Pasutri yang Mendidik Anak-Anak di Wilayah Terpencil Parigi Moutung

Kalina

Moderator
114774large.jpg


Cinta Pendidikan, Enggan Berganti Profesi

Pendidikan masih membutuhkan banyak perhatian pemerintah. Termasuk Pemerintah Kabupaten Parigi Moutung, Provinsi Sulawesi Tengah. Di beberapa wilayah terpencil masih banyak anak yang belum tersentuh pendidikan secara layak. Salah satu di antaranya di Tangkilai, Desa Maninili, Kecamatan Tinombo Selatan.

TANGKILAI berada di wilayah Tinombo-Tomini Moutung, yang belakangan gencar menyuarakan pemekaran dari Parigi Moutung untuk membentuk pemerintah kabupaten tersendiri. Dusun itu dihuni 123 kepala keluarga (KK). Di dusun itulah pasangan suami istri Syamsu Alam-Harugana mengabdikan diri mendidik anak-anak setempat dengan segala keterbatasannya.

Keduanya mengajar di ruang kelas yang lebih pas disebut gubuk dengan ukuran 6 x 4 meter persegi. Berdinding papan dan beratap rumbia, ruangan tersebut sangat jauh dari kesan sebagai tempat belajar.

Sebagian besar dinding sudah lapuk dimakan rayap. Sebagian lagi terlepas karena dimakan waktu. Jika mendongak, yang tampak adalah langit dan lambaian pohon kelapa ketimbang atap itu.

Bagian atapnya bocor tak keruan. Bangunan dengan tiga ruang kelas itu hanya diakses melalui satu pintu masuk dengan daun pintu yang berfungsi sekadar untuk menghalangi pandangan dari luar.

Harugana menjelaskan, kondisi seperti itu sudah dihadapi tujuh tahun terakhir, yang sama dengan usia ruangan itu. Meski dengan kondisi serba terbatas, Harugana dengan sepenuh hati mengajar anak-anak di sana.

Dengan kondisi seperti itu, konsentrasi belajar anak-anak hanya bertahan tidak lebih dari pukul 11.00. Sebab, setelah itu, sinar matahari yang menembus atap yang bolong begitu menyengat.

Yang parah tentu saja jika hujan. ''Kalau hujan, kami pindah ke masjid,'' ungkap Harugana.

Kondisi masjid sebenarnya juga tidak lebih baik daripada ruang kelas tersebut. Bedanya, dasar masjid yang tidak seberapa luas itu sudah berlantai semen. Namun, atapnya tetap saja dari daun rumbia dengan dinding cor kasar.

Syamsu Alam menuturkan, walau kondisi sekolah seadanya, antusiasme belajar warga setempat cukup tinggi. Terlihat dengan tingginya animo warga menyekolahkan anaknya.

Sayang, kondisi ekonomi warga yang pas-pasan tidak bisa membuat bangunan sekolah itu berubah wajah walau sekadar mengganti dinding atau atap yang bolong. Menurut Syamsu, di antara 123 kepala keluarga yang berdiam di dusun kecil itu, hanya satu yang mengantongi ijazah SLTA.

Jangan tanya soal honor Syamsu sebagai guru. Tanpa sungkan-sungkan Harugana menyebutkan bilangan Rp 250 ribu per bulan sebagai honor atas jerih payahnya. ''Awalnya Rp 150 ribu. Setelah anak-anak bertambah menjadi 60 orang, honor saya naik menjadi Rp 250 ribu,'' kata ibu paruh baya itu tersenyum.

Dia pun sadar, penghasilannya itu tidak bisa membuat asap dapurnya mengepul. Untuk banting setir pada profesi lain tampaknya tidak mungkin karena dirinya kadung jatuh hati kepada pengabdian yang telah dilakoni selama ini. ''Saya mencoba membuka warung kecil-kecilan. Syukur bisa membantu,'' katanya.

Penyandang predikat diploma 2 (D-2) itu mengatakan sudah tujuh tahun terdaftar sebagai tenaga honorer Dispendik Parimo. Setiap penerimaan CPNS, dia tidak pernah absen mengikuti tes CPNS, namun selalu gagal. ''Sudah beberapa kali ikut tes CPNS, tapi tidak pernah lolos. Saya tidak tahu bagaimana lagi,'' ujar Harugana yang menyatakan akan terus mencoba peruntungan dalam seleksi penerimaan CPNS tahun-tahun mendatang.
 
Bls: Pasutri yang Mendidik Anak-Anak di Wilayah Terpencil Parigi Moutung

wah ini blh di tiruh pengabdian nya
 
Back
Top