Hakikat Tasawuf Dan Sufi

andy_baex

New member
Penulis: Al Ustadz Ruwaifi? bin Sulaimi, Lc

Bashrah, sebuah kota di negeri Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan Sufi. Yang mana (di masa tabi?in) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara? terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ?alaihi wassalam), hingga akhirnya mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf/صُوْف). Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan ?Sufi?, sebagai nisbat kepada Shuuf (صُوْف).

Oleh karena itu, lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ?alaihi wassalam, karena nisbat kepadanya dinamakan Shuffi (صُفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Ta?ala, karena nisbat kepadanya dinamakan Shaffi (صَفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada makhluk pilihan Allah (الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ) karena nisbat kepadanya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ) dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun secara lafazh bisa dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.

Para ulama Bashrah yang mendapati masa kemunculan mereka, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Asy Syaikh - Al Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba, maka beliau pun berkata: ?Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam ! Maka sesungguhnya petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (dari/dibanding petunjuk Al Masih), beliau Shallallahu ?alaihi wassalam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.? (Diringkas dari Majmu? Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16 ).

Siapakah Peletak/Pendiri Tasawuf ?

Ibnu ?Ajibah seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah Shallallahu ?alaihi wassalam sendiri. Yang mana beliau ?menurut Ibnu ?Ajibah - mendapatkannya dari Allah Ta?ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ?Ajibah berbicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai bumbu-bumbu keanehan dan kedustaan. Ia berkata: ?Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Shallallahu ?alaihi wassalam dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shallallahu ?alaihi wassalam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ?anhu, kemudian Al Hasan Al Bashri rahimahullah menimba darinya.? (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).

Asy Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah berkata: ?Perkataan Ibnu ?Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shallallahu ?alaihi wassalam, ia menuduh dengan kedustaan bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu, karena Allah Ta?ala telah perintahkan Rasul-Nya Shallallahu ?alaihi wassalam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya (artinya): ?Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.? (Al Maidah : 67)

Beliau juga berkata: ?Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi?ah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ?anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah Radiyallahu ?anhu ia berkata: ?Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ?anhu, maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: ?Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shallallahu ?alaihi wassalam kepadamu?? Maka Ali pun marah lalu mengatakan: ?Nabi Shallallahu ?alaihi wassalam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia ! Hanya saja beliau Shallallahu ?alaihi wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara. Abu Thufail Radiyallahu ?anhu berkata: ?Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin ?? Beliau menjawab: ?Rasulullah Shallallahu ?alaihi wassalam bersabda: ?(Artinya) Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah.? (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8).

Hakikat Tasawuf

Bila kita telah mengetahui bahwasanya Tasawuf ini bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ?alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ?anhu, maka dari manakah ajaran Tasawuf ini ?

Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: ?Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur?an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ?alaihi wassalam , dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta?ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha. (At Tashawwuf Al Mansya? Wal Mashadir, hal. 28). [1]

Asy Syaikh Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata: ?Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya syaithan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah Ta?ala di dalam memerangi Allah Ta?ala dan Rasul-Nya Shallallahu ?alaihi wassalam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya ! niscaya engkau akan mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.? (Muqaddimah kitab Mashra?ut Tashawwuf, hal. 19). [2]

Beberapa Bukti Kesesatan Ajaran Tasawuf

1. Al Hallaj seorang dedengkot sufi, berkata : ?Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.? (Dinukil dari Firaq Mua?shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).
Padahal Allah Ta?ala telah berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
?Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.? (Asy Syuura : 11)

رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي
?Berkatalah Musa : ?Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.? Allah berfirman : ?Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (yakni di dunia-pen)???? (Al A?raaf : 143).

2. Ibnu ?Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata : ?Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah !? (Fushushul Hikam).[3] Betapa kufurnya kata-kata ini ?, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini ?!

3. Ibnu ?Arabi juga berkata : ?Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.? (Al Futuhat Al Makkiyyah).[4]

Padahal Allah Ta?ala telah berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
?Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.? (Adz Dzariyat : 56).

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ إِلاَّ ءَاتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
?Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.? (Maryam : 93).

4. Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata : ?Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama ? masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.? [5]

Padahal Allah Ta?ala berfirman :

يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
?Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.? (Ali Imran : 85)

5. Pembagian ilmu menjadi Syari?at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta?ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ?Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).? (Majmu? Fatawa, juz 11 hal. 401).

6. Dzikirnya orang-orang awam adalah لا إله إلا الله , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus ?الله / Allah?, ?هو / Huu?, dan ?آه / Aah? saja.

Padahal Rasulullah Shallallahu ?alaihi wassalam bersabda :

أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلهِ إِلاَّ الله
?Sebaik-baik dzikir adalah لا إله إلا الله .? (H.R. Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Radiyallahu ?anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami?, no. 1104).[6]

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : ?Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah ?هو / Huu?, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.? (Risalah Al Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tashawwuf, hal. 13)

7. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Ta?ala dustakan mereka dalam firman-Nya:

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
?Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.? (An Naml : 65)

8. Keyakinan bahwa Allah Ta?ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ?alaihi wassalam dari nuur / cahaya-Nya, dan Allah Ta?ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shallallahu ?alaihi wassalam. Padahal Allah Ta?ala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
?Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku ?? (Al Kahfi : 110).

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ
?(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat : ?Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.? (Shaad : 71)




Wallahu A?lam Bish Shawab



Hadits-hadits palsu atau lemah yang tersebar di kalangan umat



Hadits Abu Umamah

عَلَيْكُمْ بِلِبَاسِ الصُّوفِ، تَجِدُوْا حَلاَوَةَ الإيْمَانِ فِيْ قُلُوْبِكُمْ

?Pakailah pakaian yang terbuat dari bulu domba, niscaya akan kalian rasakan manisnya keimanan di hati kalian?(HR Al Baihaqi dlm Syu?abul Iman).

Keterangan : Hadits ini palsu karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Yunus Al Kadimy. Dia seorang pemalsu hadits, Al Imam Ibnu Hibban berkata : ?Dia telah memalsukan kira-kira lebih dari dua ribu hadits?. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah Wal Maudhu?ah, no:90)



Footnote :

[1][2] Dinukil dari kitab Haqiqatut Tashawwuf karya Asy Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal.7

[3][4][5] Dinukil dari kitab Ash Shufiyyah Fii Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 24-25.

[6] Lihat kitab Fiqhul Ad ?Iyati Wal Adzkar, karya Asy Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr, hal. 173.



(Sumber : Buletin Islam Al Ilmu Edisi 46/III/I2/1425, Jember.
 
Tasawuf Dan Aqidah Manunggaling Kawula Gusti

Puncak kekufuran yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah). Sehingga ia memiliki sifat-sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci Allah dari apa yang mereka yakini!!. Akidah ini populer di tengah masyarakat kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.



Adapun munculnya akidah rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di jaman sekarang ini dan bukan pula isapan jempol dan tuduhan semata.



Bukti Bukti Nyata Tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti Di Tubuh Kaum Sufi

Hal ini dapat dilihat dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu sufi seperti Al Hallaj, Ibnul Faridh, Ibnu Sabi?in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya mereka. Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.



1. Al Hallaj berkata:



?Maha suci Dia yang telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai laahuut (ilahiyah)-Nya

Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam wujud orang yang makan dan minum

Sehingga makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan jelas seperti pandangan mata dengan pandangan mata? (Ath Thawaasin hal. 129)





?Aku adalah Engkau (Allah) tanpa adanya keraguan lagi

Maha suci Engkau Maha suci aku Mengesakan Engkau berarti mengesakan aku

Kemaksiatan kepada-MU adalah kemaksiatan kepadaku

Marah-Mu adalah marahku Pengampunan-Mu adalah pengampunanku ?

(Diwanul Hallaj hal. 82)





?Kami adalah dua ruh yang menitis jadi satu

Jika engkau melihatku berarti engkau melihat-Nya

Dan jika engkau melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami? (Ath Thawaasin hal. 34)



2. Ibnu Faridh berkata dalam syairnya:



Tidak ada shalat kecuali hanya untukku

Dan shalatku dalam setiap raka?at bukanlah untuk selainku. (Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu Arabi hal. 64)



3. Abu Yazid Al Busthami berkata:

?Paling sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma?rifat adalah adanya sifat-sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.? (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut hal. 106 karya Abul Fadhl Al Falaki)

Maka diapun mengungkapkan keheranannya dengan berujar: ?Aku heran kepada orang-orang yang mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah kepada-Nya?!



Lebih daripada itu, dia menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: ?Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: ?Abu Yazid.? Diapun berkata: ?Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini kecuali Allah.? (An Nuur hal. 84)

Pada hal. 110 dia pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: ?Sifat Allah telah dimiliki oleh seorang hamba?.



Akidah Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.



Ibnu Arabi berkata:



Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada

Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat?

Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati

Atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat? (Fushulul Hikam hal. 90)



Penyair sufi bernama Muhammad Baharuddin Al Baithar berkata: ?Anjing dan babi tidak lain adalah Tuhan kami Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja? (Suufiyat hal. 27)



Dalil-Dalil Yang Dijadikan Kaum Sufi Sebagai Penopang Akidah Manunggaling Kawula Gusti



Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur?an maupun As Sunnah bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini ? tentunya menurut sangkaan mereka?!

Mampukah orang tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut? Dali-dalil tersebut adalah:

1. Surat Al Hadid 5 :

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

yang artinya: ?Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.?

2. Surat Qaaf 16 :

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

yang artinya: ?Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri.

3. Sabda Rasulullah dalam hadits Qudsi: ?Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya. (H.R. Al Bukhari)



Bantahan Terhadap Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka Dalam Mengambil Dalil-Dalil diatas



Dengan mengacu kepada Al Qur?an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.

1. Tentang firman Allah di dalam surat Al Hadid 5, para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka. Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah berkata: ?Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman Allah yang artinya: ?Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada? adalah ilmu-Nya. (Dar?ut Ta?arudh 6/250)

2. Yang dimaksud dengan lafadz ?kami? di dalam surat Qaaf: 16 tersebut adalah para malaikat pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat setelahnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz ?lebih dekat? adalah ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya sendiri.

3. Al Imam Ath Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan bahwa ulama telah bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud. (Fathul Bari)

Bahkan Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa barangsiapa mengarahkan pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu. (Jami?ul Ulum wal Hikam hal. 523-524 bersama Iqadhul Himam)



Beberapa Ucapan Batil Yang Terkait Erat Dengan Akidah Ini



1. Dzat Allah ada dimana-mana. Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: ?Dimana Allah berada?? Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur?an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ?Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur?an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi hamba-hambanya. (Majmu? Fatawa 5/125)

2. Dzat Allah ada di setiap hati seorang hamba.

Ini adalah jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang keberadaan Allah. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata; ?Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu (Salaf) umat ini yang berkata seperti itu. Tidak pula Al Qur?an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur?an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan tersebut. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal 375)



Beberapa Ayat Al Qur?an Yang Membantah Akidah Manunggaling Kawula Gusti



Ayat-ayat Al Qur?an secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar batil. Allah ta?ala berfirman :

وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ

artinya : ?Dan mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.? (Az Zukhruf: 15)



فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

?Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang berpasang-pasangan (pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy Syura: 11)



Lihatlah, ketika Allah menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia. Allah pun berfirman :

قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ ?

(artinya) : "Kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, tatkala ia tetap ditempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun pingsan. Setelah sadar Musa berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat dan aku orang yang pertama-tama beriman?. (Al A'raf: 143)

darussalaf.com
 
Last edited:
Re: Tasawuf Dan Aqidah Manunggaling Kawula Gusti

Alhamdulillah..

Terimakasih atas pendapat saudara. Saya jadi tahu tentang alasan atau hal yang dipahami orang yang tidak suka dengan tasawuf.

Saya hanya ingin sharing pendapat, bahwa makna perkataan para sufi-sufi yang saudara kutip di atas tentang manunggaling kawula gusti itu, tidaklah berarti bersatunya makhluk dengan dzat Allah, bukan begitu..

Sejauh yang saya pahami, yang menyatu adalah sifat-Nya, bukan dzat-Nya. Mustahil seorang manusia bisa menyatukan dzat Allah Yang Maha Agung, Maha Suci ke dalam dirinya yang penuh "kotoran".

Dalam dunia tasawuf ada istilah suluk, yaitu menempuh perjalanan mendekatkan diri pada Allah, dengan cara menekan segala hawa nafsunya, zuhud, dan mencoba selalu "ingat" kepada-Nya. Tujuannya adalah mengurangi sifat hawa nafsu (kemanusian) nya, dan mengisinya dengan sifat-sifat Allah. Apa itu sifat Allah? Ar-Rahman, Ar-Rahim, dll. Betapa sombongnya kita kalau saat kita berbuat baik, menyayangi anak yatim, dsb. kita mengaku-aku bahwa itu adalah sifat kita? Sebab sebenarnya itu adalah sifat yang dianugrahkan Allah pada kita.

Untuk sebagian orang (mungkin termasuk para sufi klasik yang anda sebut di atas) mungkin ia telah ber-suluk sampai bisa menekan sifat kemanusiannya dan mengisi dirinya dengan sifat illahiyah dengan selalu "ingat".
Sehingga merasa bahwa tiada yang di damba kecuali Dia, tiada yang dituju selain Dia, tiada yang lain kecuali Allah, sampai-sampai merasa bahwa dirinya pun tidak ada, yang ada hanya Allah, Yang Maha Agung, Yang Maha Menguasai makhluknya. Kecintaannya pada Allah telah mutlak sedemikian kuatnya sehingga segala yang ada hanya Allah, tiada yang lain. Namun tidak bisa dikatakan dia (orang tersebut) telah bersatu dengan Dzat Allah. Tidak mungkin bisa.

Apakah para pecinta tasawuf semua harus seperti itu? Terserah pada masing-masing pribadi. Apakah hal tersebut salah atau sesat? Terserah pada Allah Yang Maha Lembut.

Pemahaman tasawuf pun bermacam-macam. Sama dengan pemahaman orang terhadap Islam, juga bermacam-macam. Tidak bisa di generalisasi. Terima saja perbedaan yang ada. Yakini pendapat yang terasa nyaman dan pas dengan kita. Selalu terbuka dengan apa saja. Jangan anggap orang yang berbeda dengan kita itu sesat atau salah. Biarlah hak menghakimi apa yang ada dalam hati seseorang hanya dilakukan oleh Allah Yang Maha Adil.

Bila ada pendapat lain silahkan, bila ada yang salah mohon dikoreksi.
Semua yang salah dari makhluk, semua yang benar dari Allah.

Wassalam.
 
Sufi ------->>>>>good or bad??????

huy ada yang tau lebih jauh tentang ajaran sufi dan teman2 nya ga ???????

PS : klo ga tau ga sah dijawab........
 
Re: Sufi ------->>>>>good or bad??????

so pasti, orang yang pernah belajar sufi, dan berfikiran jernih, maka belajar metode mengenal tuhan caranya melalui methode sufi.tapi banyak juga orang yg punya prinsip dan fikiran yg miring thdp org yang belajar sufi. Terserah aja bertuhan kan sendiri2, yang jels sufi itu good. kalau mau tau lebih..... lain kali kita sambung.....
saya bersedia,.... berdialog lebih jauh......kalau mau,... bersihkan hati dan pikiran dulu, jangan kalau ilmu yg belum kita ketahui, kita katakan itu sesat, atau salah.
 
Re: Sufi ------->>>>>good or bad??????

baik dan buruk tergantung kita sendiri dalam mensikapinya.
Yang jelas segala sesuatu ada sisi positif dan negatifnya
 
Re: Sufi ------->>>>>good or bad??????

sufi itu baik, kalau semua orang menjadi sufi maka dunia akan tentram

karena sufi artinya orang yang bersih, orang yang lembut

bersih hatinya, lembut amalannya, bicaranya menguntungkan orang, berfikirnya membahagiakan orang, tapi sulitnya menjadi orang sufi sesulit membayangkannya
 
Re: Tasawuf Dan Aqidah Manunggaling Kawula Gusti

Puncak kekufuran yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah). Sehingga ia memiliki sifat-sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci Allah dari apa yang mereka yakini!!. Akidah ini populer di tengah masyarakat kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.



Adapun munculnya akidah rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di jaman sekarang ini dan bukan pula isapan jempol dan tuduhan semata.



Bukti Bukti Nyata Tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti Di Tubuh Kaum Sufi

Hal ini dapat dilihat dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu sufi seperti Al Hallaj, Ibnul Faridh, Ibnu Sabi?in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya mereka. Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.



1. Al Hallaj berkata:



?Maha suci Dia yang telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai laahuut (ilahiyah)-Nya

Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam wujud orang yang makan dan minum

Sehingga makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan jelas seperti pandangan mata dengan pandangan mata? (Ath Thawaasin hal. 129)





?Aku adalah Engkau (Allah) tanpa adanya keraguan lagi

Maha suci Engkau Maha suci aku Mengesakan Engkau berarti mengesakan aku

Kemaksiatan kepada-MU adalah kemaksiatan kepadaku

Marah-Mu adalah marahku Pengampunan-Mu adalah pengampunanku ?

(Diwanul Hallaj hal. 82)





?Kami adalah dua ruh yang menitis jadi satu

Jika engkau melihatku berarti engkau melihat-Nya

Dan jika engkau melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami? (Ath Thawaasin hal. 34)



2. Ibnu Faridh berkata dalam syairnya:



Tidak ada shalat kecuali hanya untukku

Dan shalatku dalam setiap raka?at bukanlah untuk selainku. (Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu Arabi hal. 64)



3. Abu Yazid Al Busthami berkata:

?Paling sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma?rifat adalah adanya sifat-sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.? (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut hal. 106 karya Abul Fadhl Al Falaki)

Maka diapun mengungkapkan keheranannya dengan berujar: ?Aku heran kepada orang-orang yang mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah kepada-Nya?!



Lebih daripada itu, dia menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: ?Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: ?Abu Yazid.? Diapun berkata: ?Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini kecuali Allah.? (An Nuur hal. 84)

Pada hal. 110 dia pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: ?Sifat Allah telah dimiliki oleh seorang hamba?.



Akidah Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.



Ibnu Arabi berkata:



Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada

Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat?

Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati

Atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat? (Fushulul Hikam hal. 90)



Penyair sufi bernama Muhammad Baharuddin Al Baithar berkata: ?Anjing dan babi tidak lain adalah Tuhan kami Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja? (Suufiyat hal. 27)



Dalil-Dalil Yang Dijadikan Kaum Sufi Sebagai Penopang Akidah Manunggaling Kawula Gusti



Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur?an maupun As Sunnah bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini ? tentunya menurut sangkaan mereka?!

Mampukah orang tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut? Dali-dalil tersebut adalah:

1. Surat Al Hadid 5 :

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

yang artinya: ?Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.?

2. Surat Qaaf 16 :

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

yang artinya: ?Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri.

3. Sabda Rasulullah dalam hadits Qudsi: ?Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya. (H.R. Al Bukhari)



Bantahan Terhadap Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka Dalam Mengambil Dalil-Dalil diatas



Dengan mengacu kepada Al Qur?an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.

1. Tentang firman Allah di dalam surat Al Hadid 5, para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka. Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah berkata: ?Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman Allah yang artinya: ?Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada? adalah ilmu-Nya. (Dar?ut Ta?arudh 6/250)

2. Yang dimaksud dengan lafadz ?kami? di dalam surat Qaaf: 16 tersebut adalah para malaikat pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat setelahnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz ?lebih dekat? adalah ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya sendiri.

3. Al Imam Ath Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan bahwa ulama telah bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud. (Fathul Bari)

Bahkan Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa barangsiapa mengarahkan pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu. (Jami?ul Ulum wal Hikam hal. 523-524 bersama Iqadhul Himam)



Beberapa Ucapan Batil Yang Terkait Erat Dengan Akidah Ini



1. Dzat Allah ada dimana-mana. Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: ?Dimana Allah berada?? Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur?an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ?Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur?an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi hamba-hambanya. (Majmu? Fatawa 5/125)

2. Dzat Allah ada di setiap hati seorang hamba.

Ini adalah jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang keberadaan Allah. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata; ?Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu (Salaf) umat ini yang berkata seperti itu. Tidak pula Al Qur?an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur?an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan tersebut. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal 375)



Beberapa Ayat Al Qur?an Yang Membantah Akidah Manunggaling Kawula Gusti



Ayat-ayat Al Qur?an secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar batil. Allah ta?ala berfirman :

وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ

artinya : ?Dan mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.? (Az Zukhruf: 15)



فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

?Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang berpasang-pasangan (pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy Syura: 11)



Lihatlah, ketika Allah menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia. Allah pun berfirman :

قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ ?

(artinya) : "Kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, tatkala ia tetap ditempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun pingsan. Setelah sadar Musa berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat dan aku orang yang pertama-tama beriman?. (Al A'raf: 143)

darussalaf.com

setiap orang memiliki perspektif sendiri dalam memahami ayat, apapun yang diusahakan oleh seseorang untuk mendekati Tuhan akan sampai kesana selama batin suci , hal ini sesuai dengan kalimat siapa yang ingin mendekat kepadaKu maka Aku akan mendekati dan memeluknya (maaf kalimat aslinya lupa, ini hanya spontan), taraf dari kepercayaan setiap orang memiliki barometer sendiri - sendiri. Yang penting jangan saling meledek biar ketentraman dunia tetap tercapai. Ingat ayat - ayat kauniyah :terimakasih:
 
BANTAHAN TERHADAP TUDINGAN TASAWUF / SUFI ADALAH SESAT


Hakikat Tasawuf Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah?


Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.


Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.


Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam al-Qur'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi'in tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi kenapa orang2 salafy/wahaby tidak alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran?


Sejarah Tasawuf

Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.


Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq


Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.


Tidak seluruh ajaran agama harus ada contohnya (dikerjakan langsung pada saat itu) oleh Rasulullah saw. Bisa saja Nabi hanya mengatakan itu tapi ia tidak melakukannya. Misalnya, Nabi saw memerintahkan umatnya untuk berziarah ke makamnya. Nabi bersabda, ?Barangsiapa yang berziarah kepadaku setelah aku meninggal dunia sama dengan berkunjung kepadaku ketika aku masih hidup.? Pada saat itu Nabi tidak mencontohkan (tidak melakukan) untuk berziarah ke makamnya sendiri. Yang dimaksud dengan sunnah Nabi bukan hanya yang beliau contohkan saja. Yang dicontohkan oleh Nabi (yang dikerjakan langsung pada saat itu) disebut sunnah fi?liyyah. Tapi ada juga yang disebut dengan sunnah qawliyyah, yaitu sunnah yang hanya diucapkan oleh Nabi dan sunnah taqririyyah, sunnah dari diamnya Nabi.


Urgensitas Tasawuf

Imam Ghazali dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur'an al-karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.

Berikut ini adalah hadis tentang keutama-an majelis zikir. Rasulullah saw bersabda, ?Bila suatu kaum duduk dalam satu majelis dan bersama-sama berzikir kepada Allah swt, para malaikat akan mengiringi mereka dan mencurah-kan kepada mereka rahmat Allah swt.? Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim dengan sanad yang sahih dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, ?Jika satu kaum berkumpul berzikir kepada Allah dan mereka hanya mengharapkan keridaan Allah, para malaikat akan berseru dari langit: Berdirilah kalian dengan ampunan Allah kepada kalian dan seluruh keburukan kalian telah Allah ganti dengan kebaikan.? Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dengan sanad yang hasan, Rasulullah saw bersabda, ?Jika satu kaum duduk dalam suatu majelis tetapi selama mereka kumpul itu mereka tidak menyebut asma Allah swt atau shalawat kepada Rasulullah saw, maka majelis itu akan menjadi penyesalan yang dalam di hari kiamat nanti.?

Hadis ini sekaligus menyanggah pendapat Ibnu Taimiyyah yang menjelaskan bahwa zikir berjamaah itu bid?ah (tidak mencontoh Rosululloh). Ibnu Taimiyyyah, yang terkenal karena kebenciannya kepada tasawuf dan tuduhannya bahwa para sufi itu kafir, berkata: ?Sesungguhnya majelis zikir itu bid?ah. Adapun majelis zikir adalah bid?ah yang dibuat oleh orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada pengikut tasawuf abad ke-2 Hijriah. Setelah itu, pada majelis zikir itu ada yang memasukan tarian, nyanyian, dan memukul-mukul genderang yang mengacaukan zikir.?

Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari Islam.


Tasawuf dan Tuduhan-Tuduhan Miring

Demi objektifitas, menilai apakah tasawuf melenceng dari ajaran Islam apa tidak, kita harus melewati beberapa kriteria di bawah ini. Dengan kriteria ini secara otomatis kita bisa mengukur hakikat tasawuf.

Pertama sekali, penilaian harus melampaui tataran kulit, dan langsung masuk pada substansi materi dan tujuannya.

Lantas apa substansi materi tasawuf? Seperti dijelaskan di atas tujuan tasawuf adalah dalam rangka membersihkan hati, mengamalkan hal-hal yang baik, dan meninggalkan hal-hal yang jelek. Seorang sufi dituntut selalu ikhlas, ridha, tawakal, dan zuhud - tanpa sama sekali mengatakan bahwa kehidupan dunia tidak penting.

Kedua, Menilai secara objektif, jauh dari sifat tendensius dan menggenalisir masalah.

Sikap ini sangat penting. Karena pembacaan terhadap sebuah kasus yang sudah didahului oleh kesimpulan paten akan menghalangi objektifitas, dan memburamkan kebenaran sejati.

Ketiga, memahami istilah atau terminologi yang biasa digunakan para sufi, sehingga kita tidak terjebak kepada ketergesa-gesaan dalam memvonis sebuah masalah.

Misalnya dalam dunia sufi dikenal istilah zuhud. Kemudian orang sering salah mengartikan bahwa zuhud adalah benci segala hal duniawi. Zuhud identik dengan malas kerja, dst. Padahal kalau kita teliti dengan sedikit kesabaran tentang apa itu arti zuhud yang dimaksud para sufi, maka kita akan menemukan bahwa zuhud yang dimaksud tidak seperti persepsi di atas. Abu Thalib al-Maki, seorang tokoh sufi, misalnya, punya pandangan bahwa bekerja dan memiliki harta sama sekali tidak mengurangi arti zuhud dan tawakal.

Keempat, dalam vonis hukum, kita perlu membedakan antara hukum sufi yang mengucapkan kata-kata dalam keadan ecstasy(Jadhab) dan dalam keadaan sadar.

Konsep ini penting sekali, supaya kita tidak terjebak pada sikap ekstrim seperti memvonis kafir, musyrik, fasik, dll.


Kesimpulan

Setelah mengetahui hakikat ajaran tasawuf di atas jelaslah bahwa ajaran tasawuf, adalah bagian dari kekayaan khazanah Islam. Ia bukanlah aliran sesat. Bahwa ada penyimpang oknum atau lembaga sufi itu tidak berarti tasawuf secara keseluruhan jelek dan sesat. Kita jangan sekali-kali terjebak apada generalisir masalah. Karena sejatinya, tokoh-tokoh sufi berpendapat ajaran tasawuf harus bersendikan al-Qur'an dan Hadis. Diluar itu ditolak!

Tasawuf, seperti dinyatakan Syeikh Yusuf al-Qaradhawi, adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Karena misi tasawuf memperbaiki akhlak. Dan akhlak jelas sekali bagian dari Islam. Karena Nabi Muhamad Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Oleh karena itu sesungguhnya tasawuf adalah Islam, dan Islam adalah tasawuf. Untuk mencapai kesempurnaan ibadah dan keyakinan dalam Islam, seseorang hendaknya mempelajari ilmu tasawuf melalui thariqah-thariqah yang mu?tabar dari segi silsilah dan ajarannya. Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh thariqah yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan keilmuan yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk qalbun salim dan kesempurnaan ahlak, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh tasawuf yang sejati.

Empat orang imam mazhab Sunni, semuanya mempunyai seorang syaikh thariqah. Melalui syaikh itulah mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.


Imam Abu Hanifah (Nu?man bin Tsabit - Ulama besar pendiri mazhab Hanafi) adalah murid dari Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah (85 H.-150 H) berkata, ?Jika tidak karena dua tahun, Nu?man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar?.


Imam Maliki (Malik bin Anas - Ulama besar pendiri mazhab Maliki) yang juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut, ?Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.? (?Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, vol. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).


Imam Syafi?i (Muhammad bin Idris, 150-205 H ; Ulama besar pendiri mazhab Syafi?i) berkata, ?Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:

1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan
kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.?
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ?Ajluni, vol. 1, hal. 341)


Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H ; Ulama besar pendiri mazhab Hanbali) berkata, ?Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka? (Ghiza al Albab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)


Syaikh Fakhruddin ar Razi (544-606 H ; Ulama besar dan ahli hadits) berkata, ?Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .? (I?tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)


Ibn Khaldun (733-808 H ; Ulama besar dan filosof Islam) berkata, ?Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi?in, dan tabi?it-tabi?in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.? (Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328)


Imam Jalaluddin as Suyuti (Ulama besar ahli tafsir Qur?an dan hadits) didalam kitab Ta?yad al haqiqat al ?Aliyyah, hal. 57 berkata, ?Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid?ah.?


Bahkan Ibnu Taimiyyah (661-728 H), salah seorang ulama yang dikenal keras menentang tasawuf pada akhirnya beliau mengakui bahwa tasawuf adalah jalan kebenaran, sehingga beliaupun mengambil bai?at dan menjadi pengikut thariqah Qadiriyyah. Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah didalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, Vol. 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf : ?Kalian harus mengetahui bahwa para syaikh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Thariqah para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi.? Kemudian dalam kitab yang sama hal. 499, beliau berkata, ?Para syaikh harus kita ikuti sebagai pembimbing, mereka adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita berhaji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka? bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.? Di antara para syaikh sufi yang beliau sebutkan didalam kitabnya adalah, Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, guru kami Syaikh Ma?ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi?ah al Adawiyyah ra, guru kami Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa?i ra, dll.


Didalam kitab ?Syarh al Aqidah al Asfahaniyyah? hal. 128. Ibnu Taimiyyah berkata, ?Kita (saat ini) tidak mempunyai seorang Imam yang setara dengan Malik, al Auza?i, at Tsauri, Abu Hanifah, as Syafi?i, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin Iyyadh, Ma?ruf al Karkhi, dan orang-orang yang sama dengan mereka.? Kemudian sejalan dengan gurunya, Ibnu Qayyim al Jauziyyah didalam kitab ?Ar Ruh? telah mengakui dan mengambil hadits dan riwayat-riwayat dari para pemuka sufi.


Dr. Yusuf Qardhawi, guru besar Universitas al Azhar, yang merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini didalam kumpulan fatwanya mengatakan, ?Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.? Beliau juga berkata, ?Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.


Seperti itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan belajar serta berkhidmat kepada para syaikh thariqah pada masanya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid?ah adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran, orang-orang yang hatinya dipenuhi nafsu duniawi dan keangkara murkaan, sesungguhnya yang sesat adalah mereka tidak mengikuti jejak-jejak para ulama kaum salaf yang menghormati dan mengikuti ajaran tasawuf Islam.


========================================================


Bisa Jadi Salafisme/Wahabisme Itulah Yang Tersesat

Salafiyah Tidak seperti yang kami duga sebelumnya, mungkin juga anda, almarhum Syeikh Ghazali, DR. Yusuf Qaradhawi, DR. Ramdhan al-Bouti, DR. Aly Gum'ah ?Mufti Mesir, dan sejumlah tokoh Islam lainnya yang selama ini dikenal moderat, ternyata juga tak luput dari hujatan, dibid'ahkan, bahkan kadang dianggap berpikiran sesat, oleh sekelompok orang yang mengaku salafi. Syeikh Ghazali menamakan kelompok yang kerap mengaku paling salafi ini sebagai Salafi-Baru.

Tak cukup individu saja yang dikecam, organisasi-organisasi sosial-keagamaan yang tidak sejalan dengan pemikirannya, seperti Nahdhatul Ulama (NU), Jama'ah Thoriqoh Muktabarok (Thoriqoh yang diakui keabsyahannya di dunia Islam), Ikhwan Muslimin, dll, pun juga kena semprot bahkan dikatakan sesat. Seringkali yang terakhir ini diplesetkan menjadi Ikhwanul Muflisin.

Fenomena ini, dalam konteks kepentingan Islam global, tentu sangat tidak menarik, bahkan mengkhawatirkan! Karena mengganggu soliditas dan persaudaraan umat. Juga mengganggu konsentrasi primer yang lebih mendesak untuk digarap umat Islam dewasa ini, yaitu pendangkalan pemahaman hakikat Islam, mengentas kemiskinan, mengejar ketinggalan dalam bidang pendidikan, hi-tec, wawasan peran global dan hal krusial lainnya.

Terma Salaf

Secara etimologis, kata salaf sepadan dengan kata qablu. Artinya setiap sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah khalaf (generasi setelah kita). Kata ini kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam, tiga generasi pertama Islam: para Sahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in atau Salaf Shalih. Istilah ini merujuk pada hadis Nabi: Khairul quruni qarni..... (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam wacana Islam kontemporer, kata salaf kemudian diimbuhi ya nisbat pada hurup akhirnya: menjadi salafi, kadang juga salafiyah ? dengan penambahan ta, setelah ya, untuk menunjuk pada kelompok Islam yang menjadikan cara berpikir dan suluk generasi salaf sebagai sumber inspirasi. Bahkan beberapa kelompok salafi menganggapnya sebagai mazhab.

Terma salafi pada perkembangan berikutnya, mengalami metamorfosis dan tidak bisa diartikan tunggal lagi. Kalimat itu menjadi multi makna. Sikap tak terburu-buru dalam analisis menjadi sebuah keniscayaan ketika menemukan kalimat salafi. Karena pada tingkat sesama pemikir saja, umpamanya, konotasinya bisa berbeda satu sama lain. Misalnya, Goerge Tharabisi dan Aziz Azmah, menggunakan kata salafi untuk sesuatu yang pejoratif: untuk menunjuk arus pemikiran atau kelompok yang anti segala hal yang berbau modernitas dan anti pembaharuan. Lawan dari terma salafi model ini adalah progresif (taqadumi). Sementara, Abid Jabiri, Fahmi jad'an, dan sebagian orientalis menggunakan istilah salafi untuk menunjuk pada setiap gerakan atau pemikiran Islam, yang menjadikan al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber utama pemikirannya. Makna yang terakhir ini cakupan lebih luas: memasukan banyak tokoh dan kelompok Islam, baik yang moderat, "literal" -dzahiriyah judud, dan semua kecenderungan pemikiran yang menjadikan al-Qur'an dan Hadis sebagai rujukan utama.

Pada tingkatan klaim antar sesama kelompok pengikut salafi, juga tak kalah ruwetnya. Banyak sekali kelompok yang mengklaim dirinya sebagai salafi hakiki. Di Kuwait, misalnya, data menunjukkan ada lima kelompok yang sama-sama mengaku sebagai salafi, satu sama lain saling kecam dan mendaku sebagai yang paling sah.

Sejatinya, salaf bukanlah sebuah mazhab dan juga bukan personifikasi individu. Seperti pernah disinggung di atas, ia adalah sebuah generasi yang disabdakan Nabi sebagai generasi terbaik, yang mencakup tiga generasi Islam pertama. Kenapa dianggap yang terbaik? Karena mereka adalah generasi yang paling dekat, dengan pengertian seluas-luasnya, dengan masa kenabian. Terutama generasi pertama yang langsung dapat bimbingan dari Rasulullah Saw. Apa makna hadis ini bagi generasi setelahnya? Hadis ini mengajak kita semua untuk menjadikan metode berpikir dan cara bersikap mereka sebagai sumber inspirasi. Bukan malah dijadikan mazhab! Maka tak semua yang mengaku salafi akan otomatis berpikiran kolot. Tergantung kepada artikulasi dan cara memahami pola berpikir dan suluk salaf shalih itu sendiri. Dalam pandangan saya, salafi sejati tidak akan berpikir dan bersikap kaku. Dan kata salaf sendiri secara bahasa sangat netral dan sama sekali tidak mengandung arti pejoratif.

Hanya saja, karena berbagai faktor, pada akhirnya, istilah salafi sangat identik dengan kelompok Wahabi, sebuah aliran yang didirikan Syeikh Muhamad Bin Abdul Wahab (1703-1791) di Najd, Arab Saudi. Sebagian dari mereka, ada perasaan bahwa dirinya lah yang paling salafi. Mereka sendiri, sebetulnya lebih enjoy dipanggil salafi, daripada Wahabi.

Tapi, sayangnya ditangan mereka, makna salafi kemudian dicederai, dikerangkeng pada permasalahan furu'iyah dan perdebatan-perdebatan lama ulama klasik, baik di bidang Fikih, Ilmu Kalam, Tashawuf. Dalam Fikih mereka lebih konsen: membid'ah-bid'ahkan tradisi maulid nabi, ziarah, tawasul dan yang sejenisnya. Dalam Ilmu Kalam, alih-alih menanamkan hakikat makna tauhid, mereka memperdebatkan kembali tentang, misalnya, asma wa sifat dan bahayanya menta'wil ayat ar-Rahmanu 'ala al-'arsyi istawa dengan tawil sebagai kinayah dari keagungan Allah Swt, dll. Mereka akan mengecam siapa pun yang tidak sejalan dengan alur pemikirannya. Tak heran, kalau dicermati karya-karyanya, maka kita akan menemukan daftar-daftar bid'ah mulai yang klasik sampai bid'ah kontemporer. Judulnya pun bisa kita tebak seputar rad wa al'tirad mandul: fulan dalam timbangan Islam, mengcounter pemikiran fulan atau menelanjangi pemikiran fulan. Tentu saja bukan berarti kita tidak boleh untuk mendiskusikan kembali soal-soal di atas. Yang tidak boleh adalah menjadikan permasalahan di atas sebagai prioritas utama.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar singkat untuk membedah dan mendiskusikan kembali metode dan gerakan Salafi-Wahabi saja. Tak akan membahas gerakan salafi secara umum. Sudah kita maklumi semua, akhir-akhir ini, dalam beberapa hal, sebagian oknum yang berafiliasi pada kelompok Salafi-Wahabi dianggap kerap melakukan tindakkan-tindakkan yang berpotensi merusak citra Islam, meresahkan dan banyak menimbulkan perpecahan dikalangan intern umat Islam. Tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga di negara-negara dimana ada komunitas Islamnya, termasuk di Barat. "Lawannya" pun di batasi hanya dari kelompok-kelompok moderat saja: Syeikh Qaradhawi cs. Artinya, kritikan-kritkan keras Wahabi yang ada di tulisan ini, ditunjukkan buat tokoh-tokoh di atas yang selama ini dianggap moderat dan diakui otoritas keilmuannya. Poinnya, betapa sama tokoh moderat pun Wahabi masih merasa kegerahan. Sebelum mengenal lebih jauh tentang dasar pemikiran Salafi-Wahabi, ada baiknya kita petakan secara sederhana dulu gerakan awal salafi, dengan menjadikan Mesir, Maroko dan Saudi sebagai sampel.


Peta Gerakan Salafi

Gerakan Salafi, lebih-lebih mulai awal abad 19 M. tidak hanya disuarakan di Arab Saudi saja, tapi juga di berbagai negara Islam, diantaranya Mesir, dan Maroko. Yang menyatukan gerakan salafi ditiga negara itu adalah keseriusannya terhadap pemberantasan bid'ah, purifikasi akidah, perlawanan atas gerakan tasawuf. Mungkin karena suasana dan tuntutan lingkungan yang berbeda, membuat Salafi Maroko dan Mesir dengan Jamaludin al-Afghani dan Muhamad Abduh sebagai pionirnya kemudian mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki Salafi-Saudi atau Salafi-Wahabi. Misalnya, Salafi Maroko dan Mesir bisa lebih terbuka dengan modernitas dan tidak berhenti berkutat pada persoalan purifikasi akidah saja. Mereka mengalami lompatan perjuangan. Dalam kasus salafi Mesir, mereka langsung bergelut dengan problem kebangsaan yang sedang dihadapi. Abduh berani melakukan pembaharuan keagamaan, bahasa Arab dan reformasi fundamental metode pendidikan di universitas al-Azhar. Salafi Mesir juga bergabung bersama pemerintah mengangkat senjata untuk mengusir penjajahan Perancis. Hal yang sama pun berlaku bagi kelompok Salafi Maroko.


Sementara Salafi Arab Saudi dihadapkan pada kenyataan lain. Mereka sibuk bertempur dengan saudara seagama. Secara eksternal dan dengan diback-up Inggris, mereka berperang melawan Dinasti Ustmani. Pada tingkat internal mereka keasyikan melakukan purifikasi akidah dan memberantas tarekat-tarekat sufi yang saat itu berkembang pesat di Arab Saudi. Latar belakang inilah mungkin yang kemudian bisa menjelaskan kenapa kelompok salafi Arab Saudi sangat keras: berpikir sempit dan kolot.


Dasar-Dasar Pemikiran Salafi-Wahabi

Apresiasi kita sama Wahabi yang sangat peduli dengan laku sunah, otentifikasi sanad hadis, purifikasi akidah dengan memberantas bid'ah-bid'ah, tak bisa menghapus kesan kuat, bahwa secara umum, baik dalam bidang pemikiran, keagamaan, sosial dan politik sebagian orang yang berafiliasi kepada Wahabi banyak mengadopsi pendapat-pendapat keras-kaku. Mulai dari mengharamkan sistem demokrasi, sistem partai, konsep nation-state, kepemimpinan wanita ?bahkan wanita tidak boleh menyetir mobil sendiri, membid'ahkan maulid Nabi, ziarah kubur, zikir jama'ah, anti sufi sampai fatwa haram menggunakan sendok makan (lihat misalnya fatwa salah satu tokoh Salafi-Wahabi Yaman, Syeikh Muqbil dalam bukunya: as-Shawaiq Fi Tahrim Malaiq atau Halilintar: Tentang Haramnya Memakai Sendok.

Mencermati daftar permasalahan-permasalahan yang disesatkan-dibid'ahkan oleh mereka, maka kita akan berkesimpulan, bahwa kebanyakan daftar itu masuk wilayah mukhtaf fihi: suatu wilayah yang masih dan akan selalu diperdebatkan karena berangkat dari dalil yang tidak qath'i ats-tsubut wa ad-dilalah atau tidak ada ijma ulama. Sebetulnya sikap ulama klasik sudah sangat jelas dan bijak, bahwa dalam wilayah yang masih mukhtalaf fihi, siapa pun tidak boleh memaksakan pendapatnya. Karena akan terjebak pada fanatisme bermazhab dan perpecahan seperti sekarang ini. Semua orang bebas dengan pilihannya.

Pertanyaannya: apa gerangan yang menyebabkan konsentrasi mayoritas dari mereka tersedot pada hal-hal yang masih diperdebatkan? Apa yang membuat mereka seolah lupa bahwa masalah pokok umat Islam sekarang adalah kemiskinan, ketinggalan dalam bidang pendidikan, hi-tech dan bidang primer lainnya?

Realitas di atas terjadi karena dasar pemikiran mereka banyak berlandaskan pada, diantaranya:

1.Ada pembalikan skala prioritas pada cara berpikir dan bertindaknya. Misalnya, mereka lebih memilih meneriakan slogan bid'ah-sesat pada orang yang merayakan acara maulid, ziarah kubur, dll yang hukumnya masih mukhtaf fihi, walapun berpotensi mengancam persatuan umat. Karena jelas sikap keras itu akan menimbulkan ketersinggungan dan menimbulkan aksi balas yang kontra-produktif.

2.Dalam bidang pengetahuan agama, mereka terlalu konsen dengan menghafalkan tumpukan matan-syarah kitab, dan sibuk dengan fikih furu'iyah yang sering tidak di bandingi dengan pengetahuan kontemporer, sehingga yang terjadi adalah keluarnya fatwa-fatwa keras pada soal khilafiyah yang sering bertabrakan dengan kemaslahatan umat.

3.Menutup pintu kebenaran dari pendapat orang lain. Seolah yang benar hanya dirinya saja. Efeknya mereka menekan orang lain untuk ikut pendapatnya. Bahkan sebagian dari mereka tak segan untuk menyesatkan ulama yang berfatwa kebalikan dari pendapatnya. Lihat misalnya kasus yang menimpa pengarang buku best seller, La Tahzan, Dr. 'Aidh al-Qarni yang dikecam habis gara-gara berfatwa wanita boleh tak memakai cadar dan boleh ikut pemilu. Hal yang sama juga pernah menimpa almarhum Syeikh Ghazali dan Syeikh Qaradhawi.

4.Sering me-blowup permasalahan ajaran sufi, ziarah kubur, maulid nabi, tawasul dan sejenisnya, seolah-olah ukuran tertinggi antara yang hak dan bathil. Tapi pada saat yang sama mereka tidak peduli pada kebijakan publik dari pemerintahnya yang kadang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan umat Islam. Mereka taat total pada penguasa yang kadang kebijakannya tidak arif. Sangat jarang, kalau tak dikatakan tak ada, tokoh-tokoh Wahabi melakukan kritik pedas pada pemerintahan Arab saudi soal soal sistem pemerintah, kebijakan penjualan minyak, kebijakan politik luar negeri, lebih-lebih mengkritik "kedekatan" pemerintahanya sama Amerika dan sekutunya.

5.Terlalu mengagungkan tokoh-tokoh kuncinya, semisal Ibnu Taymiah, Bin Baz, dll, sehingga mengurangi nalar kritis. Padahal, pada saat yang sama mereka berteriak anti taklid!

6.Terlalu asyik dengan permasalahan mukhlataf fihi, sehingga sering lalai dengan kepentingan global umat Islam

7.Terlalu tekstualis, sehingga sering menyisihkan pentingnya akal dan kerap alergi dengan hal-hal baru.

Lembaran Hitam di Balik Penampilan Keren Kaum Wahabi : Ke mana-mana selalu menyebarkan salam. Selalu memakai baju bercorak gamis dan celana putih panjang ke bawah lutut, ciri-khas orang Arab. Jenggotnya dibiarkannya lebat dan terkesan menyeramkan. Slogannya pemberlakuan syariat Islam. Perjuangannya memberantas syirik, bid?ah, dan khurafat. Referensinya, al-Kitab dan Sunah yang sahih. Semuanya serba keren, valid, islami. Begitulah kira-kira penampilan kaum Wahabi. Sepintas dan secara lahiriah meyakinkan, mengagumkan.

Tapi jangan tertipu dulu dengan setiap penampilan keren. Kata pepatah jalanan, tidak sedikit di antara mereka yang memakai baju TNI, ternyata penipu, bukan tentara. Pada masa Rasulullah r, di antara tipologi kaum Khawarij yang benih-benihnya mulai muncul pada masa beliau, adalah ketekunan mereka dalam melakukan ibadah melebihi ibadah kebanyakan orang, sehingga beliau perlu memperingatkan para Sahabat t dengan bersabda, ?Kalian akan merasa kecil, apabila membandingkan ibadah kalian dengan ibadah mereka.?

Demikian pula halnya dengan kaum Wahabi, yang terkadang memakai nama keren ?kaum Salafi?. Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/1263-1328 M), akan didapati sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek keagamaan.

A. Sejarah Hitam

Sekte Wahabi, seperti biasanya sekte-sekte yang menyimpang dari manhaj Islam Ahlusunah wal Jamaah memiliki lembaran-lembaran hitam dalam sejarah. Kerapuhan sejarah ini setidaknya dapat dilihat dengan memperhatikan sepak terjang Wahabi pada awal kemunculannya. Di mana agresi dan aneksasi (pencaplokan) terhadap kota-kota Islam seperti Mekah, Madinah, Thaif, Riyadh, Jeddah, dan lain-lain, yang dilakukan Wahabi bersama bala tentara Amir Muhammad bin Saud, mereka anggap sebagai jihad fi sabilillah seperti halnya para Sahabat menaklukkan Persia dan Romawi atau Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel.

Selain menghalalkan darah kaum Muslimin yang tinggal di kota-kota Hijaz dan sekitarnya, kaum Wahabi juga menjarah harta benda mereka dan menganggapnya sebagai ghan?mah (hasil jarahan perang) yang posisinya sama dengan jarahan perang dari kaum kafir. Hal ini berangkat dari paradigma Wahabi yang mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin Ahlusunah wal Jamaah pengikut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi?i, dan Hanbali yang tinggal di kota-kota itu. Lembaran hitam sejarah ini telah diabadikan dalam kitab asy-Syaikh Muhammad bin ?Abdul Wahh?b; ?Aq?datuhus-Salafiyyah wa Da?watuhul-Ishl?hiyyah karya Ahmad bin Hajar Al-Buthami (bukan Al-Haitami dan Al-?Asqalani)?ulama Wahabi kontemporer dari Qatar?, dan dipengantari oleh Abdul Aziz bin Baz.

B. Kerapuhan Ideologi

Dalam akidah Ahlusunah wal Jamaah, berdasarkan firman Allah, ?Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah)? (QS asy-Syura [42]: 11), dan dalil ?aqli yang definitif, di antara sifat wajib bagi Allah adalah mukh?lafah lil-haw?dits, yaitu Allah berbeda dengan segala sesuatu yang baru (alam). Karenanya, Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dan Allah itu tidak duduk, tidak bersemayam di ?Arasy, tidak memiliki organ tubuh dan sifat seperti manusia. Dan menurut ijmak ulama salaf Ahlusunah wal Jamaah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Imam Abu Ja?far ath-Thahawi (227-321 H/767-933 M), dalam al-?Aq?dah ath-Thah?wiyyah, orang yang menyifati Allah dengan sifat dan ciri khas manusia (seperti sifat duduk, bersemayam, bertempat, berarah, dan memiliki organ tubuh), adalah kafir. Hal ini berangkat dari sifat wajib Allah, mukh?lafah lil-haw?dits.

Sementara Wahabi mengalami kerapuhan fatal dalam hal ideologi. Mereka terjerumus dalam faham tajs?m (menganggap Allah memiliki anggota tubuh dan sifat seperti manusia) dan tasyb?h (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Padahal menurut al-Imam asy-Syafi?i (150-204 H/767-819 M) seperti diriwayatkan olah as-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) dalam al-Asyb?h wan-Nazh?ir, orang yang berfaham tajs?m, adalah kafir. Karena berarti penolakan dan pengingkaran terhadap firman Allah, ?Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah).? (QS asy-Syura [42]: 11)


C. Kerapuhan Tradisi

Di antara ciri khas Ahlusunah wal Jamaah adalah mencintai, menghormati, dan mengagungkan Rasulullah, para Sahabat, ulama salaf yang saleh, dan generasi penerus mereka yang saleh seperti para habaib dan kiai yang diekspresikan dalam bentuk tradisi semisal tawasul, tabarruk, perayaan maulid, haul, dan lain-lain.

Sementara kaum Wahabi mengalami kerapuhan tradisi dalam beragama, dengan tidak mengagungkan Nabi r, yang diekspresikan dalam pengafiran tawasul dengan para nabi dan para wali. Padahal tawasul ini, sebagaimana terdapat dalam Hadis-Hadis sahih dan data-data kesejarahan yang mutaw?tir, telah dilakukan oleh Nabi Adam u, para Sahabat t, dan ulama salaf yang saleh. Sehingga dengan pandangannya ini, Wahabi berarti telah mengafirkan Nabi Adam, para Sahabat, ahli Hadis, dan ulama salaf yang saleh yang menganjurkan tawasul.

Bahkan lebih jauh lagi, Nashiruddin al-Albani?ulama Wahabi kontemporer?sejak lama telah menyerukan pembongkaran al-qubbah al-khadhr? (kubah hijau yang menaungi makam Rasulullah ) dan menyerukan pengeluaran jasad Nabi dari dalam Masjid Nabawi, karena dianggapnya sebagai sumber kesyirikan. Al-Albani juga telah mengeluarkan fatwa yang mengafirkan al-Imam al-Bukhari, karena telah melakukan takwil dalam ash-Shahih-nya.

Demikian sekelumit dari ratusan kerapuhan ideologis Wahabi. Dari sini, kita perlu berhati-hati dengan karya-karya kaum Wahabi, sekte radikal yang lahir di Najd. Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi r bersabda, ?Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan?. Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi..

Poin-poin di atas, menggiring kita pada kesimpulan bahwa Salafi-Modern mengalami krisis metodologis dan krisis fikih prioritas. Maka tak terlalu mengherankan kalau mereka juga biasa mengecam keras, dan sering gerah dengan sikap dan pendapat tokoh yang saya sebutkan di mukadimah yang dikenal moderat dan mumpuni secara keilmuan. Kesimpulan ini tentu tidak bisa digenerilisir begitu saja kepada semua Salafi-Wahabi. Karena ini sikap yang tidak ilmiah dan tak adil. Tapi, minimal, kalau kita amati buku-buku yang beredar tentang salafi yang ditulis oleh kalangan mereka, juga mengamati milist, maupun website yang dikelolanya, sedikit banyak anda mungkin akan setuju dengan kesimpulan saya. Lebih-lebih kalau yang dijadikan sampel adalah kalangan generasi mudanya.

Ada satu hal yang perlu digarisbawahi, dengan kritikan ini tidak berarti kita memandang remeh pada hal-hal yang mereka bahas. Juga tak berarti mereka tidak boleh memilih pendapat-pendapat yang menjadi keyakinannya. Itu adalah hak mereka. Yang salah adalah ketika pendapat-pendapat itu diekspor melewati teritorialnya kemudian dipaksakan kepada orang lain. Dan siapa saja yang menolak atau tidak ikut pendapatnya maka akan dihukumi bid'ah, bodoh akan hukum Islam dan disesatkan!

Yang paling mengkhawatirkan bagi kita, krisis ini menyebabkan mereka sering kehilangan akal kesadaran akan kepentingan global umat Islam, bahwa kita sedang dikepung arus globalisasi dan era pasar bebas yang tak mungkin dihindari. Arus ini bisa menggerus siapa saja yang tak berdaya. Ya, saya takut kita kehilangan rasa persaudaran, rasa sepenanggungan dan militansi akan kepentingan umat Islam! Padahal sekarang ini umat Islam bukan pemegang pentas dunia, baik sosial, politik maupun ekonomi. Artinya kita butuh ukhuwah untuk menegaskan identitas kita, lebih dari pada masa-masa sebelumnya. Bukan Ukhuwah yang hanya berhenti untuk membangkitkan romantisisme masa kejayaan silam. Ukhuwah yang dimaksud adalah untuk membangkitkan tekad membangun kembali peradaban Islam.

Sebagai penutup, marilah kita sadar fikih prioritas dan saling bahu-membahu pada hal yang kita sepakati, dan memberikan kebebasan memilih pada hal yang masih mukhtalaf fihi. Dan dalam bidang hukum Islam, khususnya, dan pemikiran pada umumnya mestinya sekarang ini jangan hanya mencukupkan diri pada apa yang telah dihasilkan ulama klasik sambil berteriak: ma taraka al-awal lil-akhir! (bahwa semuanya telah dibahas ulama klasik). Tapi harus menggabungkan antara apa yang pernah diwariskan ulama klasik dengan produk kontemporer. Dengan begitu kita tak tercerabut dari akar identitas kita, juga tak kaku-gagap dengan segala hal kebaruan. Konsep ini berdasarkan pada kenyataan bahwa setting formulasi-formulasi pemikiran ulama klasik banyak dihasilkan tepat pada saat umat Islam memegang kendali dunia. Ingat data sejarah mencatat -+ 700 tahun kita memegang peradaban dunia. Misalnya saja konsep bahwa non muslim yang tinggal di negara Islam harus mengenakan pakaian tertentu atau konsep uang yang wajib dizakati adalah uang yang berbentuh dinar dan dirham saja. Padahal dua jenis uang itu, kesaktiannya telah digantikan oleh uang kertas, khususnya dollar, dll.

Realitas saat ini sangat berbeda. Umat Islam sedang terpuruk dalam banyak hal. Data dilapangan menunjukan 50% umat Islam pendapatan perkapitanya dibawah 2 dollar. Dengan pendapatan itu jangan berpikir bisa meningkatan kualitas pendidikan. Membuat anaknya tidak kelaparan saja sudah sangat layak mendapatkan gelar Bapak Teladan!

Akibat dari keterpurukan ini maka cermatilah hasil-hasil keputusan hukum fikih yang ditelorkan baik, oleh Majma' Buhust Mesir, Bahtsul Masail PBNU, Majelis tarjih PP. Muhamadiyah, dll seringkali yang temukan adalah fikih solusi, bukan hukum normal yang berdiri dengan gagah. Kaidah adh-dharurat tubihu al-mahdhurat, al-amru idza dzaka it-tasa', konsep sadz- adz-dzari, dan kaidah-kaidah lain yang mengisyaratkan kita dalam posisi "kalah hidup" pun menjadi kaidah yang paling laris. Kenapa? Karena realitas kebijakan hitam-putih dunia sekarang ini tidak ditangan kita. Mereka yang punya otoritas kebijakan dunia. Bukan kita! Sekarang pertanyaannya: Sudah siapkah kita untuk lebih mendahulukan persatuan dan kepentingan umat?


========================================================


(SEBUAH PUISI TENTANG TUHAN)

DUNIA SERBA TUHAN ATAWA TUHAN SEMAKIN BANYAK
21 April 2008 10:58:19

Di mana-mana semakin banyak tuhan
Di Irak dan Iran
Di Israel dan Afganistan
Di Libanon dan Nikaragua
Di India dan Srilangka
Di JEpang dan Cina
Di Korea dan Pilipina

Tuhan semakin banyak
Di Amerika dan Rusia
Di Eropa dan Asia
Di Afrika dan Australia
Di NATO dan PAlta Warsawa
Di PBB dan badan-badan dunia
Dimana-mana tuhan, ya Tuhan
Disini pun semua serba tuhan
Disini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar
Kantor dan sanggar
Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas

Ya Tuhan, di sana-sini semua serba tuhan
Pernyataanku pernyataan tuhan!
Kebijaksanaanku kebijaksanaan tuhan!
Keputusanku keputusan tuhan!
Pikiranku pikiran tuhan!
Pendapatku pendapat tuhan!
Tulisanku tulisan tuhan!
Usahaku usaha tuhan!
Khutbahku khutbah tuhan!
Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama?ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan!

Ya Tuhan!
(BEGITU MUDAHNYA MEREKA MEMVONIS SESAMA MUSLIM DENGAN KATA2 SESAT, SEAKAN LEBIH TUHAN DARI TUHANNYA NABI MUHAMMAD SAW SENDIRI)
 
Re: Tasawuf Dan Aqidah Manunggaling Kawula Gusti

sepakat dengan sadewo...
Selamat datang juga di forum agama islam. posting pertamax isinya bagus. dapat satu bintang yahhhhh
 
Yuk...

Manunggaling kawula gusti itu nggak sesat, namun untuk memahaminya secara bear, yang belajar harus sudah mantap islamnya. dalam tasawuf, penyatuan mistis antara hamba dan tuhan itu dikenal dengan istilah fana'.
penyatuan ini bukan berarti membuat hamba menjadi tuhan atau sederajat, namun hamba melebur kedalam tuhan. ini memang hanya dapat dipahami lewat kajian hakikat, dan kayaknya form ini gak cocok. karena ditkutkan ada yang nanti salah paham karena ilmunya belum memadai untuk menalar stetmen2 hakikat.
mengenai sufi dan tasawuf, itu memang sangat pribadi. kelahiran tasawuf smpai skarang masih ada kontraversi, ada yang bilang tasawuf asalnya dari kata teo-sofia (ilmu ketuhanan), ada yang bilang dari shuffah (kesederhanaan) dan ada yang bilng perpaduan antara teologi dan filsafat. udah, jangan liat defenisinya, lihat saja perilaku mereka yang senantiasa menjaga hati mereka dari cinta dunia. mereka nggak angkuh dengan ibadah mereka, dan taukah kamu, jika para sufi itu sangat bijaksana?
 
Alhamdullilah..!!,
Mari kita landasi diskusi kita ini dengan kata-kata bijak:
"Boleh berbeda pendapat, asal jangan kehilangan sahabat"

Kalau boleh saya ikutan tanya nih..!!, siapa sebenarnya yang memulai untuk memilah-milah dan membeda-bedakan Islam ? sehingga pada akhirnya begitu banyak kelompok 'keyakinan' yang kadang secara ekstrim saling menyalahkan satu dan lainnya, sementara semua mengklaim sumber yang sama..!!

Memang sudah menjadi ciri kelemahan 'manusia' yang masih menggunakan 'mata' hanya untuk melihat keluar tanpa pernah berusaha untuk melihat kedalam.

Bila kita sangat hafal tanggal lahir kita, kapan lulus sd, smp, sma, dst, kapan kita nikah..dst..!!, tapi bolehkah saya kembali bertanya.. kapan 'tepat' nya anda masuk Islam..?? .

Kalau anda bisa merasakan 'beda' nya antara waktu masih 'smp' dan sudah 'sma', bila anda bisa menentukan 'beda' nya sebelum dan sesudah 'menikah' maka ijinkan kembali saya bertanya..sudahkah anda tahu 'beda' nya sebelum dan sesudah 'masuk' Islam...??

Kalau kita orang Indonesia, secara umum tentu kita tahu apa itu 'Monas' tapi ijinkan kembali saya bertanya.., yang manakah sudut pandang terbaik untuk dapat 'melihat secara lengkap' Monas...??, karena apabila anda sedang 'didalam' Monas, tentu anda tidak lagi dapat 'melihat' sosok Monas, sedangkan bila anda 'diluar' Monas, tentu anda tidak akan tahu 'apa yang sedang terjadi' didalam Monas...!!. Kemudian silahkan mengganti kata 'Monas' dengan 'Islam',....apakah anda bisa memperoleh sudut pandang terbaik..??.

Sebagai Makhluk Allah SWT, yang diperintahkan untuk memulai segala hal dengan Iman sebagaimana dipanggil diawal-awal Surat dengan kalimat 'Wahai orang-orang yang beriman" dan didalam keimanan tersebut selalu diperintahkan untuk 'berfikir' sebagaimana sering dicantumkan diakhir-akhir surat dengan kalimat "Bagi orang-orang yang mau berfikir", sehingga diharapkan dengan kedua 'sikap' tersebut dapat meraih 'ketenangan' dalam beribadah sehingga akhirnya dapat diklasifikasikan termasuk dalam kalimat panggilan "Wahai jiwa-jiwa yang tenang". Sampai disini ijinkan kembali saya bertanya..., sejujurnya sudahkah 'anda' meraih 'ketenangan jiwa' tersebut didalam 'aktifitas keislaman' anda ..? atau justru anda masih 'tidak tenang' dengan yang anda coba 'ucapkan' dan 'kerjakan' setiap saat sehingga anda akan selalu berusaha untuk memilah-milah dengan pertanyaan apakah saya sedang 'didalam' ibadah ataukah sedang 'diluar' ibadah...??.

Mari kita bicara mengenai 'tingkat pemahaman' yang sering dipertentangkan selama sekian abad dan menimbulkan pertumpahan darah dan saling menghalalkan 'darah' masing-masing kelompok.

Bayangkan semisal didalam suatu ruang kelas, dikumpulkan para 'juara kelas', ranking 1 dari anak TK, anak SD, anak SMP, anak SMU, Mahasiswa S1, dan Program S2. Masing-masing juara 1, dan kemudian ditanyakan apa 'pemahamannya' mengenai hitungan 1 + 1 = 2. Tentunya mereka semua secara 'rumusan' akan setuju dan meyakini hitungan tersebut sesuai 'keterangan' yang mereka peroleh dari masing-masing 'guru/dosen' nya.

Tetapi ketika mulai diminta untuk 'memahami' dan 'menjabarkan' tujuan dari 'rumusan' tersebut maka disinilah akan timbul berbagai 'tingkat' pemahaman yang satu sama lain tidak mungkin bisa disepadankan karena memang berbeda tingkatan dan semua 'meyakini' kebenaran masing-masing dan memang pada hakikatnya mereka semua 'benar'. Lalu kembali ijinkan saya bertanya kepada anda..?, sesuai rumusan diatas benarkah bila " 1 Islam + 1 Islam = 2 Islam ".. ?.

Saat ini pada kenyataannya kita melihat tidak hanya "2 Islam" tetapi "banyak Islam", dan apakah ini merupakan dampak dari 'rumusan' matematis tersebut, karena kita sudah terbiasa dibentuk dalam hidup 'matematis', seperti 'belajar yang rajin = pandai' dan 'kalau pandai = sukses' , bahkan 'pahala' dan 'dosa' kita beri 'satuan' matematis tertentu ada yang 'besar' ada yang 'kecil', ada perkalian, kelipatan, bahkan 'do'a' dan 'dzikir' perlu kita hitung dengan 'counter'..?. Kalau sudah begini..kembali ijinkan saya bertanya.., sudah tepatkah pilihan status kita ? apakah kita sedang menjadi 'pekerja' yang selalu mengharap 'upah' dan takut 'dipecat' , ataukah kita sedang 'berdagang' sehingga mengharapkan 'untung' dan takut 'rugi', atau kita betul sudah memahami apa yang dimaksud 'hakikat' dari 'abd' / 'hamba' Allah SWT.

Sampai disini, dengan sedemikian banyaknya "Islam", maka berikutnya timbul pertanyaan 'dimanakah' posisi anda ?. Anda darimana ? sedang dimana ? dan akan kemana ?. Hal ini tidak akan ada orang lain sepandai apapun yang mampu menjawabnya karena itu adalah 'posisi' anda, sehingga andalah yang paling ahli untuk menjawabnya..!!. Apabila ada 'orang' ataupun 'kaum' yang mengklaim mampu melihat 'posisi' anda, maka 'orang/kaum' tersebut sedang kehilangan 'posisi' nya sendiri, karena berusaha melihat 'posisi' anda. Ingatlah 'hukum mata' dimana 'penglihatan' diciptakan untuk 'hanya' dapat melihatsecara 'fokus' ke satu titik sehingga bila digunakan untuk 'melihat' dan bahkan 'menilai' 'orang' lain, maka pada saat yang sama kita sedang kehilangan 'penglihatan' diri kita sendiri (he..he.. mudah-mudahan tidak terlalu rumit ya..bro).

Sebagai 'panduan' ringan untuk dapat memahami 'hakikat' dari dimana 'posisi' kita didalam 'keislaman' kita. Mari kita mencoba 'idiom' hikmah Buah Mangga (lho..apa hubungannya sama buah mangga..!!?, yaa.. iyalah buah mangga, masak buah kameha-meha dari hawaii yang kita nggak tau bentuknya..)

Pertama, bagaimanakah cara 'melihat' dan 'membedakan' buah mangga yang 'mentah' dan 'matang, tentunya dengan melihat perbedaan 'warna' kulitnya ditambah dengan memperhatikan 'kemulusan' kulitnya, dilanjutkan dengan 'mencium' baunya, dan 'meraba' keempukan kulitnya. Sedangkan untuk mengetahui 'asam' atau 'manis' rasanya tidak mungkin bisa kita 'yakini' hanya dengan 'melihat' kulitnya, sehingga kita perlu bertanya kepada 'penjual' nya, dan perlu diingat bahwa semua 'penjual/pedagang' buah mangga akan mengatakan bahwa mangganya paling 'manis'.

Bila keislaman seseorang ada pada tahapan 'kulit' buah mangga, maka yang diperlukan adalah 'kulit islam' yang 'mulus' , 'harum' baunya, dan dapat 'diraba' sehingga cenderung untuk selalu berusaha untuk 'mengkilapkan' kulitnya dengan berbagai bentuk 'ibadah' yang dapat 'dilihat mulus' , 'wanginya tercium', dan 'dapat diraba' jumlahnya dan berharap mendapatkan pujian 'manis' dan berupaya untuk mengiklankan 'kemanisan' ibadahnya seperti pedagang buah mangga tadi walaupun 'hakikat' nya tidak pernah benar-benar merasa 'yakin' terhadap 'kata-kata' nya sendiri. Sebagai 'kulit Islam', inilah lapisan terluar yang paling banyak jumlahnya, dan sesuai 'fungsi' nya justru ini adalah 'pelindung/pagar' dari lapisan berikutnya.

Kedua, ijinkan saya kembali bertanya 'sudahkah anda merasakan nikmatnya Islam ?'. Nah.. seperti juga 'umum' nya orang yang 'membeli/memetik' buah mangga yang 'matang', rata-rata tujuannya adalah untuk menikmati 'daging' buah mangga tersebut. Tentu setelah melalui tahap 'pertama' diatas, pada akhirnya orang akan 'mengupas' dan 'membuang' kulit yang pada awalnya dianggap paling utama dalam 'menilai' buah mangga. Karena tanpa berupaya untuk 'mengupas/membuang' kulit tersebut, anda tidak akan bisa 'menikmati' daging buah mangga itu. Begitu juga dengan 'keislaman' kita, bila kita 'mempertahankan' kulit, maka kita tidak akan pernah merasakan 'daging' Islam. Seperti juga buah mangga, saat kita mulai 'mengunyah' daging buah Islam, maka disitulah anda baru bisa merasakan yang dimaksud dengan 'nikmat' manisnya Islam.

Kembali kita bertanya.., apakah semua orang yang sedang 'mengunyah' daging buah Islam akan merasakan nikmat yang sama..? . Untuk 'memahami' ini, mari kita petik dua buah mangga dari pohon yang 'sama', yang menurut 'penglihatan' kita sudah 'sama' matangnya. Anda dan saya masing-masing 'mengupas kulit' dan mulai 'menikmati' daging buah mangga masing-masing. Kemudian saya bertanya kepada anda, daging buah mangga anda 'manis' nggak ?, dan anda jawab 'manis', lalu anda balik bertanya kalau daging buah mangga saya bagaimana ?, maka saya jawab 'manis juga'..!!. Baiklah..kedua-duanya ternyata 'manis'. Sampai disini kembali ijinkan saya bertanya.., adakah cara untuk dapat 'memperbandingkan' rasa 'manis' diantara kedua buah mangga tadi tanpa 'bertukar' buah masing..masing..!!. Bila jawabannya adalah 'tidak ada', maka sungguh merupakan perbuatan 'sia-sia' untuk membanggakan 'kadar rasa manis' masing-masing sambil 'berusaha' menilai 'kadar manis' buah yang lain hanya dengan 'melihat' tanpa mencoba 'bertukar' daging buah 'mangga' tersebut.

Demikianlah yang dimaksud dengan 'nikmat' Islam hanya dapat dirasakan secara masing-masing 'individu' dan tidak dapat dipertukarkan apalagi saling memberi penilaian 'ukuran' nikmatnya, seperti juga saat anda menjadi 'pengemudi' mobil anda tidak bisa merasakan 'nikmat' nya menjadi penumpang, demikian sebaliknya sebagai penumpang tidak akan bisa merasakan 'nikmat' nya mengemudi mobil. Kemudian selanjutnya timbul lagi pertanyaan., apakah 'nikmat' ini yang menjadi 'maksud' dan 'tujuan' kita pada saat 'membeli/memetik' buah mangga...??. Untuk sebagian orang, tahapan ini sudah cukup, karena pada umumnya yang bisa dirasakan adalah 'rasa manis' dari daging buah mangga itu.

Tapi sejauh mana atau berapa lama 'rasa manis' fisik itu bisa kita rasakan ?, tentunya tidak bisa terlalu lama karena 'rasa' itu hanya sebatas sampai 'tenggorokan' kita saja. Kalau begitu, tentu bisa kita simpulkan bahwa 'nikmat manis' itu bukan 'tujuan' utama, ternyata 'nikmat' itu hanya 'bonus' dan 'sarana' agar kita mau 'memakan/mengunyah' nya, sedangkan 'tujuan' utama adalah 'apa manfaat' yang bisa kita peroleh dari buah mangga itu, yang dalam hal ini adalah 'vitamin' dan berbagai 'zat' yang berkhasiat untuk 'kesehatan' kita, dimana kita tidak tahu 'yang mana' dan seperti 'apa' rasanya, tetapi kita jelas dapat 'merasakan' manfa'at dan 'arti' rasa 'sehat' pada tubuh kita setelah 'mengkonsumsi' nya. Demikianlah 'hakikat' dari 'manfa'at' Islam yang sebenarnya adalah seperti 'vitamin' dan 'zat' berkhasiat yang tujuannya adalah menyehatkan atau memperbaiki 'kesehatan' akhlak kita.

Inilah yang dimaksud dengan tahapan ketiga dari keislaman seseorang, dimana pada tahapan ini 'seseorang' tersebut sudah dapat benar-benar 'merasakan' manfaat islam yang bertujuan memperbaiki dan meningkatkan 'kesehatan' akhlaknya. Sampai disini 'pembahasan' hikmah buah mangga ini masih dalam lingkup manfa'at individual. Dalam tahapan ini 'seseorang' tersebut tentunya tidak lagi 'sibuk' mempersoalkan dan memperbandingkan 'mulusnya kulit' atau 'manisnya' rasa daging buah mangga, tapi lebih mementingkan 'manfaat' apa yang bisa diperoleh dari 'mengkonsumsi' buah mangga itu. Di tahap ini, kemudian muncul pertanyaan baru.., Jadi apakah ini yang merupakan 'maksud' dan 'tujuan' diturunkannya 'Islam'..?.

Agar dapat menjawab pertanyaan diatas mari kita lanjutkan ketahapan yang keempat. Dari seluruh pembahasan mengenai hikmah buah mangga diatas..sebenarnya manakah bagian paling penting dari buah mangga..??, apakah 'kemulusan kulitnya' , 'manisnya rasa daging buahnya'. 'atau manfaat berbagai vitamin yang terkandung didalamnya'..?, jawaban yang mudah adalah ketiga-tiganya sama-sama penting karena merupakan rangkaian dan kesatuan yang mengantarkan pada tahapan berikutnya, karena bila tidak ada 'kulit' , maka 'daging' akan rusak, dan bila 'daging' rusak, maka 'vitamin' akan hilang.

Menjawab pertanyaan, apa bagian paling penting dan merupakan 'tujuan' dari buah mangga ?, ternyata bagian ini pada umumnya adalah yang paling sering kita 'buang' yaitu 'biji' buah mangga. Biji atau bisa disebut 'inti' buah mangga dapat kita 'idiom' kan dalam keislaman kita, inilah tahapan akhir dan yang merupakan 'tujuan' sebenarnya dari proses 'keislaman' seseorang.

Mari kita kembali ke 'pohon' mangga. apa maksud dan tujuan sebenarnya si 'pohon mangga' dengan menghasilkan 'buah mangga' yang 'mulus kulit' nya 'manis' rasa daging buahnya, dan 'bermanfaat' vitamin nya...?. Dari perspektif 'pohon mangga' tersebut, ternyata ketiga hal itu hanyalah sebagai sarana 'penarik/pemikat dan bonus' agar tujuan utama si 'pohon mangga' itu tercapai, yaitu menghantarkan 'biji/inti' yang merupakan 'penerus' dari si 'pohon mangga' itu agar menyebar seluas mungkin dan kemudian 'berproses tumbuh berkembang' secara 'persis sama' dengan 'induk' nya diseluruh penjuru bumi ini dan 'kembali' dapat memberikan 'manfaat' yang semakin lama semakin besar.

Nah..mudah-mudahan saya tidak salah menyimpulkan bahwa 'ilustrasi' pohon mangga dan buah mangga diatas dapat lebih 'memahamkan' kita bahwa fungsi utama 'keislaman' kita ternyata harus senantiasa meningkat dan berdaur ulang seperti siklus buah mangga itu. Kita perlu melalui tahapan 'mulusnya kulit Islam'. kemudian meningkat ketahapan 'nikmat manisnya daging Islam', dilanjutkan dengan 'Bermanfaatnya vitamin dan zat Islam'. dan utamanya adalah 'sempurnanya biji/inti Islam' agar dapat 'ditanamkan' kembali dan 'tumbuh berkembang dalam qalbu generasi penerus Islam' secara 'persis sama' dengan 'induk' nya, 'mengakar kokoh dan kuat' serta 'berdaun rimbun menjulang' agar dapat memberikan 'perlindungan dan kesejukan' bagi umat manusia dan pada gilirannya kelak akan kembali 'berbuah' lebih baik dan lebih 'bermanfaat' bagi seluruh alam.

Semoga cerita kecil diatas dapat memberi manfaat bagi rekan-rekan semua, dan sekali lagi 'boleh berbeda pendapat, asal tidak kehilangan sahabat'.

Wassalam.
 
Taufiq said:
Kalau boleh saya ikutan tanya nih..!!, siapa sebenarnya yang memulai untuk memilah-milah dan membeda-bedakan Islam ? sehingga pada akhirnya begitu banyak kelompok 'keyakinan' yang kadang secara ekstrim saling menyalahkan satu dan lainnya, sementara semua mengklaim sumber yang sama..!!
sama neh..mo ikutan, Jaman Nabi saw seh blom ada pilah2 gitu, tapi info akan terpecahnya umat Islam jadi 73 golongan dari hadits, minimal klo itu bukan dari hadits, sejak jaman dolo uda diprediksi sama si pembuat hadits 73 golongan itu kan..?!

Bila kita sangat hafal tanggal lahir kita, kapan lulus sd, smp, sma, dst, kapan kita nikah..dst..!!, tapi bolehkah saya kembali bertanya.. kapan 'tepat' nya anda masuk Islam..?? .
sejak di alam arwah QS.Al-A'raf 172

Kalau anda bisa merasakan 'beda' nya antara waktu masih 'smp' dan sudah 'sma', bila anda bisa menentukan 'beda' nya sebelum dan sesudah 'menikah' maka ijinkan kembali saya bertanya..sudahkah anda tahu 'beda' nya sebelum dan sesudah 'masuk' Islam...??
saya ya gak tau lha...soale blom pernah kluar dari Islam, naudzubillah de..! dari pertama brojol dari perut Ibu sudah fitrah Islam seh...

Kalau kita orang Indonesia, secara umum tentu kita tahu apa itu 'Monas' tapi ijinkan kembali saya bertanya.., yang manakah sudut pandang terbaik untuk dapat 'melihat secara lengkap' Monas...??, karena apabila anda sedang 'didalam' Monas, tentu anda tidak lagi dapat 'melihat' sosok Monas, sedangkan bila anda 'diluar' Monas, tentu anda tidak akan tahu 'apa yang sedang terjadi' didalam Monas...!!. Kemudian silahkan mengganti kata 'Monas' dengan 'Islam',....apakah anda bisa memperoleh sudut pandang terbaik..??.
Ada yg parsial dan ada yg general, kita mo pake yang mana sesuai kebutuhan aja, yang jelas klo memang suatu KEBENARAN itu sama kebenaran yg parsial2 tidak mungkin bersalah-salahan

Aduh...bahasa sastra nya bikin laper neh...mana blom musim mangga lageee
 
Beberapa Bukti Kesesatan Ajaran Tasawuf
Bukti apa sekedar "pemahaman" dari penulis bahwa tulisan dia bisa dianggap sebagai bukti?

mari kita bahas satu per satu yang kata penulis adalah "bukti", maka saya akan mem-bukti-kan juga sebaliknya, dan mengajak merenungkan kembali apa arti bukti dan apakah ini suatu bukti ?!

1. Al Hallaj seorang dedengkot sufi, berkata : ?Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.? (Dinukil dari Firaq Mua?shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).
Padahal Allah Ta?ala telah berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
?Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.? (Asy Syuura : 11)

رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي
?Berkatalah Musa : ?Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.? Allah berfirman : ?Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (yakni di dunia-pen)???? (Al A?raaf : 143).
kuncinya ada pada kata "menampak-kan", yg dimaksud oleh Al-Halajj pada kata "menampakkan diri pada makhluknya" bahwa alam ini adalah cermin, kalau anda mo lihat Allah lihat dengan "cermin", karena mata telanjang mu tak akan mampu melihat Dia !!

maka dengan ayat yang dikutip diatas tiada bersalah-salahan, yg jadi problem adalah karena Al-Hallaj memberi contoh dengan "dalam bentuk orang makan minum" sebenarnya contoh ini dapat diganti2 dengan "menampakkan pada gunung" seperti pada lanjutan kisah Musa as

cuma salah paham si penulis saja mengartikan kata "menampakkan" itu, tidak bisa jadi bukti sesat kok..!

lanjut...
 
2. Ibnu ?Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata : ?Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah !? (Fushushul Hikam).[3] Betapa kufurnya kata-kata ini ?, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini ?!
bahasa terjemahan nya yg salah tuh...! buktinya pake tanda kurung, jelas sudah dipengaruhi oleh 'subjektif' si penulis/penerjemah

Maksudnya gene...waktu itu ada seorang salik yg tidak mau menyentuh istrinya, karena malu dilihat Allah, sebagai seorang syaikh yg tau kewajiban memberi nafkah lahir-batin kepada istri, maka ada taktik agar orang tsb jadi senang dekat kepada Istrinya seperti ia dekat kepada Allah

dan ini per kasus gak bisa dijadikan hujjah, setiap niat baik tidak selalu dengan cara yg baik

lanjut...
 
3. Ibnu ?Arabi juga berkata : ?Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.? (Al Futuhat Al Makkiyyah).[4]
Klo masalah memuji tentu saudara2 sekalian gak masalah donk..karena Allah memang sering memuji hambanya bisa dilihat banyak sekali pujian Allah kepada nabi2 da rasul-Nya, bahwak Rasulallah saw baginda tercinta diberi sholawat oleh-Nya

klo masalah 'saling menyembah' itu maksudnya bukan ada dua, seperti "ada yg disembah" dan "ada yg menyembah", bagimana bisa saling sembah klo ya ada cuma SATU ?! hanya orang bodoh yg bilang kalo cuma satu bisa saling sembah !!

lanjut..
 
4. Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata : ?Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama ? masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.? [5]
aduh ..aku gak punya sumber aslinya seh..kata2 Jalaludin Rumi tsb, soale dia tuh orang sastra yg kelas dunia pada masanya dan sampe sekarang, dia tuh terkenal dengan sufi mahabbah, jadi klo bahasa cintanya itu susah banget untuk di mengerti, coba degh baca bait2 syair nya Rumi, klo gak puyenk berarti ente boonk !

Yang jelas Dia uda bilang/ngaku Islam, dan mungkin klo hidup dizaman Isa as dia jadi Nasrani dan klo hidup di jaman Musa as dia jadi Yahudi, yg semua adalah dolonya agama TAUHID, begitu juga kita kan?!

kemudian tempat ibadah, ya kan bisa dimana aja, yg penting connect nya benar kepada ALLAh swt saja

lanjut...
 
5. Pembagian ilmu menjadi Syari?at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta?ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ?Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).? (Majmu? Fatawa, juz 11 hal. 401).
yah....ini mah uda jelas2 omongan dari Ibnu Taimiyah si anti tasawuf, tapi bukan dia gak ngerti ilmu2 yg tinggi dari tasawauf tsb, dia khawatir orang jadi sesat, karena tidak semua orang punya level pemahaman yg sama, makanya dia memberi statement untuk orang2 awam bukan untuk yg ahli nya, apa pernah di melarang seorang salik ? tasawuf yg dilarang itu untuk orang yg awam

lanjut...
 
Back
Top