Complementary Medicine in Rheumatology

andy_baex

New member
I.PENDAHULUAN
Complementary medicine (kedokteran komplementer / pelengkap) merupakan suatu kelompok diagnostik dan terapi di luar dari pengobatan konvensional yang diajarkan ataupun diberikan di bangku kuliah kedokteran pada umumnya.Walaupun ada beberapa Institut yang juga mengajarkan hal ini 1,2. Dalam banyak buku istilah Complementary sering dipakai bersama dengan alternatif dan sering pula terjadi tumpang tindih di antara keduanya. Beberapa ahli menggunakan istilah CAM (Complementary and Alternative Medicine).
Definisi CAM yang disepakati adalah suatu bentuk penyembuhan yang bersumber pada berbagai sistim, modalitas dan praktek kesehatan, yang didukung oleh teori dan kepercayaan. Termasuk di dalamnya latihan atau usaha untuk menyembuhkan diri sendiri. CAM digunakan untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit atau juga untuk meningkatkan taraf kesehatan 1 .
Walaupun demikian ada perbedaan antara alternatif dan komplementer.Terapi alternatif adalah terapi di luar terapi konvensional. Sementara komplementer berarti pelengkap bagi terapi konvensional yang ada dan telah terbukti bermanfaat2. .
Meskipun belum banyak data ilmiah yang mendukung sistim terapi ini namun masyarakat tetap mencari pengobatan tersebut. Seperti kita ketahui pasien sering bertanya bagaimana pendapat dokter tentang salah satu dari terapi pelengkap ataupun alternatif ini, sebagai dokter alangkah baiknya kita mengetahui baik tidaknya terapi tersebut.
Menurut data di Amerika Serikat pada tahun awal 1990-an, sepertiga dari 1.530 orang yang disurvei, menggunakan terapi tersebut. Dalam penelitian lebih lanjut dari tahun 1990 sampai 1997, ternyata respondennya bertambah dari 34% menjadi 42%. Dari survei tersebut ditemukan sebagian besar mereka yang menggunakan terapi ini adalah orang-orang dengan taraf pendidikan yang tinggi dan penghasilan yang cukup serta usia berkisar antara 25-49 tahun 3. Hal yang menarik dari penelitian ini bahwa pasien-pasien yang mencari terapi pelengkap dan alternatif adalah mereka yang menderita nyeri pinggang belakang (35,9% tahun 1990; 47,6% tahun 1997, arthritis (17,5%; 26,7%) dan nyeri muskuloskeletal (22,3%; 23,6%) Hal ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan di beberapa negara lain seperti Australia, Canada,Inggris dan Belanda 3.
Dari data di atas kita mengetahui bahwa kebanyakan dari mereka yang mencari terapi komplementer dan alternatif adalah mereka yang menderita penyakit reumatik. Karena penyakit ini umumnya menyebabkan penderita merasa nyeri yang mengganggu dan terutama lagi pengobatannya membutuhkan waktu yang lama dan kadang pula menyebabkan penderita menjadi frustasi dengan pengobatan konvensional yang ada. Di samping harga obat yang umumnya mahal, kita ketahui pula bahwa efek samping dari pengobatan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) konvensional, mulai dari perdarahan saluran cerna bagian atas, gangguan ginjal dan disfungsi trombosit4. Karena itu dibutuhkan pengetahuan dan dasar ilmu yang cukup bagi seorang dokter mengenai terapi komplementer dan alternatif supaya dapat mendampingi pasiennya dalam memilih terapi secara bijaksana dan sesuai.

II SEJARAH DAN LATAR BELAKANG

Beberapa pengobatan komplementer dan alternatif berkembang dari praktek yang diwariskan turun temurun. Masyarakat dahulu mengembangkan pendapat atau teorinya masing-masing tentang penyakit dan praktek untuk menyembuhkan penyakit.

Pada jaman dulu orang mencari pengobatan dari alam sekitarnya, bila mereka menderita berbagai macam penyakit. Pengobatan mulai dari air, pasir, tanaman, maupun melakukan pemijitan. Pengobatan tersebut menjadi sulit dipisahkan dari kepercayaan yang berkembang saat itu2. Pada masyarakat Mesir kuno, kurang lebih tahun 1.500 sebelum Masehi telah dituliskan pada kertas papirus tentang penyakit dan terapi tradisional untuk mengobatinya, termasuk jimat dan benda-benda berkekuatan gaib, dan sepertiga dari semua bahan yang juga dikenal saat ini termasuk opium dan minyak kastor. Diagnosa dibuat berdasarkan gejala dari panas, nyeri dan benjolan . Pengobatan didasarkan atas diit, tanaman-tanaman obat maupun psikoterapi.

Di India, ditemukan suatu teks tentang pengobatan yang dikenal dengan Athardaveda yang memuat rumus-rumus ramuan magis melawan setan, dan penyembuhan sepenuhnya ada pada tangan Dewa Brahma. Dewa penyembuhnya adalah Dhanvantari. Konsep dasarnya adalah keseimbangan dari tiga unsur dalam tubuh yaitu udara, lendir dan cairan empedu, bila ada gangguan terhadap salah satu diantaranya maka terjadi penyakit. Pengobatan didasarkan atas higiene, diit dan pencahar. Pengobatan Ayurveda ini masih dipraktekkan di India sampai saat ini2.

Di Cina, pengobatan tradisional berkembang pada jaman kaisar Fu Hsi (th 2.800 SM) yang mencanangkan filosofi tentang Yin dan Yang dari alam, Kaisar Shen Nung (2.700 SM) yang mengembangkan pengobatan dengan herbal dan akupuntur; dan Kaisar Huang Ti (2.600 SM) yaitu pengarang teks kedokteran kuno Nei Ching (Kitab dasar kedokteran Cina) yang sangat terkenal hingga saat ini 2,5. Dua unsur dasar yang ada di alam adalah Yang (unsur laki-laki) dan Yin (unsur wanita). Kesehatan merupakan keseimbangan dari kedua hal tersebut sementara energi yang menggerakkan tubuh disebut Qi. Diagnosis dikembangkan dengan mempelajari jenis denyut nadi dan warna lidah. Dasar pengobatan dari China ini adalah akupuntur, di mana jarum kecil ditusukkan ke dalam jalur meridian di tubuh sehingga menimbulkan sirkulasi sistim tubuh yang seimbang5 (akan dibahas lebih lanjut).

Lebih lanjut jaman Hippocrates (460-370 SM) di Roma, beliau adalah orang yang mengembangkan pendapat bahwa penyakit adalah proses alam seperti lingkungan, diit dan gaya hidup. Tubuh membuat sendiri keseimbangan di dalamnya. Tulisannya merupakan pengamatan terhadap kenyataan. Dia dan muridnya menemukan berbagai jenis penyakit dan menekankan latihan, pemijitan, diit dan obat-obat untuk menyembuhkannya.

Pada abad 19 khususnya di Amerika Serikat berkembang Chiropractic, ketika D.D.Palmer seorang penyembuh di Iowa menyembuhkan seorang tuli dengan melakukan manipulasi pada daerah servikalnya. Beliau mengembangkan suatu sistim penyembuhan penyakit yang didasarkan atas subluksasio dari vertebra yang menggangu impuls saraf dan menyebabkan gangguan di jaringan pada akhirnya menyebabkan malfungsi dan penyakit.Masih banyak lagi sistim penyembuhan lain yang berkembang seiring dengan waktu. Walaupun saat ini pengobatan komplementer dan alternatif digeser tempatnya oleh pengobatan konvensional yang berkembang sangat pesat melalui penelitian ilmiah, namun pengobatan ini masih mendapat tempat dalam masyarakat terutama mereka yang memiliki masalah penyakit kronis dan tidak puas dengan pengobatan konvensional yang ada.

III. MACAM DAN JENIS TERAPI KOMPLEMENTER

Ada berbagai jenis terapi pelengkap yang ada dalam masyarakat antara lain1,2:
? Akupresur
? Akupuntur
? Aromaterapi
? Ayuverda
? Chiropraktik
? Terapi herbal
? Hipnosis
? Meditasi
? Terapi nutrisi dan vitamin
? Osteopati
? Yoga
? Relaksasi dan Visualisasi

- Magnet.
Banyak pasien yang mempunyai penyakit reumatik menggunakan terapi komplementer dan alternatif sebagai tambahan dari terapi standartnya, bukan menggantikan seluruh terapinya. Mereka yang mempunyai penyakit kronis melakukan hal itu karena obat-obatan yang diberikan dirasakan tidak menyembuhkan secara tuntas 3.
Berikut ini akan dibahas beberapa macam pengobatan komplementer yang dihubungkan dengan penyakit-penyakit reumatik.

1.Diit, Nutrisi dan Makanan suplemen
-Diit dan Puasa
Bagi banyak pasien, intervensi diit memberi pengaruh bagi penyakit reumatik yang dideritanya. Dari penelitian sebelumnya didapatkan bahwa makanan atau minuman tertentu berpengaruh pada nyeri atau kumatnya penyakit artritis terutama pirai / gout, yang telah terbukti sejauh ini6. Makanan-makanan yang banyak mengandung purin berpengaruh langsung terhadap gejala pirai (lihat tabel 1)
Tinggi
Sedang

-Makanan dan minuman yang mengadung alkohol, seperti arak , bir, anggur, tape ketan, tape singkong, tuak dan makanan beragi
-Remis,udang,kerang, kepiting, lobster
-Makanan yang diawetkan seperti kornet, ikan sardin
-Jeroan seperti otak, lidah, paru, hati, babat, ginjal, usus
-Kaldu daging seperti sop kental, soto ayam
-Buah-buahan : durian, alpukat

-Ikan air laut atau air tawar
-Daging sapi, ayam, kambing
-Kacang, mente, emping, tempe, oncom
-Kembang kol, bayam, asparagus,kangkung
-Buah: nenas
Keterangan tabel 1. Daftar makanan yang mengandung purin tinggi dan sedang7

Sementara penyakit reumatik lain belum didapatkan bukti kuat bahwa makanan berhubungan langsung dengan penyakitnya2

Diit dapat berpengaruh terhadap penyakit reumatik melalui dua mekanisme. Pertama, faktor makanan mempengaruhi respon kekebalan tubuh atau respon inflamasi atau keduanya, sehingga menimbulkan gejala-gejala reumatik. Kedua, antigen dalam makanan dapat memprovokasi timbulnya respon hipersensitivitas yang membangkitkan gejala-gejala reumatik8.

Puasa juga dapat berpengaruh dalam mengendalikan penyakit reumatik. Puasa memperbaiki gejala-gejala penyakit reumatik pada beberapa penelitian yang telah dilakukan, terbukti puasa mengurangi nyeri dan kekakuan, pada pasein dengan artritis rematoid (AR) dibandingkan kelompok kontrol yang tidak berpuasa. Suatu penelitian prospektif (Studi Skandinavian) oleh Skoldstam dan kawan-kawan, yang dilakukan terhadap pasien-pasien dengan AR yang puasa penuh dan hanya minum air saja selama satu minggu, didapatkan perbaikan yang nyata dalam hal nyeri, bengkak, skala dolorimeter dan aktivitas fungsional. Hal ini membuktikan bahwa puasa jangka pendek dapat mempengaruhi perbaikan klinis AR secara bermakna1,8.
Perbaikan yang terjadi dengan puasa ini diduga disebabkan oleh berkurangnya permeabilitas dari usus,penurunan fungsi netrofil dan menekan respon limfosit terhadap mitogen atau meningkatkan konsentrasi kortisol selama puasa8.

-Makanan suplemen
Pasien-pasien dengan AR juga mengalami perbaikan secara klinis melalui diit beberapa macam asam lemak. Adanya asam lemak poliunsaturated dalam diit mempengaruhi sintesis eikosanoid dalam sel endogen. Eikosanoid termasuk prostaglandin dan lekotrien, suatu derivat asam arakhidonat yang mempunyai aspek penting dalam respon inflamasi. Sebagai contoh, minyak ikan yang mengandung Eicosapentaenoic acid (EPA) dan Docosahexaenoic acid (DHA). Minyak beberapa tanaman seperti Evening Primrose (Oenothera biennis) dan Borage (Borago officinalis) yang juga mengandung asam lemak poliunsaturated, yaitu Gamma Linolenic acid (GLA). Uji coba dengan binatang menyimpulkan efeknya baik terhadap penyakit Lupus eritomatosus sistemik (SLE). Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai dosis dan pemakainnya pada pasein-pasien dengan penyakit reumatik1,2,8.
-Glukosamine dan Chondroitin
Glukosamine sulfate dan chondroitin sulfate telah digunakan sejak beberapa dekade yang lalu di Eropa, sementara di Amerika penggunaannya baru populer sejak tahun 1990-an. Glukosamine adalah suatu unsur pokok dari glikoprotein, proteoglikan dan glikosaminoglikan yang berperan dalam sintesis proteoglikan. Glukosamin dikenal dapat menurunkan proses proteolitik kartilago dan membentuk kembali glukosaminoglikan yang rusak.

Pada percobaan in vitro, potensial terapi dari aminosakarida ini terlihat pada penambahannya ke dalam kondrosit akan merangsang produksi proteoglikan. Belum ada data farmakokinetik yang menunjukkan pemakaian oral glukosamin sulfat berpengaruh langsung pada kartilago, baik pada orang normal maupun yang mengalami osteoartritis.Namun jelas ditemukan dalam plasma protein, beberapa jam setelah diminum.
Pada penelitian in vitro juga didapatkan bahwa Glukosamin mempunyai efek anti inflamasi, menghambat produksi sel-sel mediator inflamasi. Efek menurunkan inflamasi ini telah terbukti pada percobaan binatang yaitu pada tikus yang dibuat menderita artritis3.

Pada penelitian klinis, secara random, double-blind dan kontrol plasebo, glukosamine ternyata mempunyai efek sebagai penghilang rasa sakit. Beberapa subyek juga menunjukkan perbaikan dalam hal, bengkak, nyeri dan status fungsional. Dalam beberapa kasus, dibutuhkan waktu beberapa minggu sampai keluhan hilang, tetapi keuntungan lain adalah rasa nyeri tetap hilang sampai beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sayangnya penelitian ini masih dipertanyakan karena sampel penelitian yang masih terlalu sedikit, waktu pendek, tidak adanya deskripsi derajat radiologi dari kerusakan pada OA serta pasien yang sangat heterogen. ACR (America College of Rheumatology) menyatakan: masih terlalu dini untuk memberikan rekomendasi kegunaan dari Glukosamin. Penelitian lebih jauh masih diperlukan untuk memastikan efektifitas dan toksisitas Glukosamin untuk jangka panjang9,10.

Sementara Chondroitin sulfate, suatu derivat komponen tulang rawan baik dari ikan hiu (shark cartilage) atau dari tulang rawan sapi (bovine cartilage) maupun ayam. Tulang rawan ikan Hiu lebih dikenal sebagai suplemen terapi untuk pengobatan kanker dewasa ini11. Dari penelitian yang dilakukan di Perancis dan Italia pada tahun 1998, didapatkan bahwa Chondroitin baik secara oral maupun injeksi, dapat membantu meningkatkan gerakan sendi dan mengurangi rasa nyeri pada sendi11. Dan meta-analisis dari hasil-hasil penelitian klinis dalam jumlah kecil menunjukan chondroitin memiliki efek analgesik pada pasien-pasein dengan osteoartritis lutut dan panggul, tetapi penelitian jangka panjang masih dibutuhkan untuk hal ini3.Chondroitin membantu mempertahankan cairan di dalam jaringan tulang rawan. Adanya cairan dalam jaringan tulang rawan ini, selain sebagai media zat-zat makanan bagi tulang rawan juga berperan sebagai bantalan dalam sendi, sehingga tidak cepat aus. Efek sampingnya yang pernah dilaporkan adalah reaksi alergi, mual serta rasa tidak enak di mulut dan lemas. Interaksi dengan obat antikoagulan pernah dilaporkan, chondroitin dapat meningkatkan efek antikoagulan sehingga pemberiannya bersama obat-obat tersebut haruslah sangat hati-hati11.Efek antikoagulan ini mencegah terjadinya bekuan darah dalam kantong sendi.
Kombinasi penggunaan Glukosamine sulfate dan chondroitin sulfate menunjukkan efek potensiasi dalam merangsang produksi proteoglikan dan asam hialuronat dan menghambat enzim proteolitik yang dapat merusak tulang rawan10. Penelitian jangka panjang tentang penggunaan keduanya masih dilakukan hingga saat ini.

-Vitamin dan Mineral
Penggunaan suplemen vitamin pada beberapa pasien artritis untuk mengurangi gejala-gejalanya dan juga meningkatkan kesehatan secara umum. Sampai saat ini masih sedikit penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan manfaat pasti dari vitamin dalam mengobati penyakit artritis1. Suatu studi analisis terhadap Vitamin D yang pernah dilakukan terhadap para penderita osteoartritis, didapatkan pada mereka yang sedikit mengkonsumsi vitamin D dan rendah kadar 25 hydroxyvitamin D3 dalam darahnya, tiga kali lebih besar progresivitas osteoartritis dibandingkan mereka yang tinggi konsumsi vitamin D serta tinggi kadarnya dalam darah. Namun belum didapatkan bukti bahwa vitamin D dapat mencegah osteoartritis pada mereka yang belum menderitanya1.Demikian pula dengan vitamin C juga didapatkan hal yang sama, berperan dalam menurunkan progresivitas osteoartritis. Vitamin C ( ascorbic acid ) merupakan vitamin yang larut dalam air dan memberikan proteksi bagi bagian yang mengandung air dari sel , jaringan, ataupun organ. Tubuh tidak bisa membuat sendiri vitamin ini. Oleh sebab itu sangat tergantung dari asupan makanan yang mengandung vitamin C .Vitamin C ini pada penyakit arthritis sangat penting untuk membantu pembentukan tulang dan tulang rawan dengan kata lain pembentukan jaringan sendi yang sehat. Kolagen yang merupakan bahan baku untuk tulang dan kartilago membutuhkan vitamin C untuk pembentukannya.Contoh makanan yang mengandung vitamin C : jeruk, sayuran hijau, kentang, dsb.

Sementara pada vitamin E,B1,B6,Niacin dan asam folat tidak didapatkan hubungan yang bermakna dengan penyakit artritis.

Salah satu mineral yang memiliki khasiat dalam penyakit reumatik adalah Magnesium (Mg) terutama dalam hubungannya dengan penyakit fibromialgia. Fibromialgia adalah kelainan berupa nyeri muskuloskeletal yang difus dan etiologi yang tidak diketahui. ACR menetapkan kriteria diagnostik fibromialgia sebagai berikut: suatu nyeri muskuloskeletal yang difus sekurang-kurangnya dialami selama tiga bulan dan timbul pada sekurang-kurangnya 11 dari 18 titik nyeri (tender points) pada pemeriksaan fisik12,13. (lihat gambar )

Dari hasil survei didapatkan bahwa fibromialgia merupakan penyakit reumatik paling sering setelah osteoartritis, 85% penderitanya adalah wanita dan umumnya pada usia pertengahan 12.

Dalam penelitian terbaru didapatkan bahwa kadar Magnesium dalam darah penderita fibromialgia lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Abraham dkk. membuat hipotesa bahwa defisiensi Mg yang ditemukan dalam otot memegang peranan penting dalam perkembangan penyakit fibromialgia.

Meskipun mekanisme pasti dari Mg dalam tubuh belum diketahui secara pasti, namun Mg berperan penting dalam fungsi metabolik tubuh. Mg mengaktifkan hampir semua enzim dalam proses glikolitik dan siklus Kreb, yang mengubah lemak dan glukosa menjadi energi (ATP). ATP yang rendah sering ditemuai pada fibromialgia, dan hal ini memainkan peranan penting dalam timbulnya gejala-gejala fibromialgia. Tanpa Mg, ATP mudah pecah menjadi ADP dan fosfat inorganik, yang kurang efektif dibandingkan dengan ATP dalam memberikan energi bagi metabolisme dan transport sel. Proses ini sangat penting dalam otak, yang menyimpan kurang lebih 20% dari seluruh ATP dalam tubuh.Rendahnya kadar Mg, mengakibatkan rendahnya ATP, yang pada akhirnya mengganggu pula fungsi kognitif14 .

Bersama kalsium, Mg dibutuhkan dalam metabolisme dan fungsi otot yang adekuat. Pada keadaan defisiensi, terjadi kerja otot yang berlebihan, menyebabkan otot menjadi tegang, tics, dan kejang. Pada studi histokimia didapatkan defisiensi ATP pada titik-titik nyeri fibromialgia.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Russel dkk selama periode 6 bulan, terhadap 24 orang penderita, yang diberikan tablet yang mengandung Mg 50 mg sebanyak 3x2 tablet, tampak perbaikan klinis secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Demikian pula penelitian yang telah dilakukan oleh Abraham dkk14.
Efek samping penggunaan tablet Mg dalam jangka panjang adalah sakit kepala dan gangguan pada saluran pencernaan. Pada penggunaan jangka pendek dapat dijumpai diare, dalam hal ini dosis harus diturunkan menjadi 50%-nya. Efek samping lain adalah hipokalsemia, dalam hal ini Mg harus dihentikan.

Dosis yang dianjurkan antara 50 mg sampai 600 mg per hari secara oral untuk terapi fibromialgia. Namun bagaimanapun juga Mg merupakan suplemen, terapi tambahan dan tidak direkomendasikan sebagai terapi tunggal bagi penderita fibromialgia. Masih dibutuhkan penelitian lebih jauh dan analisis jangka panjang untuk hal ini14.

2. Akupuntur dan akupresur
-Akupuntur
Akupuntur merupakan suatu terapi yang menggunakan jarum halus yang ditusukkan ke permukaan tubuh untuk merangsang suatu titik tertentu. Terapi ini berdasar atas prinsip terapi tradisional dari Cina. Menurut prinsip ini, tubuh manusia bekerja berdasarkan pengaturan dari energi yang disebut ?Qi? (dibaca : Chi), yang mengalir sepanjang saluran dalam tubuh yang disebut meridian. Ada 12 meridian yang dihubungkan dengan 12 fungsi mayor atau ?organ? dalam tubuh manusia2,15.

Selain menggunakan jarum halus, teknik akupuntur juga dapat menggunakan moxibusi (semacam dupa yang dibakar dan didekatkan pada titik-titik akupuntur), dan aliran listrik yang dihubungkan ke pangkal jarum sehingga menimbulkan getaran-getaran halus2.

Dasar teori akupuntur adalah konsep Taoism, yaitu Yin dan Yang. Menurut teori ini segala sesuatu di dunia memiliki keseimbangan misalnya panas-dingin, kuat-lemah, besar-kecil, dan seterusnya. Penyakit timbul akibat tidak adanya keseimbangan antara Yin dan Yang tersebut5.

Titik-titik akupuntur dapat menyalurkan energi untuk memperbaiki ketidakseimbangan yang ada. Konsep tentang penyakit sangat berbeda dengan konsep penyakit berdasarkan kedokteran barat. Misalnya artritis reumatoid disebabkan oleh uap yang dingin dan aliran Qi yang tersumbat di daerah sendi. Pengobatannya adalah menghangatkan yang dingin serta membuka sumbatan tersebut16.

Di negara barat, banyak praktisi akupuntur meninggalkan konsep pemikiran tersebut di atas dan mempelajari akupuntur berdasarkan hubungan fisiologi dan anatomi saraf-saraf perifer tubuh15. Suatu konsep yang sering digunakan adalah mencari Trigger points, yaitu titik-titik tertentu di tubuh yang meningkatkan sensivitas dalam suatu otot tertentu. Titik-titik tersebut menyalurkan nyeri pada suatu segmen tertentu dari tubuh. Contohnya nyeri tekan pada otot di bahu dan leher berhubungan dengan berbagai pola nyeri kepala. Konsep inilah yang dipakai dalam mengobati penyakit-penyakit muskuloskeletal15.

Bagaimana cara kerja titik-titik akupuntur tersebut?.Dalam kedokteran modern akupuntur diterapkan terutama dalam mengobati nyeri. Akupuntur ini diketahui merangsang serat Ad yang masuk ke bagian dorsalis medula spinalis. Hal ini menimbulkan inhibisi segmental dari rangsangan nyeri yang dihantarkan oleh serat C yang berjalan lebih lambat, dan melalui koneksi di otak bagian tengah, menyebabkan inhibisi rangsangan nyeri pada serat C di bagian lain dari medula spinalis. Hal ini dapat menerangkan mengapa tusukan jarum akupuntur pada suatu titik tertentu di tubuh dapat menghilangkan sensasi rasa nyeri di bagian lain dari tubuh. Akupuntur juga diketahui dapat merangsang pengeluaran endorfin endogen (contohnya enkefalin) , opiat endogen, nalokson dan neurotransmiter lain seperti serotonin, yang dapat menghambat rasa nyeri2,15.

Dalam bidang reumatologi, akupuntur dikenal terutama dalam pengobatan fibromialgia, artritis reumatoid dan osteoartritis. Berdasarkan penelitian dengan kontrol yang telah dilakukan lebih dari 20 tahun, terbukti bahwa akupuntur bermanfaat untuk menghilangkan rasa nyeri pada osteoartritis2. Sementara pada percobaan terhadap 70 orang penderita fibromialgia yang pernah dilakukan oleh Deluze, didapatkan 50 % mengalami perbaikan, 20% tidak ada perubahan, 25% merasa hilang sama sekali rasa nyerinya, sementara 5% lagi mengalami perburukan2.

Sejauh ini akupuntur dianggap aman. Namun tetap saja memiliki komplikasi atau efek samping antara lain adalah penularan Virus Hepatitis B melalui pemakaian jarum-jarum yang tidak steril. Pada saat ini telah digunakan jarum disposible, untuk menghindari penularan penyakit.Dari penelitian yang dilaporkan pada Medline, tentang efek samping dan komplikasi dari akupuntur antara tahun 1981 sampai 1994 didapatkan 193 orang yang mengalami efek samping. Dan dari 193 orang tersebut 100 orang diantaranya mengalami penularan Hepatitis B. Beberapa efek samping lain yang pernah dilaporkan adalah pneumothoraks, infeksi lokal, perdarahan dan dermatitis12.

Saat ini WHO atau Badan Kesehatan Dunia telah mengakui penggunaan terapi akupuntur untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu17.Di antara 43 penyakit yang diakui tersebut terdapat juga penyakit reumatik seperti fibromialgia, osteoartritis dan artritis reumatoid.

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap cara kerja akupuntur terbukti bahwa prinsip kerja dari akupuntur ini adalah meregulasi berbagai sistim dan organ tubuh dan mempengaruhi tiga sistim keseimbangan yaitu: sistim saraf, sistim neurohormonal dan sistim imun dan neuroendokrin.Pada penelitian kedokteran modern melalui ?Evidence base medicine?, akupuntur telah terbukti dapat memperkuat sistim saraf pusat dan kerja sistim saraf simpatis dan korteks serebral, yang mengatur seluruh jaringan dan organ dalam tubuh manusia.

-Akupresur
Prinsip terapi akupresur sama dengan akupuntur, tetapi pelaksanaannya tidak menggunakan jarum. Teknik pemijatan pada titik-titik akupuntur yang dilakukan terhadap penderita.
Area pemijatan di seluruh tubuh, namun lebih dikenal refleksiologi di kaki. Area refleksiologi ini diyakini berhubungan dengan organ atau stuktur dalam tubuh.

3.Terapi Magnet
Masih terdapat kontroversial antara manfaat dan efek plasebo dari terapi magnet pada penderita penyakit artritis. Banyak ?pabrik? produsen alat-alat dengan magnet ini mengklaim kalau efek terapeutik dirasakan oleh pasien, sementara beberapa penelitian yang telah dilakukan meragukan hal tersebut, seperti penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Gelfand, pada tahun 1991 di Lenox Hill Hospital-New York. Ia melakukan terapi magnet pada 24 orang pasien selama 6 minggu, dan tidak didapatkan perbaikan yang bermakna. Namun ada juga penelitian yang menyokong seperti yang dilakukan oleh dokter Valbona di Houston dan dipublikasikan pada bulan Nopember 1997. Walaupun dalam penelitian ini belum dapat dipastikan efek magnet ini dapat bertahan berapa lama tetapi dapat dikatakan lebih lama dari pada menggunakan obat-obat penghilang rasa sakit18. Penelitian lain terhadap efek magnet pada penderita osteoartritis menunjukkan perbaikan yang bermakna, terutama dalam hal nyeri2.

Sampai saat ini Food and Drug Admisistration (FDA ) belum mengakui khasiat magnet sebagai terapi penghilang rasa sakit. Belum diketahui pasti bagaimana sesungguhnya kerja magnet ini, namun ada beberapa teori diantaranya:

? Aliran darah. Para ahli berpendapat bahwa magnet dapat membantu meningkatkan aliran darah ke daerah yang nyeri, yang membawa banyak oksigen dan mengurangi proses inflamasi serta mengurangi rasa nyeri. Magnet diyakini dapat merangsang aliran darah karena darah sendiri mengandung partikel bermuatan positif dan negatif.

? Persepsi rasa nyeri. Valbona berpendapat bahwa magnet mempengaruhi reseptor nyeri, memberikan efek anestesia. Efek magnet ini ditransmisikan lewat pembuluh darah ke otak, yang kemudian menghasilkan endorfin, suatu zat alamiah penghilang rasa nyeri18.

Kenyataan tentang hal ini masih harus dibuktikan lagi. Magnet sudah dipakai luas dalam pemeriksaan scanning seperti Magneting Resonance Imaging (MRI). Sejauh ini belum ada efek samping yang dilaporkan.
Penggunaan metode lain terapi alternatif dan komplementer, selain yang telah dibahas di atas, seperti osteopati, chiripraktik, yoga, pijat dan hipnosis, pernah dilaporkan untuk terapi penyakit reumatik. Namun belum banyak penelitian yang dilakukan untuk dapat menerangkan terapi-terapi tersebut secara rasional.

IV. PENUTUP
Pendekatan terhadap penderita yang menggunakan terapi komplementer dan alternatif.Sebagai seorang dokter, kita harus lebih bijaksana dalam menghadapi masalah ketika pasien telah atau ingin menggunakan salah satu dari terapi komplementer dan alternatif yang ada dan datang pada kita untuk meminta pertimbangan. Tanpa pengetahuan yang cukup mungkin kita akan melarang penggunaan terapi ini, atau membiarkan pasien menggunakan terapi tersebut sehingga mengalami akibat yang buruk. Kita sama sekali tidak memberikan pertimbangan yang tepat kepada si pasien. Bagaimana sebaiknya sikap kita?2

1.Mendengarkan keluhan penderita dan memberikan informasi yang tepat
2.Saat ini kita boleh mengatakan bahwa pengobatan komplementer mungkin dapat membantu si pasien namun belum dapat dipastikan.
3.Jangan menghentikan terapi yang ada saat ini dan menggantikan seluruhnya dengan
terapi komplementer.
4.Nasihatkan kepada pasien untuk mengamati jika terjadi reaksi atau alergi dengan
pengobatan saat ini.
5.Jangan menghentikan terapi nonfarmakologis seperti olah raga atau usaha penurunan
berat badan.
6.Nilai kembali kemajuan pasien setiap kontrol.
7.Dan yang terpenting dari semua itu, sebagai dokter kita harus lebih banyak menambah
pengetahun tentang perkembangan terapi-terapi komplementer dan alternatif yang ada.

Tidak perlu bersikap skeptis atau antipati terhadap terapi tersebut, karena pasien mempunyai hak untuk memilih terapi yang akan dilakukannya, dan beberapa terbukti memberikan hasil yang cukup memuaskan.

Kita tetap harus kritis dan belajar serta mencari informasi melalui media yang ada tentang penelitian terakhir yang dilakukan, sehingga dapat membantu penderita semaksimal mungkin lewat pengertian dan pengetahuan kita yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
1.Zollman C, Vickers A. What is complementary medicine. Clinical review. BMJ 1999;
319:693-6
2.Conn DL, Hollister R, Arnold WJ. Alternative care for artrhitis and related
musculoskeletal disease. In: Ruddy S, Harris ED Jr, Sledge C, editors. Kelley?s
textbook of rheumatology. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders, 2001: 739-49
3.Kolanski SL. Complementary and alternative therapies for rheumatic disease,
Hospital Practice. Pennsylvania: Mc Graw-Hill companies, 2001.
http://www.hosppract.com/issues/2001/04/kolas.htm
4.Huang SHK. Basic therapy of rheumatology. CMAJ 2000; 163(4): 417-23
5.Xin Nong C. Chinese acupuncture and moxibustion. 1st ed. Beijing: Foreign Languages
Press, 1987 : 1-18
6.Edward NL.Management of hyperuricemia. In:Koopman WJ. Arthritis and allied
conditions, a textbook of rheumatology. 14th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins, 2001: Vol II: 2314-28.
7. Darmawan J. Terapi gout akut dan pencegahan gout menahun.Yayawan penerbitan
IDI, 1996
8. Panush RS. Diets, other complementary and alternative therapies, and the
rheumatic disease. In: Koopman W. Arthritis and allied conditions, a textbook of
rheumatology. 14th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2001: Vol I:
965-86.
9. Bellamy N. Glucosamine therapy: does it work?. MJA 2001; 175: 399-400
10.Sadovsky R. Glucosamine and knee pain associated with osteoarthritis, American
Family Physician. AAFP. August 15,2000
11.Kapes B. Cartilage supplements. Gale encyclopedia of alternative medicine. Gale
Group, 2001
12. Asseti N. Acupuncture for fibromyalgia. Alternative Medicine Alert. February 2002
13.Freundlich B, Leventhal L. Diffuse pain syndromes, In: Klippel JH. Primer on the
rheumatic disease. 11st ed. Atlanta: Arthritis Foundation, 1997: 123-7, 457
14.Ramalanjaona G. Magnesium in the treatment of fibromyalgia. Alternative Medicine
Alert. March 2002.
15.Vickers A, Zollman C.ABC of complementary medicine : Acupuncture. Clinical
review. BMJ 1999; 319 : 973-6
16.Jirui C, Wang N. Rheumatoid arthritis. In: Acupuncture case histories from China.
Washington: Eastland Press, 1988: 155-6
17.Soemintardjo H.The role of acupuncture in complementraty and alternative medicine.
Makalah yang disampaikan pada : International symposium of complementary and
alternative medicine in the new millennium. Jakarta, 21 April 2002.
18.Fremerman S. Meet magnet (magnet therapy for pain), Natural Health. Weider
Publications. July-August 1998


19.Kremer JM. Nutrition and Rheumatic diseases.In: Ruddy S, Harris ED Jr, Sledge C,
editors. Kelley?s textbook of rheumatology. 6th ed. Philadelphia : WB Saunders,
2001: 713-27
 
Back
Top