Cerpen : AKU dan SI BISU

niens

New member
AKU dan SI BISU
Bosan aku di rumah,. Setiap hari hari harus mendengar omelan ibu, rengekkan adik perempuanku. Masalah sebenarnya sepele saja, bersih-bersih rumah. Sedangkan aku tidak mau meninggalkan kegiatanku hanya untuk rutinitas rumah yang sepele itu, yang ujung-ujungnya bisa membuat omelan ibu bertambah panjang. Kalau sudah begitu, aku langsung bersumpah dalam hati, besok kalau aku sudah berkeluarga, aku akan memanggil pembantu saja untuk mengurusi semua tetek bengek urusan pekerjaan rumahku. Aku benar-benar dongkol dan trauma karna omelan ibu. Apakah para ibu, selalu mengomel seperti itu. Tuhan selamatkan aku dari rumah yang hampir kiamat ini.
“Bang, es tehnya satu!” teriakku pada penjual es yang ada di depan sekolahku. Enak banget si Lina itu ya, tiap hari diantar pakek mobil, ber-AC lagi, seandainya aku punya mobil seperti dia, pasti sekarang gak bakalan terpanggang panas matahari seperti ini. Ya, sesuatu yang aku impi-impikan setiap hari. Sebenarnya aku punya motor di rumah, tapi ibu melarangku membawanya, alasannya aku belum cukup gede lah, takut bahayanya. Apakah setiap ibu juga selalu kuatir berlebihan seperti itu? Hah,.. menjengkelkan.
Aku duduk sambil menyeruput es tehku yang semakin nikmat saja. Wah enak sekali. Sangat sejuk ditenggorokanku yang sudah kering kerontang. Sesekali aku membalas lambaian teman-temanku yang sedang mengayuh sepedanya. Kalau saja rumahku dekat dengan sekolah, aku juga mau mengayuh sepeda seperti itu. Tapi sayangnya rumahku terlalu jauh, jadi aku harus menunggu angkot yang jurusannya searah dengan rumahku.
Angkot jurusanku sudah datang, dengan tergesa-gesa aku membayar es tehku, dan segera berlari sekencang-kencangnya, agar aku mendapat bangku kosong yang nyaman. Aku lihat sudah ada 3 penumpang di dalam angkot. Di depan sebelah pak sopir satu, dekat jendela belakang satu, dan di saebelahku, di dekat pintu, satu. Seorang gadis seumuranku, tapi anehnya dia tidak berseragam sekolah sepertiku. Ditangannya membawa keranjang besar yang ditutup kain. Kulit gadis itu coklat terbakar matahari. Sebenarnya dia gadis yang agak cantik, tapi pakaiannya lusuh, pokoknya yang jelas dia benar-benar tak memperhatikan penampilan, di benakku langsung terlintas, daripada bengong lebih baik aku ajak saja dia bicara”
“ Wah, panas ya”
“.. Tidak ada suara jawaban, hanya anggukan”
Menyebalkan sekali gadis ini, bisa-bisanya membalas sapaanku dengan anggukan saja. Tapi aku tetap saja mengajaknya bicara.
“ Rumahmu dimana?” masih Jauh?
“…Tidak ada jawaban, dan lagi-lagi dia mengangguk
Rupanya cuaca panas sudah membuat orang malas bicara, gerutuku dalam hati. Karena dia diam, akhirnya dengan terpaksa aku diam juga.
“Bruak..!” terdengar sopir membanting pintu angkotnya, maklum angkot tua, jadi kayaknya pintu juga sudah agak rusak, tidak akan tertuup rapat bila tidak dibanting. Tapi suara bantingan itu, selalu saja membuat aku dan seluruh isi penumpang angkot ini kaget setengah mati, cuman gadis itu yang agaknya kagetnya telat. Kasihan pak sopir dia hanya bisa menemukan satu penumpang lagi setelah 3 penumpang yang ada di angkotnya, jadi total penumpang ada 4, dan jelas masih banyak bangku yang kosong. Terdengar samar-samar suara pak sopir menggerutu, jelas saja penumpang hanya sedikit, masalahnya harga BBM baru saja naik dan tarif angkotpun ngikut naik. Angkotpun mulai berjalan.
Dalam hati aku bersyukur, untung saja ayahku bukan sopir angkot. Kalau ayahku sopir angkot, bagaimana dia akan menghidupi istri dan ketiga anaknya. Tapi meski begitu aku sedih juga jarang bertemu dengan ayahku, karena proyeknya selalu di luar kota dan butuh waktu berbulan-bulan untuk bertemu dengan ayahku, dan itupun hanya sebentar, karena ayahku harus cepat-cepat lagi kembali kerja di kota lain..kasihan juga ayahku, beliau pasti juga sedih karena jarang bertemu dengan keluarga tercintanya.
“Tiit”…suara bel angkot berbunyi, tanda ada penumpang yang akan turun, tapi kenapa angkot ini terus melaju? Rupanya pak sopir melamun sampai tak mendengar suara bel. “Dug-dug-dug, gadis disebelahku mengetok-ngetok lagit-langit angkot, tapi pak sopir tetap saja asyik melamun atau mungkin lagi konsentrasi mencari-cari calon penumpang, kenapa gadis ini tidak teriak sih? Pikirku. Sebelum angkot melaju lebih jauh lagi, “kiri pak-kiri pak”, spontan saja aku teriak. Angkotpun langsung berhenti. Gadis itu menoleh sekilas padaku. Lalu ia membayar ongkos angkot kepada pak sopir, “Kurang 1000 dek”, BBM naek” kata pak sopir pada gadis itu. Kulihat wajah gadis itu panik, dan ia melihat isi dompetnya yang kosong, lalu melambaikan tangannya pada pak sopir, dan dengan suara yang tergagap-gagap dan sangat gagu dia mencoba menjelasakan pada pak sopir dengan gerakan tangannya dan raut mukanya. Aku baru sadar, bahwa gadis itu bisu, pak sopir mulai menggerutu. “Sudah pak , saya yang membayar kekurangannya” kataku pada pak sopir. Gadis itu tersenyum padaku, akupun membalasnya. Sedangkan pak sopir menjalankan angkotnya kembali. Maklum saja pak sopir bersikap seperti itu, pasalnya dia harus mengejar setoran. Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di gang rumah, akupun membayar ongkos angkot lengkap dengan kekurangan gadis itu tadi.
Sampai di rumah aku langsung merebahkan diri di sofa, nyaman sekali. Tapi kenyamanan itu berubah jadi ketidak nyamanan, karena omelan ibuku, masalahnya simple, karna aku tidak segera melepaskan seragamku. Hah…menyebalkan.
Beberapa hari kemudian sewaktu pulang sekolah, aku kebetulan bertemu dengan gadis itu lagi di angkot, ia tersenyum ramah kepadaku, dan langsung menyerahkan uang 1000 padaku, langsung saja aku menolaknya.
“ Anggap saja sebagai tanda persahabatan” kataku sambil sedikit bingung dan tertawa, karna aku harus bicara padanya dengan suaraku yang kuikuti juga dengan gerakan-gerakan tanganku berharap supaya gadis itu memahami maksudku. Dia menjawab terimakasih dengan susah payah dan tergagu-gagu. “Kok kamu nggak sekolah?”. Dia menjawab dengan kata-kata yang kurang aku pahami. Karena melihatku melongo, gadis itu segera tahu kalau aku tidak memahami perkataannya, lantas dia mengambil sebuah buku sejenis note book dan bolpoin, dan ternyata bukunya itu penuh dengan coretan-coretan huruf dan angka-angka, lau ia mulai menulis. Sudah tiga hari aku membolos sekolah. Wajar saja aku kaget, wajah selugu itu kenapa suka bolos, lalu aku menuliskan pertanyaan di bawah tulisannya.
“Mengapa membolos?”
Sudah empat hari ini ibuku sakit, jadi aku harus menggantikannya berjualan kolak pisang diterminal, kalo gak gitu kami gak bisa makan dan gak ada yang bisa buat bayar biaya sekolahku.
“Jadi, keranjang yang kamu bawa ini isinya kolak pisang?
“Iya, kamu pikr apa?”
“Bom”
Lalu kami berduapun tertawa, dan tiba-tiba terlintas di benakku bayangan kolak pisang, wah pasti enak sekali, apalagi panas-panas begini, langsung saja aku menuliskan kata-kata di note booknya lagi
Boleh aku mencicipi kolak pisangmu? Jangan kuatir pasti kubayar, lalu jawabnya.
Boleh, gak kamu bayarpun gak papa, aku kan punya hutang Rp.1000 ke kamu, tapi sayang sekali aku suda hampir sampai, jadi acara mencicipi kolak pisangnya besok saja ya? Dalam hati aku kecewa, padahal aku sudah ingin sekali makan kolak pisang, tapi setelah aku pikir-pikir, mana mungkin makan kolak pisang di dalam angkot, kan ribet banget nantinya, dan langsung terlintas di benakku, bagaimana kalau aku mampir ke rumahnya.
“Kalau gitu, aku mampir ke rumahmu ya?
Terlihat di wajahnya ia sangat terkejut, tapi ia segera menganggukkan kepala setelah aku paksa.
Rumah gadis itu sempit sekali, tidak ada ruang tamu, tapi satu ruangan berisi kamar ukuran kecil sekali yang diabatasi tirai kelambu dengan ruang makan dan sebagainya. Ia hanya tinggal berdua saja dengan ibunya. Sambil menikmati kolak pisang aku mengobrol dengannya meski aku harus bersabar menunggu jawabannya, yang ia tumpahkan dalam tuilisan di note booknya yang halaman depannya penuh beerisi coretan hitung-hitungan hasil penjualan kolak pisangnya.
“Oh iya, ibumu mana?”
Di kamar sedang tidur.
“Kalau boleh tau , ibumu sakit apa?
“Mungkin karena kecapekan, karena berdesak-desakkan mengambil BLT. Hari pertama ibu, terpaksa harus kembali dengan tangan kosong, karna pembagian BLT harus dilanjutkan keesokkan harinya. Hari kedua baru ibu dapat mencairkan dana tersebut, hasilnya, 2 hari ibu tidak bisa berjualan kolak dan 2 hari ibu harus berdesak-desakkan. Sampai-sampai, sepulangnya, badan ibu langsung panas.
Kasihan sekali gadis ini, harus menanggung beban seberat itu. Hebatnya dia tidak mengeluh, meski harus menggantikan ibunya berjualan kolak pisang di terminal. Diam-diam aku sangat malu atas sikapku kepada ibu. Berkali-kali aku mengatainya cerewet. Tuhan..maafkan kesalahanku, cerewetnya ibu, mungkin itu kebaikkan untukku.
Sesampai di rumah, tanpa disuruh aku langsung melepas seragam, dan meletakkan sepatu pada tempatnya, tidak tanggung-tanggung aku menyapu dan mencuci piring tanpa disuruh, dan ternyata ada kepuasan sendiri untukku. Ibu melihatku dengan terheran-heran, anehnya beliau tidak berkomentar. Aku jadi merindukan komentar cerewetnya. Saat ibu tertidur, diam-diam aku melihat wajahnya, kasihan ibu harus merawat ketiga anaknya sendiri, tanpa ayahku, karena pekerjaan beliau yang sering keluar kota. Pantas saja beliau sering cerewet masalah kedisiplinan. Terbayang, seandainya ibu sudah tidak ada, aku pasti sudah gila, aku takut sekali jika membayangkan hal itu. Dulu sekali, aku sering melihat ibu ketika ibu tidur, kadang aku memastikan dadanya yang naik turun, karna bernafas, dan pernah suatu saat aku panik ketika dadanya tidak bergerak sama sekali, maka langsung saja kau mengguncang tubuh ibu. Dan ketika ibu terbangun dengan terkaget-kaget, aku segera lari menjauh, tanpa meninggalkan penjelasan sama sekali kepada ibu. Mengapa aku membangunkannya sekeras itu. Dan pastinya ibu sudah marah-marah karna aku sudah membuatnya kaget. Dan aku bersyukur sekali ibuku masih baik-baik saja.
Gadis bisu itu sudah memberikan pelajaran yang sangat berharga untukku. Bagiku dia benar-benar gadis luar biasa yang pernah aku kenal. Aku akan sangat-sangat berterimakasih padanya. Dia sudah merubah rumahku, yang selama ini aku anggap hampir kiamat, menjadi istana yang sangat nyaman bagiku.
By Niens
 
Bls: Cerpen : AKU dan SI BISU

AKU dan SI BISU
Bosan aku di rumah,. Setiap hari hari harus mendengar omelan ibu, rengekkan adik perempuanku. Masalah sebenarnya sepele saja, bersih-bersih rumah. Sedangkan aku tidak mau meninggalkan kegiatanku hanya untuk rutinitas rumah yang sepele itu, yang ujung-ujungnya bisa membuat omelan ibu bertambah panjang. Kalau sudah begitu, aku langsung bersumpah dalam hati, besok kalau aku sudah berkeluarga, aku akan memanggil pembantu saja untuk mengurusi semua tetek bengek urusan pekerjaan rumahku. Aku benar-benar dongkol dan trauma karna omelan ibu. Apakah para ibu, selalu mengomel seperti itu. Tuhan selamatkan aku dari rumah yang hampir kiamat ini.
“Bang, es tehnya satu!” teriakku pada penjual es yang ada di depan sekolahku. Enak banget si Lina itu ya, tiap hari diantar pakek mobil, ber-AC lagi, seandainya aku punya mobil seperti dia, pasti sekarang gak bakalan terpanggang panas matahari seperti ini. Ya, sesuatu yang aku impi-impikan setiap hari. Sebenarnya aku punya motor di rumah, tapi ibu melarangku membawanya, alasannya aku belum cukup gede lah, takut bahayanya. Apakah setiap ibu juga selalu kuatir berlebihan seperti itu? Hah,.. menjengkelkan.
Aku duduk sambil menyeruput es tehku yang semakin nikmat saja. Wah enak sekali. Sangat sejuk ditenggorokanku yang sudah kering kerontang. Sesekali aku membalas lambaian teman-temanku yang sedang mengayuh sepedanya. Kalau saja rumahku dekat dengan sekolah, aku juga mau mengayuh sepeda seperti itu. Tapi sayangnya rumahku terlalu jauh, jadi aku harus menunggu angkot yang jurusannya searah dengan rumahku.
Angkot jurusanku sudah datang, dengan tergesa-gesa aku membayar es tehku, dan segera berlari sekencang-kencangnya, agar aku mendapat bangku kosong yang nyaman. Aku lihat sudah ada 3 penumpang di dalam angkot. Di depan sebelah pak sopir satu, dekat jendela belakang satu, dan di saebelahku, di dekat pintu, satu. Seorang gadis seumuranku, tapi anehnya dia tidak berseragam sekolah sepertiku. Ditangannya membawa keranjang besar yang ditutup kain. Kulit gadis itu coklat terbakar matahari. Sebenarnya dia gadis yang agak cantik, tapi pakaiannya lusuh, pokoknya yang jelas dia benar-benar tak memperhatikan penampilan, di benakku langsung terlintas, daripada bengong lebih baik aku ajak saja dia bicara”
“ Wah, panas ya”
“.. Tidak ada suara jawaban, hanya anggukan”
Menyebalkan sekali gadis ini, bisa-bisanya membalas sapaanku dengan anggukan saja. Tapi aku tetap saja mengajaknya bicara.
“ Rumahmu dimana?” masih Jauh?
“…Tidak ada jawaban, dan lagi-lagi dia mengangguk
Rupanya cuaca panas sudah membuat orang malas bicara, gerutuku dalam hati. Karena dia diam, akhirnya dengan terpaksa aku diam juga.
“Bruak..!” terdengar sopir membanting pintu angkotnya, maklum angkot tua, jadi kayaknya pintu juga sudah agak rusak, tidak akan tertuup rapat bila tidak dibanting. Tapi suara bantingan itu, selalu saja membuat aku dan seluruh isi penumpang angkot ini kaget setengah mati, cuman gadis itu yang agaknya kagetnya telat. Kasihan pak sopir dia hanya bisa menemukan satu penumpang lagi setelah 3 penumpang yang ada di angkotnya, jadi total penumpang ada 4, dan jelas masih banyak bangku yang kosong. Terdengar samar-samar suara pak sopir menggerutu, jelas saja penumpang hanya sedikit, masalahnya harga BBM baru saja naik dan tarif angkotpun ngikut naik. Angkotpun mulai berjalan.
Dalam hati aku bersyukur, untung saja ayahku bukan sopir angkot. Kalau ayahku sopir angkot, bagaimana dia akan menghidupi istri dan ketiga anaknya. Tapi meski begitu aku sedih juga jarang bertemu dengan ayahku, karena proyeknya selalu di luar kota dan butuh waktu berbulan-bulan untuk bertemu dengan ayahku, dan itupun hanya sebentar, karena ayahku harus cepat-cepat lagi kembali kerja di kota lain..kasihan juga ayahku, beliau pasti juga sedih karena jarang bertemu dengan keluarga tercintanya.
“Tiit”…suara bel angkot berbunyi, tanda ada penumpang yang akan turun, tapi kenapa angkot ini terus melaju? Rupanya pak sopir melamun sampai tak mendengar suara bel. “Dug-dug-dug, gadis disebelahku mengetok-ngetok lagit-langit angkot, tapi pak sopir tetap saja asyik melamun atau mungkin lagi konsentrasi mencari-cari calon penumpang, kenapa gadis ini tidak teriak sih? Pikirku. Sebelum angkot melaju lebih jauh lagi, “kiri pak-kiri pak”, spontan saja aku teriak. Angkotpun langsung berhenti. Gadis itu menoleh sekilas padaku. Lalu ia membayar ongkos angkot kepada pak sopir, “Kurang 1000 dek”, BBM naek” kata pak sopir pada gadis itu. Kulihat wajah gadis itu panik, dan ia melihat isi dompetnya yang kosong, lalu melambaikan tangannya pada pak sopir, dan dengan suara yang tergagap-gagap dan sangat gagu dia mencoba menjelasakan pada pak sopir dengan gerakan tangannya dan raut mukanya. Aku baru sadar, bahwa gadis itu bisu, pak sopir mulai menggerutu. “Sudah pak , saya yang membayar kekurangannya” kataku pada pak sopir. Gadis itu tersenyum padaku, akupun membalasnya. Sedangkan pak sopir menjalankan angkotnya kembali. Maklum saja pak sopir bersikap seperti itu, pasalnya dia harus mengejar setoran. Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di gang rumah, akupun membayar ongkos angkot lengkap dengan kekurangan gadis itu tadi.
Sampai di rumah aku langsung merebahkan diri di sofa, nyaman sekali. Tapi kenyamanan itu berubah jadi ketidak nyamanan, karena omelan ibuku, masalahnya simple, karna aku tidak segera melepaskan seragamku. Hah…menyebalkan.
Beberapa hari kemudian sewaktu pulang sekolah, aku kebetulan bertemu dengan gadis itu lagi di angkot, ia tersenyum ramah kepadaku, dan langsung menyerahkan uang 1000 padaku, langsung saja aku menolaknya.
“ Anggap saja sebagai tanda persahabatan” kataku sambil sedikit bingung dan tertawa, karna aku harus bicara padanya dengan suaraku yang kuikuti juga dengan gerakan-gerakan tanganku berharap supaya gadis itu memahami maksudku. Dia menjawab terimakasih dengan susah payah dan tergagu-gagu. “Kok kamu nggak sekolah?”. Dia menjawab dengan kata-kata yang kurang aku pahami. Karena melihatku melongo, gadis itu segera tahu kalau aku tidak memahami perkataannya, lantas dia mengambil sebuah buku sejenis note book dan bolpoin, dan ternyata bukunya itu penuh dengan coretan-coretan huruf dan angka-angka, lau ia mulai menulis. Sudah tiga hari aku membolos sekolah. Wajar saja aku kaget, wajah selugu itu kenapa suka bolos, lalu aku menuliskan pertanyaan di bawah tulisannya.
“Mengapa membolos?”
Sudah empat hari ini ibuku sakit, jadi aku harus menggantikannya berjualan kolak pisang diterminal, kalo gak gitu kami gak bisa makan dan gak ada yang bisa buat bayar biaya sekolahku.
“Jadi, keranjang yang kamu bawa ini isinya kolak pisang?
“Iya, kamu pikr apa?”
“Bom”
Lalu kami berduapun tertawa, dan tiba-tiba terlintas di benakku bayangan kolak pisang, wah pasti enak sekali, apalagi panas-panas begini, langsung saja aku menuliskan kata-kata di note booknya lagi
Boleh aku mencicipi kolak pisangmu? Jangan kuatir pasti kubayar, lalu jawabnya.
Boleh, gak kamu bayarpun gak papa, aku kan punya hutang Rp.1000 ke kamu, tapi sayang sekali aku suda hampir sampai, jadi acara mencicipi kolak pisangnya besok saja ya? Dalam hati aku kecewa, padahal aku sudah ingin sekali makan kolak pisang, tapi setelah aku pikir-pikir, mana mungkin makan kolak pisang di dalam angkot, kan ribet banget nantinya, dan langsung terlintas di benakku, bagaimana kalau aku mampir ke rumahnya.
“Kalau gitu, aku mampir ke rumahmu ya?
Terlihat di wajahnya ia sangat terkejut, tapi ia segera menganggukkan kepala setelah aku paksa.
Rumah gadis itu sempit sekali, tidak ada ruang tamu, tapi satu ruangan berisi kamar ukuran kecil sekali yang diabatasi tirai kelambu dengan ruang makan dan sebagainya. Ia hanya tinggal berdua saja dengan ibunya. Sambil menikmati kolak pisang aku mengobrol dengannya meski aku harus bersabar menunggu jawabannya, yang ia tumpahkan dalam tuilisan di note booknya yang halaman depannya penuh beerisi coretan hitung-hitungan hasil penjualan kolak pisangnya.
“Oh iya, ibumu mana?”
Di kamar sedang tidur.
“Kalau boleh tau , ibumu sakit apa?
“Mungkin karena kecapekan, karena berdesak-desakkan mengambil BLT. Hari pertama ibu, terpaksa harus kembali dengan tangan kosong, karna pembagian BLT harus dilanjutkan keesokkan harinya. Hari kedua baru ibu dapat mencairkan dana tersebut, hasilnya, 2 hari ibu tidak bisa berjualan kolak dan 2 hari ibu harus berdesak-desakkan. Sampai-sampai, sepulangnya, badan ibu langsung panas.
Kasihan sekali gadis ini, harus menanggung beban seberat itu. Hebatnya dia tidak mengeluh, meski harus menggantikan ibunya berjualan kolak pisang di terminal. Diam-diam aku sangat malu atas sikapku kepada ibu. Berkali-kali aku mengatainya cerewet. Tuhan..maafkan kesalahanku, cerewetnya ibu, mungkin itu kebaikkan untukku.
Sesampai di rumah, tanpa disuruh aku langsung melepas seragam, dan meletakkan sepatu pada tempatnya, tidak tanggung-tanggung aku menyapu dan mencuci piring tanpa disuruh, dan ternyata ada kepuasan sendiri untukku. Ibu melihatku dengan terheran-heran, anehnya beliau tidak berkomentar. Aku jadi merindukan komentar cerewetnya. Saat ibu tertidur, diam-diam aku melihat wajahnya, kasihan ibu harus merawat ketiga anaknya sendiri, tanpa ayahku, karena pekerjaan beliau yang sering keluar kota. Pantas saja beliau sering cerewet masalah kedisiplinan. Terbayang, seandainya ibu sudah tidak ada, aku pasti sudah gila, aku takut sekali jika membayangkan hal itu. Dulu sekali, aku sering melihat ibu ketika ibu tidur, kadang aku memastikan dadanya yang naik turun, karna bernafas, dan pernah suatu saat aku panik ketika dadanya tidak bergerak sama sekali, maka langsung saja kau mengguncang tubuh ibu. Dan ketika ibu terbangun dengan terkaget-kaget, aku segera lari menjauh, tanpa meninggalkan penjelasan sama sekali kepada ibu. Mengapa aku membangunkannya sekeras itu. Dan pastinya ibu sudah marah-marah karna aku sudah membuatnya kaget. Dan aku bersyukur sekali ibuku masih baik-baik saja.
Gadis bisu itu sudah memberikan pelajaran yang sangat berharga untukku. Bagiku dia benar-benar gadis luar biasa yang pernah aku kenal. Aku akan sangat-sangat berterimakasih padanya. Dia sudah merubah rumahku, yang selama ini aku anggap hampir kiamat, menjadi istana yang sangat nyaman bagiku.
By Niens

=b=
 
Bls: Cerpen : AKU dan SI BISU

lumayan ceritanya.
pelajaran yang bagus, kembangkan dan sedikit rapihkan, maka bakal jadi cerita yang bagus.
semangat!
 
Back
Top