki potensi suci dan agung ini. Tetapi ingat jangan salah-pergunakan mereka ini, karena demi kebenaran mereka ini adalah manusia yang amat tegas!



11) Mereka mempraktekkan kebenaran (safram) dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menampakkan diri mereka sebagaimana yang mereka sadari akan arti kehidupan ini, dan juga akan arti dan hakikat Yang Maha Esa. Bagi mereka apapun yang benar dibenarkan dan yang salah disalahkan tanpa memandang kasta, kedudukan dan harta. Bagi mereka kebenaran itu sekecil apapun kebenaran itu, maka sifatnya adalah di atas segala-galanya. Bagi mereka seorang yang lahir dengan predikat kasta pariah bukanlah seorang pariah, tetapi seseorang yang tak dapat menghormati kata-katanya adalah seorang pariah. Tuhan Yesus sendiri pernah berkata, "Kebenaran akan membuatmu bebas!" "Kebenaran dan kasih adalah bagi kami arti sesungguhnya dari Tuhan Yang Maha Esa," kata TL Vaswani, pengarang naskah Bhagavat Gita.


12) Orang-orang ini tak mempunyai rasa marah atau geram (akrodhd). Mereka bahkan tak pernah marah atau benci pada yang menyakiti mereka walaupun dipancing untuk marah sekalipun.


13) Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang telah melakukan dan menghayati penyerahan total akan hasil tindakan mereka sehari-hari (tyaga) yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
(a) penyerahan total secara mental dan dari pemikiran mereka bahwa apa yang mereka lakukan dan apapun hasilnya adalah kehendak Yang Maha Esa semata-mata dan seyogyanyalah dilakukan tanpa pamrih,
(b) setiap tindakan mereka jauh dari rasa keberhasilan, egoisme, optimisme, pesimisme, keserakahan, nafsu dan keinginan,
(c) mereka jauh dari obyek-obyek duniawi.


14) Pikiran dan jiwa mereka selalu tenang (shanti) dalam segala tindakan mereka sehari-harinya.


15) Mereka jauh dari segala gosip atau obrolan-obrolan iseng yang menyangkut orang lain. Jauh juga mereka ini dari segala pikiran dan pembicaraan mengenai orang lain atau mencela orang lain dan mencari-cari kesalahan seseorang. Mereka tak mau menyakiti atau mencelakakan orang atau makhluk lain baik secara mental maupun secara tindakan.


16) Mereka memiliki rasa kasihan, iba, simpati dan rasa sayang untuk setiap makhluk di dunia ini.


17) Mereka selalu merasa cukup dengan apa adanya, dan tak pernah memohon atau meminta lebih apapun yang diterima mereka. "manusia ini tak pernah puas, walaupun memiliki sebuah danau penuh dengan emas, tetapi masih saja merasa miskin," kata Hitopadesha. Tetapi mereka-mereka ini yang telah terpanggil ke jalannya Tuhan, malahan amat puas dengan apa adanya. Bagi mereka alam semesta dan seluruh isinya sudah merupakan karunia yang tak ada habis-habisnya. Lalu untuk apa harus serakah dan menuntut dan menuntut lagi?
Feridoun merasa tak puas dengan kerajaan yang dimilikinya. Sedangkan Alexander meratap telah menguasai semuanya karena tidak ada lagi yang bisa dikuasainya. Tetapi seorang anak kecil yang polos dan lugu akan gembira sekali dan bahagia kalau dapat memenuhi kedua tangannya dengan pasir dan bermain-main dengannya. Bagi seorang anak kecil yang masih polos akan hal-hal duniawi ini, maka segenggam pasir dan segenggam emas sama saja nilainya, karena ia masih suci dan tidak sadar akan standar-standar yang telah ditentukan oleh manusia dewasa.
Setiap pekerjaan itu baik, karena pekerjaan itu diperlukan dan karena merupakan bagian terpenting dalam kehidupan kita. Tetapi ingatlah pekerjaan yang tak diperlukan dan sia-sia janganlah dilakukan dan jauhilah pekerjaan-pekerjaan ini yang sifatnya negatif dan merusak. Pekerjaan atau profesi sehari-hari diperlukan dan wajib kita kerjakan tetapi disertai dengan itikad yang murni dan suci dan dilandasi oleh rasa bakti kita kepada Yang Maha Esa, kepada masyarakat dan lingkungan kita, bukan atas keserakahan pribadi atau dilandasi oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Sebuah pekerjaan yang sederhana sifatnya akan lebih berarti daripada suatu pekerjaan yang nampaknya canggih, selama pekerjaan itu dikerjakan dengan penuh bakti dan kesadaran yang tulus akan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa. Suatu pekerjaan yang dianggap besar dan luar biasa akan sia-sia saja maknanya kalau dilandasi oleh nafsu dan kepentingan duniawi karena yang timbul darinya hanyalah ambisi dan perjuangan pribadi dan terjebaklah sang pelaku dalam nafsu-nafsu duniawinya dan segala ekses-ekses yang timbul dari nafsu itu. Sebaliknya suatu pekerjaan yang sederhana sifatnya seperti memasak dan menyapu akan terasa suci dan syahdu kalau dilakukan dengan kesadaran total bahwa itu juga merupakan kewajiban kita kepadaNya, karena akan turun berkat dan rahmatNya pada si pelaku pekerjaan ini. Yang Maha Esa tidak memandang kedudukan atau pekerjaan seseorang, yang dianjurkanNya adalah kesetiaan dan dedikasi kita kepadanya yang tulus dan tidak ternoda.


18) Mereka-mereka ini memiliki kelembutan hati dan pikiran. Mereka ini amat penyabar dan pengasih, dan selalu menerima dan sabar menghadapi segala caci-maki, hinaan, pengkhianatan, dan tindakan-tindakan keji yang dilakukan oleh orang-orang terhadap mereka, karena mereka sadar bahwa yang menyakiti mereka ini sebenarnya tidak tahu apa-apa dan "kurang pengetahuannya atau tersesat jalannya." Sebaliknya mereka jadi amat pemaaf dan selalu mendoakan mereka yang menyakiti ini.


19) Mereka-mereka ini amat sederhana dan pemalu sifatnya. Malu akan berbuat sesuatu yang salah karena yakin akan kehadiran Yang Maha Esa di mana-mana.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 16

20) Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang tidak mudah mengubah keputusan atau pemikiran mereka, tidak mudah terpengaruh dan sangat stabil pendiriannya. Mereka tak mau mencampuri urusan orang lain dan jauh dari pikiran maupun tindakan yang tak ada artinya.



21) Mereka memiliki teja, yaitu energi, cahaya dan kharisma yang luar biasa dan penuh dengan kehangatan. Wajah-wajah mereka selalu simpatik dan memancarkan cahaya kesucian dan kebaikan, ketulusan hati yang luar biasa. Sang Kreshna, Sang Buddha dan Kristus memiliki wajah-wajah semacam ini. Salah satu ciri-ciri teja ini adalah rasa respek yang luar biasa yang dimiliki oleh orang ini, dan juga kejantanan (ketegasan) dalam setiap aspek tindak-tinduknya yang tak dapat ditawar-tawar. Contoh: Sokrates dari Yunani, yang tidak mau mundur dari pendiriannya dan lebih baik memilih kematian dengan meminum racun secara tenang.


22) Mereka adalah manusia atau orang-orang yang memiliki rasa memaafkan terhadap semua dan sesamanya secara luar biasa. Tak ada kebencian di dalam diri mereka walaupun untuk mereka yang telah mencoba menyakiti atau membunuh mereka. Nabi Muhamaad SAW memaafkan musuh-musuhnya. Kristus memaafkan musuh-musuh dan murid-muridnya. Mahatma Gandhi memaafkan pembunuhnya dan jauh-jauh telah meramalkan akan dibunuh. Resi Dayanand memaafkan tukang masaknya yang berusaha meracuni sang Resi. Di era modern ini kita melihat Sri Paus Yohannes Paulus II memaafkan penembaknya.


23) Mereka memiliki kekuatan luar biasa untuk menghadapi segala rintangan dan penderitaan hidup ini, dan tidak kehilangan kesabaran (ini disebut dhriti).


24) Mereka memiliki rasa sancham, yaitu rasa akan kebersihan. Mereka selalu menjaga agar raga mereka bersih luar dan dalam. Kebersihan sebenarnya adalah salah satu aspek yang penting dalam agama dan mendekatkan kita kepadaNya. Pada masa sekarang manusia cenderung untuk mementingkan peragaan di luar tubuh mereka seperti rias-wajah, wangi-wangian, busana yang menyolok dan lain sebagainya. Juga banyak diantara kita yang mengotori tubuh bagian dalam kita dengan merokok, menghisap ganja dan meminum minuman keras, obat-obatan terlarang dan makanan yang merangsang rubuh. Juga manusia dewasa ini lebih cenderung mengkonsumsi makanan yang tidak segar dan penuh dengan zat-zat yang mengotori dan membahayakan tubuh dari pada menyehatkan tubuh ini dengan memakan buah-buahan dan sayur-sayuran segar, menghisap udara segar dan lain sebagainya.


25) Mereka bebas dari rasa iri-hati atau cemburu. Mereka tak mau berperasangka buruk atau iri-hati pada orang lain atau bahkan berpikir negatif tentang orang lain. Mereka cukup dengan apapun yang mereka terima dan selalu berterima kasih kepadaNya. Melihat sukses dan kekayaan orang lain mereka biasa-biasa saja dan tak terpengaruh sama sekali. Mereka tak dapat melupakan kebaikan orang lain terhadap mereka walau sekecil apapun kebaikan itu. Mereka selalu mengabdi demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain baik yang membutuhkan mereka atau tidak, dan menyatu dalam jiwa dengan yang mereka tolong ini. Rasa benci dan iri-hati dapat menghancurkan bukan saja kebahagiaan seseorang tetapi juga menghancurkan kerajaan-kerajaan besar. Lihat saja bagaimana iri-hati sang Kaikeyi (ibu-tiri sang Rama) membunuh suaminya dan sekaligus menghantarkan Sang Rama dan Shinta beserta Lesmana ke hutan Dandaka. Iri-hati dan benci, atau dengki adalah sebenarnya perusak diri dan hidup kita sendiri.


26) Mereka tidak memiliki rasa sombong atau superior terhadap orang lain. Rasa sombong atau ahankara ini memang salah satu faktor yang harus dijauhi setiap manusia, atau tersandung kita nanti dalam perjalanan hidup spiritual kita.
Kedua-puluh enam faktor atau ciri-ciri khas seseorang yang telah suci hati dan jiwanya ini disebut daivi-sampad, yaitu harta-benda sejati seseorang yang suci dan agung, harta Ilahi yang benar dalam melakukan kehidupan yang sejati.


4. Kemunafikan, mementingkan diri sendiri, iri-hati, rasa amarah, juga kekasaran dalam pembicaraan dan kebodohan — semua ini, oh Arjuna, adalah milik seseorang yang lahir dengan sifat-sifat iblis.
Siapakah manusia-manusia yang disebut bersifat sebagai atau bagaikan iblis ini? Mereka disebut Asura. Dalam salah satu Upanishad terdapat satu kisah mengenai Prajapati yang pada waktu penciptaan, menciptakan para dewa (sura) dengan nafas yang dihembuskannya ke atas, dan menciptakan para asura (raksasa, setan, jin, iblis, dan kuasa-kuasa gelap) dengan nafasnya yang dihembuskannya ke bawah. Setelah menciptakan para iblis ini maka terciptalah kegelapan, kebodohan dan keburukan di sekitarnya. Maka disebut bahwa nafas-bawah tadi adalah nafas dari segala nafsu yang negatif dan kebatilan, sedangkan nafas-atas adalah nafas dari segala yang baik, agung dan suci. Nafsu dengan begitu adalah faktor atau hal-hal yang tidak suci di dalam dunia ini, karena ia adalah getaran atau vibrasi dari 'jiwa-bawah' kita sedangkan 'jiwa-atas' kita penuh dengan kebajikan dan kesucian. Dengan kata lain, manusia-manusia yang bersifat asura adalah mereka yang terikat secara duniawi dengan nafsu-nafsu mereka dan selalu tenggelam dalam kebodohan mereka. Terikatlah selalu mereka ini dengan dunia dan dengan kelahiran/kematian yang berkelanjutan terus-menerus.

Karakter atau ciri-ciri khas mereka ini adalah:
(a) Kemunafikan — apa yang mereka tampilkan dalam tindak-tanduk mereka sehari-hari dalam kehidupan mereka penuh dengan sandiwara, kepalsuan dan topeng-topeng manis belaka, padahal hati dan jiwa mereka mungkin terikat pada pikiran dan tindakan-tindakan yang tidak sehat dan selaras dengan topeng-topeng kemunafikan mereka.
b) Dalam setiap hal, mereka selalu mementingkan diri mereka sendiri. Mereka ini juga penuh dengan rasa iri-hati dan terbius oleh harta-benda, milik, kekasih dan kekuasaan mereka.
(c) Mereka ini mudah sekali marah.
(d) Tindak-tanduk mereka maupun cara mereka berbicara mencerminkan kekasaran dan amat menyakitkan bagi yang mendengarkan.
(e) Mereka-mereka ini jauh dari kebenaran dan kebijaksanaan yang sejati.
5. Sifat-sifat suci menuntun seseorang ke arah pembebasan, dan sifat-sifat iblis ke arah keterikatan. Janganlah bersedih, oh Arjuna, karena dikau lahir dengan sifat-sifat yang suci dan agung.


6. Ada dua jenis makhluk yang diciptakan di dunia ini — yang suci dan yang bersifat iblis. Yang suci telah dijelaskan secara terperinci. Sekarang dengarkanlah dariKu, oh Arjuna, mengenai yang bersifat keiblisan ini.
Dua jenis makhluk hidup atau manusia atau makhluk halus diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di dunia ini, yaitu yang bersifat suci seperti yang telah kita baca di atas tadi, dan yang bersifat ke iblis-iblisan. Yang pertama karena dasar sifat-sifatnya telah bebas dan lepas dari karma-karmanya dan dari kehidupan/kematian, untuk kemudian langsung bersatu dengan Sang Pencipta, sedangkan yang kedua akan terikat secara terus-menerus dengan karma-karmanya dan kehidupan dan kematian, tak bisa lepas dari dunia ini.


7. Mereka-mereka yang bersifat iblis ini tidak sadar akan arti tindakan atau akan disiplin-disiplin spiritual. Tak mereka miliki kesucian maupun tindakan-tindakan baik atau pun kebenaran.


8. Mereka berkata bahwa di dunia ini tak ada kebenaran, tak ada dasar moral, tak ada Tuhan, (dunia) ini tercipta dari penyatuan dua jenis kelamin yang berlawanan, (dunia) ini adalah produk dari nafsu-nafsu belaka dan tak ada hal selain itu.


9. Teguh dalam kepercayaan ini, jiwa-jiwa yang tersesat ini yang pengertiannya tumpul dan tindakan-tindakannya kejam, muncul sebagai musuh-musuh dan penghancur dunia ini.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 16

10. Menyerahkan diri mereka kepada nafsu-nafsu yang tak pernah terpuaskan dengan kemunafikan, kedengkian, dan kepentingan diri-pribadi, tergantung pada ide-ide yang salah akibat ilusi, mereka ini bertindak dengan itikad-itikad yang tidak bersih.



11. (Mereka) ini terkurung oleh kekhawatiran-kekhawatiran yang tak terhitung jumlahnya, (mereka) berpikir bahwa pemuasan nafsu-nafsu dan keinginan sebagai puncak cita-cita mereka, yakin bahwa itulah semua ini.


12. Terperangkap oleh seratus harapan-harapan kosong, menjadi budak dari nafsu dan kemarahan, mereka menumpuk kekayaan dengan memuaskan selera-selera panas (mereka) dan melibatkan diri (mereka) dalam kenikmatan-kenikmatan sensual.


13. "Ini telah kudapatkan hari ini, dan akan kucapai keinginan itu. Harta ini milikku, harta itu pun akan menjadi milikku.


14. "Musuh ini telah kubunuh, yang lainnya pun akan kubunuh. Aku lah Tuhan dari segalanya. Aku menikmati diriku sendiri. Aku makmur, berkuasa dan bahagia.


15. "Aku kaya-raya dan lahir dari derajat yang tinggi. Adakah seseorang yang sepadan denganku? Aku akan menyelenggarakan pengorbanan-pengorbanan (yagna), aku akan menyumbangkan dana, aku akan membuat "pesta-pesta kesenangan." Begitulah mereka berkata, tersesat dalam kebodohan mereka.


16. Kacau-balau oleh berbagai pikiran, terperangkap dalam jala ilusi, terbius oleh kepuasan nafsu-nafsu, mereka tenggelam ke neraka yang menjijikkan (penuh dengan kotoran yang berbau dan menjijikkan).


17. Terlalu percaya pada diri-sendiri, keras-kepala, mabuk-kepayang akan kekayaan mereka, mereka melakukan pengorbanan-pengorbanan untuk pertunjukan belaka, tanpa memperhatikan skripsi-skripsi (suci).


18. Terpaku pada rasa ego, pada kekasaran dan kekuatan, dan nafsu-nafsu dan rasa marah, orang-orang yang berhati iblis ini membenciKu yang bersemayam di dalam raga mereka dan di dalam raga-raga yang lainnya.


19. Mereka yang membenciKu dengan cara itu, mereka yang kejam ini, yang terburuk diantara jajaran manusia, mereka-mereka pelaku perbuatan iblis ini, Ku giring terus-menerus ke perut para iblis.


20. Terjatuh ke perut-perut iblis, mereka hidup dari satu kehidupan ke kehidupan yang lainnya, terbungkus oleh kegelapan. Mereka ini tidak datang kepadaKu, oh Arjuna, tetapi tenggelam ke tempat yang paling dalam.
Mereka-mereka yang memiliki asuri-sampad (sifat-sifat keiblisan) dan terikat kepada dunia ini mempunyai ciri-ciri khas seperti berikut:
a. Mereka kurang memiliki rasa perbedaan antara yang baik dan buruk. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan seharusnya tidak dilakukan.
b. Tidak atau kurang memiliki rasa kebersihan. Mereka tidak bersih dalam pikiran maupun dalam menjaga raga mereka.
c. Mereka tidak kenal atau tidak mau kenal atau mengakui kaidah-kaidah moral atau hukum-hukum moral dan etika dalam kehidupan ini.
d. Mereka jauh dari kebenaran. Mereka penuh dengan kebohongan dan tipu-daya.
e. Mereka ini umumnya atheis. Bagi mereka alam semesta atau dunia ini tidak berdasarkan moral, agama atau dasar-dasar spiritual, tanpa Sang Pencipta atau Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka dunia ini hanya tempat melampiaskan nafsu-nafsu, dan pikir mereka semua makhluk tercipta dari kesatuan atau percampuran pria dan wanita, jadi dasar dunia ini bagi mereka adalah nafsu-nafsu dan kenikmatan duniawi belaka. Itulah hidup dan tujuan mereka dalam hidup ini.
f. Cara berpikir mereka penuh dengan kegelapan, karena jiwa mereka telah sesat. Akibatnya daya intelektual mereka menurun.
g. Mereka gemar melakukan pekerjaan-pekerjaan buruk dan keji yang berada di luar prikemanusiaan. Hidup mereka adalah demi penghancuran sesamanya, atau makhluk-makhluk lain. Sebenarnya mereka ini adalah musuh dari dunia dan umat manusia itu sendiri.
h. Kata mereka dunia ini hanya untuk bersenang-senang saja, dan mereka memasrahkan hidup mereka ke nafsu-nafsu dan kenikmatan yang tak ada habis-habisnya. Hidup mereka hanya itu dan tak lebih.
i. Mereka adalah orang-orang yang munafik. Untuk mendapatkan suatu impresi atau keperluan sesuatu, tidak segan-segan mereka menampilkan wajah-wajah yang lain agar tercapai segala maksud-maksud mereka.
j. Mereka penuh dengan kesombongan
k. Dalam kebutaan pikiran, mereka memegang erat-erat prinsip hidup yang salah. Contoh: Sang Rahvana yang berpikir tidak ada salahnya mencuri istri orang lain demi kepuasannya pribadi.
1. Sampai matipun mereka tidak lepas dari rasa khawatir dan ketakutan yang tak ada habis-habisnya (berbagai ragam sifat-sifat ketakutan).
m. Motto hidup mereka adalah kenikmatan, dan itulah tujuan mereka yang tertinggi.
n. Mereka gemar akan perbuatan-perbuatan amoral yang penuh dengan nafsu dan dosa.
o. Mereka gemar amarah. Selalu murka bahkan hal-hal yang kecilpun mudah menimbulkan rasa amarah mereka.
p. Mereka mengumpulkan harta-benda mereka secara tidak benar.
q. Rasa egoisme mereka amat tinggi. Tidak ada yang tidak dikaitkan dengan "ke-aku-. an"-nya. "Aku ini yang perkasa, yang berkuasa, berkedudukan, tanpa aku pemerintahan ini tidak jalan, atau perkerjaan ini tidak terselesaikan. Aku tak ada tandingannya, yang paling hebat dan super dan terkaya," dan lain sebagainya. Mereka ini juga takabur dan sering berkata, "aku ini Tuhan, aku tak pernah sakit, aku tak bisa mati," dan lain sebagainya. Makin lama rasa ego dan keserakahannya makin bertambah dan ia makin sering membunuh orang-orang yang dianggapnya musuh karena ia merasa amat berkuasa dan tak punya tandingan. Demi nama baik mereka, orang-orang ini tidak segan-segan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial yagna dan dana, yang sebenarnya hanya kedok belaka, hanya sandiwara untuk tujuan-tujuan tertentu.
r. Jalan pikiran mereka tak pernah stabil.
s. Mereka terjebak dalam perangkap atau jalan ketersesatan (kegelapan). Duniawi lebih penting bagi mereka daripada Ilahi.
t. Mereka membenci Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam diri mereka dan dalam diri orang-orang lain.
Orang-orang yang bersifat iblis ini secara terus-menerus berkelana dalam lingkaran karma dan lingkaran hidup-mati, dan lahir kembali di tengah-tengah keluarga yang tak bermoral dan penuh dengan kegelapan. Makin lama makin turunlah taraf kehidupan mereka dan oleh karma mereka dibawa tenggelam ke arah kehidupan yang makin rendah tarafnya.


Tetapi Yang Maha Pengasih selalu memberikan kesempatan kepada mereka-mereka ini, yaitu pembersihan diri melalui berbagai penderitaan dan kesempatan-kesempatan dalam tahap-tahap evolusi kehidupan mereka ini, karena di dalam setiap jiwa yang sesat pun bersemayam Sang Atman, Sang Kreshna, Sang Adhyatman Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang tidak akan segan-segannya menunjukkan jalan kepada semua makhluk-makhlukNya. Dan lambat laun jiwa-jiwa yang menderita dan tersesat ini akan tergugah juga memohon Yang Maha Kuasa agar dibebaskan dari penderitaan dan karma mereka. Dan kalau sudah tiba saatnya yang tepat, maka Yang Maha Esa pun akan menjatuhkan berkahNya kepada makhluk atau individu ini dan terbukalah jalan ke arahNya lagi, dan suatu saat mereka-mereka ini pun akan dapat mengalahkan nafsu-nafsu duniawi mereka dan lepas dari dunia yang penuh dengan penderitaan ini, menyatu denganNya, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om Tat Sat.


Maka, kalau sudah merasa suci atau bersih janganlah sekali-kali memandang rendah atau hina kepada mereka yang berdosa atau pada makhluk-makhluk yang tak berdaya, tetapi selalulah menuntun mereka-mereka ini ke jalan yang benar dengan kasih-sayang yang sejati. Maafkanlah dosa-dosa mereka seperti yang dilakukan oleh Yang Maha Kuasa terhadap kita juga. Sebenarnya tidak ada seseorang pun yang berdosa di dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang yang kurang pengetahuannya dan tidak sadar, tersesat oleh kenikmatan duniawi. Jadi tuntunlah selalu mereka-mereka ini. Yesus Kristus pernah bersabda, "Tidak ada yang baik selain Tuhan." Memang benar, hanya Ia Yang Maha Baik, kita manusia harus selalu belajar untuk menjadi baik dan benar agar diterima oleh Yang Maha Baik ini. Seorang yang suci dan agung, seandainya tidak lagi terpakai oleh Yang Maha Kuasa maka ia pasti akan menjadi sampah lagi, tetapi seorang asura yang menjijikkan akan menjadi suci, sekali Yang Maha Esa berkenan mengubahnya. Camkanlah hal ini dan jauhikan diri kita dari rasa jijik, diskriminasi, perbedaan kasta dan derajat. Pandanglah setiap manusia dan makhluk dengan pandangan yang sama, ingat Yang Maha Esa hadir di mana-mana dan dalam setiap makhluk, dan la tidak mengenal diskriminasi, maka seharusnya kita pun bersikap sama. Yang Maha Esa bisa saja mengubah status seseorang sesuai dengan kehendakNya, maka jangan sekali-kali pongah atau tinggi hati terhadap seseorang atau dalam suatu situasi tertentu.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 16

21. Terdapat tiga gerbang untuk menuju ke neraka ini, yang menjadi penghancur dari diri sendiri -- nafsu, kemarahan dan keserakahan. Maka seyogyanyalah manusia membuang jauh-jauh ketiga faktor ini.



22. Seseorang yang telah lepas dari ketiga gerbang kegelapan ini, oh Arjuna, maka telah selesailah semua kebutuhan-kebutuhannya dan kemudian (ia) mencapai tujuan yang tertinggi.
Ada tiga pintu gerbang kegelapan, yang diartikan juga sebagai tiga pintu masuk utama ke neraka, yaitu nafsu, rasa amarah dan keserakahan atau rasa iri. Nafsu (kama) atau keinginan yang beraneka-ragam ini sebenarnya adalah pemuasan membabi-buta untuk indra-indra kita. Sedangkan rasa amarah timbul kalau jalan ke arah pemuasan nafsu-nafsu ini terhalang. Keserakahan atau lobha adalah salah satu nafsu untuk memperkaya diri sendiri dengan obyek-obyek duniawi baik secara material maupun secara psikologis dan demi memenuhi nafsu indra-indra dan pribadi. Raga kita sebenarnya diciptakan agar menjadi instrumen atau alat yang dapat memenuhi kebutuhan akan potensi spiritual kita, agar tercapai kembali kesatuan antara kita dan Sang Pencipta. Tetapi kalau diberikan kebebasan dan fasilitas untuk memilih sendiri tujuan kita, maka banyak manusia akan tersesat dan menggunakan raga mereka demi tujuan nafsu-nafsu belaka, tanpa sadar bahwa di dalam tubuh dan otak kita tersimpan potensi spiritual yang amat luarbiasa yang sekiranya digunakan secara benar akan menimbulkan keajaiban-keajaiban dan keadaan yang memungkinkan kita mencapai Yang Maha Esa dengan lebih sempurna lagi. Faktor potensial ini sering lepas dari jangkauan manusia dan kita melaju makin dalam ke arah kegelapan yang tak ada ujung-ujungnya, mengembara dari satu neraka ke neraka yang lainnya, tanpa akhir.


Dunia dan isinya ini sebenarnya diartikan sebagai ekspresi dari kesucian dan keagungan Yang Maha Esa, dari cinta-kasih dan saling-menolong atau menunjang diantara sesamanya, agar tercapai kedamaian, keharmonisan dan kehidupan yang layak bagi semuanya. Tetapi kalau semua potensi dan kekayaan alam semesta ini dipakai manusia hanya untuk memuaskan pribadi-pribadi manusia-manusia itu sendiri, dan manusia itu kemudian mengabaikan semua kebahagian, keagungan dan kekayaan yang telah disediakan Yang Maha Kuasa, maka tak ada jalan lain, silahkan menuju ke arah neraka yang paling dalam. Selama manusia mengeksploitasi nafsu-nafsu dan dirinya sendiri, merusak alam dan makhluk lain sesamanya dengan nafsu-nafsu ini maka selama itu pula manusia ini akan menjurus kelingkaran setan yang tak ada habis-habisnya.


Dan ingatlah seandainya anda berjalan di jalan nafsu dan keserakahan maka anda akan menghadapi oposisi dari pihak yang lain, karena anda sedang berjalan di jalan yang salah. Jalan salah ini berarti anda sedang melawan Hukum Abadi yang hadir di alam semesta ini, yang tak nampak tetapi selalu ada dan berkuasa. Dan sekali atau terus-menerus anda mendapatkan perlawanan ini, maka anda akan meledak dengan kemarahan yang dahsyat, anda akan membenci dan secara brutal menyerang mereka-mereka yang beroposisi terhadap anda. Selama itu anda boleh yakin bahwa anda sedang diikat erat-erat oleh keterikatan duniawi ini, dan itu berarti anda sedang melaju cepat ke neraka yang dalam.


23. Seseorang yang telah mengabaikan shastra-vidhi (kaidah-kaidah suci yang terdapat di skripsi-skripsi suci agama Hindu), mengikuti dorongan-dorongan nafsu — maka orang ini tidak mencapai kesempurnaan, tidak juga kebahagiaan yang benar, tidak juga tujuan yang tertinggi.


24. Maka seyogyanyalah, jadikanlah kaidah suci ini sebagai pedoman untuk mengambil sesuatu putusan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tak harus dilakukan. Sadar akan apa yang telah disabdakan oleh kaidah-kaidah suci ini, bekerjalah dikau, oh Arjuna, pekerjaanmu di dunia ini.
Agar jauh dari gerbang-gerbang kegelapan ini, maka seyogyanyalah manusia menjauhi dan mengendalikan diri mereka dari semua nafsu-nafsu dan berpedoman pada skripsi-skripsi suci yang memuat hukum atau kaidah suci bagi kesejahteraan manusia. Hukum atau kaidah suci yang dikandung oleh kitab-kitab (shastrci) suci Hindu semenjak masa silam adalah sumber pengetahuan yang suci dan agung yang tak ada habis-habisnya, dan merupakan penerangan di jalan kegelapan kita. Dengan kata lain, tidak usah jauh-jauh mencari sumber kaidah atau hukum suci ini, Bhagavat Gita adalah intisari dari semua Veda-Veda yang ibarat sebuah sumur yang tak pernah sarat airnya kalau kita ingin berbicara tentang kaidah-kaidah suci dari agama Hindu ini. Berpedoman pada ajaran Bhagavat Gita manusia akan lepas dari keterikatan-keterikatan duniawinya secara tuntas, kalau mau kita betul-betul menghayati ajaran dan sabda-sabda Sang Kreshna, seperti sloka di atas, "sadar akan apa yang telah disabdakan oleh kaidah-kaidah suci ini, bekerjalah dikau, oh Arjuna, pekerjaanmu di dunia ini." Yang Maha Esa tidak melarang kita bekerja. Ia malahan menganjurkannya dengan jalan yang benar bekerja tanpa pamrih demi Ia semata. Sadarlah akan hal ini wahai manusia, kebahagiaan akan kehidupan ini dan Yang Maha Esa itu sendiri sebenarnya ada diantara kita-kita ini juga, Mengapa melangkah jauh-jauh dari ini semua? Om Tat Sat.Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya-Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah bab yang keenam-belas yang disebut:
Daivasura Sampad Vibhaga Yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang Perbedaan antara Sifat Yang Suci dan Sifat Iblis
 
Bab 17 - Tiga Jenis Kepercayaan

Berkatalah Arjuna:
1. Mereka yang tidak kenal akan kaidah-kaidah suci ini, tetapi mempersembahkan pengorbanan dengan kepercayaan (iman) --bagaimanakah keadaan mereka ini, oh Kreshna? Apakah (mereka) ini tergolong sattva, raja atau tama?



Timbul pertanyaan yang wajar di dalam hati sang Arjuna, apakah perlu kita semua belajar tentang hukum atau kaidah-kaidah yang dikandung oleh skripsi kuno dan buku-buku suci lainnya? Apakah Bhagavat Gita sendiri tidak cukup atau memadai? Dan bagaimana dengan nasib mereka yang beriman tetapi tidak pernah membaca atau mengetahui tentang naskah atau skripsi-skripsi kuno ini? Sebenarnya hukum ini — karena sifatnya yang abadi, spiritual dan alami — secara otomatis akan bekerja sendiri. Tidak penting apakah setiap orang yang beriman itu pernah mendengar atau tidak akan hukum/kaidah ini. Sesuai dengan karuniaNya maka seseorang yang beriman akan belajar sendiri atau dengan kata lain mendapatkan sendiri semua kaidah-kaidah suci ini secara bertahap, dan ia akan memahami itu semua dengan baik. Yang penting, kita ini (setiap individu) harus jujur pada diri sendiri, dan walaupun tak pernah mendengar tentang sastra-sastra ini, seorang yang telah terpanggil ke jalanNya akan secara otomatis mempelajari dan mempraktekkan secara langsung semua kaidah dan hukum-hukum suci ini, sesuai dengan hati nuraninya, karena memang hukum ini sifatnya amat universal dan alami. Arjuna yang khawatir akan nasib seseorang yang beriman tetapi tidak kenal kaidah-kaidah suci ini, sebenarnya tidak perlu khawatir, karena yang penting adalah penghayatan dan pengamalan kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan bukan dengan membaca atau mengetahuinya. Kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan bukan semua itu datang dari Satu Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pengasih dan Penyayang. Walau nampaknya kaidah-kaidah ini berlainan dalam berbagai ajaran agama, ajaran moral, kebatinan dan hukum tetapi intisarinya selalu Manunggal, yaitu Satu, dan semua itu selalu berporos dan kembali kepadaNya juga. Om Tat Sat.


Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Kepercayaan manusia (makhluk yang dapat binasa), yang lahir dari sifat-sifat mereka terbagi dalam tiga bagian -- sattvik, rajasik dan tamasik. Dengarkanlah oleh mu semua ini.


3. Iman seseorang, oh Arjuna, adalah berdasarkan sifat seseorang itu. Manusia dibentuk oleh imannya: begitu imannya, begitu juga manusianya.
Shradda, atau iman atau kepercayaan, adalah ekspressi dari setiap sifat sejati atau asli dari individu itu sendiri yang sudah diatur oleh karma-karmanya. Begitu sifatnya, begitu juga prilaku orang itu. Kepercayaannya akan Yang Maha Esa, otomatis terpancarkan sesuai dengan sifat-sifat asli setiap individu yang tentunya berbeda-beda dari setiap manusia ke manusia yang lainnya, dan faktor ini juga akan membeda-bedakan prilaku manusia tersebut. Dan ada tiga golongan kepercayaan pada setiap makhluk yang hidup, terutama yang disebut manusia (makhluk yang juga dapat binasa), yaitu sattvik (dari sattva), rajasik (dari raja) dan tamasik (dari tama), yang hadir secara berbeda-beda dan dominan dalam bentuk dan kekuasaannya masing-masing.


4. Manusia-manusia yang bersih memuja para dewa, manusia-manusia yang bernafsu memuja para yaksha dan para rakshasa, dan yang lainnya, yaitu manusia-manusia yang berada dalam kegelapan -- memuja hantu-hantu dan roh-roh yang bergentayangan.
Shradda (iman) yang bersifat sattvik ini menunjukkan kemurnian atau kesucian orang-orang dengan sifat ini, yaitu memuja Tuhan Yang Maha Esa atau para dewa-dewa yang dianggapnya Tuhan atau pengganti Tuhan. Dan sewaktu ajal mereka tiba, mereka ini pergi ke tujuan pemujaan mereka sesuai dengan imannya masing-masing. Mereka ini dapat saja mencapai penerangan atau nirvana pada akhir hayat mereka. Sifat-sifat rajasik adalah sifat-sifat yang penuh dengan energi. Iman rajasik adalah iman yang penuh energi, nafsu dan keinginan-keinginan bagi mereka yang menginginkan kekuasaan, harta-benda, sukses dan lain sebagainya. Mereka-mereka yang punya kepercayaan rajasik ini memuja para yaksha (dewa-dewa pemberi harta dan kesejahteraan duniawi) dan para rakshasa (setan dan iblis). Sedangkan sifat-sifat tamasik adalah sifat-sifat kegelapan total yang dimiliki oleh mereka-mereka yang kurang sekali pengetahuannya akan kebesaran Yang Maha Esa, mereka amat serakah dan tidak suci, amat sensual, malas dan penuh akan sifat-sifat gelap lainnya. Demi hasrat dan jalan pintas ke sukses dan pencapaian kesejahteraan duniawi ini mereka memuja roh-roh yang sesat, hantu, jin dan kuasa-kuasa gelap yang cepat mendatangkan kenikmatan bagi mereka.


5. Manusia-manusia yang menjalankan disiplin-disiplin spiritual secara negatif, yang tidak dianjurkan oleh skripsi-skripsi suci, yang telah terbiasa dengan kemunafikan dan rasa egoisme dan telah terseret oleh kekuatan nafsu dan keinginan (duniawi).


6. Manusia-manusia semacam ini tak memiliki akal-budi. Mereka merusak elemen-elemen raga mereka dan Aku yang bersemayam di dalam raga ini. Ketahuilah bahwa orang-orang ini berpikiran iblis.
Cara pemujaan juga merefleksikan iman atau shraddha ini. Dan seandainya seseorang memuja sesuatu unsur alami atau yang lainnya dengan menyiksa tubuh mereka atau merusak tubuh ini dengan sesuatu ritus-ritus tertentu, maka tapa, pemujaan atau usaha spiritual ini tidaklah suci sifatnya, tidak sinkron dengan kaidah-kaidah suci yang tertera di kitab-kitab suci Hindu kita ini; mereka yang merusak raga mereka demi kepuasan duniawi ini sebenarnya merusak "kuil yang suci," kuil Sang Kreshna yang dilahirkan sebenarnya dengan tujuan yang suci, yaitu menyembah dan mengenal Yang Maha Esa dan bukan menjadi budak dari nafsu mereka. Raga ini pantang untuk dirusak karena sebenarnya bukan milik kita dan seharusnya dipergunakan untuk maksud-maksud yang positif, dan seandainya orang-orang ini masih saja merasa lebih benar dari yang dianjurkan oleh skripsi-skripsi ini, maka manusia semacam ini adalah manusia yang egoistik dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan menghalalkan segala cara demi tercapainya maksud-maksud duniawi mereka.


7. Pangan yang diperlukan oleh semua makhluk terdiri dari tiga jenis. Begitupun bentuk pengorbanan, tapa dan dana. Dengarlah perincian-perinciannya.


8. Makanan yang memperpanjang hidup dan menunjang kesucian, tenaga, kesehatan, kebahagiaan, dan kegembiraan, yang manis, lembut, penuh dengan gizi dan sesuai, disukai oleh orang-orang yang bersifat sattvik.


9. Makanan yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, kering dan membakar, yang menimbulkan penderitaan, kesusahan dan penyakit disukai oleh mereka-mereka yang bersifat rajasik.

10. Makan yang tak segar, tak berasa, basi, cacat, tidak bersih adalah jenis makanan yang disukai oleh orang-orang yang bersifat tamasik.
Makanan yang dimakan seseorang pun merefleksikan karakter seseorang itu sendiri, yang didasarkan pada iman orang itu sendiri sesungguhnya. Seperti juga iman atau kepercayaan yang terbagi tiga, maka jenis makanan pun dibagi tiga:
a. Makanan sattvik, makanan jenis ini menambah kewibawaan, intelegensia, intelektualitas, kekuatan, kesegaran, kesehatan, kenikmatan lahir dan batin, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup. Makanan jenis ini adalah yang mudah dimakan, beraroma, manis, mengandung cairan seperti sari-buah dan buah-buahan; menyehatkan dan sesuai dengan mereka-mereka yang bertemparamen sattvik. Contoh: gandum, beras, kacang-kacangan, mentega, susu, produk dari ternak (bukan daging ternak), buah-buahan dan sayur-sayuran segar dan matang.
b. Makanan rajasik adalah jenis makanan untuk mereka-mereka yang penuh dengan nafsu dan keinginan-keinginan duniawi, yaitu jenis-jenis makanan yang rasanya pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, keras dan menyengat seperti opium, tembakau, tamarin, cabai, gandum yang dibentuk alkohol dan lain sebagainya. Makanan sejenis ini menimbulkan sakit, penderitaan dan kesusahan.
c. Makanan tamasik adalah jenis makanan yang disukai oleh mereka-mereka yang hidup dalam kegelapan dan berpikiran gelap dan iblis. Mereka ini menggemari makanan yang tidak dimasak dengan baik, yang kotor, yang tidak ada rasanya, cacat, basi, tidak dapat digolongkan suci atau bersih. Contoh: daging, ikan, bawang, telur, daging-mentah, buah-buahan dan sayur-sayuran yang diasamkan, alkohol dan sisa-sisa makanan orang lain. Juga makanan hasil korupsi dan kejahatan termasuk golongan ini.
Makanan yang disantap kita seharusnya adalah makanan yang menyehatkan dan membersihkan diri kita. Hasil kerja kita yang halal adalah sattvik, dan seandainya kita memakan sesuatu dari uang hasil korupsi atau pekerjaan haram lainnya, dan seandainya kita menerima sesuatu pemberian atau makanan dari seseorang yang jelas-jelas kita ketahui uangnya berasal dari uang yang tidak jujur atau tidak halal, maka yang dimakan itu tidak sattvik. Sebuah pepatah Jerman mengatakan, "Seorang manusia adalah apa yang ia makan!" Dan ini memang benar adanya, karena berdasarkan makanan yang kita konsumsikan kemudian timbul berbagai jenis pikiran di dalam benak. Pikiran, jiwa dan hati kita, dan semua pikiran ini, kemudian menghasilkan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan kita. Jadi berhati-hatilah akan apa yang kita makan atau konsumsikan. Makanlah sesuatu dari orang-orang yang sifat dan rasa magnetismenya suci dan bersih. Seseorang yang pantas dimakan makanannya adalah ibu kita sendiri, istri yang berbakti, putri, saudara perempuan dan guru kita sendiri. Dan secara mental selalu mempersembahkan makanan ini sebagai ahuti (persembahan) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara ini makanan yang dimakan ini akan memberikan kekuatan untuk pekerjaan kita dan juga untuk amal kita bagi semuanya. Dan sewaktu bersantap harap diperhatikan bahwa suasana di sekitar tempat makan ini tenang dan tidak berisik. Makanlah dengan diam-diam tanpa banyak berbicara, jauhkanlah pikiran dan pembicaraan yang tidak perlu. Ini penting sekali baik untuk segi kejiwaan maupun kesehatan badani. Cobalah!



11. Persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat sattvik, seandainya dipersembahkan sesuai dengan kaidah-kaidah suci, oleh orang-orang yang tidak menginginkan suatu imbalan, dan yang percaya dengan teguh bahwa persembahan (atau pengorbanan) ini adalah wajib sifatnya.


12. Persembahan (atau pengorbanan) yang dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan suatu imbalan tertentu atau demi suatu pertunjukkan belaka adalah persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat rajasik (penuh nafsu), oh Arjuna.


13. Persembahan (atau pengorbanan) yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah suci, di mana tak ada makanan yang dibagikan, tak ada mantra-mantra yang diucapkan, dan tak ada dana atau hadiah yang diberikan, yang kosong akan iman, adalah bersifat tamasik (gelap).
Pengorbanan atau persembahan pun berhubungan dengan karakter asli dari para pemuja, dan terdapat tiga kualifikasi dari persembahan atau pengorbanan ini:
a. Persembahan yang bersifat sattvik dilakukan oleh seseorang karena merasakan adanya kewajiban berdasarkan kewajibannya terhadap Yang Maha Esa dan kaidah-kaidah suci. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan suatu keuntungan tertentu.
b. Persembahan secara rajasik adalah persembahan atau pengorbanan yang tidak tulus karena dilakukan dengan mengharapkan pamrih atau untuk suatu tujuan tertentu. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan demi mendapatkan kemasyhuran dan ada juga yang demi memamerkan kekayaan dan kekuasaan seseorang.
c. Persembahan secara tamasik adalah persembahan tanpa iman, yang dilandasi akan maksud-maksud gelap. Persembahan atau pengorbanan ini bertolak belakang dengan ajaran-ajaran suci.


14. Pemujaan kepada para dewa, kepada yang lahir dua kali, kepada para guru, dan kaum bijaksana; kemurnian, kejujuran (yang tidak ditutup-tutupi), disiplin spiritual bagi diri, dan tidak menyakiti siapapun — inilah yang disebut sebagai tapa-tapa bagi raga ini.


15. Kata-kata (wicara) yang tidak menyakiti seseorang, yang jujur, menyenangkan dan menguntungkan, dan mempelajari buku-buku suci secara konstan - inilah yang disebut sebagai tapa-tapa wicara ini.


16. Ketenangan pikiran, kelembutan, diam-diri, kendali-diri, berpikir (dan juga merasa) secara baik dan murni - inilah yang disebut tapa-tapa pikiran ini.
Tapa atau disiplin spiritual bagi seseorang pun dibagi tiga. Tapa yang benar adalah disiplin diri yang dilakukan pada raga, kata-kata (mulut dan pembicaraan) dan pikiran kita masing-masing sebagai berikut:
a. Tapa atau disiplin pada raga itu adalah dengan menyembah dan memuja kepada Yang Maha Esa secara teratur dan konstan; menyembah dan bekerja untuk para guru dan orang-orang yang bijaksana yang menjadi tempat kita belajar, kepada para pendeta dan Brahmin yang kita hormati dan pada individu-individu yang agung dan suci ajaran-ajarannya. Dalam tapa untuk raga ini tercakup juga disiplin yang kuat dalam membersihkan tubuh kita dari berbagai kekotoran duniawi dan juga benda-benda lainnya yang dapat membuat kita sakit. Juga kendali pada semu; indra-indra sensual kita adalah salah satu dari tapa-raga ini. Menjaga kesehatan raga kita dari berbagai kemungkinan terkena penyakit kotor dan penyakit-penyakit lainnya, berolah-raga secara teratur, berekreasi ke alam bebas, bermeditasi adalah tapa atau disiplin bagi raga kita, yang amat vital dan penting efeknya pada kehidupan spiritual kita.


Juga termasuk dalam tapa-raga ini, ialah kualitas-kualitas atau sifat-sifat seperti keterus-terangan atau kejujuran, tidak menyakiti sesama makhluk dan usaha-usaha bramacharya, yaitu mendisiplinkan diri dan raga kita agar jauh dari nafsu-nafsu badani. Jauhkanlah kemanjaan dalam hidup ini, hiduplah secara sederhana saja dai lebih alami. Jangan berpikir semasih ada pergunakan saja kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan Tuhan kepada kita, kemudian dengan landasan pemikiran semacam ini, kita berfoya-foya atau hidup yang mewah dan penuh dengan kenikmatan duniawi. Tetapi berpikirlah selama diberi kesempatan dan fasilitas ini kita malahan menggunakan secara minim dan yang perlu saja, dan ingat Yang Maha Esa tidak pernah menciptakan uang, rumah, AC, mobil dan benda-benda mewah lainnya, yang menciptakan semua ini adalah manusia. Yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa adalah alam, jadi kembalilah ke alam yang tak ada habis-habisnya ini, di alam yang murni ini terletak kebahagiaan dan obat kita untuk mengatasi semua problem kita. Semua yang nampaknya mewah dan praktis ini sebaliknya malahan membuat raga kita sakit karena kurang gerak dan jadilah kita budak dari semua milik kita yang mewah-mewah ini dan timbullah efek dari semua ini yang biasanya membuat kehidupan kita makin tergantung kepadanya, dan bukan sebaliknya. Padahal tubuh dan pikiran kita diciptakan sedemikian rupa agar makin banyak gerak dan semakin alami hidup kita maka semakin sehatlah raga dan pikiran kita akhirnya. Jauhilah dan kurangilah pembantu rumah-tangga yang berlebihan jumlahnya, sebisa mungkin kita bekerja sendiri semua urusan rumah-tangga kita dan bergeraklah semaksimum mungkin sambil bekerja. Inilah salah satu tapa-raga kita yang sehat dan sattvik sifatnya.


b. tapa-wicara atau disiplin pada kata-kata atau pembicaraan kita adalah disiplin diri kita dalam bertutur-kata. Jauhilah bualan-bualan kosong maupun kata-kata yang penuh dengan nada kebanggaan, sombong dan egois. Selalu berkata sejujur mungkin, tulus dan mengutarakan kata-kata yang baik, lembut dan bermakna, yang menyejukkan hati yang mendengarkannya. Sebuah pepatah Jepang mengatakan, "Satu kata yang lembut, menyejukkan tiga bulan musim panas." Kata-kata yang jauh dari nafsu dan kekotoran adalah kata-kata yang harus selalu melekat pada bibir dan pikiran kita. Gunakanlah selalu kata-kata yang dapat menolong seseorang yang memerlukannya, (nasehat-nasehat) dan Jauhilah argumen-argumen yang menunjukkan rasa egoisme yang pribadi, seperti "ini punyaku, ini aku yang melakukannya, dan lain sebagainya." Jauhilah kata-kata kasar dan didorong rasa amarah. Dekatilah Ia selalu setiap saat, setiap waktu baik sedang bekerja maupun tidak, dan selalu mengucapkan doa-doa, mantra-mantra suci dan "berdialoglah denganNya baik secara verbal maupun secara mental. Inilah tapa-wicara yang penting dilakukan kita semua, demi tercapainya disiplin spiritual kita yang lebih tinggi, yaitu disiplin kepada dan bagiNya.


c. Tapa-jiwa (atau pikiran) adalah: (1) Selalu membuat pikiran kita gembira dan balans (stabil) dengan menenangkan diri dan mencari ketenangan baik di tengah-tengah kesibukan maupun ketika sedang seorang diri. (2) Kelembutan atau ramah-tamah, tetapi ini tidak berarti kelemahan atau rasa pengecut, tetapi bersikap ramah, baik dan terus-terang, tenang dan welas-asih terhadap semua makhluk, manusia dan benda-benda. (3) Diam-diri atau tenang-diri tidak berarti kita harus bermeditasi sepanjang hari, atau diam seperti patung, atau bagaikan orang-mati dan tidak bergerak sama-sekali, atau juga lari dari pekerjaan dan kewajiban kita sehari-hari, melainkan berarti mengusahakan setiap harinya untuk sejenak meluangkan waktu kira-kira 10 menit atau satu jam, dan duduk bermeditasi atau "berdialog" dengan Yang Maha Esa secara tenang dan tidak terganggu. Ini baik untuk menjauhkan stress dan berbagai problem, tetapi lebih baik secara spiritual karena akan makin mendekatkan kita kepadaNya secara lambat laun tapi pasti. Hal ini dapat dilakukan di kantor, rumah, di toko, atau sambil berolah-raga jalan kaki misalnya, sambil berdiri di suatu tempat secara tenang dan lain sebagainya. Yang Maha Esa dapat dihubungi dengan cara apa saja dan di mana saja karena Ia Maha Hadir di alam semesta ini. Yang penting luangkan waktu sejenak pada waktu-waktu tertentu atau secara bebas, dan berusaha tenang dan menyatu denganNya. (4) Kendali pada pikiran dan (5) membersihkan perasaan kita. Kedua hal terakhir ini berarti janganlah berpikir yang tidak-tidak atau berspekulasi atau mencurigai sesuatu atau seseorang. Tetapi fokuskanlah diri padaNya selalu dan banyak berpikirlah mengenai hal-hal yang positif dan suci, dan yang tidak merusak jiwa dan mental kita. Seperti raga yang harus dibersihkan setiap hari dengan air bersih, maka jiwa dan pikiran kita pun harus dimandikan dan dibersihkan dengan selalu berpikir tentang Yang Maha Esa dan hal-hal yang positif, bersih, murni dan baik untuk semua yang di sekitar kita dan di seluruh alam semesta ini, dengan doa-doa dan mantra-mantra suci bagi semuanya (di alam semesta ini).
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 17

17. Ketiga tapa (di atas) ini disebut sattvik, seandainya dilaksanakan dengan iman yang tinggi oleh mereka-mereka yang stabil pikirannya dan tanpa mengharapkan pamrih.



18. Tapa-tapa yang dilakukan demi peragaan atau pertunjukan yang penuh dengan rasa kesombongan agar mendapatkan rasa hormat, kemasyhuran dan agar dipuja orang, disebut sebagai tapa-rajasik, tapa ini tidak stabil dan hanya sementara sifatnya.


19. Tapa-tapa yang mengakibatkan penyiksaan pada diri-sendiri atau pada orang (dan makhluk lainnya), yang dilaksanakan oleh mereka yang pikirannya telah tersesat disebut sebagai tapa tamasik.
Tapa atau disiplin diri secara sattvik adalah kendali-raga, wicara dan pikiran dengan penuh iman dan tanpa keserakahan. Sedangkan tapa yang bersifat rajasik mengarah pada rasa-hormat dan kemasyhuran dan bermotifkan sesuatu, jadi tidak tulus dan selalu mengharapkan imbalan. Tapa tamasik bahkan merusak diri atau orang dan makhluk lain. Disiplin yang amat keras dan fanatik, yang merusak diri sendiri tidak dianjurkan karena sebenarnya secara spiritual malahan tidak spiritual sama sekali dan tidak mengarah kepada pembebasan (mukti) dan Yang Maha Esa. Memang disiplin semacam ini dapat menghasilkan kekuatan-kekuatan gaib tertentu baik secara ragawi maupun secara batin, tetapi semua kekuatan-kekuatan ini sebenarnya adalah hambatan-hambatan yang besar ke arah jalan spiritual yang sejati dan penerangan Ilahi tidak akan turun karenanya. Sebaliknya yang timbul akibat kesaktian-kesaktian ini adalah rasa sombong dan ego yang baru sifatnya. Jadi supaya tidak sia-sia jalan spiritual kita, dianjurkan untuk secara sederhana saja memuja Yang Maha Esa; dan kekuatan gaib yang datang sendiri karena karuniaNya saja yang boleh dipergunakan untuk tujuan-tujuan manusiawi dan demi Yang Maha Esa tanpa pamrih.


Puasa yang berkepanjangan dan menyiksa diri, kemudian praktek-praktek atau ritus-ritus yang merusak tubuh, yang menyiksa tubuh, tidak pernah dianjurkan oleh guru-guru maupun ajaran-ajaran suci di dunia ini. Lebih baik melakukan suatu disiplin diri yang tidak terlalu keras dan bersifat kejam, tetapi tidak juga yang santai-santai sifatnya. Yang dianjurkan dengan disiplin ini adalah pengendalian dan nafsu-nafsu kita yang kalau tidak diajarkan yang baik akan selalu bergentayangan ke arah obyek-obyek sensual. Semua disiplin ini juga sebenarnya mengajarkan kita untuk membersihkan dan menguatkan diri dan jiwa kita, guna menghadapi semua cobaan hidup sehari-hari, semua suka dan duka, semua kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan penderitaan secara stabil. Bukankah hidup kita sehari-hari tidak lain dan tidak bukan ibarat ujian-ujian yang berat saja. Semua itu bisa dihadapi secara stabil dan teguh, jika kita terbiasa akan disiplin diri ini. Setiap tindakan disiplin diri yang sejati seharusnya menghasilkan suatu tekad yang kuat dalam berbagai tindakan dan pemikiran kita, menghasilkan suatu rasa kasih-sayang yang positif terhadap semua makhluk dan sesama kita yang menderita, menjauhkan kita dari rasa ego, rasa marah, dan keinginan-keinginan pribadi kita yang selalu tak pernah kunjung habis.


Suatu tapa yang baik dan sejati akan menghasilkan seseorang yang tegar imannya, yang aktif bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa tanpa pamrih, yang aktif menolong siapa saja tanpa pamrih, yang aktif berekreasi dan berolah-raga secara sehat, yang berkewajiban penuh kepada semua kewajiban-kewajibannya di lingkungannya, di negaranya dan tempat-tempat yang berhubungan dengan orang itu sendiri, terutama kewajibannya kepada Yang Maha Esa. tapa yang sejati menghasilkan sesuatu yang amat besar nilainya secara spiritual dan kejiwaan bagi seseorang yang melakukannya secara sejati. Sukar dilukiskan ketenangan orang semacam ini, sukar dikatakan akan kekuatan jiwanya, karena ketegaran dan kepasrahannya pada Yang Maha Esa akan menghapus semua rasa takutnya pada apapun juga di dunia ini selain Yang Maha Esa. Kalau ada yang ingin anda salibkan atau kuburkan sebelum kita ini binasa, maka saliblah atau kuburkanlah pikiran dan jiwa anda yang penuh polusi, agar jauh dari kekotoran-kekotoran duniawi. Dengan jiwa dan pikiran yang terkendali, bersih dan murni akan dihasilkan raga perbuatan yang bersih, suci, murni dan bebas dari polusi duniawi. Jauhilah unsur-unsur kenikmatan yang berlebihan dan juga unsur-unsur yang memancing kenikmatan-kenikmatan ini, kendalikan diri, pergunakan semua fasilitas yang diberikan olehNya secukupnya saja sesuai kebutuhan kita, dan jangan sekali-kali menghamburkan tenaga, pikiran dan fasilitas anda pada semua yang berbau duniawi ini. Kibarkanlah panji-panji kebajikan mulai dari diri kita sendiri, dan bertapa atau berdisiplin dirilah secara sejati dan murni, inilah penyaliban atau penguburan diri kita yang sejati.


Kita pun harus belajar untuk menjadi miskin dalam hidup ini, bukan berarti lalu setiap orang mengubah dirinya menjadi peminta-minta, tetapi baik penampilan dan kehidupan sehari-hari diubah sederhana. Pola hidup sederhana jangan hanya dijadikan semboyan pemanis bibir saja, tetapi harus dilaksanakan secara lahir dan batin, dimulai sebaiknya semenjak dini. Dan ini adalah tanggung-jawab orang-orang tua sebenarnya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Seandainya anda seorang yang hartawan, mulailah berdisiplin diri dengan tinggal di sebuah rumah yang sederhana saja tetapi baik dan sehat lingkungannya, berpakaian dan makan secara sederhana saja tetapi sehat dan penuh gizi, dan bersifat makanan sattvik, karena yang penting adalah berpikir dan bertindak sattvik. Seharusnya kita menyadari bahwa manusia ini sebenarnya amat miskin, karena sewaktu lahir kita dikirim ke dunia ini dalam keadaan telanjang-bulat dan sewaktu mati nanti apa yang akan kita bawa serta? Semua ini hanya pinjaman dan ilusi saja, sebenarnya hanya penunjang saja untuk kehidupan kita, lalu untuk apa serba mewah dan gemerlapan, kalau yang terpakai hanya sekedar saja dan sisanya dalam jumlah yang besar hanya sebagai dekor dan penghias belaka? Sewaktu berlebihan inilah kita belajar hidup sederhana, agar di kemudian hari sewaktu mengembalikan semua ini kita sudah siap sedia sama seperti kita datang ke dunia ini.


Intisari dari semua tapa dan disiplin diri spiritual ini ialah: Disiplin dan kendalikan diri anda sebegitu rupa agar anda jauh dari rasa memiliki, rasa ego, dan rasa pamrih. Hanya Yang Maha Esa saja yang seharusnya tampil sebagai tujuan kita bekerja, dan hanya Ia saja terpikir senantiasa dalam jiwa sanubari kita, kosongkanlah, sekosong-kosongnya jiwa dan pikiran kita dari semuanya yang berbau duniawi. Kalau sudah kosong secara sejati, maka Yang Maha Esa akan mengisinya!


20. Pemberian yang diberikan, terdorong oleh rasa kewajiban, kepada seseorang tanpa mengharapkan sesuatu kembali, dan diberikan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat dan kepada orang yang membutuhkannya --pemberian ini disebut sattvik (bersih).


21. Bila suatu pemberian diberikan dengan itikad mendapatkan sesuatu imbalan atau dengan harapan bahwa di kemudian hari akan ada balasannya, atau diberikan secara tidak ikhlas - pemberian ini disebut rajasik (bersifat mementingkan diri sendiri).


22. Pemberian yang diberikan pada tempat dan waktu yang salah atau kepada orang yang tak pantas menerimanya, atau diberikan tanpa rasa hormat atau dengan diiringi caci-maki — pemberian ini disebut tamasik (gelap).
Terdapat tiga jenis pemberian dana atau perbuatan amal yang jelas diperinci di atas, yang masing-masing didasarkan pada sifat-sifat seseorang. Seperti kata Nabi Muhammad SAW, maka sebenarnya memberikan dana atau perbuatan amal itu lebih ditegaskan pada itikadnya, contoh: memberikan air pada seorang musafir yang kehausan adalah dana, membersihkan batu atau benda-benda tajam dari jalan agar orang lain tidak tersandung dan tertusuk adalah dana, tersenyum memberi semangat pada seseorang yang kesukaran adalah dana. Menggali sumur, menyediakan tempat minum, membangun jalan, membangun tempat ibadah dan menanam pepohonan demi kebutuhan masyarakat dan melestarikan alam adalah dana. Bukankah sebenarnya dengan kata lain pemberian dana atau perbuatan amal itu adalah kekayaan seorang manusia yang sebenarnya. Pemberian tidak selalu identik dengan uang, tanpa uangpun seseorang dapat memberi tanpa habis-habisnya dan itulah kekayaan kita yang sejati. Sadarkah kita akan hal ini? Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Sewaktu seseorang meninggal dunia, orang-orang bertanya harta-benda apa saja yang telah ditinggalkannya, tetapi para malaikat bertanya amal-perbuatan baik apa saja yang telah dilakukannya sebelum ia meninggal dunia? Pemberian yang ikhlas dan tanpa pamrih adalah kekayaan sejati, seperti kata sebuah pepatah: "Hanya orang kaya yang dapat memberikan tanpa merasakan kehabisan, yang miskin hanya dapat menerima saja tanpa memberi kembali!" Seseorang disebut miskin kalau sudah menerima apa adanya masih saja merasa kurang dan meminta terus, dan hal ini berlaku untuk orang-orang yang merasa kaya-raya tetapi selalu haus akan harta-benda, kedudukan dan hal-hal duniawi lainnya. Sebaliknya seorang petani yang miskin secara duniawi mungkin adalah orang yang amat kaya, karena setiap harinya ia bersyukur ke hadirat Yang Maha Esa untuk semua yang didapatkannya hari itu. Kalau saja semua ini dapat dihayati oleh semua insan di dunia ini, damai sentosalah kita semuanya.


Dana atau amal adalah perbuatan yang amat mulia sifatnya, yang dianjurkan oleh semua agama di dunia ini, karena dengan jalan ini lahirlah rasa simpati yang dalam dari hati nurani kita kepada makhluk-makhluk ciptaan Yang Maha Esa yang lainnya seperti sesama manusia, fauna, flora, makhluk-makhluk halus dan lain sebagainya. Dana atau amal yang sejati menciptakan kedamaian, kebahagiaan, membuat hidup ini berarti bagi sesamanya. Perbuatan dana atau amal adalah salah satu kreasi Yang Amat Indah dan Penuh Makna, ciptaan Yang Maha Esa. Memberikan dana adalah ibarat menanam pohon yang cabang-cabangnya menjulang tinggi langit tanpa habis-habisnya. Memberikan tanpa pamrih adalah inti dari kebahagiaan sejati atau berkah dari Yang Maha Esa sesungguhnya.


Lihatlah Ibu Theresia, pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian dari India, yang telah menolong jutaan manusia hina-papah di India dan di bagian-bagian lain di dunia tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun juga. Memulai usahanya tanpa uang sepeserpun dan hanya berbekal iman pada Tuhan Yang Maha Esa ia masih dapat menolong ribuan manusia setiap harinya. Ibu Theresia inilah lambang dari Yang Maha Esa sesungguhnya dalam bentuk manusia di muka bumi ini, yaitu memberi tanpa pernah merasa akan kehabisan, dan tetap saja Ibu yang suci ini berkata, "Tuhan belum memberikan aku suatu kesuksesan, la hanya telah membuatku beriman." Om Tat Sat.

23. "Om Tat Sat" - inilah yang dikatakan sebagai ketiga faktor penting dari Sang Brahman (Yang Maha Esa). Dengan ini terciptalah para Brahmin di masa lalu, Veda-Veda dan persembahan-persembahan (pengorbanan).



24. Maka dengan itu semua tindakan pengorbanan, persembahan (pemberian) dan disiplin spiritual yang dianjurkan skripsi-skripsi suci, dimulai dengan ucapan kata Om oleh mereka-mereka yang mengetahui akan Sang Brahman.


25. Mereka yang menginginkan pembebasan (penerangan) memulai tindakan pengorbanan, disiplin dan persembahan mereka dengan ucapan kata Tat (Itu), tanpa mengharapkan pamrih.


26. Kata Sat dipergunakan dengan menyadari realitas dan kebenaran. Begitu juga, oh Arjuna, kata Sat dipergunakan untuk tindakan-tindakan terpuji.


27. Keteguhan dalam pengorbanan, disiplin-disiplin spiritual dan pemberian dana juga, disebut "Sat," dan juga tindakan yang terpusat pada hal itu disebut Sat.


28. Apapun yang dilakukan tanpa iman, apakah itu persembahan (dalam suatu pengorbanan), dana atau disiplin spiritual, atau apa saja yang lain daripada itu, disebut asat, oh Arjuna! Pekerjaan semacam itu tak ada nilainya (artinya) baik di sana maupun di sini.


Om Tat Sat adalah tiga patah kata mistik yang disebut-sebut di pustaka-pustaka suci Hindu. Ada hubungannya yang amat dalam dan bersifat mistik, suci, sekaligus spiritual antara kata-kata ini dengan semua tindakan yagna, tapa dan dana.
Om Tat Sat adalah tiga patah kata yang menyatu artinya dan merupakan manifestasi dari Yang Maha Esa, Sang Para Brahman dan semua tindakan-tindakanNya. Kata Om berarti supremasi Yang Maha Esa yang tanpa ada tandingannya. Yang Maha Esa atau Sang Brahman begitu tinggi dan agung bentuk dan sifatNya sehingga tidak ada suatu kata pun yang dapat menggambarkanNya atau melukiskanNya dengan pasti apa itu sebenarnya Yang Maha Kuasa ini. Kata Om maka dari itu dijadikan lambang dari supremasi atau keagunganNya. Om kata filsuf shankara dapat berarti "setiap kata tunduk di hadapan Yang Maha Esa." Begitu agung makna simbol atau kata Om ini bagi orang-orang Hindu. Manusia hanya bisa menangkap apa arti Yang Maha Esa tetapi tidak bisa menggambarkan atau mengekspresikan Apa Itu Yang Maha Esa sebenar-benarNya."


Setiap agama berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan atau bahkan memberikan nama dan arti untuk Yang Maha Esa dengan versinya masing-masing, tetapi sesungguhnya kita manusia begitu terbatas kemampuannya sehingga tak akan pernah dapat dan tahu apa itu Yang Maha Esa sesungguhnya dengan segala manifestasi dan keagunganNya. Setiap agama dan ajaran suci memanggilNya dengan nama dan sebutan suci masing-masing, begitu juga para Aryan yang menjadi nenek-moyang dari orang-orang Hindu di India memberikanNya suatu nama atau sebutan suci, yaitu Om. Dengarkanlah gema nama ini dalam alunan Sang Bayu, dan gelegarnya suara ombak, dalam alunan aliran sungai yang mengalir, dan dalam cahaya bintang-bintang di langit, dalam kicauan dan lagu-lagu alam para burung di alam-bebas, dan dalam gegap-gempitanya suara halilintar, dalam lagu-lagu pujaan seorang bhakta (pemuja)Nya, dalam suara lonceng-lonceng di gereja dan di kuil, dalam puja-puji dan kidung-kidung suci di stupa-stupa dan suara azan yang merdu di mesjid-mesjid. Semua ini menyebut nama Yang Maha Esa, yang Tak Ada TandinganNya: bagi orang Hindu semua itu suara Om yang tak ada taranya di alam semesta ini. Sebutkanlah kata sakti ini sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya, karena Om inilah lagu kehidupan, lagu Yang Maha Esa, lagu penciptaan Yang Maha Esa, dengan ini diciptakannya alam semesta beserta segala isinya. Sebutkanlah mantra Om ini tujuh kali atau seterusnya dan biasakanlah kita ini selalu merasa hadir di tengah-tengah kebesaran Yang Maha Esa, di tengah-tengah Yang Maha Esa Itu Sendiri.


Om adalah meditasi, Om adalah kesucian diri kita, Om adalah hidup kita sehari-hari, Om adalah aspirasi kita kepada Yang Maha Esa, kepada Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om adalah setiap tindakan kita yang tanpa pamrih, tanpa keserakahan dan motivasi apapun juga. Hadirkan diri kita secara suci-bersih di hadapan setiap hal, tindakan dan kewajiban kita dengan memulai kata Om selalulah menghayatiNya dengan tulus dan murni.
Kata Tat mengekspresikan universalitas Sang Brahman, Yang Maha Esa. la adalah Sifat UniversalNya. Tuhan Yang Maha Esa ini menurut Shankara adalah kesadaran Yang Maha Suci. Tat dengan kata lain dapat dan baik diartikan sebagai Kesadaran Universal Yang Suci. "Bermeditasilah," kata Shankara, "di dalam kesadaranmu sendiri." Meditasi ini mengarah ke arah penerangan atau pembebasan. Kata Sat mengekspresikan Kebenaran dan Kebaikan Sang Para Brahman. Sang Brahman ini adalah Yang Maha Baik, dan Ia hadir dalam setiap jiwa kita dan para makhluk-makhluk lainnya sebagai Yang Baik, Yang Suci, dan berbagai manifestasiNya seperti Itikad Yang Suci, Itikad Yang Baik, semua unsur yang baik dan suci dalam diri kita. Ia menuntun kita dan menyadarkan dan memberitahukan kita apa itu yang baik dan apa itu yang buruk. Tuhan Yang Maha Esa adalah Itu. Ia juga berarti "Apa," yaitu "Kebaikan." Sat juga berarti memproduksi yang baik dan suci. Semua tindakan tanpa pamrih dan demi kewajiban kita kepada Yang Maha Esa adalah Sat. Semua tindakan yang bukan demi Yang Maha Esa adalah asat, tidak realis, tidak benar atau tidak nyata.


Om Tat Sat adalah mantra suci Bhagavat Gita. Mengulang-ulang mantra ini adalah suatu tindakan sakramental, yang akan membukakan pintu berkahNya bagi yang melakukannya. Orang-orang Kristen dan Buddhis, Muslim dan Yahudi pun masing-masing mempunyai ucapan-ucapan atau formula-formula suci, yang kalau diucapkan menjadi semacam jembatan spiritual bagi yang melakukannya dengan Yang Maha Esa, dan yang dapat memberikan semacam sakti atau kekuatan spiritual bagi yang telah menghayati kata-kata suci ini. Kata-kata suci ini juga menjauhkan kita dari segala efek-efek dan pengaruh-pengaruh negatif yang gelap, buruk dan yang bersifat iblis. Penghayatan akan mantra-mantra suci mempengaruhi jiwa kita sehingga lama-kelamaan menjadi suatu kesatuan dan tenaga spiritual bagi jiwa-raga kita. Berbagai kata suci dalam berbagai agama dapat diterangkan secara singkat seperti berikut ini: "Sat Nam." "Tuhan," "kasih," "Kreshna," "Kristus," "Hare Ram," "Hari Bol," "Haq Maujud," "Rahman," "Rahim," dan banyak lainnya. Kalau diucapkan berulang-ulang setiap saat, hari dan pada setiap kesempatan yang tersedia, dengan dedikasi dan kesetiaan kita yang tulus, dengan penghayatan dan maksud membersihkan dan menyucikan diri dan pikiran kita, dan sambil menjauhkan segala ego kita, maka semua itu akan mempertebal iman kita kepadaNya. Seorang sufi pernah berkata, "Pintu kata-kata ini akhirnya terbuka dan Sang Jiwa pun masuk kedalam Keadaan Yang Nyata." Mantra-mantra atau kata-kata suci yang diulang-ulang sepanjang hidup kita pasti suatu saat akan mengantar kita ke alamNya yang penuh dengan cahaya dan penerangan Ilahi Bagi seorang Hindu, setiap bentuk perbuatan, pekerjaan, yagna dan lain sebagainya dimulai dengan kata-kata Om Tat Sat. Mulailah semuanya dengan kata Om, lalu mulailah dengan puja atau mantra yang akan dibacakan. Tidak ada pekerjaan, mantra atau suatu tindakan yang tidak dilakukan tanpa diawali kata Om. Inilah salah satu kaidah atau hukum suci yang terdapat di kitab-kitab suci Hindu kuno, yang kesemuanya juga adalah hasil kerjaNya semata, hasil kerja dari Om Tat Sat Itu Sendiri, begitu pun dengan semua ciptaan dan kreasiNya, semua kasih dan berkahNya, semuanya adalah Om Tat Sat, berawal dari Itu dan berakhir ke Itu juga. Demikianlah, seyogyanya kita memulai semua perbuatan kita, apa saja pekerjaan atau perbuatan itu dengan kata Om Tat Sat.


Semua tindakan tanpa kata-kata suci adalah asat. Walaupun semua tindakan baik sifatnya, tetapi tanpa penghayatan akan kata-kata suci ini secara sejati tidak akan menghasilkan apapun juga baik di dunia ini maupun di loka-loka lainnya. Om Tat Sat adalah pencetusan iman kita kepadaNya, dengan kata lain mengingatNya dan mendahulukanNya untuk dan dalam setiap tindakan atau perbuatan kita yang berarti mengutamakanNya dan bekerja demi la semata secara tulus. lalah semua ini sebenarnya, la juga Hidup dan Tujuan kehidupan ini sebenarnya. Tanpa iman kepada Yang Maha Kuasa, semuanya jadi tidak berarti. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah bab ketujuh-belas yang disebut:
Shraddha Traya Vibhaga Yoga Atau Yoga Ketiga Bentuk Sifat Kepercayaan (Iman).
 
Bab 18 - Kata Terakhir

Berkatalah Arjuna:

1. Aku berhasrat, oh Kreshna, mengetahui kebenaran tentang sanyasa dan tentang tyaga.
Arjuna sebenarnya bertanya dan ingin mengetahui apakah perbedaan antara sanyasa dan tyaga. Sanyasa adalah meninggalkan setiap tindakan, perbuatan dan aksi (kamya-karma), yaitu tindakan dan perbuatan yang diikuti oleh keinginan-keinginan tertentu. Tetapi dalam hidup ini ada saja perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu yang tidak bermotif egois seperti makan, tidur, mandi, jalan dan lain sebagainya yang tak dapat ditinggalkan atau diserahkan kepada Yang Maha Esa dalam arti harfiah, baik oleh seorang yang teramat suci sekalipun. Sedangkan kalau seseorang sama sekali tak bekerja atau berbuat sesuatu, maka orang semacam ini pun tentunya tak dapat disebut seorang sanyasin.



Sedangkan tyaga berarti penyerahan total hasil dari setiap tindakan, perbuatan dan aksi kita ini. Setiap buah atau hasil dari berbagai perbuatan kita dipasrahkan atau dikembalikan kepadaNya lagi. Semua pekerjaan orang semacam ini (sanyasin) adalah kewajibannya kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu. Pekerjaan dan perbuatannya penuh dengan dedikasi semata; dedikasi inilah sebenarnya motor penggerak dari individu-individu semacam ini, dedikasi yang tanpa pamrih dan demi Ia semata.


Seorang tyagi (penganut tyaga) tidak akan menjauhi ketiga pekerjaan utamanya, yaitu: yagna, dana, dan tapa. Tindakan-tindakan ini baginya adalah kewajiban, disiplin bagi diri pribadinya dan untuk tujuan sosial bagi sesamanya, berdasarkan kewajiban dan dedikasinya kepada Yang Maha Esa. Perbuatan dan pekerjaan ini bukan merupakan ikatan-ikatan duniawi tetapi sebenarnya adalah jalan ke arah pembebasan atau penerangan baginya. Sanyasa atau tyaga tidak berarti menjauhi pekerjaan atau hal-hal yang bersifat duniawi dan segala efek atau aktivitasnya, tetapi berarti tetap bekerja tetapi tanpa suatu motivasi, imbalan atau pamrih yang penuh dengan ego, keserakahan dan harapan. Semuanya seharusnya dilakukan dan dipersembahkan kembali kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih.


Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

2. Para resi sadar bahwa sanyasa itu adalah penyerahan dari bentuk-bentuk pekerjaan yang diikuti oleh nafsu dan keinginan-keinginan tertentu; sedangkan tyaga oleh mereka-mereka yang bijaksana diartikan sebagai penyerahan total seluruh hasil atau buah sesuatu perbuatan yang dilakukan seseorang.


3. "Aksi harus dilepaskan karena ibarat iblis," kata sementara pemikir. "Aksi-aksi seperti dana dan disiplin spiritual tidak boleh dilepaskan," kata yang lainnya.
Banyak pemikir atau orang-orang pintar, para penganut ajaran Kapila (yang disebut ajaran Sankhya), mengutuk semua bentuk aksi, tindakan dan perbuatan karena bagaimanapun juga kata mereka tak ada pekerjaan, aksi atau sesuatu perbuatan yang tanpa maksud dan motif, sekecil apapun tindakan tersebut. Jadi menurut mereka setiap pekerjaan ada motivasinya, dan itu berarti menyandang dosha, dan dosha (dosa) inilah penyebab keterikatan kita pada dunia ini. Jadi semua bentuk aksi atau tindakan harus dilepaskan. Tetapi para pemikir golongan lainnya, yang disebut Mimansaka, berpendapat tindakan atau perbuatan pengorbanan (yagna), tapa dan dana harus dilaksanakan karena tindakan-tindakan ini menyucikan diri dan membantu seseorang mendaki tahap-tahap evolusi spiritualnya.
Apa yang dianjurkan oleh Bhagavat Gita sebenarnya adalah melepaskan semua keterikatan-keterikatan akan hasil atau buah dari semua yang kita lakukan dan perbuat. Dengan kata lain terjadilah kehendakNya adalah arti dari ajaran Bhagavat Gita. Semua pekerjaan atau kewajiban sehari-hari kita harus dilakukan demi kebenaran dan kebaikan (dharma) dan dedikasi kita kepadaNya. Seseorang benar-benar bertindak seandainya ia bertindak atau bekerja tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu dari hasil perbuatannya.


4. Dengarkanlah sekarang, oh Arjuna, kesimpulanKu mengenai penyerahan total akan buah atau hasil kerja seseorang. Penyerahan total dari hasil kerja ini terbagi tiga sifatnya.


5. Perbuatan (tindakan) pengorbanan, dana (amal) dan disiplin-spiritual tidak boleh diabaikan, tetapi wajib dikerjakan, karena pengorbanan, dana dan disiplin spiritual adalah unsur-unsur yang menyucikan bagi mereka yang bijaksana.
Yagna atau pemujaan atau pengorbanan/persembahan adalah kewajiban bagi setiap manusia terhadap Yang Maha Kuasa. Dana atau amal adalah kewajiban terhadap guru-guru spiritual dan terhadap masyarakat atau yang membutuhkannya. Tapa atau disiplin spiritual adalah kewajiban kita terhadap diri sendiri sebenarnya. Mengabaikan ketiga tindakan positif ini sama saja mengotori diri sendiri dengan unsur-unsur duniawi yang negatif. Lakukanlah semua tindakan ini secara sattvik dan bersihkanlah raga, hati dan jiwa kita dari noda-noda duniawi ini.


6. Tetapi tindakan-tindakan ini pun harus dilakukan dengan mengesampingkan sesuatu pamrih. Inilah, oh Arjuna, keputusan dan pandanganKu yang final.
Jadi walaupun ketiga faktor penting di atas harus dilakukan, tetapi tetap saja menurut keputusan akhir (keputusan final) Sang Kreshna, perbuatan-perbuatan itu harus dikerjakan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan dalam bentuk apapun juga, baik secara spiritual maupun duniawi. Ini sudah merupakan keputusan Yang Tegas, dari Yang Maha Esa, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di pihak lain setiap tindakan sehari-hari apapun juga harus tetap dilaksanakan tanpa pamrih tetapi demi kewajiban kita kepada semuanya dan terhadap Yang Maha Esa dan lokasangraha (kesejahteraaan demi kemanusiaan). Yang penting adalah penyerahan total dari semua nafsu dan keinginan, semua bentuk ego yang mementingkan diri sendiri. Kalau kita tidak mau menyerahkan pikiran-pikiran negatif ini secara total, maka timbullah kama (nafsu dan keinginan) yang sebenarnya sudah ada dan hadir dalam pikiran dan indra-indra kita.
Sering timbul pertanyaan bagaimana caranya untuk menyingkirkan kama ini? Menurut teori di Barat yang diilhami oleh Freud, maka sebaiknya kama dijadikan teman saja dan semua keinginannya dipenuhi saja. Tetapi ajaran Hindu menolak mentah-mentah hal ini, karena kama ini ibarat api dan kalau dipenuhi terus menerus semua hasrat-hasratnya maka ibarat memberi minyak pada api ini, yang akibatnya adalah makin membara dan membesarnya api ini. Lalu ada ajaran yang mengatakan tindaslah kama atau nafsu ini. Tidak, menindasnya tidak menolong sama-sekali, karena bentuk nafsu atau kama ini tidak dapat ditindas karena sifat-sifatnya yang tidak dapat dimengerti dan amat misterius, apalagi oleh mereka yang masih jauh dari jalan spiritual.
Jalan yang benar untuk menjauhkan kama atau nafsu ini adalah dengan abhyasa atau meditasi, dengan usaha upaya atau praktek yang berketerusan. Dengan kata lain, seperti yang dianjurkan oleh Bhagavat Gita, yaitu dengan kendali diri yang disertai dengan penuh kesadaran atau mawas diri. Dengan kesadaran dan tekanan pada pikiran kita bahwa sebenarnya indra-indra dan nafsu kita juga bisa diarahkan ke arah yang positif secara spiritual dan duniawi, yaitu ketenangan dan kekuatan, kesucian dan kebenaran. Langkah demi langkah, secara perlahan tetapi pasti kita harus mengarahkan pikiran kita dan mengendalikannya (bukan menghentikannya sama sekali, tetapi mengendalikannya!) secara positif. Secara perlahan pastikan diri kita bahwa pemuasan nafsu-nafsu indra-indra kita secara tanpa kendali itu bukanlah cara dan jalan yang baik, begitupun menindas nafsu ini bukan juga jalan keluar. Jalan yang terbaik adalah yang terletak di tengah-tengah kedua metode tersebut, yaitu kendali-diri dengan mengendalikan nafsu-nafsu yang beraneka-ragam ini dan mempergunakannya seperlunya saja dan secara positif. Sadarlah akan suatu pengetahuan, yaitu tubuh kita ini dibentuk ibarat mata-pisau yang tajam dan peka; pisau itu dapat dipergunakan untuk tujuan positif seperti memotong sayur-sayuran dan kayu, atau untuk hal-hal negatif seperti membunuh atau merampok orang. Lalu bagaimana seharusnya kita gunakan tubuh ini dan semua indra-indranya. Untuk tersesat di dunia ini tanpa kendali dan terikat selama-lamanya secara duniawi atau untuk mengabdi dan kembali mengenal Yang Maha Esa. Dalam melakukan kendali diri yang penuh kesadaran ini, maka setahap demi setahap akan terbuka horizon baru dalam kehidupan kita dan akan nampak pergantian yang ajaib, misterius dan penuh dengan mukjizat yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena merupakan suatu pengalaman yang misterius dan spiritual. Seseorang yang indra-indranya terkendali dan terpakai secara positif akan menemui pengalaman-pengalaman unik, karena jiwa dan pikirannya yang bersih akan melakukan kontak-kontak ke obyek-obyek indranya dengan hasil yang berlainan sifatnya dari yang dialami selama ini. Kontak-kontak spiritual akan berlangsung secara otomatis, ingat pisau yang bermata dua, begitu pun indra-indra kita dapat dipergunakan secara duniawi dan secara spiritual, suatu potensi yang tersembunyi tetapi amat dahsyat karena kita tidak tahu akan hal ini selama kita terjebak dengan yang duniawi. Setelah itu akan timbul, secara perlahan tetapi pasti, sinar atau penerangan dalam hidup kita. Dan sekali ini tercapai maka seseorang yang telah hasil kerjanya secara total kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih, akan menjadi seseorang yang tetap bekerja di dunia ini sesuai dengan kewajibannya, tetapi sama sekali tanpa nafsu atau keinginan duniawi, karena ia telah mendapatkan sesuatu yang lebih menarik lagi dari semua itu, sesuatu kekuatan yang misterius dan membahagiakannya secara lahir dan batin, ia pun akan menjadi pusat dan inspirasi atau penerangan bagi mereka-mereka yang masuk ke dalam radius pengaruhnya. Jalan ke arah ini memang nampaknya sukar untuk manusia, tetapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini seandainya seseorang telah beritikad ke arah itu, karena memang setiap manusia diberikan potensi yang amat besar untuk melakukannya. Jadi terserah kita lagi, jalannya memang sukar, dan banyak jatuh-bangunnya, banyak jurang dan jeram yang menghadang, tetapi Yang Maha Esa sendiri secara "pribadi" akan menuntun kita, akan membimbing kita dan mengajarkan kita cara-cara mengatasi semua rintangan ini dan individu-individu yang kuat akhirnya akan sampai kepadaNya, karena itulah janji Yang Maha Esa kepada kita semua dan itulah tujuan yang dimaksud olehNya, yang telah ditentukan olehNya. Tanyakanlah kebenaran akan hal ini kepada mereka-mereka yang dianggap telah mencapai kesadaran ini, dan semua kebenaran akan dijawab dengan kebenaran. Om Tat Sat.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 18

7. Sebenarnya mengesampingkan pekerjaan-pekerjaan yang sudah seharusnya itu, adalah tidak benar. Memasrahkan dengan cara tersebut karena kebodohan, disebut bersifat tamasik (gelap).
Pekerjaan atau perbuatan yang sudah seharusnya menjadi kewajiban seseorang dan merupakan keharusan sehari-hari (tertera jelas dalam pustaka-pustaka Hindu), tidak boleh dikesampingkan dengan alasan apapun juga. Berbuat demikian menandakan kebodohan yang amat dalam dari si pelaku tersebut. Begitupun tindakan seperti dana, tapa dan yagna, berulang-ulang ditekankan agar tidak diabaikan, karena merupakan penyucian dari jiwa dan raga kita.
Tyaga sendiri terbagi dalam tiga sifat, yaitu tamasik, rajasik dan sattvik. Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik di mana lepas sudah bahkan itikad akan hasil atau buah dari tyaga itu sendiri. Sedangkan dalam sifat tyaga yang tamasik terlihat jelas dominasi dari keterikatan (moha), ilusi, kebodohan, kegelapan dan hasrat untuk mendapatkan imbalan-imbalan tertentu baik secara spiritual maupun duniawi. Tyaga semacam ini disebut gelap sifatnya. Misalnya: seorang pria meninggalkan semua pekerjaannya atau kewajiban rumah-tangganya demi seorang wanita atau demi menuntut suatu kesaktian tertentu untuk tujuan duniawi, ini disebut cinta-duniawi yang menyesatkan dan bukan tyaga pemasrahan total.



8. Seseorang yang tidak mau bertindak sesuatu karena merasa tindakan itu menyusahkannya atau khawatir akan menjadi derita untuk fisiknya, disebut melakukan tyaga bersifat rajasik. Dan tyaga semacam ini tidak akan menghasilkan keuntungan apapun juga.
Tyaga bersifat rajasik tidak akan menghasilkan mukti (pembebasan) karena seorang yang melakukan tyaga ini hanya melakukannya demi menjauhi derita, tantangan hidup dan kesusahan atau kerja keras.


9. Seseorang yang melakukan sesuatu tindakan seperti yang telah diwajibkan, oh Arjuna, karena harus dilakukannya, tanpa keterikatan dan pamrih — tyaga semacam itu dipandang sebagai bersifat sattvik (bersih).
Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik, yaitu tyaga yang tanpa keterikatan, hasil atau buah. Pekerjaan yang dilakukan ini sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan anjuran dan kaidah-kaidah yang tertulis di buku-buku suci. Dan semua kewajiban ini dilaksanakan sebagai kewajiban semata tanpa mencari atau mengharapkan sesuatu keuntungan, imbalan dan rasa egoisme.


10. Seseorang bijaksana yang telah diliputi oleh sifat-sifat sattva (kesucian), yang keragu-raguannya telah terbuang jauh — seseorang yang pasrah semacam ini tidak membenci sesuatu tindakan yang tidak menyenangkan, juga tidak terikat pada suatu tindakan yang menyenangkan.
Seorang tyagi (pelaksana tyaga) yang telah pasrah total kepada Yang Maha Esa, yang telah menyerahkan diri dan semua tindakan-tindakannya sekecil apapun perbuatan atau tindakan tersebut kepadaNya dan telah mencari dan mendapatkan perlindunganNya, tak akan pernah ragu-ragu dalam bertindak apapun juga. Baik itu tindakan nikmat dan memberikan kepuasan dan kesenangan ataukah tindakan itu memberikan rasa derita, kegagalan atau kedukaan, baginya sama saja sifatnya. Baginya yang wajib adalah bekerja, dan semua emosi, hasil atau efek dari pekerjaan itu tidak penting sifatnya karena ia sadar bahwa ia tidak menghasilkan atau memberikan suatu efek kepada setiap tindakannya, melainkan semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, dan terjadilah kehendakNya sesuai dengan keinginanNya, ia hanya alat dan sebuah alat hanya berkewajiban untuk bekerja sewaktu dipergunakanNya dan tidak berhak untuk memprotes majikan yang mempergunakannya ataupun menilai hasil kerja dari alat itu sendiri. Semuanya terserah kepadaNya. Baginya nikmat dan derita sama saja rasanya, saling mengisi malahan, dan semua itu diterimanya dengan sama rata dan tanpa banyak mengeluh. Jadi dengan kata lain, Sang Kreshna Yang Maha Pengasih sedang mengajarkan Arjuna dan kita semua agar menerima dan memainkan peranan kita masing-masing di dunia ini secara setia dan penuh semangat. Jangan berduka atau bersuka baik dalam kegagalan maupun dalam kesuksesan. Pasrahkan semuanya kepada Yang Maha Esa!" Karena hanya kehendakNya saja yang akan terlaksana, bukankah kita tidak tahu mengapa kita dilahirkan di dunia ini, dan sekali kita lahir dan tumbuh, lalu mengapa harus kita yang mengatur hidup ini, mengapa tidak dikembalikan semua skenario kehidupan ini kepada Sang Sutradaranya sendiri. Camkanlah pesan ini dan jadilah sebuah alat yang baik atau seorang pemain sandiwara kehidupan ini yang baik dan penuh dedikasi.


Seseorang yang bekerja sesuai dengan kewajibannya sadar bahwa suatu kewajiban yang dilaksanakan tanpa pamrih akan menuntunnya ke arah penerangan Ilahi, ke arah pembebasan dari ikatan dan derita duniawi. Seseorang yang secara sejati bekerja tanpa pamrih tidak akan pernah mau mengkhayal mengharapkan sedikit pun akan penerangan Ilahi, semua pekerjaan ia lakukan secara tulus dan penuh dengan tekad, yaitu dengan pemikiran terjadilah kehendakNya semata, dan pekerjaan adalah hukum alam di dunia ini bagi semuanya, sebagai misi yang diembannya dari Yang Maha Esa. Itulah kaidah atau hukum spiritual ini — yakinlah akan Yang Maha Esa dan semua kehendakNya. Tyaga yang sejati berarti bekerja tanpa pamrih, bukan tidak bekerja sama sekali.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 18

11. Sebenarnya, tidak mungkin bagi seseorang makhluk yang memiliki raga untuk tidak bekerja secara total. Sebenarnya, seseorang yang memasrahkan hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatannya -- disebut sebagai seorang tyagi.



12. Tidak nikmat, nikmat dan perpaduan keduanya - ketiga sifat ini adalah hasil dari setiap perbuatan yang akan didapati setelah meninggalkan dunia ini, bagi mereka-mereka yang tidak menyerahkan perbuatannya. Tetapi bagi mereka-mereka yang telah menyerahkan hasil perbuatannya, tak ada semua itu.
Seorang tyagi yang sejati adalah seseorang yang tidak mengabaikan pekerjaannnya, tetapi hasil atau buah dari pekerjaannya. Dan di sloka di atas ini Sang Kreshna menyinggung soal hasil atau buah perbuatan seorang sanyasin, yaitu sesorang yang telah memasrahkan secara total dan tanpa pamrih seluruh efek dari perbuatan-perbuatan dan kewajibannya. Bagi orang semacam ini, menurut Sang Kreshna tak akan menghasilkan suatu efek atau buah (karma), karena perbuatan-perbuatannya telah menyatu dengan kehendakNya. Di Bhagavat Gita sering kita jumpai istilah-istilah seperti tyaga dan sanyasa, tyagi dan sanyasin, yang kesemuanya ini sebenarnya adalah istilah-istilah alternatif yang dipergunakan oleh Sang Kreshna dalam mengajar Bhagavat Gita. Sang Kreshna pada prinsipnya tidak menganjurkan seseorang agar melepaskan atau mengabaikan pekerjaannya. la hanya menganjurkan agar terjadi peralihan dari semua kamya-karma (pekerjaan yang bermotivasi sesuatu) ke nishkama (yaitu pekerjaan tanpa pamrih).
Seseorang yang tidak mempunyai motif-motif duniawi untuk setiap pekerjaannya adalah ibarat sebuah pohon yang lebat di tepi sebuah sungai (tempat yang subur). Buah pohon ini pergi ke orang-orang yang membutuhkannya. Sedangkan orang ini sendiri tidak perlu ke mana-mana lagi, karena ia sudah tegar dalam kewajibannya dan telah menyatu dengan Yang Maha Esa.


13. Pelajarilah dariKu, oh Arjuna, lima unsur penyebab, penyelesaian semua tindakan, seperti yang telah disabdakan dalam doktrin Sankhya.


14. Tempat bersemayam semua tindakan (raga ini), Sang Jiwa (Karta) berbagai organ tubuh (karanam), berbagai ragam usaha (cheshta) dan yang kelima, yaitu takdir (daivam).
Di sloka ini Sang Kreshna mulai menerangkan tentang lima penyebab atau unsur atau kondisi dari setiap tindakan sampai selesai atau (akhir dari tindakan/perbuatan tersebut). Yang pertama adalah adhishthanam, yaitu raga atau badan kita yang merupakan tempat bersemayam (rumah-tinggal) Sang Jiwa dan berbagai keinginan kita. Yang pertama ini adalah raga duniawi atau jasad kasar kita. Yang kedua disebut karta atau sang agen. Siapakah Sang Agen? Tidak lain dan tidak bukan adalah sang jiwa kita, personalitas dalam raga ini, sang raja ego. Bergabung dengan Sang Prakriti, Sang Jiwa ini pun lupa pada bentuknya yang Asal dan Asli, yaitu Atma-Svanipa, dan dalam keangkuhan rasa egoisme ia pun lain berkata "aku," "akulah yang memiliki ini dan itu," "akulah yang berbuat," dan lain sebagainya. Dalam mencapai kebebasan jiwa kita, maka rasa ego ini harus dilepaskan agar tersingkaplah yang asli ini. Yang ketiga disebut karanam atau instrumen/alat. Alat-alat ini adalah kesepuluh indra-indra, pikiran, rasa intelek, dan ahankara kita. Yang keempat adalah cheshta, yaitu usaha, fungsi prana atau energi-vital atau nafas dalam raga kita. Yang kelima disebut daivam, takdir, sesuatu yang tak terjangkau oleh manusia itu sendiri, pada hal ini yang menentukan dan menjadi jalan hidup kita sebenarnya; yang menghasilkan setiap usaha dan efeknya yang berhubungan dengan usaha atau perbuatan tersebut masing-masing. Daivam atau takdir ini adalah yang mengatur semua tindak-tanduk kita.
Kelima unsur penting ini adalah kelima instrumen yang menjadi penyebab dari semua tindakan kita baik yang positif maupun yang negatif, baik atau buruk, dalam perjalanan hidup kita.


15. Apapun tindakan yang diambil seseorang melalui raganya, kata-kata dan pikirannya, baik yang benar maupun yang salah - kelima unsur inilah penyebabnya.


16. Dengan begitu, seseorang yang salah pengertiannya, yang karena tidak terlatih kesadarannya, memandang dirinya sebagai satu-satunya pelaku (setiap perbuatannya) -- sebenarnya orang-orang ini tidak melihat!
Seseorang yang berpikir sebagai pelaku tunggal dari setiap tindakannya adalah seorang yang egois, yang pandir dan terlalu buta untuk menyadari atau melihat suatu kenyataan Ilahi. Orang semacam ini disebut sebagai seorang yang gagal melihat hal yang sebenarnya.


17. Seseorang yang bebas dari itikad, egoisme, yang pengertian (intelektualnya) tidak tertutup, walaupun ia membunuh orang-orang ini, ia tidak membunuh, atau terikat (oleh perbuatan-perbuatannya).
Arjuna boleh saja membantai para Kaurawa (Kurawa = bahasa Jawa), dan selama ia berbuat itu bukan karena ego pribadinya, tetapi melainkan karena kewajibannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka selama itu juga segala perbuatannya tidak akan mengikat dia dan di mata Sang Kreshna (Yang Maha Esa), ia bukan seorang pembunuh tetapi hanya sebuah alat dariNya belaka, tidak lebih dan tidak kurang.
Seseorang yang telah berada di atas kesadaran bahwa "akulah yang sebenarnya berbuat," dan telah sadar akan Sang Atman, Sang Jati Diri, dan yang telah dapat mengatasi pikiran-pikiran perbuatannya, maka orang ini tidak dapat dipuji atau dihukum untuk setiap perbuatan-perbuatannya. Tetapi jangan sekali-kali menyalah gunakan sloka ini, karena bagi yang rasa ego, atau fanatismenya (fanatisme juga adalah suatu bentuk ego yang ekstrim!) masih tinggi, atau yang masih kurang kesadarannya, maka penghayatan yang salah akan berakibat amat fatal bagi sesamanya. Lalu bagaimanakah cara yang terbaik untuk memahami sloka ini? Bhagavat Gita menekankan bahwa ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam bertindak atau berbuat sesuatu, yaitu kebebasan dari rasa egoisme dan kesadaran yang tidak ternoda! Camkanlah hal ini secara sejati dan dengan hati-nurani yang bersih dan murni berdasarkan ratio atau intelektual anda sebelum bertindak sesuatu seperti yang dianjurkan di sloka ini. Mereka yang telah secara total berlindung di dalam Yang Maha Esa dan pasrah dengan segala kehendakNya, yang telah melewati rasa dualisme yang bertentangan, akan tahu secara sadar (sejati) akan makna dan perbuatan yang tertulis di sloka ini!
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 18

18. Pengetahuan, obyek pengetahuan (hal-hal yang diketahui), subyek yang mengetahui (yang mengetahui), adalah tiga unsur stimulus ke arah setiap tindakan. Sang alat, tindakan, dan sang jiwa adalah tiga unsur gabungan dari setiap tindakan.



Setiap tindakan ada dua penyebabnya: subyektif dan obyektif. Yang subyektif ini dimaksudkan dengan rangsangan-rangsangan awal dari setiap tindakan, yaitu suatu kondisi sebelum suatu tindakan diambil, yaitu konsep yang tergambar dahulu dalam benak pikiran, yang lalu ditransformasikan dalam bentuk tindakan ragawi. Keadaan ini disebut karmachodana, dan hal ini terdiri dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, yang diketahui dan yang mengetahui.
Sedangkan yang obyektif disebut karmasangraha. Sewaktu sesuatu tindakan dilakukan, maka ada tiga faktor yang menyertainya: karana, yaitu alat, instrumen atau indra-indra kita; kemudian subyek tindakan/aksi, yaitu karta, Sang Jiwa; dan akhirnya, obyek tindakan/aksi, yaitu karma itu sendiri, yaitu akhir atau tujuan yang ingin dicapai oleh tindakan yang dimaksud. Dengan kata lain, karmachodana ini adalah perencanaan secara mental dan karmasangraha adalah perbuatan atau tindakan hasil dari perencanaan secara aktual.


19. Pengetahuan, aksi (tindakan) dan sang pemeran dikatakan dalam pengetahuan tentang sifat-sifat (guna-guna dalam filosofi Sankhya), ada tiga jenis saja, sesuai dengan perbedaan sifat-sifat (guna-guna) ini. Dengarkanlah juga dengan seksama mengenai hal ini.


20. Sesuatu pengetahuan dengan mana seseorang melihat Yang Maha Esa dan Tak Terbinasakan di dalam semua makhluk — tak terpisah-pisah di dalam keterpisah-pisahan - ketahuilah pengetahuan tersebut bersifat sattvik (bersih).
Dalam sesuatu kepercayaan yang bersifat sattvik, maka Yang Maha Esa dianggap Satu-Satu-Nya Inti Kehidupan yang hadir dalam setiap makhluk dan benda di alam semesta ini. Yang Maha Esa ini juga disebut sebagai Avyayam, yaitu Tak Terbinasakan, juga disebut sebagai Avibhaktam, yaitu Keseluruhan Yang Tak Terpisahkan.
Yang Maha Esa itu hadir secara sama rata dalam setiap makhluk, benda dan manusia. Baik dalam seorang kaya atau miskin, dalam seorang kriminal maupun dalam seorang pendeta, hadirlah Yang Maha Esa secara sama dalam setiap jiwa ini, tanpa diskriminasi atau perbedaan sedikitpun. Walau di alam semesta ini terdapat jumlah jiwa-jiwa yang tak terbatas dan terhitung jumlahnya, pada hakekatnya semua jiwa-jiwa ini ber Intisari atau berasal dari Satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi dengan kata lain, semua jiwa ini sifatnya Eka atau Satu dan identik dengan Yang Maha Esa. Pengetahuan atau kesadaran semacam ini disebut bersifat sattvik.


21. Pengetahuan yang melihat berbagai-ragam kelainan dalam berbagai makhluk-mahuk, setiap makhluk lain dari yang lainnya, yang beraneka-ragam pengetahuan itu ketahuilah olehmu sebagai rajasik.
Seseorang yang berpengetahuan rajasik memandang setiap makhluk atau benda di dunia ini sebagai terpisah-pisah atau berdiri sendiri-sendiri. Bagi orang semacam ini setiap individu makhluk, atau benda adalah unsur yang berbeda-beda. Pengetahuan rajasik adalah pengetahuan tentang nama dan rupa seseorang belaka, bukan pengetahuan tentang Intisari yang sejati. Ibarat seseorang yang tahu bahwa sesuatu benda disebut tempayan, tetapi tidak tahu bahwa benda tersebut dibuat dan berasal dari apa. Ibarat seseorang mengetahui apa itu lampu, tetapi tidak mengenal unsur cahaya di dalamnya, atau ibarat mengenal yang namanya baju tetapi tidak tahu unsur apa yang menjadi bahan dasar dari baju tersebut.
Bagi seorang yang berpengetahuan rajasik semuanya nampak berbeda-beda dan berlainan derajatnya. Bagi orang semacam ini status seseorang dewa, brahmana atau seekor tikus itu lain, padahal sabda Sang Kreshna semua yang ada di alam semesta ini berintikan satu unsur yang sama, yaitu Yang Maha Esa.


22. Pengetahuan yang tergantung pada suatu unsur atau obyek yang seakan-akan adalah segala-galanya, tanpa mau tahu akan asal-usul unsur tersebut, tanpa mau menyadari yang realitas, dan berpandangan sempit - disebut sebagai pengetahuan yang tamasik.
Pengetahuan yang bersifat tamasik adalah pengetahuan yang palsu dan tak berdasar sama sekali. Orang yang berpengetahuan ini amat sempit pandangannya. la melihat suatu obyek kecil sebagai sesuatu yang amat penting dan lalu bergantung kepada obyek tersebut seakan-akan tidak ada lagi yang lainnya di dunia ini. Misalnya seseorang yang mencintai seorang wanita cantik dan menganggap wanita tersebut sebagai segala-galanya di dunia ini, atau seseorang berpikir bahwa keluarganya adalah di atas segala-galanya di dunia ini, Tuhan lalu dinomorduakan. Hal semacam ini disebut moha (keterikatan) dan keterikatan ini disebut pengetahuan yang bersifat tamasik atau gelap.
Hal yang sama berlaku sekiranya seseorang hanya tergantung pada pesta-pesta pora, makanan atau kenikmatan dan keterikatan duniawi lainnya, yang memberikannya kenikmatan yang bersifat sementara dan merasa itulah arti kehidupan dunia. Pengetahuan semacam ini adalah hampa dan irasional. Pengetahuan tentang Sang Atman adalah pengetahuan yang sejati. Pengetahuan tentang logika duniawi yang berdasarkan perbedaan atau diskriminasi adalah rajasik. Sedangkan pengetahuan yang tanpa dasar, tanpa pengorbanan atau pengertian pada Yang Maha Esa adalah sifat tamasik.


23. Suatu tindakan yang berdasarkan moral, yang lepas dari keterikatan, yang dilakukan tanpa mengharapkan suatu pamrih dan yang dilakukan bukan karena cinta atau benci — tindakan tersebut adalah sattvik (bersih).
Suatu tindakan, aksi atau perbuatan yang bersih atau yang benar dan sejati disebut sattvik, yaitu perbuatan yang berdasarkan nilai-nilai moral, kewajiban dan prikemanusiaan. Pekerjaan seperti bekerja sehari-hari, mencari nafkah secara jujur demi kehidupan keluarga adalah pekerjaan yang bersifat sattvik. Seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya dengan baik adalah seorang yang sattvik dan bekerja sattvik. Pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan yang dianjurkan pustaka-pustaka kuno seperti yagna, tapa dan dana adalah perbuatan sattvik. Berbicara jujur, menolong yang harus ditolong, memuja Yang Maha Esa adalah perbuatan sattvik yang harus dilakukan. Dan semua pekerjaan ini harus dilakukan tanpa mengharapkan kembali sesuatu pamrih atau imbalan dalam bentuk apapun juga baik dari siapapun maupun dari Yang Maha Esa atau para dewa-dewa.
Semua pekerjaan ini harus lepas dari rasa ego dan keterikatan, secara total harus dihayati bahwa yang berbuat ini sebenarnya hanya alat dari Yang Maha Esa, tidak lebih dan tidak kurang. Setiap pekerjaan harus dikerjakan lepas dari hawa-nafsu dan dengan tanggung-jawab dan penuh kewajiban terhadap sesama makhluk dan terutama terhadap Yang Maha Esa, karena Ialah sumber atau asal-mula kehidupan ini.


24. Tetapi suatu tindakan yang dilakukan secara penuh dengan ketegangan (stres) oleh seseorang yang ingin memuaskan keinginan-keinginannya, dan yang berdasarkan kepentingan dirinya — disebut bersifat rajasik (mementingkan diri pribadi).
Tindakan atau perbuatan rajasik selalu bercirikan kepentingan pribadi, dan tindakan ini sebenarnya tidak akan menghasilkan suatu keuntungan spiritual, melainkan akan menghasilkan duka atau penderitaan. Tindakan-tindakan rajasik ini memperlihatkan tanda-tanda khas seperti:
a. Tindakan-tindakan ini selalu dilakukan secara bergegas secara menggebu-gebu, dan penuh semangat yang menderu-deru, tetapi diikuti oleh rasa tegang yang luar biasa atau stres berat dan penghamburan energi secara sia-sia.
b. Pekerjaan ini dilakukan karena pengaruh karma (nafsu) atau keinginan-keinginan duniawi untuk mendapatkan kepuasan seksual, harta-benda, kedudukan, kekuasaan, wanita dan lain sebagainya.
c. Tindakan-tindakan ini dilakukan berdasarkan kepentingan atau kepuasan pribadi ego, kesombongan pribadi, dan ini semua disebut ahankara.


25. Tindakan yang dilakukan berdasarkan moha (cinta dan keterikatan duniawi) tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya - yang merugikan dan melukai yang lain - yang tak memikirkan kemampuan pribadinya - disebut sebagai tindakan atau perbuatan yang tamasik.
Ciri-ciri perbuatan atau tindakan tamasik adalah:
a. Dikerjakan karena keterikatan akan hal-hal yang sifatnya duniawi dan gelap.
Orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan ini sudah jauh tenggelam dalam kegelapan duniawi.
b. Dilakukan tanpa memikirkan akibat-akibatnya, yang bukan saja dapat menghancurkan dirinya, tetapi juga orang-orang atau makhluk-makhluk lainnya. Semua ini dilakukan tanpa pikir panjang karena mabuk kekuasaan, karena kenikmatan dunia dan lain sebagainya.
c. Dan perbuatan-perbuatan ini dilakukan tanpa melihat atau sadar akan keterbatasan orang yang melakukan ini, karena jalan pikiran yang sudah gelap dan buntu. Dan kalau ia gagal, ia akan menempuh segala jalan baik yang bersifat kekerasan maupun yang gelap, walaupun itu harus dibayar mahal olehnya.


26. Seseorang yang bertindak lepas dari keterikatan, yang pembicaraannya jauh dari rasa egois yang penuh dengan tekad yang teguh dan antusiasme yang tak tergoyahkan oleh sukses atau kegagalan - orang ini disebut sattvik karta (orang yang benar atau bersih perbuatannya).
Seorang sattvik karta ini benar-benar bertindak sesuai dengan kewajibannya, menerima semua kehendakNya. Dalam menghadapi sukses atau kegagalan ia tenang-tenang saja, dalam menghadapi yang jahat dan suci, yang busuk dan bersih, ia sama saja sikapnya. la maju terus dengan tekad yang amat teguh, yaitu selalu bertindak tanpa pamrih, hanya demi kebenaran dan kewajibannya terhadap Yang Maha Esa semata. Orang semacam ini memiliki beberapa tanda atau ciri khas:
a. la selalu bertindak tanpa pamrih dan keterikatan. la tidak membutuhkan pujian, jasa, sanjungan, keagungan dan kehormatan duniawi untuk apa saja yang dilakukannya.
b. la tidak membual akan apa yang dilakukannya. Tak mau ia berkata bahwa tanpa dia sesuatu hal mustahil terjadi. Setiap patah katanya jauh dari rasa egoisme atau demi kepentingan diri sendiri.
c. la penuh dengan kesabaran dan semangat yang tinggi. Dalam setiap halangan ia penuh dengan tekad, berjuang terus dan tidak patah semangat.
d. la memiliki rasa sama, yaitu selalu bersikap sama baik dalam menghadapi keuntungan maupun kerugian, baik dalam kesenangan maupun penderitaan. Tak tersentuh ia oleh kemenangan dan tak terganggu oleh kekalahan, sama dalam sukses maupun kegagalan.
 
Bls: Bhagavadgita Online Lanjutan Bab 18

27. Seseorang yang terombang-ambing oleh kepentingan nafsunya, yang mencari imbalan dari hasil perbuatannya, yang serakah, merugikan yang lainnya, yang tidak bersih (perbuatannya), yang terombang-ambing oleh kesenangan dan penderitaan -- orang ini disebut seorang rajasik karta.
Seorang rajasik karta mempunyai beberapa tanda dan sifat-sifat tertentu seperti:
a. Ia tenggelam dalam nafsu duniawi beserta segala kenikmatannya. la terikat pada indra-indranya.
b. la selalu memerlukan imbalan untuk setiap perbuatannya. Setiap tindakannya penuh dengan motivasi tertentu.
c. Ia amat serakah.
d. la bersifat brutal, sifatnya ini selalu merugikan, melukai dan menyakiti orang lain, atau pun makhluk-makhluk lain,
e. Dalam setiap sukses dan kemenangan ia cepat gembira, dalam kegagalan dan kekalahan ia cepat putus asa.



28. Seorang yang tak stabil, kasar, keras-kepala, penuh kepalsuan, beritikad jahat, malas, tak punya harapan, mudah putus-asa, dan selalu menunda-nunda sesuatu -- disebut seorang tamasik.
Seorang tamasik nampak aneh atau eksentrik dan tak berbudaya dalam tingkah-lakunya. Hati atau pikirannya tidak tertuju pada tindakan-tindakannya. la juga pandir dan keras kepala. la penuh tipu-daya dan licik atau penuh dengan kepalsuan. la gemar menunda-nunda sesuatu dalam tindakan dan perbuatannya, dan sering membatalkan sesuatu yang akan dikerjakan dengan alasan-alasan tertentu. la mudah putus asa dan orang dengan sifat-sifat ini bekerja atau bertindak dengan motif-motif kejahatan dan berdasarkan pengaruh jahat dan iblis. la bisa saja berwajah meyakinkan dan hidup mewah dan necis, tetapi secara kejiwaan ia tak berbudaya dan memiliki semua karakter tamasik di dalam dirinya.


29. Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, diterangkan secara lengkap dan berulang-ulang, ketiga bagian, yang didasarkan pada ketiga guna (sifat-sifat) dari buddhi (intelektual) dan dhriti (kebulatan tekad).
Ada tiga macam atau jenis buddhi (intelektualitas atau kesadaran manusia). Dan juga ada tiga jenis sifat dari dhriti, yaitu tekad atau suatu keputusan tetap yang diambil seseorang berdasarkan kadar intelektualitasnya, atau kadar kesadaran dan pengertiannya.
Buddhi dan dhriti ini sangat dekat dengan setiap tindakan yang kita ambil. Buddhi menganalisa apa yang harus dilaksanakan seseorang dalam setiap aksi, sedangkan dhriti memutuskan dan menyelesaikan suatu aksi atau tindakan sehingga selesailah atau tuntaslah perbuatan tersebut. Buddhi dengan kata lain adalah suatu kekuatan yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk, yang salah dengan yang benar. Sering sekali kita manusia memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk ditunjukkan jalan yang benar dalam menghadapi rintangan-rintangan di depan kita. Yang memohon ini sebenarnya adalah suatu faktor pengertian atau kesadaran, dan ini disebut buddhi (intelektualitas). Tindakan selanjutnya berdasarkan pengertian tersebut adalah yang didasarkan pada kebulatan tekad atau suatu keputusan yang tuntas, dan ini secara keseluruhan disebut dhriti.


30. Buddhi yang menyadari akan pravritti (tindakan yang benar) dan nivritti (tindakan yang tidak harus dilakukan) - apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan, apa yang harus ditakuti dan apa yang tidak harus ditakuti, perbuatan dan pekerjaan apa yang mengikat dan apa yang membebaskan — pengertian (buddhi) tersebut, oh Arjuna, adalah sattvik (suet dan bersih).
Sloka di atas jelas sekali pengertiannya dan kita manusia seharusnya tahu akan apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita jauhi dan cegah. Siapakah sebenarnya yang harus ditakuti dalam hidup ini dan siapa pula yang harus kita lawan dan hadapi. Lebih dari itu pengertian atau kesadaran yang bersih akan memberikan pengetahuan akan apa yang mengikat secara duniawi dan apa saja yang akan melepaskan kita dari lingkaran penderitaan dan karma kita.


31. Sesuatu yang diketahui secara menyimpang, secara salah — tentang dharma dan adharma (yang betul dan salah), tentang apa yang harus diperbuat dan yang tidak harus dilakukan - pengertian semacam itu, oh Arjuna, bersifat rajasik.
Sesuatu pengertian atau buddhi yang bersifat rajasik yang terpengaruh sifat-sifat raja ini adalah suatu pengertian berdasarkan konsep yang salah atau menyimpang karena berdasarkan semangat egoisme. Pengertian semacam ini selalu mencampur-adukkan yang baik dan yang buruk. Sedangkan pengertian sattvik akan tegas dalam keputusan dan pengertiannya. Buddhi secara rajasik sering melakukan perbuatan salah dan menyimpang karena keputusan yang diambil selalu berdasarkan nilai-nilai yang salah persepsinya. Keputusan semacam ini mencampur-adukkan kewajiban dengan kesenangan, benar dengan salah, dan lain sebagainya dan menganggap semua itu adalah tindakan yang benar. Bagi seorang yang bersifat rajasik, nilai-nilai kebenaran jadi kabur penghayatannya.


32. Buddhi yang terbungkus oleh kegelapan, yang berpikir bahwa adharma (kesalahan) sebagai dharma (benar), dan melihat semuanya secara tidak benar - buddhi (atau pengertian) ini, oh Arjuna, adalah tamasik.
Suatu pengertian yang bersifat tamasik, malahan mengacaukan semuanya, semua nilai-nilai moral bisa saja jadi kacau-balau oleh pola pemikiran semacam ini. Semua ini karena kegelapan yang menyelimuti pengetahuan orang yang bersifat tamasik ini. Yang salah malahan terasa benar baginya. Buddhi ini tidak sadar atau tahu mana yang benar dan mana yang salah. Bagi seorang tamasik, pemujaan kepada Yang Maha Esa itu salah, bersikap anti-Tuhan dan anti-kebenaran malahan benar jadinya. Baginya kebenaran akan hidup dan dunia ini tidak ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang semacam ini lebih condong ke arah kekuatan-kekuatan gelap.


33. Suatu tekad atau keputusan (yang diambil seseorang) yang tidak terombang-ambing sifatnya, melalui yoga atau konsentrasi pengendalian aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan dan indra-indranya — tekad tersebut, oh Arjuna, adalah tekad (atau keputusan) yang sattvik sifatnya.
Tekad atau keputusan ini disebut dhriti. Tekad yang bersih dan sattvik karena:
• bersifat tegas dan tidak mudah digoyahkan, alias stabil,
• diperkuat atau didasari oleh latihan-latihan dan konsentrasi yoga,
• mengendalikan secara benar aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan (meditasi) dan indra-indranya. Orang ini lalu mempunyai potensi lahir-batin yang amat kuat, tegas, teguh pendirian dan raganya.
Tekad yang bersifat sattvik ini, mengendalikan pikiran atau jiwa kita ke arah pengetahuan akan tenaga-tenaga yang tersembunyi dan juga potensi-potensi yang tak nampak tetapi sebenarnya banyak terdapat dalam diri kita. Juga akan terbuka potensi dan kekuatan yang ada di alam semesta ini yang dapat dikaruniakan kepada orang yang teguh, yang penuh dedikasi kepadaNya semata. Tekad sattvik kemudian menimbulkan kendali pada pemikiran kita, yang kemudian mengendalikan setiap tindakan kita, sehingga kita pun berubah menjadi sattvik, tanpa pamrih. Hanya bertindak karena harus dan karena kewajiban yang bersifat dedikasi semata.
Tekad yang bersih ini mendisiplinkan pikiran, nafas, dan indra-indra kita, dan diarahkan semua ini ketujuan yang benar. Indra-indra kita akan terkendali secara otomatis secara bertahap. Dan ini bukan ilusi, tetapi kenyataan yang telah dialami oleh mereka-mereka yang telah bersifat sattvik, walaupun dalam abad modern ini.


34. Seseorang yang bertekad kuat pada dharma (kewajiban), pada kama (kenikmatan), dan pada artha (harta) tetapi menginginkan imbalan untuk tekadnya ini — tekad semacam ini, oh Arjuna, adalah rajasik.
Tekad yang bersifat rajasik adalah suatu tekad yang hanya dilakukan untuk suatu imbalan tertentu.
35. Sesuatu tekad yang diambil seseorang, yang berasal dari kebodohan, terlalu banyak tidur, ketakutan, kesusahan, depresi dan kepentingan diri sendiri --tekad tersebut, oh Arjuna, bersifat tamasik (gelap).
Seseorang yang bersifat tamasik sangat keras sifatnya, tetapi kekerasannya bersifat ngawur, karena berdasarkan kemalasan dan kebodohan. Tindakan-tindakannya hanya berdasarkan opini sendiri yang didasarkan pada sifat-sifat pribadinya yang dominan dan serba gelap. la pun selalu dekat dengan rasa takut, depresi, penderitaan dan selalu berada di dalam lingkaran gelap.


36. Dan sekarang dengarlah dariKu, oh Arjuna, tiga bentuk kebahagiaan. Kebahagiaan ini, bagi seseorang yang mempelajarinya (mempraktekkannya), akan menghasilkan kebahagiaan yang mengakhiri penderitaannya.
 
Back
Top