Masalah Seputar Wudhu Bagi Muslimah

T-Rex

New member
Dalam kajian tanya jawab kali ini, kita akan membahas seputar masalah wudhu yang berkaitan dengan muslimah diantaranya membasuh kepala bagi muslimah yang rambutnya terikat, wudhu dengan memakai kerudung (biasanya sulit menemukan tempat wudhu yang tersembunyi dari keramaian orang-orang ketika bepergian), dan persentuhan muslimah dengan yang bukan mahramnya apakah ia termasuk dalam hal yang membatalkan wudhu, untuk masalah persentuhan ini biasanya terjadi secara tidak di sengaja dan sulit untuk dihindari ketika seorang muslimah berada dalam keramaian seperti ketika thawaf di ka'bah, shalat di masjid raya yang bersinggungan dengan orang banyak dan kondisi lainnya.
A. Membasuh Kepala Bagi Wanita yang Rambutnya Terikat

Bagi akhwat yang berambut panjang biasanya mengikat (mengepang) rambutnya dan ketika akan berwudhu ada sebagaian diantara muslimah yang membuka ikatannya padahal tidaklah mengapa membasuh (mengusap) kepala bagi rambutnya yang terikat hal ini berdasarkan Fatwa ulama kita yang mengatakan bahwa membasujh kepala dengan rambut yang terikat tidak mengapa dan dibolehkan, namun hendaknya dia tidak mengikatnya keatas (berbentuk konde) karena mereka (para ulama) khawatir bila hal ini termasuk dalam sabda Rasulllah :

''Dan, wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang berlenggok-lenggok, mereka tidak masuk surga dan mereka tidak mendapatkan baunya sementara baunya dapat tercium dari jarak begini dan begini''(HR. Muslim)

B. Hukum Mengusap Khimar (kerudung/jilbab)

Syaikh Utsaimin ditanya: Bolehkah wanita mengusap kain penutup kepalanya (semacam jilbab)?

Beliau menjawab : Pendapat yang terkenal dalam madzhab Imam Ahmad, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa wanita dibolehkan untuk mengusap kain penutup kepalanya jika kain tersebut menutupi hingga di bawah leheya, karena hal ini telah dilakukan oleh sebagian istri-istri para sahabat. Yang jelas, jika membuka penutup kepala itu menyulitkan, akrena udara yang amat dingin atau sulit untuk membukanya kemudian harus memasangnya lagi, maka toleransi dalam hal semacam ini adalah dibolehkan, jika tidak, maka yang lebih utama adalah membuka penutup kepala itu untuk mengusap rambutnya secara langsung.

(Fatwa waa rasaail, Ibnu Utsaimin, 4/171)

Hal senada juga diucapkan oleh Ibnu Mundzir dalam kitabnya AL-Mughni 1/132 : Adapun kain penutup kepala perempuan (kerudung) maka boleh mengusapnya karena Ummu Salamah sering mengusap kerudungnya. {Sifat Wudhu Nabi,hal. 48)

Jadi buat muslimah yang bepergian dan ingin berwudhu ditempat keramaian maka tidaklah mengapa ia membasuh /mengusap kerudungnya karena dikhawatirkan apabila ia melepas kerudungnya maka auratnya akan terlihat.

C. Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu

Wajib bagi ukhti semua untuk mengetahui apa saja yang bisa membatalkan wudhu agar ketika shalat kondisinya dalam keadaan suci sehingga memenuhi syarat sahnya shalat. Inilah hal-hal yang termasuk membatalkan wudhu.

Pertama, Apa Yang Keluar dari kemaluan dan dubur

maka segala sesuatu yang keluar dari dua jalan ini membatalkan wudhu, baik berupa air kencing,kotoran, madzi, mani dan buang angin(kentut). Namun, jika air mani itu keluar disertai syahwat maka sebagaimana diketahui, diwajibkan untuk mandi, jika yang keluar adalah madzi maka diwaiibkan untuk mencuci kemaluan lalu berwudhu.

Kedua, Tidur yang lama

Dimana orang yang tidur tidak merasakan apa-apa bila ia berhadats (buang angin misalnya).Adapun jika tidur tersebut dalam waktu singkat dimana orang tidur dapat merasakan sendiri apabila ia berhadats maka tidur semacam ini tidaklah membatalkan wudhu dan tidak ada perbedaan antara tidur dalam keadaan terlentang atau duduk bersandar yang penting adalah kehadiran hati, jika ia dapat merasakan hadats yang terjadi (pada saat tidur) maka ini tidaklah membatalkan wudhunya. Sebaliknya bila kondisi tidur tersebut menyebabkan orang yang tidur tidak dapat merasakan sendirinkeluaya hadats maka (kondisi) tidur seperti ini mewajibkannya untuk berwudhu.Hal itu disebabkan karena tidur itu sendiri bukanlah suatu hal yang membatalkan, ia tidak lebih merupakan kondisi yang sangat memungkinkan terjadinya hadats. Maka apabila hadats itu tiada dan bila orang yang tidur dapat merasakannya jika terjadi maka tidur tidaklah membatalkan wudhu.

Ketiga, Menyentuh kemaluan

Jika seorang sengaja menyentuh kemaluannya dengan telapak tangannya tanpa ada hijab yang menghalanginya maka ia diwajibkan untuk berwudhu kembali. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda: ''Barangsiapa yang dengan sengaja menyentuh kemaluannya maka ia hendaklah berwudhu kembali'' (HR. Al-Hakim) dan sabda Beliau lagi dari Bushrah bin Safwan radhiyallhu anhu :

''Barangsiapa telah menyentuh dzakaya dengan sengaja maka hendaklah ia tidak mengerjakan shalat sehingga berwudhu kembali'' (HR.Imam yang lima dan di shahihkan oleh Imam Tirmidzi)

Tambahan:

Diantara ibu kita (para ummahat) ada yang ketika mengganti pakaian anaknya tanpa sengaja menyentuh kemaluan sianak, apabila itu terjadi maka batallah wudhunya.Hal ini telah dijelaskan oleh Lajnah Da'imah tentang hukum menyentuh kemaluan anak kecil.Bahwa menyentuh aurat (kemaluan) tanpa pelapis adalah membatalkan wudhu, baik yang disentuh orang besar maupun anak kecil, yang didasarkan kepada sabda Nabi shalallahu alaihi wassalam: ''Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah wudhu''. Kemaluan orang lain yang disentuh sama dengan kemaluannya sendiri.(Fatwa lajnah Da'imah, 5/265 lihat 101 kekeliruan dalam Thaharah)

Keempat, Memakan Daging Onta

Jika seseorang memakan daging onta maka wudhunya batal, sebab telah diriwayatkan secara shahih dalam hadits Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah pernah ditanya, ''Apakah kami harus berwudhu dari daging kambing?'' Beliau menjawab,''JIka engkau mau''. Lalu beliau ditanya lagi,''Apakah kami harus berwudhu dari daging unta?'' Beliau menjawab, ''Ya''.(HR. Muslim).

Dari hadits diatas dapat difahami bagaimana rasulullah menjadikan wudhu setelah memakan daging kambing kembali pada keinginan seseorang, dan ini merupakan dalil bahwa berwudhu setelah makan daging unta tidak bergantung pada keinginan seseorang karena ia adalah sesuatu yang wajib. Berdasarkan hal ini maka apabila seseorang memakan daging unta tidak ada perbedaan antara daging berwaa merah dengan yang tidak berwaa merah, sehingga seluruh bagian daging unta yang dimakan dapat membatalkan wudhu.



D.Apakah menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu?

pendapat yang shahih adalah bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak, kecuali apabila disertai syahwat.Adapun dalil terhadap masalah ini adalah apa yang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah bahwa beliau pernah mencium sebagian istri-istri beliau lalu keluar untuk mengerjakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.

Juga bahwa pada dasaya segala sesuatu tidaklah membatalkan wudhu hingga terdapat dalil yang shahih dan jelas yang menunjukkan bahwa ia membatalkan.Disamping itu seseorang yang telah menyempuakan thaharahnya sesuai dengan dalil syar'i tidak bisa dihapus begitu saja kecuali dengan dalil syar'i pula.

Jika dikatakan bahwa Allah berfirman:''.....atau jika kalian menyentuh wanita..''(An-Nisa:43)

Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah jima' sebagaimana pendapat Ibnu Abbas yang diriwayatkan secara shahih. Disampin itu, dalil lain yang menunjukkan pendapat ini adalah adanya pembagian dalam ayat tersebut: pembagian thaharah bersuci menjadi thaharah ashliyyah (asal/pokok) dan badaliyah (pengganti), penggantian thaharah menjadi kubra (besar) dan sughra (kecil) serta pembagian hal-hal yang mewajibkan bersuci menjadi sugra (besar) dan sughra (kecil).

Allah Berfirman:''...Jika kalian dalam keadaan junub maka bersucilah...''

ini menunjukkan thaharah ashliyyah (bersuci yang pokok dan besar)

Allah berfirman:

''Dan jika kalian dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang dari kalian selesai menunaikan hajatnya atau kalian menyentuh wanita, lalu kalian tidak mendapatkan air maka hendaklah kalian bertayamum''

Firman Allah:''Bertayamumlah'' menunjukkan sebagai pengganti. Kemudian firman Allah:''Atau jika salah seorang dari kalian selesai hajatnya'' menjelaskan sebab sughra(kecil) yang mewajibkan untuk bersuci.Seandainya kita menafsirkan ''persentuhan'' dalam ayat ini dengan ''persentuhan dengan tangan'' maka berarti dalam ayat tersebut Allah telah menyebutkan dua sebab sughra(kecil) dalam bersuci dan tidak menyinggung sebab kubra(besar) dalam bersuci padahal ALlah telah menyebutkan: ''Dan jika kalian dalam keadaan junub maka bersucilah kalian'' dan hal ini telah menyelisihi manhaj balaghal qur'aniyyah.

Dengan demikian, maka penafsirang yang benar terhadap ayat ''atau jika kalian menyentuh wanita'' agar ayat tersebut kemudian mencakup mencakup dua sebab yang mewajibkan untuk bersuci, sebab kubra dan sebab sughra, juga menyebutkan thaharah yang sughra-- berupa membasuh keempat anggota tubuh-- dan thaharah yang kubra-- berupa membasuh seluruh anggota badan-- serta menyebutkan thaharah pengganti yaitu tayammum yang digunakan pada dua anggota tubuh (tangan dan wajah) karena thaharah kubra dan sughra memiliki persamaan dalam hal tersebut.

Berdasarkan hal ini maka pendapat yang kuat adalah : Bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak, kecuali (persentuhan itu) menyebabkan keluaya sesuatu. Jika yang keluar berupa air mani maka ia diwajibkan untuk mandi, dan jika yang keluar adalah madzi maka ia diwajibkan mencuci kemaluannya dan berwudhu.(1)

Begitu pula dengan Syaikh Muhammad bin Utsaimin beliau menfatwakan sama dengan diatas, beliau berkata:

''Menurut pendapat yang lebih kuat, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan disertai syahwat maupun tidak, kecuali jika ada mani yang keluar darinya. Jika ada air mani yang keluar, maka dia wajib mandi. Namun, jika yang keluar madzi maka dia harus membersihkan kemaluannya lalu wudhu'' (2)

Sekarang kita lanjutkan dengan batalkah wudhunya seseorang yang tanpa sengaja bersentuhan dengan orang yang bukan mahramnya. Misalnya seorang laki-laki tanpa sengaja bersentuhan dengan wanita asing, atau mungkin anda, ukhti muslimah bersentuhan dengan laki-laki lain yang bukan mahram anda. Hal ini biasanya sering terjadi ketika kita thawaf (dimasjidil haram) yang memang kondisinya selalu penuh sesak dengan manusia atau pun shalat di dua masjid tersebut, Masjidil haram dan masjid Nabawy (di Madinah) sehingga terkadang benar-benar sulit untuk menghindari ''persentuhan' itu. Maka marilah kita simak jawaban Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta tentang permasalahan ini.

Pertanyaan:

Batalkah wudhu karena berjabatan tangan dengan wanita asing, sementara telah diketahui bahwa perbuatan ini adalah haram? dan dalam kitab-kitab fiqh kami menemukan beberapa hadits yang menyatakan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu.dan ungkapan itu bersifat umum?

Jawaban:

Yang benar menurut pendapat para ulama adalah bahwa menyentuh wanita atau berjabat tangan dengan wanita tidaklah membatalkan wudhu, baik wnaita itu orang asing atau istri atau mahram, karena pada dasaya seorang pria itu tetap dalam keadaan berwudhu (suci) hingga terdapat dalil syar'i yang menetapkan bahwa wudhu itu batal, sementara tidak ada dalam hadits shahih yang menyatakan bahwa menyentuh wnaita asing membatalkan wudhu. Sedangkan kata menyentuh dalam firman Allah:

''Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak menegrjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang dari kalian selesai menunaikan hajatnya atau kalian menyentuh wanita, lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan itu''(Al-Maidah ayat 6)

Bahwa yang dimaksud dengan menyentuh diatas adalah bersetubuh, demikian pendapat yang benar diantara pendapat para ulama.



Sumber:

1.Fatwa-fatwa Muslimah, Oleh Masyayikh,darul Falah, bab Wudhu dan hal yang membatalkannya, hal:135- 136,Jakarta, 2001.

2. Fatwa-fatwa Tentang Wanita, darul Haq, Jakarta, 2001.

3. Fiqh wanita, Syaikh Kamil Uwaidah, Pustaka Al-Kautsar,Jakarta,1999.

4. 101 Kekeliruan dalam Thaharah, Sulaiman Isa, Pustaka Al-Kautsar,Jakarta,2000.

5. Sifat Wudhu Nabi, Fahd Syuwayyib, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,2001.
 
Back
Top