Pahala Kaum Hawa di Akhirat

T-Rex

New member
Sufyan Ats-Tsaury memberi nasehat kepada seorang pemuda ahli ibadah: ''Wahai pemuda, ambillah sesuatu dari dunia untuk badanmu dalam hal yang memang engkau harus mengambilnya, dan ambillah akhiratmu untuk hatimu.'' Yakni sibukkanlah dirimu mengingat akhirat. Betapa mudahnya konsep Islam dan betapa adil perlakuannya. Sesungguhnya seorang mukmin mengambil kenikmatan dunia sekedar mencukupi kebutuhannya yang mendesak, menyibukkan hatinya untuk memikirkan tempatnya di akhirat, melihat kehidupan hakikinya di negeri abadi dan tiada menyibukkan hatinya dengan harapan-harapan dunia dan rakus terhadapnya, karena dia tahu bahwa dunia adalah fana dan akan sirna.

Sufyan Ats-Tsaury memberi nasehat kepada seorang pemuda ahli ibadah: ''Wahai pemuda, ambillah sesuatu dari dunia untuk badanmu dalam hal yang memang engkau harus mengambilnya, dan ambillah akhiratmu untuk hatimu.'' Yakni sibukkanlah dirimu mengingat akhirat. Betapa mudahnya konsep Islam dan betapa adil perlakuannya. Sesungguhnya seorang mukmin mengambil kenikmatan dunia sekedar mencukupi kebutuhannya yang mendesak, menyibukkan hatinya untuk memikirkan tempatnya di akhirat, melihat kehidupan hakikinya di negeri abadi dan tiada menyibukkan hatinya dengan harapan-harapan dunia dan rakus terhadapnya, karena dia tahu bahwa dunia adalah fana dan akan sirna.

Namun ternyata kebanyakan manusia justru lebih mengutamakan dunianya dan lupa akan akhiratnya, sebagaimana yang difirmankan Robbul 'alamin:

''Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.'' (Al-A'la: 16-17)

Ada pula segelintir manusia yang tenggelam dalam memikirkan akhirat belaka, zuhud terhadap dunia, berpaling dari dunia secara total hingga tidak mau bekerja dan meninggalkan urusannya. Kedua kelompok ini sama-sama jauh dari manhaj pertengahan yang diserukan oleh Islam. Dari sini maka harus senantiasa diingatkan tentang bahaya ghuluw baik dalam memandang aspek dunia ataupun aspek akhirat, karena wasathiyah adalah ciri khas Islam, sebagaimana difirmankan Allah:

''Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari dunia.'' (Al-Qashash: 77)

Adapun ajaran yang dianggap zuhud namun ekstrim hanyalah warisan para pengikut tasawuf yang radikal, jauh dari manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.

Pada abad ketiga hijriyah, muncul Muhammad bin As-Sammak, penasehat terkenal pada masa Harun Ar-Rasyid yang mewarisi Dawud bin Nushair Ath-Tha'i yang tingkat kezuhudannya sampai pada menjauhi kehidupan dunia, bersikap keras dalam meperlakukan dirinya sendiri. Penasehat tersebut mengucapkan pujiannya: ''Wahai Dawud, anda telah memenjarakan diri di rumahmu seorang diri, tiada yang anda ajak bicara dan duduk bersamamu. Aku tidak tahu manakah dua perkara yang lebih berat bagi anda? Apakah menyendiri di rumah hingga bertahun-tahun dan berbulan-bulan, ataukah meninggalkan makan dan minum, anda tidak minum dan merasakan kesegarannya? Tidak ada pintu di rumahmu, tidak ada tempat tidur di bawahmu, tidak tersedia sedikitpun air dingin di dalamnya dan tidak ada sesuap makanpun untuk dimakan tatkala pagi dan petang. Apakah anda tidak menyukai air yang sejuk, makanan yang enak dan baju yang halus? Benar, sebenarnya anda menyukainya, akan tetapi anda berzuhud terhadapnya karena seruan yang dihadapanmu dan engkau mengharapkannya. Kita mungkin heran dengan kekuatan iradahnya dan tingkat kezuhudannya, akan tetapi kita tidak mempraktekkan kekerasan tersebut terhadap diri kita sendiri, karena hal itu termasuk melewati batas dalam menghindari dunia dan meninggalkan kenikmatan yang baik-baik, hingga tidak mau dengan air yang sejuk atau tempat tidur yang nyaman. Akan tetapi yang dilakukan oleh orang yang tawasuth, maka dia akan mengambil dunia bagi badannya dan mengambil akhirat bagi hatinya.

Itulah yang dipahami Islam dan konsep yang diajarkannya, yang memberikan kelapangan bagi manusia dan tidak mempersempit sesuatu yang longgar. Itulah timbangan yang teliti, membutuhkan keluasan pemahaman, kepekaan bashirah serta kekuatan iradah dan istiqomah di jalan yang benar.



Dinukil dari kitab Potret Kehidupan Para Salaf, Dr. Musthafa Abdul Wahid, Terbitan Pustakan At Tibyan Solo (Judul Asli: Haakadaa.. Tahaddatsas Salaf)
 
Back
Top