Banyak Kendala Budidaya Jagung Hibrida

nurcahyo

New member
Banyak Kendala Budidaya Jagung Hibrida

Jagung adalah tanaman yang sangat akrab dengan petani di Sulawesi Tenggara. Komoditas ini merupakan salah satu bahan pangan andalan. Bahkan, sebagian masyarakat Sulawesi Tenggara, terutama di daerah kepulauan (Muna, Buton, dan Wakatobi), menjadikan jagung sebagai bahan makanan pokok di samping beras dan umbi-umbian.

Tak heran, rencana mengembangkan jagung hibrida di Pulau Sulawesi hingga mencapai produksi lima juta ton pada tahun 2010 merupakan peluang besar bagi petani Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk meningkatkan produksi dan sekaligus pendapatan mereka.

Rencana itu terungkap dalam acara penanaman jagung di Kabupaten Konawe Selatan, awal Agustus lalu, yang dihadiri Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Menteri Pertanian Anton Apriantono, serta Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad yang sering dijuluki "gubernur jagung".

Pertanyaannya, bagaimana peluang emas itu bisa diwujudkan bukan saja untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani, tetapi juga meningkatkan kegiatan ekonomi dan perdagangan sehingga membuka lapangan kerja bagi masyarakat.

Harus dicatat bahwa komoditas jagung yang dihasilkan petani Sultra selama ini bersumber dari benih lokal yang ditanam secara tradisional. Selain tingkat produktivitas yang rendah, jagung lokal itu tidak laku di pasaran dalam negeri sebagai bahan baku industri pakan.

Kondisi sosial petani jagung juga merupakan tantangan tersendiri bagi usaha pengembangan jagung hibrida. Sebagian besar petani, terutama penduduk asli Sultra, masih bergantung pada kemurahan alam. Belum akrab dengan teknologi, seperti penggunaan pupuk dan obat-obatan. Padahal, tanpa perlakuan khusus, benih jagung hibrida tidak bakal mencapai tingkat produktivitas standar, yaitu 7 ton-8 ton per hektar.

Potensi lahan

Lahan pertanian di Sultra yang setiap tahun ditanami jagung mencapai sekitar 40.000 hektar. Luas panen tahun 2005, misalnya, tercatat 37.339 hektar dengan produksi sekitar 73.153 ton. Luasan itu baru sebagian kecil dari potensi lahan kering di provinsi ini yang mencapai sekitar 256.000 hektar.

Sebagai tindak lanjut dari rencana pengembangan jagung hibrida di Sultra, Ali Mazi?saat masih menjadi gubernur?telah menetapkan target areal untuk musim tanam 2006-2007 seluas 24.835 hektar dengan perkiraan produksi 71.920 ton. Musim tanam berlangsung mulai Oktober 2006 hingga Maret 2007.

Secara operasional, program jagung hibrida ditangani pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi berperan sebagai pembina dan fasilitator. Dalam hal pemasaran pun, seperti dikatakan Kepala Dinas Pertanian Sultra Zuhuri Machmud, pemerintah kabupaten/kota harus proaktif mendorong pengusaha lokal agar berperan sebagai pelaku.

Penetapan target itu disesuaikan dengan kondisi dan potensi kabupaten/kota bersangkutan. Kabupaten Muna yang dikenal sebagai sentra jagung di Sultra, misalnya, diberi porsi 10.670 hektar, menyusul Konawe 4.533 hektar, dan Konawe Selatan 4.249 hektar.

Kabupaten Buton?yang wilayahnya semakin menciut menyusul terbentuknya beberapa kabupaten/kota baru dalam rangka pemekaran?ditargetkan 3.022 hektar, Kolaka (1.228 hektar), Bombana (472 hektar), Kolaka Utara (330 hektar), Kota Kendari (189 hektar), dan Kota Bau-Bau (142 hektar).

Kondisi di lapangan

Untuk merealisasikan target areal jagung hibrida, mutlak diperlukan sarana produksi dan pembiayaan. Namun, kedua hal penting itu justru masih belum jelas bagi petani maupun instansi teknis terkait, siapa yang harus menyediakannya.

Seperti dijelaskan Bupati Muna, Ridwan, di kabupaten itu saat ini terhampar lahan siap tanam jagung sekitar 3.000 hektar atas prakarsa petani sendiri dalam rangka menghadapi musim tanam (MT) 2006-2007. Namun, benih hibrida belum tersedia, apalagi dana untuk pengadaan pupuk dan obat-obatan.

"Bila benih hibrida tidak tersedia, petani dengan sendirinya akan tetap menanam benih lokal atau jenis lain yang mereka kehendaki, seperti selama ini," ujar Ridwan.

Pemerintah pusat, seperti dijelaskan Zuhuri Machmud, memang menyediakan benih hibrida untuk MT 2006-2007 sebanyak 15 kilogram setiap peserta. Akan tetapi, alokasi itu hanya cukup untuk 12.000 hektar, separuh dari target Pemerintah Provinsi Sultra.

Di tingkat petani, persiapan menghadapi musim tanam yang menurut jadwal dimulai pada Oktober memang belum terarah ke penanaman jagung hibrida. Para petani menyiapkan lahannya untuk jagung lokal. "Ada yang bilang katanya mau menanam hibrida, tetapi benihnya tidak tersedia," tutur Simon (50), warga Desa Matarawa, Kecamatan Batupute, Muna.

Hal senada diungkapkan Lamuru (48), Sekretaris Desa Wakaokili, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton. Menurut dia, warga desa itu belum pernah menanam jagung hibrida. "Namun, jika benih hibrida dan sarana produksi lainnya tersedia, warga mau mencobanya," katanya.

Bagi petani di Desa Lakapodo, Kecamatan Batupute, Muna, khususnya Kelompok Soliwunto, penanaman jagung hibrida merupakan hal baru yang menarik. Selama beberapa tahun terakhir ini mereka menanam jagung komposit dengan produksi rata-rata empat ton per hektar.

Seperti dikemukakan ketua kelompok, Jumadi (33), anggota Kelompok Soliwunto berminat menanam hibrida karena produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis komposit. Syaratnya, harga jagung hibrida minimal Rp 1.200 per kilogram. Kurang dari itu tak menguntungkan.

Perlu sosialisasi

Selain mematok harga, Jumadi juga menginginkan adanya pihak yang bertanggung jawab dalam pembelian jagung setelah panen. "Bila ada kepastian seperti itu, kami mau beralih dari komposit ke hibrida," ujar Jumadi yang didampingi penyuluh pertanian lapangan Kecamatan Batupute, Lafiu (45).

Ridwan lebih tegas lagi. "Saya mendukung program jagung hibrida, tetapi sebelumnya harus dibuat kontrak agar jelas siapa yang akan membelinya dan dengan harga berapa sudah harus ditentukan," kata Bupati Muna tersebut.

Bagi Ridwan, pengalaman tahun 2003 jangan sampai terulang lagi. Ketika itu muncul pengusaha dari Surabaya yang menganjurkan penanaman jagung hibrida, tetapi pengusaha itu lari setelah panen. "Untuk menyelamatkan petani, kami terpaksa membeli jagung mereka dengan dana APBD sebesar Rp 180 juta," tuturnya.
 
tengkiu banyak ya infonya.... Aku doakan juga supaya dapat pahala......
 
Jika dibaca judulnya maka pembaca akan penasaran seberapa banyak sih kendalanya? Namun setelah dibedah ternyata informasinya mengambang tidak menggambarkan dengan baik judulnya. Harapan kami tolong memuat tulisan jangan membuat pembaca semakin bingung karena yang diharapkan tidak terpenuhi, Sukses
 
Back
Top