~DESCENDANT OF THE DEATHMASTER~ by:DYNA

bagaimana menurut kalian novel pertama Dyna (daina) ini?


  • Total voters
    35
Daina.

___________________
_________________



Kuangsurkan air putih ketangan lelaki tua itu, berusaha membuatnya santai dan membiarkannya menjulurkan tangannya keluar dari sel.
Menyuntikkan cairan obat itu langsung kedalam pembuluh darahnya, ia menutup mata.

“Suster,” Ujarnya lemah, “Apakah ada surat untukku hari ini?”

Sudah kedelapan kalinya ia menanyaiku hal yang sama, sejak aku bekerja disini.

Aku menggeleng, membiarkan orang itu menghela nafas kecewa, sendiri, hampa.
Cepat cepat kukemasi peralatanku, membawanya keruangan lain.

“Akhirnya, tiba juga jam istirahat,” Disebelahku, duduk suster Bertha, seniorku yang juga berbagi tugas merawat para subyek percobaan vaksin.
“Kau tidak makan siang, Daina?”

Mencuci tanganku, aku menggeleng pelan, siapa yang bisa makan? Setelah melihat keadaan orang orang didalam tadi…

“Dia menanyakan suratnya,” Kataku memberitahu, “Ruangan nomer enam,”

Suster Bertha menaikkan alisnya, “Sel enam?” ia berhenti mengunyah rotinya ditangannya, “Oh, Tuan Cedric,” Ia mengangguk, “Belum ada yang menitipkan kesini lagi, sepertinya, tapi aku akan bertanya kepada bagian keamanan nanti.”

Aku hanya mengangguk tanpa menjawab lagi, rasa penasaran mengusikku,

“Kenapa dia begitu ingin mendengar berita dari rumah?” tanyaku, mengingat semua subyek percobaan, jarang sekali ada yang mau berbicara denganku,
Ya, dalam keadaan hidup atau mati seperti ini, membuka mulutpun rasanya takkan bergairah…
Suster Bertha santai saja menusukkan sedotan pada kemasan susu kotaknya, wanita gemuk itu tersenyum padaku sambil berkata pendek,

“Ia menunggu kabar mengenai perkembangan operasi anaknya.”

Kutarik bangku disebelahku, aroma minyak kayu putih yang kuusapkan ditangan dan dibelakang telinga membuatku sedikit tenang.
Terus saja mendengarkannya bercerita.
“Mereka semua berada disini karena suatu alasan, bukan sia-sia,” Suster Bertha mengalihkan pandangannya kejendela, “Pria itu ayah yang baik, kudengar puteri tunggalnya memiliki kelainan jantung bawaan atau semacamnya, dan mereka tidak memiliki biaya sedikitpun untuk berobat.”

“Jadi karena itu dia menyetujui…” Ucapanku terputus, aku menyentuhkan ujung ujung jari diatas bibir, berupaya menekan apapun itu kata kata yang akan keluar, suster Bertha tersenyum arif.

“Jangan kasihani mereka Daina, mereka tidak pantas untuk itu,” Pintanya lembut, “Mereka melakukannya demi orang orang yang harus mereka lindungi, dan mereka orang hebat.”




Aku benci pekerjaan ini.
Aku benci dunia ini.
Segalanya.



Akan lebih baik kalau Tasuku bisa segera merubahnya menjadi sesuatu yang lebih baik, aku selalu menunggu dan percaya untuk itu.
-
-
-
Sore harinya, Tasuku menjemputku dihalaman rumah sakit, sambil membawa keranjang besar bersamanya, aku menunduk, mengintip apa gerangan yang tersembunyi dibalik sesuatu yang lebih seperti kurungan hewan itu.

Tasuku tertawa saat aku terkaget kaget karena bunyi menyalak yang lantang terdengar dari dalam sana.
Juga seekor anak anjing lucu, menampakkan hidung mungilnya padaku.

“Hati hati, dia memang sama sekali tidak agresif, tapi jangan sampai dia menggigitmu,” Tasuku kembali menutupi benda kotak itu dengan kain hitam, aku bisa melihat seberkas cahaya merah dari mata hewan kecil itu, yang menandakan statusnya terinfeksi.
“Aku membawanya dari tempat penampungan,” Tasuku berkata sebelum aku sempat mengajukan pertanyaan.
“Kita akan bekerja sama dengannya, sementara waktu ini.”

Aku hanya mengikutinya sementara ia berjalan lebih dulu didepanku, Tasuku menoleh padaku, “Ada apa?” malah aku yang bertanya.

“Kau kelihatan tidak enak badan,” ia berkomentar sambil melihatku dari atas sampai bawah, lalu melanjutkan berjalan lagi.
Aku tidak bisa bilang, aku tidak bisa bilang padanya kalau aku sudah melihat berbagai macam hal menyedihkan yang membuat nafsu makanku hilang serta berat badanku susut.
Aku hanya bisa membuatnya tidak terlalu mencemaskanku, bersikap seolah tidak terjadI apa-apa.

Punggung lelaki yang kucintai tegap melangkah, tapi aku tahu didalam hatinya menyimpan begitu banyak pemikiran.
Diam diam aku bangga, Tasuku sungguh tidak menggunakan manusia lain sebagai obyek percobaannya, kendatipun ia mampu, ia memang selalu berdalih ia tidak punya cukup uang untuk memfasilitasi penelitian semacam itu, tapi dilain pihak, ia sendiri tidak pernah mengatakan dengan jelas alasan mengapa ia tidak ingin bekerja di laboratorium milik pemerintah.

Sistem yang berbeda.
Itulah alasannya.

Karena Tasuku tidak ingin memanfaatkan orang lain, betapapun orang itu 'perlu'.
Hanya karena mereka butuh bantuan, bukan berarti mereka bisa diperlakukan seenaknya.
Dia paling tidak sanggup melakukan itu, apalagi kepada sesama manusia...

Tahun 2099, atau disebut juga sebagai akhir zaman.
Aku memperhatikan orang orang yang ikut berlalu lalang disekitarku.
Teringat kata kata Seniorku, suster Bertha yang sudah bertahun tahun bekerja di Rumah sakit dan sudah barang tentu memiliki pengalaman tidak sedikit tentang hal hal yang bersinggungan dengan dunia kegelapan…

Kemudian, kak Ryo, yang melihat tindakan kak Ari dan Tasuku sebagai sesuatu yang aneh, untuk ukuran orang semiskin kami, juga adalah orang yang sering berhadapan dengan dunia kegelapan secara langsung.

Undead…

Entahlah, aku hanya merasa, masyarakat sekarang telah tumbuh menjadi pribadi individualistik yang tidak sadar sekitar dan tidak memiliki empati akan apa apa yang terjadi dihadapan mereka.

‘Sudah seharusnya’ dan 'wajarlah', adalah kata kata yang teramat sangat lumrah untuk diucapkan ketika melihat musibah maupun kesengsaraan yang menimpa orang lain…
Sungguh menyedihkan anak muda yang mengalami kemerosotan moral sedemikian besarnya, sampai-sampai mereka tidak mengindahkan nilai nilai kemanusiaan itu sendiri.
Seakan, kita semua hanya berpura pura hidup dalam dunia damai, padahal kenyataannya tidak.

Tapi tanpa mereka sadari, sebenarnya kehancuran sudah sangat dekat, bisa menimpa siapa saja, tidak hanya mereka tapi juga orang orang yang mereka cintai.

Hati remajaku pernah meragukan,

'Masih banyak permasalahan yang harus dipikirkan, hanya satu atau dua orang seperti Tasuku dan kak Ari saja takkan cukup membuat perubahan.'

Pertanyaannya bukan ‘Apakah bisa’.
Melainkan ‘Apakah perubahan itu memang diinginkan.’
Memang, memikirkan bahwa hanya satu dua orang, membawa perubahan itu, amat sangat mustahil rasanya.


Tapi orang terkadang melupakan betapa ajaibnya sebuah pemikiran yang baik,
Jika ditularkan kepada banyak orang…


+++
 
Daina


______________________________
________________________



Malamnya, aku sudah selesai membereskan piring piring kotor, Tasuku menolak makan malam lagi-lagi, tapi aku dan kak Ari sepakat untuk tidak menyerah.
Pelan pelan aku mengetuk ruang kerja Tasuku, tahu ia masih terjaga didalam, waktu menunjukkan pukul sebelas kurang,

“Masuk,” Sahut Tasuku dari dalam.

Tanpa menunggu lagi, kulangkahkan kakiku, membawa serta nampan berisi sup krim sayuran dan segelas air.

“Kalau-kalau kau lapar.”

Tasuku tidak menjawab, tapi dari gerakan badannya, sepertinya dia mengangguk.
Ia masih duduk membelakang, mencatat sesuatu diatas meja kerjanya.
Bahkan berpaling kearahku juga tidak.
Diam diam aku memperhatikan isi dari lab kecil milik Tasuku.
Ada mesin mesin aneh, yang biasa membantunya melakukan penelitian, belakangan peralatan baru juga ditambahkan oleh kak Ari.
Seperti ini, harganya tidaklah murah, tapi kakak selalu menyanggupi menyediakan modal tak sedikit untuk penelitian adiknya.
Orang mengatakan hal ini berlebihan,
Tapi aku tahu Tasuku.
Dan aku tahu mimpinya.
Karena itu aku memahami alasan kakak.

Aku keluar dari kamar Tasuku dan mendapati kak Ari nonton TV sendirian diruang tamu,

“Kau bilang padanya kan, kalau kita menunggunya?” Tanyanya lembut,
Aku mengangguk, tepat pada saat aku menggantung celemekku didekat pintu kamar, aku melihat kakak melambai pelan padaku, setengah rebahan diatas sofa.

Penasaran, aku mendatanginya, belum lagi aku bertanya ‘ada apa’, kakak sudah menarik tubuhku keatas pangkuannya,
Kaget, secara refleks aku berusaha menjauhkan tangannya yang mendekapku sangat erat.

“Aku bukan anak kecil lagi, kak!” Protesku, Ini bukan sekali dua kali kak Ari mengajakku atau Tasuku untuk Cuddle bersama,
Oh, pantas saja Tasuku sering mencak-mencak diperlakukan begini…
Aku berpaling untuk melihat ekspresi wajah kak Ari, menyangka akan menemukan tampang jail menyebalkan, akan tetapi aku salah.

Tak ada apapun disana.

Kakak hanya menyandarkan kepalanya dibahuku, matanya terpejam capek.
Sekejap saja semua reaksi penolakanku terhenti.
Dia sedang melakukannya, bukan? Dia mengisi energinya sendiri, seperti kau sedang mengecas baterai ponselmu…
Bahkan seorang kakak juga tidak punya energi tak terbatas, apalagi untuk mengurusi kami berdua…


Aku menguap.


Hoaahh, aku malah jadi ikutan ngantuk juga, bodoh sekali.
Stasiun TV menyiarkan berita malam entah apa yang aku tidak dengarkan lagi, aku ikut bersandar pada tubuh raksasa kak Ari, badan kakak panasnya enak, campuran wangi musk dan aroma maskulin yang membuatku nyaman, Aku semakin bersemangat menempelkan kepalaku dekat kepalanya.

Aku pinjam kakak sebentar ya, Tasuku…



++++
 
Tasuku.

_________________________
_____________________



Sambil mengembalikan piring ke bak cuci, Kudapati kakakku dan Daina tertidur disofa ruang tamu,
Tak tahu berapa lama waktu telah berlalu,
Aku hanya sadar bahwa aku sudah begitu lapar, dan tengah malah sudah lewat.
Kumatikan TV yang menyala tanpa ada yang menonton.
Mengambil selimut dikamar,

Aku akan bekerja keras semalaman malam ini, mungkin juga sampai pagi, aku tidak tahu.
Menyampirkan selimut ditubuh Daina dan kakak, mataku tak lepas memandangi mereka berdua.
Perasaan apa ini? Ada sebuah sudut dihatiku yang merasa tertinggalkan sendirian, disisi lain juga ada perasaan rindu…

“Maaf…” Bisikku, mengagungkan keduanya dengan tatapan penuh rasa sayang keluar dari dalam dadaku.

Kakakku mencintainya.

Perasaan tidak berubah apapun yang terjadi,
Tapi bagaimana dengan Daina?
Apakah ia pernah memikirkan kakakku seperti itu?
Sial, aku penasaran padahal bukan urusanku,
Sudahlah Tash,
Yang Daina perlu tahu hanyalah belajar, Daina yang manis pelan pelan akan belajar mengapa dia disini, mengapa dia dilindungi.
Belajar tentang perasaan kak Ari padanya.

Betapa baiknya Tuhan, meletakkan aku dalam kondisiku sekarang, menjadi seorang ilmuwan yang tetap fokus dalam mengejar mimpi dan cita citaku sehingga keberadaan ini takkan mengganggu jalannya proses tersebut.


Tidak, kok.

Kenapa juga aku harus takut? Apa karena selama ini akulah yang paling banyak bersama sama Daina menghabiskan waktu?


Jangan memikirkan apapun, Tasuku.


Toh entah apa didepan sana, aku sudah memutuskan kemana aku akan melangkah.
Dan aku takkan kehilangan apapun, kalau hanya cinta, aku bisa mendapatkannya berapapun aku mau dari Daina, tanpa harus menjadi sepasang kekasih, bukan?


Ada yang hal yang lebih penting untuk kukerjakan, aku harus ingat,



Dan belakangan, tanpa kusadari aku jadi lebih sering daripada biasanya mengingatkan diriku sendiri tentang hal itu.

++++
 
Daina.

______________________
___________________



“Dia menolak makanannya lagi,” Aku mengeluh kepada Suster Bertha dan beberapa orang perawat lainnya. “Sudah hari ketiga, jika subyek terus menolak asupan makanan yang seharusnya ia terima, apa yang akan terjadi?”

Suster Bertha diam saja, tangannya memencet mencet keyboard didepannya, ada banyak sekali layar monitor yang salah satunya menyorot aktifitas di sel no 6.
Tidak ada tanda tanda agresifitas, tidak ada tanda tanda apapun, tuan Cedric sepertinya hanya meringkuk disudut ruangan tanpa melakukan apapun, sudah seperti itu selama tiga hari belakangan ini.
Tidak makan, juga tidak menyentuh obat obatannya sama sekali.

“Kalau seperti ini hanya akan mempercepat mutasinya,” Gumam suster Bertha ikut resah. “Dia seperti itu sejak menerima surat terakhirnya…”

“Surat terakhirnya?” Tanyaku penasaran, Tetapi seniorku diam saja, mata wanita berusia sekitar 30 tahunan awal itu lekat menatap monitornya, “Suster Bertha, ada apa sebenarnya?” Desakku.

“Suster Daina tidak tahu?” Seniorku mengangkat satu alisnya, “Bukankah aku sudah cerita kalau alasan tuan Cedric Willbury masuk kesini, untuk biaya pengobatan anak perempuannya yang sakit keras.”

Aku tertegun sejenak, Suster Bertha melanjutkan, “Sepertinya dulu yang satu ini punya perusahaan sendiri lalu sepertinya terjadi sesuatu, mungkin kena tipu, lalu mereka berakhir tidak punya apapun untuk dijual.
Kau tentu sudah tahu berapa biaya bertahan hidup untuk pasien penderita kelainan jantung, Dan ini satu satunya cara mendapatkan dana tak terbatas untuk itu.”

Jantungku berdegup kencang, sudah siap untuk kelanjutannya.

“Dan kudengar tiga hari lalu ia mendapat kabar Puteri satu satunya yang ia perjuangkan, meninggal dunia.”

Suster Bertha mematikan monitor kamar no 6, tidak ada apapun lagi yang terlihat, ia berpaling kearahku yang hampir sudah dapat dipastikan sepucat mayat,

“Istirahatlah, Suster Daina, lebih baik kau mengurus pasien rawat inap yang lain saja, Shift ini memberatkanmu, bukan?” Ia menepuk bahuku, mengerti.

“La-lalu…” Tanyaku lagi, tetap tak bergeming, “Apa yang akan terjadi padanya jika ia terus dalam keadaan seperti ini?” pandanganku getir kearah layar monitor mati disamping suster Bertha, yang menatapku kasihan seperti menyesali kenapa aku harus ngotot menanyakan sejauh itu.

“Aku sudah mengatakan padamu, bahwa ini sama sekali tidak bagus, jika demikian berlanjut, besar kemungkinan Mutasi virusnya semakin cepat, teknologi pengobatan kita saat ini hanya bisa memperlambat proses pengambil alihan tubuh oleh virus, bukan menghilangkan virusnya.” Suster Bertha menghela nafas, “Dia hanya menunggu waktu pemusnahan.”



Pemusnahan.



Itu artinya mereka akan menyuntik mati setiap subjek penelitian yang dianggap sudah tidak dapat digunakan lagi.
Perutku bergolak.




Oh yah, aku lupa bahwa pemerintah sudah memberikan kompensasi lebih dari cukup bagi mereka yang secara sukarela menyerahkan raganya demi kepentingan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Tapi apakah hanya aku yang berpikir bahwa harga nyawa seorang manusia jauh lebih tinggi dibanding uang sebesar apapun juga?

-
-
-
-
-

Hujan, Tasuku menjemputku, sore hari seperti biasa.
Ia berdiri didepan halaman rumah sakit, sambil memegang payung,
Aku yang semula menggunakan tasku untuk berteduh, serta merta memeluknya, begitu aku melihat bayangannya saja.

“Ada apa?” Tasuku mengusap rambutku yang setengah basah karena air hujan.
Syukurlah, karena aku bisa menyembunyikan tangisku saat ini.
Mungkin orang orang yang sekarang berlalu lalang didepan rumah sakit juga menganggap kami aneh atau pasangan tak tahu tempat, aku tidak peduli.

“Sebenarnya kapan…” Aku tidak bisa membendung airmataku lagi, “Kapan Tasuku selesai membuat obat itu…?”

Kuusahakan menundukkan kepala sekuat tenaga, supaya tidak terlihat.
Tasuku diam saja, tangannya mengangkat daguku perlahan, seperti ia ingin melihat wajah cengengku, kemudian aku melihat ia tersenyum.

“Beri aku waktu sedikit lagi yah?” Bujuknya lembut sekali, sama sekali tidak terlihat merasa malu ataupun marah atas tingkah kekanakanku yang tidak jelas sama sekali.

Kugigit bibirku, ingin menangis lebih keras, tetapi malu.

Tuhan, seandainya kami bisa mewujudkan mimpi itu bersama, mungkinkah tidak ada lagi penderitaan memedihkan seperti ini?
Aku tidak mau lagi melihat kebohongan maupun rasa sakit.
Aku hanya mau melihat semua orang tersenyum, dengan demikian mereka bisa terbebaskan dari segala keterpurukan, apakah aku terlalu naïf?

Tangan Tasuku yang menggenggam tanganku erat, menggandengku sepanjang jalan, adalah tempatku meletakkan harapan satu satunya.

Selamatkan mereka, Tasuku,
Wujudkan mimpimu, Aku mohon padamu…
Aku yakin kau bisa,
Dan aku percaya bahwa tanganmu ini adalah tangan yang akan menyelamatkan hidup banyak orang...




++++
 
Tangan yang seharusnya menyelamatkan hidup banyak orang malah berubah jadi tangan yang merenggut banyak sekali kehidupan, how ironic.... wahahahahaha




Btw Daina ish back! ^o^/
 
Tasuku.

________________________
______________________



“Mereka sudah pindah sejak kemarin,” Begitulah jawaban para tetangga disekitar rumah yang juga sebelumnya dijadikan sebagai perkantoran itu.

Aku menghela nafas.
Jadi seperti ini, aku benar benar tertipu.
Padahal mereka temanku dan sudah berjanji akan membantu menguruskan data penelitianku kesebuah perusahaan obat miliknya…
Daina berdiri disebelahku, ikut terdiam.

“Uangnya… Hilang ya?” Katanya pelan, saat aku membuka payungku, melindungi kami berdua dari guyuran hujan.
Jauh sekali kami berjalan kaki dan naik bus untuk bisa sampai dikawasan perumahan ini, dan tidak ada satu kabar baikpun kami terima, kami pulang dengan tangan hampa.

“Kita cari jalan lain.” Bisikku sendu, Daina hanya melihatku dengan tatapan mata kasihan,
Aku menunduk, tatapan Daina mengadiliku, benar adanya…,
Bodoh sekali, lagi lagi aku percaya pada orang lain sampai sebegitu.
Dan tertipu, untuk kesekian kali.

“Tasuku terlalu baik.” Ia memegang tanganku yang saat ini sedang memegang payung, menguatkan.


+++
 
Daina.



_________________________
_______________________




Pria baik itu menunduk saja, Ia tidak bilang padaku, tapi aku tahu alasannnya,
Itu karena ia memang seperti ini.
Tasuku orang yang baik sekali, selalu ingin berpikir positif dan berusaha untuk tidak sampai menaruh prasangka buruk terhadap orang lain.
Malahan, semustahil apapun ia menuruti mereka karena ia percaya win-win solution itu ada, Dia tipe yang selalu ingin membantu orang lain dan tidak pernah mau menang sendiri.

Dalam hati aku marah.
Bukan karena sifat baik hatinya yang terkadang membuatnya menjadi salah langkah, Melainkan orang lain yang selalu saja mengambil keuntungan dari Tasuku yang seperti ini…
Ya, adalah manusia jika kita memikirkan diri sendiri sampai menjahati orang lain, tapi kan…, Bukankah mereka bisa memilih siapa korbannya?
Kenapa Tasuku? Kenapa orang sebaik ini? Manusia macam apa mereka? Yang hanya memanfaatkan seseorang yang baik sekali, seseorang yang percaya pada mereka, yang menginginkan hal hal bagus terjadi pada mereka sama baiknya dengan diri mereka sendiri?!
Aku benci sekali… Pada orang orang semacam ini.

“Tidak apa-apa, Daina…” Dan Tasuku, selalu saja tahu hatiku, ia balas memegangi tanganku, padahal aku tahu saat ini ialah yang sedang paling butuh dikuatkan.
Aku tidak tahu ia sedang menatap apa, pandangannya menerawang jauh kedepan, jalanan beraspal sepi dipinggiran kota.
Seperti melamun, ia bicara.

“Hal paling menakjubkan dari Tuhan adalah, ketika kau sudah memantapkan dirimu untuk percaya sepenuh hati dan berserah, Ia akan memberikanmu lebih banyak cobaan lagi untuk mengukur seberapa dalam kesetiaanmu kepadanya.”

Aku mendengarkan, menggedikkan bahuku tanda tidak tahu.
Pikiran sederhanaku tidak akan pernah bisa sampai untuk menerjemahkan ungkapan setinggi itu.

Aku tidak mengerti, Tasuku…
Tapi untung saja ‘Dia’ yang kau bicarakan saat ini adalah Tuhan, andai saja ‘Dia’ adalah manusia biasa sama sepertimu dan aku, menurutku ‘Dia’ pastilah bocah kekanakan yang sangat keterlaluan dalam membolak balikkan hati manusia karena merasa sudah punya segalanya.


-
-
-
-
-

Saat kami sampai dirumah pada sore harinya, kakiku sangat pegal, Aku tahu Tasuku juga, Cuma dia kuat jalan, Jadi aku sendiri yang terliat kuyu terseok seok ingin segera masuk kedalam.
Didepan pintu terlihat kak Ari sedang berbincang dengan beberapa orang.
Kakak segera mengenaliku dan Tasuku bahkan dari kejauhan.
Ia menganggukkan kepalanya, menggeser tubuh memberikan jalan, lalu dengan gerakan matanya Ia menyuruhku dan Tasuku untuk masuk duluan,
Kami menurut saja membiarkan Ia menyelesaikan urusannya entah apa.
Aku mendengar sekilas percakapan mereka sambil lewat,
Tapi Tasuku menarik tanganku setengah memaksa agar segera mengikutinya kedalam.
Kakak masuk tepat pada saat aku baru keluar kamar setelah selesai mengganti bajuku dengan babydoll rumahan.
Tasuku kelihatan sabar menunggu diruang tamu, aku kaget karena gelas air mineral dingin sudah disiapkan untukku juga, betapa baiknya Tasuku…

“Berapa banyak kali ini?” Tanya Tasuku pelan, menatap layar televisi seolah sedang menonton, padahal sebenarnya tidak.
Kak Ari kelihatan salah tingkah, ia mencoba menutupinya,

“Errr, tidak separah itu kok,”

Untuk pertama kalinya Tasuku mengalihkan pandangan, menatap sang kakak secara langsung.

“Gara-gara memfasilitasi peralatan penunjang proyek penelitianku lagi, kan? Kenapa kakak tidak bilang padaku kalau berutang banyak demi itu?!”


Hening,


“Jangan begini, kakak…” Mohon pemilik mata sebiru samudera itu dengan pandangan berkaca-kaca, ia menengadahkan kepalanya kelangit-langit, “Aku tidak bisa hidup dengan menanggung malu karena sudah teramat sangat merepotkan semua orang disekitarku…”

“Bisa kuatasi.” Tukas kak Ari cepat. “Kau tenanglah, Besok aku berangkat dan aku akan…”

“Mempertaruhkan nyawamu dimedan tempur, lagi-lagi demi aku.” Sambung Tasuku.

Mereka bertengkar..
Aku diam saja, menutupi mulutku dengan kedua tanganku, menatap kakiku sendiri, menahan diri untuk tidak ikut bicara.
Aku ikut bicarapun belum tentu membantu apalagi memperbaiki keadaan…
Betapa sulitnya, keadaan teramat sangat sulit…
Tasuku benar soal kekhawatirannya tentang kakak yang bertempur dan bisa mati kapan saja, Tapi kak Ari juga tidak bisa disalahkan, karena siapapun tahu betapa besar pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan sebuah mimpi…
Penelitian Tasuku dilakukan secara independen tanpa sokongan pihak manapun, baik pemerintah maupun swasta, Tasuku memiliki prinsipnya sendiri yang memang sudah dari sananya setali tiga uang dengan kak Ari, tidak akan melibatkan pihak manapun yang berniat menitipkan kepentingannya dan mengikat mereka.
Jalannya akan lebih susah, tapi mereka sudah sepakat, bukan?

“Itu tidak benar,” Bantah kak Ari cepat-cepat, seperti biasa, ngotot pada pendiriannya, “Kita sudah sangat dekat dengan mimpi kita kan? Impianku, impianmu…”

“Sampai kapan kita mau hidup seperti ini?” Tasuku berkata lagi, “Daina juga kesusahan kan…” Ia berbalik kearahku, membuatku ikut mendelik sambil menggelengkan kepala sekuat kubisa, Tasuku tertawa renyah.
“Kakak… kau orang hebat dengan banyak bakat, Walaupun aku lebih suka kakak masuk sekolah tata boga saja dan menjalani hidup sebagai koki terkenal –maaf jangan marah padaku aku hanya bercanda- aku cukup bisa mengerti hobimu bertempur melawan Undead… kau bisa gunakan penghasilanmu sebagai modal, pergi ke Rusia, ikut ujian sebagai Prajurit Paladin, aku yakin takkan ada yang bisa menolak kemampuanmu disana, Tidak perlu repot-repot memikirkan aku segala…”

“Dan kau, Daina,” No, no, Tasuku, Lagi-lagi aku… “Kau tidak perlu membantuku lagi, bisa mengambil pekerjaan purna waktu yang penghasilannya jauh lebih besar dan cukup untukmu, lalu beli apapun yang kau suka, baju, sepatu, apa saja… tidak usah berhemat lagi…”

“Ide bodoh macam apa itu?!” Sambar kak Ari mendahuluiku. “Bakatku, tangan yang bisanya mengiris bawang atau memenggal kepala mayat hidup begini saja kau bilang ‘bakat’…”
Oke, kak Ari memang lucu, aku juga nyaris keterlepasan tertawa, Tapi Tasuku ikut tersenyum menimpali kata-kata kakaknya.

“Kita hanya bicara realita saja, kan,” Tasuku tersenyum lagi sambil menundukkan kepala. “Aku mungkin bisa bekerja di Rumah sakit juga, mengumpulkan dana untuk penelitianku sendiri, dengan demikian aku tidak membebani kalian lagi…”

“Dan berapa lama sampai bisa terkumpul semua?”

“Entahlah… Kabarnya seorang ahli bedah punya penghasilan lumayan yang…”

“Tidak sebesar penghasilan seorang Prajurit bayaran yang ketimpukan uang banyak dalam satu kali misi,” Kak Ari menghela nafas pelan, “Lupakanlah, Tasuku, kau juga tidak memikirkan berapa banyak nyawa melayang sementara kau menunggu dirimu sendiri berhasil mengumpulkan pundi pundi isi celenganmu itu.”

Aku nyaris menambahkan ‘Penghasilan kakak sendiri juga tidak mencukupi untuk memfasilitasi semuanya’.
Dana yang dibutuhkan memang sangat banyak… dan kalau dengan cara kami yang sekarang berbagi tugas memang lebih efisien.

“Mimpiku adalah melihatmu mewujudkan mimpimu,” Kak Ari bangkit dari duduknya, tangannya terulur membelai ubun-ubunku dan Tasuku bergantian. “Tidak kurang, tidak lebih, aku tidak akan sudi membiarkan diriku mati sampai semua itu tercapai.”
Lalu ia menyambar handuk dan masuk kedalam kamar mandi, tak lama kemudian terdengar suara guyuran shower.

Aku dan Tasuku sama-sama diam terduduk diatas sofa.
Tidak bicara satu sama lain.
Diam-diam aku mengintip kesebelahku, sekadar ingin tahu ekspresi macam apa yang saat ini tengah dibuat lelaki yang diam-diam kupuja dalam hati.


Pandangan matanya sedih.


Aku nyaris tidak pernah melihat Tasuku sesedih ini sebelumnya.
Betapapun, saat ia sedang bicara berhadap-hadapan dengan kak Ari ia menyampaikannya dengan intonasi biasa yang seakan tidak menyimpan beban perasaan yang dalam,
Bernada ‘aku baik baik saja’, kenyataannya ia memang menyembunyikan kegelisahan dalam hati.

Ia memandangi tangannya sendiri, seolah kebingungan apa selanjutnya yang ingin ia lakukan, atau mengapa kami semua begitu percaya bahwa ia mampu melakukannya.
Ternyata beban Tasuku juga berat,
Diluar, ia dikhianati teman-teman dan orang-orang yang diajaknya bekerja sama hingga akhirnya ia lebih memilih untuk bekerja seorang diri saja, dirinya yang lurus dianggap terlalu naif, sebagai orang yang terlalu jujur yang terkadang suka dimusuhi...
Sementara didalam, ia sendiri teramat takut mengecewakan orang orang yang mempercayainya, aku, kak Ari…

Aku kembali pura pura sibuk sendiri sebelum Tasuku menyadari aku mencuri curi pandang kearahnya.



Apa yang bisa kulakukan untuk Tasuku…?


++++
 
Last edited:
Back
Top