Ribut RUU Perfilman..

Kalina

Moderator
Beberapa beritanya..
dan aku pribadi tak tau mau berkomentar apa..

89640large.jpg


[ Rabu, 09 September 2009 ]
UU Perfilman Disahkan DPR, Insan Film Berduka
JAKARTA - Deretan karangan bunga dari hampir seluruh rumah produksi film di Indonesia menghiasi halaman depan gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) kemarin sore (8/9). Seluruhnya bertulisan duka cita atas disahkannya Undang-Undang (UU) Perfilman yang dilakukan oleh DPR.

Di dalam gedung, para insan film kompak berkumpul. Ada produser, sutradara, kamerawan, kru, dan sejumlah artis. Di antara mereka, tampak pasangan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen, Fauzi Baadilla, Andi Soraya, serta Camelia Malik.

Mereka sepakat menganggap UU itu sangat merugikan insan film. Mereka merasa UU tersebut justru akan mematikan perfilman nasional yang mulai tumbuh, mematikan kreativitas, dan lebih banyak mengatur mengenai tata niaga perfilman.

"Kami tidak menolak undang-undangnya. Kami hanya menolak pengesahannya yang terburu buru," tegas sutradara kawakan Slamet Rahardjo.

Ketua Pengusaha Produser Film Indonesia (PPFI) Ram Punjabi mengatakan masih sulit percaya bahwa perbaikan UU No 8/1992 tentang Perfilman itu telah disahkan. "Yang terpukul dari pengesahan UU Film ini memang seluruh sineas. Tapi, yang paling terpukul adalah produser film. Sebab, mereka harus sering lapor," ujarnya.

Dalam dua hari ini, lanjut Ram, pihaknya akan mengadakan rapat kilat untuk menentukan sikap tegas penolakan terhadap UU tersebut. "Mungkin, minggu depan sudah ada satu sikap yang jelas," ucapnya.

Deddy Mizwar bahkan menganggap pengesahan UU Perfilman sebagai bentuk pelecehan negara terhadap warganya, khususnya masyarakat film. "Masa kami terima dilecehkan? Kalaupun kami terima pengesahan UU ini, kami akan mengabaikan atau malah melanggarnya. Artinya, kami jadi orang munafik. Neraka di depan mata," ujar pembuat film Kiamat Sudah Dekat tersebut.

Menurut Deddy, UU Perfilman kali ini disahkan dengan tidak memakai akal sehat. "Politiskah? Untuk kepentingan bisniskah? Yang jelas, ini bukan untuk kepentingan film Indonesia," tuturnya.

Riri Riza, sutradara film Laskar Pelangi, secara tegas menolak pengesahan UU tersebut. Sejak pukul 09.00 kemarin, Riri menanti di gedung DPR. Sidang di gedung tersebut dimulai pada 14.30. "Mereka (pemerintah) mungkin punya imajinasi tentang sistem kuota. Tapi, secara praktis, mereka sama sekali tidak memahami. Bahkan, saat ditanya lebih detail, ketua perumus rancangan UU Perfilman saja tidak bisa menjawab," keluhnya.

Hal senada dikatakan oleh produser film Mira Lesmana. Mira juga menyesalkan sikap Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang mendukung dipercepatnya pengesahan UU tersebut. "Menurut saya, menteri kita yang penuh senyum itu tidak kompeten menjadi menteri. Saya berani berdebat dengan dia. Dia pasti tidak punya visi," tantang Mira.

Mira menyatakan sangat prihatin kepada komisi X DPR. Sebab, delapan di antara sembilan fraksi yang ada menyetujui pengesahan rancangan undang-undang yang jelas membelenggu kebebasan berkreasi lewat film.


89793large.jpg


[ Kamis, 10 September 2009 ]
Ketua Parfi Setuju Dengan UU Film Baru Pengganti UU 8 / 1992
Banyak Usul yang Diterima

JAKARTA - Ketika hampir seluruh sineas kompak menolak Undang-Undang (UU) Perfilman yang baru, Yenny Rachman, aktris senior sekaligus ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) justru bersikap sebaliknya. Dia mengaku setuju dengan UU pengganti UU 8 / 1992 tersebut.

Yenny berpikir, dengan UU Perfilman yang baru masyarakat film seharusnya bersyukur. Sebab, katanya, ada pasal-pasal yang mengatur detail kepentingan artis dan produksi film. "Seharusnya bersyukur karena kita akan memperoleh payung atau perlindungan hukum. Kan lucu kalau kita menolak," ujarnya saat ditemui di kantornya, Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail lantai 4, Selasa malam (8/9).

Menurut Yenny, jika pada UU sebelumnya tidak ada pasal yang menyebut artis mendapat perlindungan atau jaminan sosial atau asuransi saat melakukan adegan berbahaya, di draf baru hal itu diatur. Peraturan itu ada pada pasal 21 meskipun tidak detail.

Kalaupun ada keinginan yang belum terpenuhi, menurut Yenny, sebaiknya diperjuangkan dengan cara elegan. Misalnya, memberikan pernyataan tertulis.

Bukankah hal itu sudah dilakukan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dan sejumlah sineas secara perorangan? "Ya, itu yang jadi pertanyaan saya juga. Mengapa usul mereka banyak ditolak. Kalau draf dari Parfi banyak yang diterima kok dalam UU itu," jawab perempuan kelahiran 18 Januari 1959 itu.

Yenny menyebut usul atas nama Parfi yang diterima DPR dan dimuat pada UU Perfilman yang disahkan Selasa (8/9) itu antara lain pasal 21. "Dulu sama sekali tidak ada," ujarnya.

Lebih lanjut Yenny menegaskan, pihaknya sangat mendukung UU Perfilman baru dan mengubur yang lama. "Saya tidak berusaha menjadi opoisisi. Saya juga tidak memihak BP2N, pemerintah, tapi pada kebenaran untuk memperoleh perlindungan hukum," ujarnya.

Yenny curiga, jangan-jangan pihak yang menolak UU Perfilman itu adalah mereka yang memonopoli bisnis perfilman dan merasa bisnisnya terancam. "Ya, kita intospeksi diri sendiri saja. Alhamdulillah kali ini usul kita diterima oleh DPR. Jadi, terwakili di UU baru ini," ulasnya, penuh keyakinan.

Bagaimana nasib pembuat film independen yang minim biaya jika setiap membuat film harus melapor, harus berbadan hukum, sementara untuk mencapai proses itu mahal harganya? "Ya, berbaur dong dengan yang berbadan hukum," jawabnya. Jika ditolak? "Masih banyak cara," imbuhnya.

Terkait pasal 6 yang oleh sebagian besar sineas sangat memberatkan, bagi Yenny justru harus diambil sisi positifnya. "Jangan merasa suuzon dulu, seolah-olah kita dicurigai sebagai orang jahat. Nah, kalau pelanggaran pasal 6 itu terjadi, siapa yang bertanggung jawab? Tapi, kalau soal pornografi, batasannya memang belum jelas. Kita punya undang-undang saja masih dilanggar, apalagi kalau tidak punya," ucapnya.

dua berita dari dua sisi.. yang setuju dan gak setuju..
jujur, aku gak tau mau bela film atau pak mentri..
mau bela film.. tau sendiri kan, film indo gimana? (gak pantas dibela)
mau bela pak mentri.. mentri na der saderen!!
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

isinya lemper say...


film indonesia yang sekarang banyak yang gak bermutu.. lebih banyak kepada unsur pengekploitasian wanita ataupun berbau mistik.. dengan harapan film itu bakal laku di pasaran.. so what could i say???

gw mah netral aja..

di tv juga banyak film2 sinetron ataupun reality show yang kesannya membodohi masyarakat.,... pemerintah kok adem ayem jhuga?
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

Itu dia, isinya gak bisa dicopy ke sini. Besok coba gue ketik manual aja. Tapi, bagi yang berlangganan Jawa Pos, ada di edisi kemarin, di rubrik show and selebriti.

Aku setuju sama redbastard
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

Udah baca,tapi gak begitu paham. Film dalam negri memang jarang yg mendidik,kebanyakan diproduksi yg laku dipasaran aja. Lagi laku horror,produksi horror melulu.
 
Last edited:
Bls: Ribut RUU Perfilman..

seperti biasa, hanya yang bekepentingan yang tau isinya

buat undang2 ga pernah dibuka ke public
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

Aku prihatin sama kondisi film indonesia. Kalau sinetronnya.. musiknya.. Udah bosen yang mau prihatin. Dikritik malah masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Leo Tukang Santet dari SinemaPlagiatArt dan D'Masㄣㄧㄒ
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

ini mengekang kbebasan berekspesi, pd salah satu draftnya stiap film diharuskan meng-copy +/- 180 copy, dg estimasi biaya 11 juta / copy, maka biaya 'hnya' untuk copy sudah skitar 2 milyar.. maka hny film2 dg budget besar saja yg mampu brtahan dan berproduksi, smentara film dg budget besar blm tentu bagus. Jayalah negeri ini..
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

maaf ya.. isinya belum ketemu juga. tapi, aku dah dapat beberapa berita, yang mungkin bisa mewakili garis besar isi RUU itu..

Kamis, 27 Agustus 2009 , 14:36:00
RUU Perfilman Ancam Industri Film

JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perfilman membuat para pengusaha gedung bioskop was-was. Adanya sanksi pidana yang diatur dalam RUU Perfilman dikhawatirkan akan membuat para pelaku industri film surut langkah.

Hal itu terungkap dalam, pertemuan antara Ketua DPR RI Agung Laksono dengan Gabungan Perusahaa Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) di gedung DPR RI, Kamis (27/8). Dalam pertemuan itu, Ketua Umum GPBSI, Djonny Syafruddin, meminta pengesahan RUU Perfilman ditunda.

Menurut Djonny, pembahasan RUU Perfilman ternyata tidak melibatkan masyarakat perfilman. "Kalau RUU Perfilman tetap dipaksakan untuk disahkan, kami khawatir itu akan kontraproduktif terhadap kondisi perfilman di Indonesia," ujar Djonny.

Lebih lanjut Djonny menilai draf RUU Perfilman masih memuat banyak kekurangan yang membuat pelaku industri film khawatir. Dipaparkannya, industri film nasional yang kian subur dikhawatirkan akan surut lagi jika RUU Perfilman disahkan.

"Pembahasan RUU Perfilman sangat tergesa-gesa dan kami para stakeholder yang berkepentingan tidak dilibatkan secara intens. Substansi pasal-pasal tidak proporsional dan diskriminatif terhadap para pelaku usaha dunia perfilman,” kata Djonny.

Bahkan, adanya ancaman denda dan pidana yang sangat berat membuat rasa takut. ”Jadi RUU ini kontraproduktif dan bisa menyebabkan dunia film nasional stagnan atau bahkan mengalami kemunduran,” ulasnya.

Menanggapi keluhan tersebut, Ketua DPR RI Agung Laksono menegaskan bahwa para pelaku perfilman perlu menunjukkan hal-hal yang dianggap merugikan, terutama terkait redaksional maupun susbtansi RUU. “Silahkan kalau ada substansi atau redaksional RUU diserahkan ke Pansus," ujar Agung yang dalam kesempatan itu didampingi Ketua Pansus RUU Perfilman Abdul Hamid Wahid.

Namun menurut Agung, RUU Perfilman memang sudah masuk dalam rogram LegislasiNasional yang harus segera disahkan oleh DPR periode 2004-2009. "DPR tidak kejar tayang, tapi sesuai Prolegnas sebelum masa bhakti DPR sekarang harus selesai RUU Perfilman ini,” tandas Agung.

Sedangkan Ketua Pansus RUU Perfilman Abdul Hamid Wahid menyatakan, proses pembahasan RUU Perfilman masih berjalan. "Karena masih kita bahas, masukan dari GPBSI dan masyarakat perfilman akan kami dimasukkan dalam rumusan draft RUU. Pasal mana yg perlu diperbaiki dan akan didialogkan,” kata Wahid.

Selasa, 08 September 2009 , 17:32:00
Menbudpar: UU Perfilman Tak Kebiri Kreativitas

JAKARTA - Meski Fraksi PDIP menyatakan abstain, RUU Perfilman akhirnya tetap disahkan menjadi undang-undang. Ini setelah sembilan fraksi menyatakan setuju jika RUU ini perlu segera diundangkan.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, dalam sambutannya di hadapan anggota rapat paripurna mengatakan, keinginan pemerintah membuat RUU tentang perfilman semata-mata adalah ingin meningkatkan kuantitas dan kualitas film Indonesia. Dipaparkannya, jika sebelumnya hanya tiga film dalam setahun, kini dalam empat tahun terakhir sudah ada 87 film per tahun.

"Malah untuk 2009 mencapai 97 film. Bukan hanya jumlah yang kita genjot, mutunya juga harus makin baik," ungkap Jero di ruang rapat paripurna DPR RI, Selasa (8/9).

Semangat menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri, juga disebutkan merupakan amanat dalam UU Perfilman. Bahkan kata Jero Wacik, Indonesia harus mengekspor film-film terbaiknya ke luar negeri. "Itu sudah kita lakukan dan akan terus digenjot," ucapnya.

Soal ketidakpuasan para sineas film, menurut Jero, itu merupakan wana kehidupan. Baginya, RUU tersebut sudah mencakup keseluruhan masalah perfilman di Indonesia. Dia pun membantah jika RUU Perfilman bakal mengkebiri kreativitas sineas film, sebab justru katanya, pemerintah mendorong kreasi para sineas film.

"Dalam Pasal 5, jelas skali kalau kreativitas sineas tidak dibatasi. Hanya saja dalam Pasal 6, diatur bahwa film yang dibuat dilarang menistakan atau melecehkan agama. Ini justru menguntungkan para sineas, karena sudah ada rambunya sebelum membuat film," tuturnya.

Selasa, 08 September 2009 , 16:49:00
PDIP Abstain soal RUU Perfilman

JAKARTA - Merasa masih banyak pasal yang belum dibahas tuntas dalam RUU Perfilman, Fraksi PDIP menyatakan abstain. Dalam penyampaian pendapat fraksi, Jubir F-PDIP Dedi Sutomo mengatakan bahwa pembahasan materi RUU Perfilman itu belum tuntas. Kalau akhirnya akan disahkan menurutnya, akan terlalu buru-buru.

"Masih banyak aspirasi yang harus ditampung Fraksi PDIP. Kenapa kita langsung mengambil keputusan, sementara belum mendengarkan semua masukan dari para pelaku perfilman," ujar Dedi, yang disambut oleh aplaus dari para sineas film.

Dijelaskan Dedi, dalam RUU Perfilman tersebut, antara lain diatur masalah anti-monopoli dalam usaha perfilman. Demikian juga dengan masuknya peran pemerintah daerah dalam hal pemberian penghargaan bagi film berkualitas.

"Namun pengesahan RUU ini terlalu cepat. Mengapa tidak menunda dulu sampai pembahasan semua pasalnya tuntas. Jangan karena masa tugas akan berakhir, kita main 'sah-sah'-an saja dan mengorbankan industri perfilman. Itu sebabnya, Fraksi PDIP dengan ini berpendapat (untuk) tidak memberikan pendapat," tegas Dedi, yang lagi-lagi disambut riuh oleh para sineas film yang berpakaian hitam-hitam.

wow.. hebat ya..
RUU pun disinggung di partai politik.. hmm..

sumber: JPNN.com
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

Jangan copy link, dong. Langsung beritanya. Maaf ya, aku edit post mu
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

salah satu undang2nya tentang persetujuan pejabat daerah mengenaoi film yg bakal diproduksi, jadi kalo si pejabat gak setuju ya,,,gak bisa diproduksi hal ini dikhawatirkan bakal jadi boomerang karena kalo si pejabat gak suka skenarionya (apalagi yg temanya kritik sosial yg neyinggung pemarentah ato pejabat terkait) bisa2 tuh film gak jadi syuting.
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

Pejabat takut, noda hitamnya terbongkar lewat film.. Selama ini kita tau kan, film-film di seluruh dunia, mo bikin film kayak apa pun, pemerintahnya enjoy aja tuh. Bahkan, di Cina, Jepang, dan Korea. Trus film-film tentang Hitler yang kejam.. Haha very well. Kecuali kalo film yang menyangkut budaya yang ada sengketa-sengketanya. Mereka cukup izin sama pihak terkait, dan dengan syarat yang ditentukan, misal jangan menyebut identitas asli. Jadi dah, filmnya.. Laku di pasaran dunia, masuk box office, dan dapat Oscar deh.

Heran ya.. Kenapa Indonesia gak mau kayak gitu?
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

Karena film bokep itu industrinya gelap, dan dijual secara ilegal..
Kalo berurusan sama yang gelap-gelap, bener-bener perang, deh
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

jelas karena masyarakat kita masih 'kolot' hal2 seperti membicarakan keburukan orang dianggap 'saru' padahal gak semua harus disembunyikan/ditutupi justru sekarang saatnya untuk jujur.belum lagi lembaga keagamaan yg sering 'ikut campur' padahal belum tentu resensi yg mereka terima sama dengan adegan yg tertuang dalam film tersebut (ingat perempuan berkalung sorban?) akayaknya negara kita balik ke jaman orde baru nih, banyak UU yg gak penting yg cuma berguna untuk sebagian orang (pemerintah).
 
Bls: Ribut RUU Perfilman..

Ya. Film Perempuan Berlakung Sorban. Cerita film itu walau banyak adegan kekerasan, tapi.. memang benar-benar ada hal kayak gitu di beberapa pesantren.

Aku pernah mengalaminya. Saat kreatifitas kita terbentur dengan aturan pesantren. (novelku dibakar..)
 
Back
Top