Aku Melawan Teroris

mbahsebul

New member
Berikut ini pernyataan Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib yang ditranskrip dari acara bedah buku “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudra yang berlangsung di Auditorium lantai 3 FTSP Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Hadirin Sekalian yang saya muliakan dan saya cintai, saya diminta untuk berbicara dalam acara bedah buku ini mengenai buku “Aku Melawan Teroris” karya saudara kita Imam Samudera, dan ini untuk kedua kalinya, Karena bedah buku maka pembahasannya tentang isi buku ini.

Saya membaca buku ini, saya sedih dengan kenyataaan yang ada pada umat ini yaitu saudara Imam Samudera ini adalah salah satu korban dari sekian banyak korban kesalahan dalam mengambil manhaj atau thariqah yakni cara memahami Alqur'an was Sunnah. Pada halaman-halaman pertama buku ini sampai halaman 70 saya semula senang dengan pemaparan dari saudara Imam Samudera, karena yang dikatakan olehnya bahwa dia memahami Islam dengan jalan atau cara pemahaman para sahabat nabi, para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Kemudian ketika mulai membahas permasalahan-permasalahan kasus-kasus yang ada sekarang disitu saya melihat kerancuan pada diri saudra Imam Samudera penulis buku ini. Dimana rujukan dalam apa yang dia sebutkan dengan para ulama kaliber internasional dalam menempuh manhaj Salafus Shalih itu dia sebutkan disamping para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah seperti Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Syaikh Rabi Al Madkhali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Albani, kemudian disebutkan pula tokoh-tokoh seperti apa yang diistilahkan olehnya seperti Syaikh Salman bin Fahd Al Audah, Syaikh DR Safar Al Hawali dan Syaikh DR Aiman Az Zawahiri.

Dari ini saya mulai melihat adanya kerancuan pada pemahaman beliau ini karena tokoh yang disebutkan seperti Salman Bin Fahd Al Audah ini sesungguhnya salah satu tokoh bersama DR Safar Al Hawali dan tokoh-tokoh lain di Saudi yang sedang berperang melawan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tetapi mengaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Kelihatannya memang saudara Imam Samudera ini kekurangan informasi tentang pergolakan yang sedang terjadi di Saudi dari tokoh-tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seandainya saudara Imam Samudera itu sempat membaca buku karya Syaikh Rabi Bin Hadi Al Madkhali ini berjudul “Ahlul Hadits Hum At thaifah Al Manshurah An Najiah, Hiwar Ma’a Salman Al Audah” satu buku yang membongkar penyimpangan-penyimpangan Salman Al Audah dan penentangannya terhadap pemahaman Salafus Shalih maka mungkin saudara Imam Samudera akan tidak menyertakan tokoh semacam Al Audah ini sebagai tokoh-tokoh Ahlus Sunnah bersama dengan para ulama yang disebutkanya. Juga seandainya Saudara Imam Samudera membaca buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Al Mubarak Ramadhani Al Jazairi berjudul “Madarikun Nadzar Fis Siyasah Baina Tathbiqat As Syar’iah” dimana isi buku ini membongkar kedustaan-kedustaan dan pengkhianatan dari DR Safar Al Hawali dalam pemaparannya tentang berbagai kejadian, terutama perang teluk waktu itu, serangan Iraq ke Kuwait dan permintaan bantuan pemerintah Saudi ke Amerika niscaya saudara Imam Samudera tidak akan mencantumkan DR Safar Al Hawali sebagai deretan tokoh-tokoh yang dia katakan sebagai ulama Kaliber internasional yang menempuh manhaj Salafus Shalih.

Kerancuan ini tidak sesederhana yang kita duga, justru ini akan membawa kepada berbagai sikap dan kemudian dilanjutkan dengan berbagai tindakan yang disangkanya sebagai suatu amalan ibadah tertinggi yaitu jihad, tapi ternyata itu adalah perbuatan penyimpangan. Hukum-hukum yang dia sebutkan disini seperti di halaman 97 sampai halaman 100 dimana dia menyatakan hukum bahwa umat Islam ini terluka karena Al Haramain (Makkah dan Madinah) telah diduduki oleh Amerika, oleh salibis Zionis. Kemudian disejajarkan peristiwa pendudukan Al Haramain (Makkah dan Madinah) oleh Salibis Zionis dengan pendudukan Zionis terhadap Al Masjidil Aqsa di Yerusalem. Dengan dasar ini maka dia terlihat sangat kecewa dengan informasi seperti itu, dan berpijak dari informasi seperti itu diapun menyatakan kemarahan besar terhadap kekuatan-kekuatan yang menduduki Al Haramain (Makkah dan Madinah) sebagai penjajah dua tanah haram itu yaitu dalam hal ini Amerika Serikat. Maka kemudian dia juga menghukumi dengan ini para ulama yang disebutkan olehnya tadi sebagai kaliber internasoinal yang bermanhaj Salafus Shalih seperti Syaikh bin Baz dan Syaikh bin Utsaimin, dia hukumi sebagai ulama yang tidak mempunyai wawasan politik sehingga ditipu oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud untuk mengeluarkan fatwa tentang bolehnya meminta bantuan kepada Amerika Serikat, mengundang Amerika Serikat untuk menduduki kedua tanah haram tersebut.

Padahal kalau seandainya informasi yang disebutkan oleh saudara Imam Samudera disini, yakni dasar informasi dia untuk menyatakan bahwa dua tanah haram telah diduduki oleh Amerika Serikat ialah buku karya DR Safar Al Hawali buku yang berjudul “Kasyful Hummah ‘An Ulamaa’il Ummah” kalau dilihat tahunnya bagaimana Imam Samudera membaca buku dan sebagainya, kelihatanya saya lebih dulu membaca buku ini dari pada dia, wallahu A’lam. Saya ketika membaca buku ini sama perasaaanya dengan beliau, sangat kecewa dengan kenyataan tersebut. Saya sangat kecewa dengan kenyataan yang dipaparkan oleh DR Safar Al Hawali didalam buku ini dan saya juga mempunyai keyakinan seperti keyakinan Imam Samudera bahwa Al Haramain telah diduduki oleh tentara salibis Amerika Serikat. Tetapi dua tahun setelah terbitnya buku ini kemudian saya mendapatkan buku Madarikun Nadzar Karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi yang ternyata membongkar berbagai kebohongan dan kepalsuan DR Safar Al Hawali dalam informasi-informasinya itu, Masya Allah saya jadi lega luar biasa ternyata apa yang di informasikan oleh DR Safar Al Hawali tentang pendudukan Amerika terhadap Makkah dan Madinah itu adalah informasi-informasi politik atau dengan kata lain informasi-informasi bohong dan dusta. Kemudian juga saya sempat mempunyai pikiran ketika membaca buku yang dibaca oleh oleh Imam Samudera ini yaitu Safar Al Hawali dan Salman Al Audah, saya sempat mempunyai pandangan miring terhadap para ulama seperti pada Syaikh bin Baz, kenapa memberi fatwa demikian? kenapa membolehkan pemerintah Saudi meminta bantuan pasukan Amerika untuk melawan ancaman Iraq? karena itulah saya mempunyai pandangan seperti pandangan Imam Samudera bahwa ulama itu hanyalah perkara hukum haidh dan hukum nifas saja keahliannya. Seperti pandangan tokoh Mu’tazilah dalam mengejek para ulama Ahlul Hadits dimana dikatakan bahwa ulama Ahlul Hadits itu pengetahuanya hanya seputar celana dalam wanita yaitu hukum-hukum haid dan nifas. Dan ternyata omongan ini tidak terasa saya konsumsi dari tulisan-tulisan Salman Al Audah dalam Silsilatul Ghuraba.

Salman Al Audah memaparkan bahwa para ulama itu tidak mempunyai wawasan politik sama sekali jadi kalau perkara politik jangan kesana rujukannya sebaiknya kepada para politikus, sedangkan dalam perkara hukum-hukum haidh dan nifas itu kepada para ulama tersebut, persis seperti itu. Maka alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah, saya tidak menjadi korban penyimpangan dan kedustaaan informasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sedang memerangi Ahlius Sunnah wal Jama’ah seperti Safar Hawali dan Salman Al Audah ini, dan tokoh-tokoh lain seperti Aid Al Qarni atau DR Nashir Al Umari. Alhamdulillah Allah membimbing saya untuk jangan percaya kepada satu buku saja atau jangan percaya pada satu tokoh saja, hendaknya seorang untuk mengambil kesimpulan itu mencari berbagai keterangan dari berbagai tokoh terutama para ulama.

Ketika pada tahun 1996 saya berkesempatan untuk berkunjung ke Syaikh bin Baz Rahimahullah dan saya tanyakan langsung perkara ini; kenapa anda memberi fatwa bolehnya isti’anah bil kuffar (meminta pertolongan kepada orang kafir) dalam menghadapi ancaman dari Iraq waktu itu. Beliau -dengan sabar karena melihat kebodohan saya- menerangkan: “Bahwa isti’anah (minta tolong) dalam kondisi kelemahan kita kepada kekuatan kuffar ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam dan para sahabatnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam mencoba untuk hijrah ke Tha’if dan ternyata ditolak oleh penduduk Tha’if dan akhirnya kembali ke Mekkah, maka dalam kondisi bercucuran darah kaki beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam karena dilempari batu oleh penduduk Tha’if dan ini dalam kondisi selemah-lemahnya posisi; berhubung Abu Thalib telah meninggal dunia, Khadijah Bintu Khuwailid meninggal dunia, tidak ada lagi pembela bagi beliau. Maka ketika belau Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam mau masuk ke Makkah, beliau minta tolong kepada seorang musyrik yang kemudian memberikan pembelaan dan mengumumkan di Ka’bah bahwa Muhammad hari ini dibawah perlindungan saya. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam pun masuk ke Mekkah dengan sebab itu. Dan demikian pula hal ini dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, juga para Shahabat yang lainya ketika mereka hijrah pertama dari Makkah menuju ke Habasyah (Ethiopia). Dimana Raja Ethiopia adalah seorang Nashrani sehinggga dengan sebab itu adalah boleh beristi’anah (minta tolong) kepada kuffar dalam menghadapi bahaya terhadap kaum Muslimin”. Saya katakan kepada Syaikh: “Mereka minta tolong kepada orang kafir untuk menghadapi orang kafir, kenapa Syaikh anda memfatwakan bolehnya minta tolong kepada orang kafir untuk menghadapi kaum muslimin???”. Beliau juga dengan sabar melihat kebodohan saya, menjawab “Sesungguhnya kenyataan yang dilakukan kaum Muslimin di Iraq, tidak diragukan bahwa mereka adalah kaum Muslimin, tetapi mereka dibawah perintah Saddam Husain yang mempunyai pemikiran sosialis yang ekstrim, dibawah kendali seorang katoliki bernama Misyair Aflaq yang menggantung para ulama Iraq di Baghdad dan di Bashrah dan di beberapa tempat yang lainya. Dengan kenyataaan itu dan dengan qarinah yakni indikasi sepeti itu, kita melihat bahwa memang harus menghindari mafsadah yang lebih besar dengan menolak upaya Saddam Husain untuk melakukan penyerangan ke wilayah-wilayah Muslimin lainya yang sangat di khawatirkan dengan indikasi-indikasi itu tadi bahwa nasibnya kaum Muslimin diwilayah lain akan sama dengan nasib kaum Muslimin di Iraq yakni dibawah kepemimpinan Saddam Husain”. Demikian beliau membawakan tentang kaidah yang disepakati oleh para ulama dimana beliau menyatakan “apabila menghadang kita dua mafsadah atau dua kerusakan yang sama-sama rusak maka dalam kondisi demikian dipilih mana yang paling ringan dari kedua mafsadah tersebut”. Maka yang paling ringan ialah kita beristi’anah bil Kuffar (minta bantuan orang-orang kafir) dengan waktu tertentu, yaitu apabila mereka telah selesai menjalankan tugas yang kita bebankan kepadanya yaitu membantu kita untuk menolak atau memukul mundur serangan Iraq, maka mereka kita minta untuk kembali ke negerinya (jawab Syaikh Bin Baz). Saya katakan apakah itu terlaksana?, Syaikh menjawab: Ya terlaksana dan mereka pun pulang. Katanya masih ada tentara Amerika disini?. Beliau mengatakan “Tentara Amerika disini ialah perwira Amerika saja sebagai instruktur untuk memberikan bantuan-bantuan keahlian militer, kerjasama militer bagi tentara-tentara Saudi”. Jadi 120 atau berapa angka-angka yang disebutkan Safar Al Hawali itu bagaimana (imbuh Ustadz Ja’far). Syaikh menjawab “Kau Lihat apa ada tentara Amerika di jalan-jalan?”. Jadi hanya di camp militer dan itupun tidak mencapai jumlah tersebut yaitu hanya terbatas perwira-perwira tentara Amerika yang ditugaskan sebagai instruktur untuk menggunakan alat-alat militer yang di impor dari Amerika.

Maka dari ini saya melihat memang luar biasa dahsyatnya gerakan untuk membikin pemalsuan informasi tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan tentang para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kalau saudara Imam Samudera mengatakan bahwa Syaikh Bin Baz dan para Ulama itu tidak mempunyai wawasan politik sehingga ditipu oleh Raja Fahd, maka ketika saudara Imam Samudera membangga-banggakan kondisi jihad di Afghanistan waktu menghadapi Uni Soviet, sesungguhnya keberangkatan dia Ke Afghanistan itu kalau dirunut asalnya adalah merupakan salah satu daripada jasa Syaikh Bin Baz Rahimahullah yang dikatakan oleh dia sebagai ulama Qa’idin yang tidak ikut perang.

Syaikh Bin Baz adalah ulama yang pertama yang melancarkan internasionalisasi jihad di Afghanistan melawan Uni Soviet, Syaikh menyatakan bahwa menolong kaum kaum Muslimin di Afghanistan adalah Jihad fii Sabilillah, maka berduyun-duyun seluruh kaum Muslimin berrangkat kesana pada waktu itu dan bantuan kaum Muslimin terutama dari negara-negara teluk yakni kaum Muslimin penduduk negara-negara teluk yaitu negara-negara Arab di sekitar teluk. Demikian besarnya ke Jihad Afghanistan adalah dengan fatwa dari Syaikh Bin Baz Rahimahullah.

Ketika Imam Samudera masih di alam arwah belum masuk kerahim ibunya, Syaikh Bin Baz ketika masih dalam usia 10 tahun sudah berjihad melawan kekuatan-kekuatan Inggris di Saudi, ketika kekutan Inggris mau menduduki Najd. Dan terjadi perlawanan kaum Muslimin disana Syaikh Bin Baz termasuk daripada yang melawan tentara Inggris itu, ketika Imam Samudera masih di alam arwah.

Jadi kemudian dalam pembahasan berikutnya yang saya lihat didalam buku ini dimana Imam Samudera membeberkan tentang apa yang diistilahkan dengan bom Syahid atau bom bunuh diri. Dia disini menggambarkan adanya perselisihan para ulama dan kemudian dia membikin kategori Ulama Ahlits Tsughuur dan ulama Al Qa’idin. Ulama Ahlis Tsughuur menurut dia ialah ulama yang ada di medan tempur, menyaksikan dan merasakan berbagai problema pertempuran di medan perang. Kemudian ulama Al Qai’diin yaitu ulama yang duduk-duduk saja, yang hanya membaca kitab-kitab fiqh. Dalam kategori kedua ini, Imam Samudera menggolongkan Syaikh Bin Baz dan para Ulama internasional yang bermanhaj salaf adalah termasuk kategori Ulama Al Qa’idin, yakni Ulama yang duduk-duduk saja yang tidak mengerti medan jihad yang sesungguhnya, karena hanya duduk-duduk saja. Sedangkan yang dikategorikan ulama Ahlits Tsughuur ialah dia sebutkan termasuk dari padanya ialah Syaikh Usamah Bin Ladn dan Syaikh Aiman Az Zawahiri, yang kedua-duanya bukan ulama. Usamah Bin Ladn sesungguhnya bukan ulama dan tidak mempunyai latar belakang keilmuan tentang Islam sama sekali, dan dia adalah seorang insinyur, termasuk Aiman Az Zawahiri adalah ahli kimia. Mereka bukan ulama Islam dan tidak mempunyai latar belakang keilmuan dalam hal syariah Islamiyyah, ini yang di kategorikan Imam Samudera sebagai Ulama Ahlits Tsughuur.

Kemudian Imam Samudera menukil omongan Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah, dia sebutkan bahwa Al Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah telah menyatakan: “Jika kalian menyaksikan manusia berselisih, maka hendaklah kalian mengikuti pendapat mujahidin dan Ahlits Tsughuur, karena sesungguhnya Allah berfirman Allah benar-benar memberi mereka hidayah Wal ladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subulana “dan mereka yang berjihad dijalan Kami maka mereka itu akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami”. Rupanya dari pembahasan Imam Samudera ini yang dikategorikan Ahli Tsughuur ialah semua mereka yang ada di medan jihad. Sedangkan persyaratan untuk merujuk kepada Ahlits Tsughuur didalam Islam ialah ilmu bukan terminologi. Ilmu tentang Al Kitab Was Sunnah ini persyaratan utama dan pertama untuk kita merujuk kepadanya didalam memahami Islam dan juga meskipun demikian ulama yang siapapun, dam setinggi apapun tidaklah akan bisa kemudian sejajar fatwanya itu dengan Al Qur'an dan Al Hadits, sama sekali tidak bisa, karena tidak termasuk dalil agama.

Keterangan ulama itu bukan dalil, yang dinamakan dalil hanya Al Qur’an Was Sunnah. Keterangan ulama hanya membantu kita memahami dalil, sehingga Imam Malik Rahimahullah menasehatkan kepada kita “Semua omongan siapapun bisa diambil dan bisa ditolak kecuali omongan orang ini sambil menunjuk kepada kuburan Rasulullah Shalallahu alaihi wa alihi wasallam”. Kecuali omongan penghuni kubur ini yaitu omongan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam. Kalau memang itu secara ilmiah dapat dipastikan sebagai omongan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam maka omongan itu tidak bisa ditolak.

Jadi kalau semua yang dimedan perang itu dikatakan ulama Ahlits Tsughuur dan menjadi rujukan didalam memutuskan halal dan haramnya sesuatu, ini adalah akan menjadi sumber kerancuan fitnah dalam agama. Sehingga timbul fatwa apa yang didistilahkan bom bunuh diri atau kemudian diistilahkan oleh moderator tadi bom isytisyhad; sesungguhnya ya setali tiga uang, hanya permainan kata saja untuk menghibur orang supaya tidak curiga dengan fatwa bom bunuh diri itu. Sesungguhnya ya bunuh diri juga, dimana dalam definisi Syari’ah bahwa bunuh diri itu ialah menceburkan diri didalam kematian dengan sengaja.

Maka semua orang boleh berkata apa saja yang dia mau, tetapi tanggung jawabnya di Yaumil Qiyamah nanti tentang fatwa-fatwa agama ini, sungguh dia akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan mereka yang cuma ikut-ikutan dalam beragama, sungguh mereka akan menyesal dalam hidupnya nanti di akhirat. Allah berfirman: “Jangan kamu ikut apa yang kamu tidak ada ilmu padanya karena sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan akal pikiranmu (itu adalah nikmat Allah) yang Allah akan mintai pertanggung jawabanya nanti di Yaumil Qiyamah”.

Jadi dalam perkara agama ini jangan main-main dan saya sedih melihat kenyataan ini dan kelihatanya saudara Imam Samudera ini sesungguhnya ingin bermanhaj atau merujuk kepada pemahaman Salafus Shalih yakni pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tapi sayang akibat emosi yang tidak didukung dengan ilmu maka menjerumuskan dia kepada berbagai penyimpangan-penyimpangan pemahaman yang demikian parah dan inilah sesungguhnya bukti bahwa dosa terbesar itu ialah ketika orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengan ilmunya atau orang yang beramal tetapi tidak didasarkan amalnya itu atas ilmu, wallahu a’lamu bis shawab.
 
Bls: Aku Melawan Teroris

1. Rasa takut muncul karena mengambil jalan kekerasan -- lihat saja bagaimana orang-orang bertengkar dan berkelahi! Tetapi akan kujelaskan padamu sekarang tentang kecemasan dan teror yang telah kurasakan. (935)

2. Melihat orang-orang meronta --bagaikan ikan yang menggelepar di air yang dangkal-- dengan rasa saling bermusuhan, aku menjadi takut. (936)

3. Pada suatu ketika, aku ingin mencari tempat untuk bernaung, tetapi tidak pernah kulihat tempat seperti itu. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang kokoh dasarnya, tak ada satu bagian pun darinya yang tidak berubah. (937)

4. Telah kulihat mereka semua berada di dalam perangkap konflik satu sama lain, dan itulah sebabnya aku merasa amat muak. Tetapi kemudian kulihat sesuatu yang terkubur di dalam hati mereka. Dan itu --kemudian kulihat-- adalah satu anak panah. (938)

5. Anak panah itulah yang membuat semua korbannya berlarian ke sana kemari. Tetapi bila panah itu telah dicabut keluar, semua lintang pukang pun berhenti. Demikian pula keletihan yang muncul bersamanya. (939)

6. Ada yang dapat kita pelajari dari hal ini: ikatan-ikatan dunia tidak seharusnya dikejar. Dengan tidak tertarik pada segala kesenangan indera, orang seharusnya melatih diri di dalam ketenangan [Nibbana]. (940)

7. Orang bijaksana harus jujur, tidak congkak, tidak menipu, tidak memfitnah dan tidak membenci. Dia seharusnya meninggalkan jahatnya keserakahan dan kekikiran. (941)

8. Untuk membuat pikiranmu terarah pada ketenangan, engkau harus menaklukkan kantuk, kelesuan dan kemalasan mental. Tidak ada tempat bagi kemalasan dan tidak ada jalan bagi kesombongan. (942)

9. Janganlah terpengaruh untuk mau berbohong, janganlah melekat pada bentuk. Engkau harus menembus semua kesombongan dan hidup tanpa kekerasan. (943)

10. Janganlah terhanyut oleh apa yang sudah lama, jangan merasa senang dengan apa yang baru. Janganlah menangisi apa yang hilang, janganlah dikendalikan oleh nafsu. (944)

11. Kusebut nafsu keinginan ini, keserakahan ini: banjir yang besar. Dan kusebut kerinduan ini kemelekatan, rintangan. Lumpur nafsu ini sulit diseberangi. (945)

12. Tetapi manusia bijaksana berdiri di atas tanah yang kokoh -- dia bagaikan brahmana, yang tidak pernah menyeleweng dari kebenaran, dan ketika dia telah sepenuhnya meninggalkan keduniawian, maka dia benar-benar tenang. (946)

13. Dia memiliki kebijaksanaan, dan pengetahuan yang lengkap, dia telah memahami Segala Sesuatu Sebagaimana Adanya. Dia sepenuhnya mandiri. Ketika berkelana secara sempurna dari satu tempat ke tempat lain, dia tidak memiliki iri hati terhadap siapa pun. (947)

14. Nafsu merupakan rantai, yang membelenggu dunia, dan sulit untuk dipatahkan. Namun begitu dipatahkan, tidak akan ada lagi ratap tangis dan kerinduan: arusnya telah terpotong dan tidak ada lagi rantai-rantai. (948)

15. Hendaknya tidak ada apa pun di belakangmu; sisihkan masa depan ke satu sisi. Jangan mencengkeram apa yang terletak di tengah; dengan demikian engkau akan menjadi kelana dan akan tenang. (949)

16. Jika orang sama sekali tidak mengidentifikasikan dirinya dengan batin dan materi, jika dia tidak meratapi apa yang tidak ada, maka dia tidak akan menderita karena kehilangan di dunia ini. (950)

17. Bila dia tidak berpikir, 'Ini milikku' atau 'Itu milik mereka', maka dia tidak mungkin berduka dengan pikiran 'Aku tidak punya', karena dia tidak memiliki egoisme. (951)

18. Jika engkau meminta aku menjelaskan tentang orang yang tidak tergoyahkan, kukatakan bahwa di mana tidak ada kekerasan, di mana tidak ada keserakahan, tidak ada jejak nafsu, dan jika dia tetap sama dalam segala keadaan, maka engkau peroleh apa yang dapat kusebut kondisi terpuji dari manusia yang tak tergoyahkan. (952)

19. Orang yang memiliki pemahaman, dan tanpa gejolak nafsu, tidak akan mengumpulkan --dia tidak memiliki pengondisian-- dia telah menghentikan segala usaha macam apa pun; jadi di mana pun juga dia melihat kedamaian dan kebahagiaan. (953)

20. Orang bijaksana tidak menilai dirinya yang tertinggi, terendah, atau pun orang biasa; karena tenang dan tidak egois, dia bebas dari kepemilikan: dia tidak mengukuhi apa pun dan dia tidak menolak apa pun. (954)


__________________

YO DHAMMAM DESESI ADIKALYANAM MAJJHEKALYANAM PARIYOSANAKALYANAM TI
 
Back
Top