Pendidikan Indonesia, Fenomenal

umangvirmaker

New member
Masyarakat Indonesia, Fenomenal (Sebuah Refleksi Perjalanan Panjang Pendidikan demi Menuju pada Kebodohan dan Kemalasan) Oleh Zainurrahman

Pengantar

Dari masa ke masa, manusia melakukan berbagai macam upaya untuk meraih cita-cita kehidupan tertinggi yaitu menjadi makhluk yang berbudaya dan beradab. Sejak zaman Adam, zaman batu, pencerahan, hingga zaman yang sudah masuk posmoderen ini manusia masih tetap melakukan proses transformasi ke arah yang diyakini sebagai “lebih baik” dari sebelumnya. Upaya yang dilakukan adalah dengan melembagakan proses yang disebut dengan ‘pendidikan’.

Tidak dapat kita mungkiri bahwa Yunani adalah ibu yang melahirkan para pemikir handal seperti Sokrates hingga Aristoteles, kemudian Jerman dengan Heiddeger, India dengan Gandhi, dan Indonesia dengan pemikir tanpa nama, karena memang masyarakat Indonesia akan lebih mudah mencatat nama selebritis sebagai legenda ketimbang para pemikir yang berjasa untuk mencerdaskan bangsa ini.

Dalam tulisan ini, saya ingin menumpahkan keprihatinan saya dengan kondisi warga masyarakat kita yang sedang dilanda krisis multidimensi. Krisis yang kita alami ini, dan pemicunya, sudah menjadi produk daur ulang dengan sedikit transformasi dan banyak penambahan bobot. Mengapa saya katakan demikian, karena negara ini sedang gali lobang tutup lobang, mengobati satu penyakit negara dengan melahirkan sepuluh penyakit negara yang lebih mengerikan.

Kita mau berbicara mengenai budaya, namun kita menghancurkan budaya kita sendiri. Kita mau berbicara tentang peradaban, namun hidup beradab mungkin menjadi mimpi buruk seperti penjara. Kehidupan menyenangkan dan bebas berbuat sesuka hatilah yang sebenarnya kita inginkan. Hukum yang kita ciptakan dengan harapan agar hidup menjadi lebih beradab, hanyalah simplifikasi untuk menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan kesalahan dan menyelamatkan siapa yang kira-kira nantinya bisa membalas jasa kita; maaf, tapi ini sudah menjadi rahasia umum.

Saya, dengan kesadaran penuh, menyadari bahwa persuasi ini tidak akan berhasil seperti yang saya inginkan, karena racun-racun telah menyebar di seluruh pembuluh darah dan nadi negara ini. Tetapi dengan segala daya dan upaya, serta dengan memohon rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa, saya tetap akan menyampaikan bahwa kita sedang berada di ambang kehancuran mental yang sudah pasti akan berdampak pada situasi dan kondisi kehidupan kita secara lebih realistis.

Apakah anda yakin bahwa pendidikan kita sudah aman? Apakah anda yakin bahwa tujuan kita sudah benar? Apakah anda yakin bahwa tujuan anda adalah hidup lebih baik seperti yang anda inginkan? Dengan optimis saya akan memberikan jawaban singkat untuk tiga pertanyaan ini, “TIDAK.”
Kita harus berhati-hati dengan apa yang kita inginkan, karena keinginan kita itu seperti roda yang diputar sekali namun terputar puluhan kali. Hendaknya kita sadar, bahwa tangan pertama yang memutar roda keinginan kita adalah “TANGAN ORANG LAIN,” kita berpikir bahwa kitalah yang berkeinginan, padahal kita sedang berkeinginan untuk memuaskan keinginan orang lain. Saya telah melihat adanya akhir yang mengerikan bagi bangsa ini, yaitu jurang kebodohan, kebiadaban, kekerasan, dan kehancuran.

Bagian pertama: Cita-cita luhur

Filsafat eksistensialime Heiddeger mengajarkan kepada kita bahwa sebagai manusia kita tidak mengetahui dari mana asal kita yang sebenarnya. Kita terlempar begitu saja dalam kehidupan yang kejam ini, dimana kita tidak pernah diberikan pilihan untuk terlahir sebagai perempuan atau laki-laki; kita tidak pernah diberikan pilihan untuk terlahir dari rahim seorang ibu yang bernama ini, dari suku ini, dan sebagainya; kita tidak pernah diberi pilihan untuk menentukan warna kulit; dan masih banyak lagi yang tidak kita plih untuk menjadi properti kita. Intinya, kita terlempar begitu saja, seperti seekor kelinci dari topi seorang pesulap yang tidak pernah tahu dan sadar dari mana dia berasal tapi tiba-tiba keluar saja dari topi pesulap tersebut (Saya meminjam kata-kata Jostein Gardner, dalam novel filsafatnya “Dunia Sophie”).

Manusia dalam keadaan “tidak tahu diri”, mengalami “keterlemparan”, dan akhirnya menyadari bahwa harus dia harus melakukan sangat banyak hal untuk survive di alam yang asing ini. Dalam perspektif ini, manusia adalah pengembara di dalam dunia. Kesadaran sebagai makhluk tak “berawal” ini telah membuat manusia merancang tujuan dan jalan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu bertahan hidup selama mungkin.

Apa yang dilakukan oleh kita sebagai manusia adalah dengan menjadi makhluk yang bermata pencaharian, memproduksi, mendistribusi, dan mengkonsumsi. Akan tetapi, lajunya transformasi di berbagai lini kehidupan, muncullah kemudian tugas baru manusia yaitu berkompetisi. Manusia berkompetisi satu sama lain, karena sumberdaya yang semakin lama semakin menghabis, kesempatan sangat terbatas, disinilah muncul batasan-batasan antara kaya dan miskin, pintar dan bodoh, cantik dan jelek, dan sebagainya. Manusia menciptakan kelas-kelas sosial yang membedakan antara satu dengan yang lain. Warna kulit yang merupakan pembawaan lahir sekalipun akhirnya menjadi alasan untuk saling menolak satu sama lain, misalnya yang terjadi di Amerika. Perbedaan faham dalam agama juga menjadi alasan untuk berperang, seperti yang terjadi antara Sunni dan Syiah. Perbedaan latar belakang pendidikan dan partai politik menjadi acuan untuk menerima dan menolak satu sama lain seperti yang terjadi di Indonesia.

Di sisi lain, manusia yang konon disebut homo homini socius kini menjadi individualistis, saling menginjak satu sama lain demi mencapai cita-cita luhur, yakni survive. Hal ini memang tidak dialami oleh seluruh ummat manusia di alam semesta ini, ada alasan bagi segelintir orang untuk hidup rukun tanpa ada upaya untuk membedakan diri antara satu dengan yang lain. Di mata saya, orang-orang tersebut adalah orang-orang yang mengetahui bahwa hidup ini sangat singkat dan segera akan menuju pada kehidupan yang selanjutnya. Mereka adalah orang-orang yang sangat sadar dengan tujuan hidupnya, yaitu menjadi makhluk yang beradab dan berbudaya, yang cinta dengan perdamaian, yang bahagia dengan hidup sederhana, yang tidak senang memiliki oposisi dan tidak senang mengoposisi pihak lain.

Sudah menjadi asumsi global bahwa Indonesia di bagi menjadi 2, yaitu bagian timur dan bagian barat. Bagi orang-orang bagian barat, masyarakat Indonesia timur memiliki IQ yang lebih rendah, karena minimnya sarana dan prasarana pendidikan, minimnya sentuhan pembangunan yang menjanjikan terwujudnya masyarakat ideal seperti yang terjadi di tanah kelahiran mereka. Mulai dari Sulawesi sampai Irian dan Papua, dianggap memiliki IQ yang lebih rendah ketimbang Jawa. Apakah ini menjadi alasan sehingga menimba ilmu pengetahuan dengan cara keluar daerah (dari timur hijrah ke barat) menjadi kebanggaan tersendiri? Saya pikir itulah kenyataannya, bahwa masyarakat timur sudah ikut termakan dengan asumsi ini.

Pengamatan saya menemukan asumsi yang sebaliknya. Bagi saya, nilai-nilai luhur yang sejak lama ditanam oleh nenek moyang kita sudah banyak terdistorsi; kehidupan saya di tanah blangkon beberapa tahun menunjukkan bahwa masyarakat di tanah tersebut hampir tidak mengenal adanya konsep tetangga dan saudara. Kehidupan yang sangat individualistik, meskipun saya tidak bisa menggeneralisir asumsi tersebut. Akan tetapi bagaimanapun juga, ada sisi sosial yang terkikis dari waktu ke waktu. Hal ini tentu saja dipicu oleh kebutuhan untuk berkompetisi dan survive tadi, terlambat sedikit saja anda akan ketinggalan kereta. Orang-orang sudah tidak saling “mengurusi”, mengobrol hanya menjadi basa-basi, setiap orang tenggelam dengan kehidupannya sendiri. Suatu persaingan yang sangat ketat. Bagi yang berpendidikan akan mendapatkan posisi di mata masyarakat yang layak, sementara yang nasibnya kurang beruntung terpaksa harus mengais rejeki di jalanan. Tak ayal lagi, kekerasan bertebaran di jalanan, perampokan, penipuan, pemerkosaan, pelecehan, pembunuhan, selalu saja menghiasi layar televisi setiap hari setiap saat.

Keadaan semacam ini kemudian merembet ke wilayah timur yang meskipun secara geografis sangat panas, namun secara sosial sebenarnya sangat adem. Konsep tetangga sangat terjaga, bahkan anda bisa makan di satu rumah dan minum di rumah yang lain. Jika anda sedang membuat sayur, garam bisa anda temukan di tetangga kanan dan terasi anda bisa temukan di tetangga kiri. Ini sebenarnya suatu hal yang sangat luar biasa, yang tidak dapat anda temukan di tempat lain, kecuali anda menemukan komunitas langka yang masih puas dengan kehidupan apa adanya, yang tidak ada sedikitpun rasa ingin berkompetisi dan beroposisi dengan orang lain.

Dari waktu ke waktu, keadaan bersosial, menganggap tetangga sebagai saudara, mulai terkikis di daerah timur. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat timur selalu bercermin dan ingin menjadi seperti masyarakat barat. Imitasi pun terjadi, mulai dari cara berpakaian, berias diri, gaya hidup, dan sebagainya, sudah tidak seasli dulu lagi; meskipun ini belum meliputi seluruh tanah timur. Ini sebenarnya sangat berbahaya, karena dengan melakukan imitasi tersebut, budaya lokal menjadi hancur dan kehidupan sosial menjadi individualistis, ketika persaingan hidup menjadi lebih ketat, sementara tuntutan hidup semakin besar, kejahatan pun akan terjadi.

Semua fenomena ini bersumbu dari sebuah keyakinan bahwa cita-cita luhur manusia adalah bertahan hidup dalam keadaan sejahtera selama tujuh turunan. Sumberdaya alam yang kita miliki ini akhirnya dimiliki oleh sekelompok orang-orang “kuat” yang kemudian orang-orang “lemah” hanya menjadi “perampok” saja. Rencana demi rencana pemerintah untuk merevitalisasi kaum lemah kemudian dicanangkan, tetapi tetap saja tidak akan ada perubahan, selama ini pemerintah mengira bahwa masyarakat menjalankan program seperti apa yang diinginkan; kenyataannya tidak, masyarakat hanya akan mau menjalankan program jika ada “imbalan” untuk menambah kesejahteraan mereka.

Lihatlah, saudaraku, fenomena kehidupan kita yang satu ini sudah dijelaskan secara gamblang oleh filsuf Jerman martin Heiddeger dengen filsafat eksistensialismenya. Akar dari persoalan adalah karena manusia mengalami keterlemparan dan manusia menciptakan cita-cita, tujuan, dan jalan untuk mencapai tujuan itu. Manusia menciptakannya sendiri, dengan adanya pluralitas tipe manusia yang tersebar di dunia ini, maka tentu saja akan ada lebih dari satu cita-cita. Akan tetapi secara global, setiap manusia ingin bertahan hidup dengan sejahtera, bahkan sebagian besar di antara kita ingin hidup mewah dan memiliki segala-galanya. Jika kita semua menginginkan hal yang sama, apakah kita sadar bahwa sumber yang kita miliki ini terbatas? Apakah kita sadar bahwa yang hidup di dunia ini bukan hanya kita saja? Apakah kita sadar bahwa di luar sana ada orang yang juga berhak memiliki kehidupan yang layak? Apakah kita sadar bahwa apa yang kita lakukan telah menutup kesempatan bagi mereka yang lain? apakah kita sadar bahwa kita berkompetisi dengan cara yang ilegal? Apakah kita sadar bahwa ada sisi kemanusiaan kita yang hilang? Apakah kita sadar bahwa sebagian besar kesempatan bertahan hidup dengan sejahtera orang lain ada di tangan kita? Apakah kita sadar bahwa kita telah memiliki semuanya dan kita tidak akan membawa satupun ke kubur? Dan masih sangat-sangat banyak antrian pertanyaan yang sebenarnya harus kita renungkan berkaitan dengan cita-cita luhur kita ini. Saya yakin ada yang salah dengan kita, yaitu merumuskan cita-cita, tujuan, serta jalan menuju tujuan tersebut. Salah satu kesalahan kita adalah sebagaimana dijelaskan dalam eksistensialimse Heiddeger di atas, yakni setiap orang eksis dan harus merumuskan cita-cita, tujuan, dan jalan menuju tujuannya sendiri. Heiddeger adalah seorang filsuf yang merasa tidak puas dengan kehidupan religiusnya, kemudian melompat ke kehidupan logika dengan keyakinan penuh bahwa otaknya dapat menembus dinding-dinding yang membatasi dia dengan kebenaran. Padahal sebagai manusia, kita bahkan tidak pernah mampu menggenggam kebenaran meskipun dalam sehari saja, bukankah kebenaran hari ini belum tentu kebenaran esok hari? Yang harus kita lakukan adalah mengikuti rambu-rambu yang telah digambarkan dalam kitab suci, yang telah lama dianut oleh nenek moyang kita, yang kehidupannya saya kita yakini lebih baik dan lebih mulia dari kehidupan kita saat ini.

Kita perlu melihat kehidupan kita dari perspektif lain, bahwa sesungguhnya kita bukanlah seekor kelinci yang keluar dari topi pesulap, tetapi kita adalah manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang telah merencanakan hidup dan mati kita dan dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang telah merencanakan awal-tengah-akhir kehidupan kita. Harus kita yakini itu, jika anda tidak meyakini hal tersebut, anda harus berhenti membaca tulisan ini.

Anda tentunya tidak ingin disebut sebagai orang yang tidak beragama, dan saya yakin bahwa anda menganut ajaran agama tertentu. Semua agama, baik agama samawi maupun agama ardi yakin bahwa Tuhan YME telah merencanakan jalan hidup bagi tiap personal yang tak dapat diduga-duga dengan naluri, melainkan melalui wejangan-wejangan kitab suci masing-masing dan dijustufikasi atas iman dan ketakwaan. Tanpa merujuk pada ajaran agama tertentu, kita meyakini bahwa kehidupan ini seperti garis lurus (ada yang mengatakan menyerupai sirkel). Bagi yang meyakini hidup ini garis lurus, pasti setuju bahwa terdapat tiga fase kehidupan, yakni fase kelahiran-fase kehidupan-dan fase kematian.

Manusia diciptakan dimuka bumi dengan maksud Tuhan, untuk melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Setiap perintah dan larangan telah termaktub dalam kitab suci masing-masing. Setip kitab suci itu mengandung unsur hukum, unsur sejarah, unsur pengajaran, unsur perintah, dan unsur peringatan.

Dalam tiap agama, terdapat keyakinan mengenai takdir dan nasib; dimana takdir merupakan hal yang tidak dapat diubah dan nasib adalah keadaan yang masih bisa diubah. Takdir itu misalnya warna kulit, suku dan ras, kelengkapan fisik, kekurangan fisik, kelengkapan mental, kekurangan mental, jenis kelamin, dan sebagainya. Nasib itu misalnya agama, keadaan perekonomian, kultur, ilmu dan pendidikan, dan sebagainya.

Takdir itu diberikan pada fase kelahiran sedangkan nasib ditemui pada fase kehidupan. Dengan menyadari hal-hal tersebut, kita sudah barang tentu mengetahui bahwa tugas kita adalah mengabdi kepada Tuhan yang diyakini masing-masing. Bagi agama tertentu yang menyakini adanya kelahiran kembali atau reinkarnasi pasti akan melakukan kebajikan sebagaimana yang dajarkan oleh Dharma, sedangkan yang meyakini adanya hari pengadilan atau judgment day akan berbuat kebajikan sebagaimana diajarkan dalam kitab suci masing-masing.

Adanya kerusakan dimuka bumi ini tidak lain dan tidak bukan merupakan hasil dari pembalikan kenyataan tersebut, dimana Dharma tidak lagi ditaati, perintah tidak dilaksanakan dan malah melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran masing-masing. Bahkan ada anggapan konyol yang dengan berani memberikan label “orang bodoh” bagi mereka yang taat beragama.

Pada fase kehidupan, manusia memang diposisikan sebagai makhluk yang harus berusaha untuk meraih nasib yang lebih baik. Namun bukankah sudah jelas bahwa cara untuk meraih nasib yang lebih baik itu sudah diajarkan dalam kitab suci? Tidak ada satupun agama yang mengajarkan atau memperbolehkan merampas hak milik orang lain untuk menjadi properti pribadi, sehingga berupaya dengan jalan agama akan lebih menjanjikan perbaikan dari pada apa yang sebelumnya kita sebut survive tadi.

Melalui kacamata agama, kita semua memahami, memaklumi, meyakini, bahwa cita-cita luhur manusia adalah berbuat kebajikan sebanyak mungkin demi perbekalan menghadapi hari kemudian, atau untuk bisa mendapatkan kesempatan bereinkarnasi sebagai manusia yang lebih baik dan tidak jatuh pada kelenyapan atau kejatuhan dalam Samsara. Setiap pribadi memang diposisikan pada keadaan ‘harus berusaha’, namun ada kesadaran yang melandasi usaha tersebut, yakni kesadaran yang bersandar pada niat-niat dan tujuan kebajikan. Bahkan, untuk menyambung hidup (atau menunda kematian) itu tidak lain hanyalah dalam rangka beribadah dan berbuat kebajikan kepada sesama semata. Dengan keyakinan keagamaan yang kuat, maka tidak akan ada orang yang mau mengumpulkan harta benda sebanyak mungkin hingga orang lain tidak berkesempatan lagi, atau dengan kata lain, mereka tidak melakukan hal-hal yang tidak adil terhadap sesama.

Bumi dan isinya memang diciptakan untuk sesama, untuk kepentingan bersama. Di atas bumi ini tidak ada yang namanya properti pribadi. Anda mungkin bekerja dengan upah 6 juta rupiah perbulan dan anda mampu membeli 2 buah mobil, ratusan hektar tanah, dan akhirnya ratusan hektar tanah itu menjadi milik anda, padahal ada tetangga anda yag juga memiliki uang tetapi tidak berkesempatan untuk memiliki tanah lagi karena semua sudah menjadi milik anda, dan anda menyukainya bukan? Itu adalah watak setan dan itu adalah naluri kebinatangan seperti seekor singa jantan yang menyemprotkan air seninya ke arah-arah yang luas untuk menandakan bahwa itu adalah wilayah kekuasaannya.

Apa yang anda miliki dan upaya yang anda lakukan untuk memiliki lebih banyak lagi merupakan cermin bagi ukuran kepuasan dan kebahagiaan anda. Bagi sekelompok orang, hati hanya akan puas dan bahagia jika memiliki rumah bertingkat, sebilangan mobil, ratusan hektar tanah, isteri yang cantik, anak yang cantik, menantu yang cantik, dan sebagainya. Bagi sekelompok orang hidup bersahaja sudah cukup. Saat ini, para orang tua yang sederhana pasti sudah sangat pusing memikirkan warisan apa yang akan diberikan kepada anaknya. Semua tanah telah terjual demi pendidikan anak mereka, demi membeli bahan pangan dan sandang sehari-hari. Mereka ingin anak mereka memiliki pekerjaan, tetapi semua kursi di kantor telah diduduki oleh orang-orang kaya yang sebenarnya sudah memiliki harta yang cukup untuk tujuh keturunan, semua sarung tangan di perusahan-perusahan telah digunakan oleh besanan direktur, inilah nepotisme.

Tidakkah anda merasa heran, jika anak orang miskin yang cerdas dan bisa bekerja dengan lebih baik (karena mereka harus bekerja dengan baik agar pekerjaan mereka langgeng) tidak berkesempatan untuk berkerja karena anak-anak orang kaya sudah membeli kepercayaan perusahan itu dengan uang, sehingga meskipun anak orang kaya tersebut tidak bisa bekerja dengan baik tetap saja anak orang miskin tersingkir. Pada konteks ini, jelas bahwa yang kaya semakin ingin kaya dan yang miskin semakin tertindas, semakin hilang kesempatan untuk hidup lebih layak. Bahkan saat ini di Indonesia untuk naik haji pun harus pake kolusi dan nepotisme. Jadi hanya orang kaya yang mampu memberikan tip lebih saja yang bisa naik haji, sementara bagi yang biayanya pas-pasan untuk ONH terpaksa harus menjadi penunggu setia; maaf, ini sudah menjadi rahasia umum.

Semua ini terjadi hanya karena cita-cita kehidupan yang salah arah. Jika dilihat dengan seksama, maka jelas bertahan hidup juga belum cukup untuk kebanyakan orang di dunia ini, tetapi sekaligus menyedot sumberdaya dan sumberharta dari berbagai arah sebanyak mungkin, meskipun ada ketidakadilan, meskipun ada pihak yang dirugikan, tak perduli orang lain berkesempatan atau tidak, bila perlu menyedot kesempatan orang lain juga.

Kita bersyukur masih ada sekelomppok minoritas yang masih bertahan untuk tidak mengambil sikap dan membuat keputusan untuk melakukan hal-hal tersebut. Kelompok ini lah mereka yang penyantun fakir miskin, pemerhati sosial, dan sebagainya. Para minoritas ini menyadari benar bahwa “mereka” juga memiliki hak untuk mencicipi hasil upaya mereka, meraih sedikit kenikmatan dari sumberdaya yang disediakan oleh Tuhan yang terhampar luas di muka bumi. Mereka sadar bahwa kejahatan itu kebanyakan terjadi karena kemiskinan dan keterpaksaan. Banyak orang miskin yang kelaparan terpaksa harus mencuri, banyak anak jalanan mengambil keputusan untuk menjadi preman karena mereka sadar bahwa kesempatan berbuat baik dan bekerja dengan baik demi kehidupan yang lebih baik sudah dirampas oleh orang-orang kaya. Anehnya, masih ada juga orang kaya yang berlagak miskin, sehingga masih mau mencuri, bahkan mencuri uang rakyat. Binatang jenis apakah ini?

Itulah, wahai saudaraku, sekarang sebaiknya anda memikirkan apa cita-cita anda yang sebenarnya, yang luhur dan yang baik. Saya menyarankan anda untuk memilih kitab suci sebagai bacaan andalan anda, dengan demikian anda tidak termasuk orang-orang jahat dan orang-orang tersesat dalam mencapai tujuannya. Roda keinginan itu diputar oleh iblis, diputar sekali, terputar puluhan kali. Maka berhati-hatilah dengan keinginan anda, jangan sampai menggilas saudara anda sendiri.

Bagian Kedua: Pendidikan

Pendidikan merupakan sebuah kata yang diyakini memiliki kekuatan magis, yakni mampu membawa manusia (dan bahkan alam semesta) menembus dimensi kegelapan menuju penerangan, kebodohan menuju kepahaman, kejahatan menuju kebajikan. Pendidikan adalah proses transformasi menuju kehidupan yang lebih baik, yang diupayakan dengan melembagakan proses itu dalam wadah-wadah yang disebut sebagai sekolah dan universitas.

Pendidikan merupakan kebutuhan primer ummat manusia. Manusia senantiasa mengalami perubahan, transformasi, baik secara individual maupun secara kolektif; yakni transformasi kebudayaan dan peradaban. Pendidikan merupakan ikon utama kehidupan manusia, dan pendidikan kini menjadi logo bagi mereka yang konon layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pendidikan di setiap negara memiliki ciri khas tersendiri yang sangat tergantung dengan watak warga negaranya. Setidaknya ada dua pendekatan pendidikan, yakni pendidikan untuk berkompetisi dan pendidikan untuk berkolaborasi. Pedidikan untuk berkompetisi sangat cocok di negara yang sangat mencintai individualisme dan pendidikan untuk berkolaborasi sangat cocok di negara yang sangat mencintai sosialisme. Dikotomi pendidikan ini menelurkan dua jenis masyarakat terdidik, yakni masyarakat yang suka berkompetisi dan masyarakat yang bahu-membahu saling membangun antara satu dengan yang lain.

Di Indonesia, kita mengadopsi sistem pendidikan ala barat, baik itu di sekolah maupun di universitas. Bukti yang sangat nyata bisa dilihat dari cara guru dan dosen memberikan nilai kepada setiap siswa dan mahasiswa dengan grade yang berbeda-beda, tentu saja tergantung pada kemampuan tiap-tiap orang yang juga berbeda-beda. Setiap siswa diajak untuk berkompetisi untuk mendapatkan nilai tertinggi, dan tak jarang terjadi kompetisi sakit di negeri ini. Sedangkan sistem pendidikan primer negara ini adalah sistem karantina atau “rawat inap” yang kita kenal sebagai pesantren.

Wajah lain dari pendidikan negara ini dapat kita analogikan dengan penjara dan rumah sakit. Sekolah dan universitas ala penjara adalah lembaga pendidikan yang “menghukum” para siswa karena melakukan pelanggaran “kebodohan” dan dengan demikian siswa ditempa dengan ceramah, tugas, dan juga diwarnai dengan hukuman ketidaklulusan. Tak jarang para siswa memberikan keluhan akan feodalisme sipir dan kepala penjara yang arogan dan main sikat dengan sangsi-sangsi yang tidak proporsional dengan hukuman. Bagi mereka yang berkelakuan baik akan diberikan remisi, dan bagi mereka yang memiliki relasi “berduit” akan bebas dengan jaminan beberapa digit, hitam di atas putih. Pendidikan ala rumah sakit adalah sebaliknya, para siswa dianggap sebagai pasien yang sedang sakit. Mula-mula pasien didiagnosa, kemudian diberikan pengobatan sesuai dengan penyakit yang diderita. Para dokter sangat ramah, dan walaupun obat yang diberikan itu sangat pahit namun para dokter mampu membuat para pasien sadar bahwa obat itu untuk kesembuhannya. Alhasil, jika pasien sudah sembuh maka pasien diperbolehkan untuk pulang.

Jika kita mau jujur, kebanyakan mantan narapidana menganggap bahwa penjara itu sebagai wahana untuk latihan semata. Sebagian besar orang yang keluar dari penjara merasa sangat skilled untuk melakukan kejahatan yang lebih besar dan lebih tak terdeteksi. Ya, sebagian besar mantan narapidana justru menjadi lebih jahat ketimbang sebelumnya. Sedangkan seorang pasien, sesudah keluar dari rumah sakit, semampu mungkin akan menghindari apa yang akan membuatnya balik ke rumah sakit itu.
Dengan begini, kita bisa melihat bahwa pendidikan ala rumah sakit itu lebih efektif dari pada pendidikan ala penjara. Kita bisa melihat bahwa kebanyakan ahli di suatu bidang akan banyak bermain-main dengan keahliannya, bahkan untuk hal-hal yang tidak direstui hati nuraninya sendiri; pendidikan akhirnya menjadi black magic yang sering digunakan untuk kepentingan diri sendiri walaupun tega menjadikan orang lain sebagai tumbal. Anda tidak usah mencari contoh lain, para koruptor adalah orang-orang pintar (atau pintar membodohi), orang yang melakukan kolusi adalah orang-orang kaya yang pintar (atau pintar membeli hati dengan uang), dan orang yang melakukan nepotisme adalah orang pintar (atau pintar menggunakan kedudukannya demi kepentingan pribadi).

Pada substansinya, sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa pendidikan merupakan kebutuhan primer manusia. Akan tetapi cara kita menjalankan pendidikan itulah yang menentukan apakah bangsa ini bertransformasi ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Marilah kita sejenak melihat dua wajah dari praktik pendidikan di negeri ini. Kita semua tahu bahwa negeri ini dipenuhi oleh orang-orang pintar, sebagai produk praktik pendidikan. Banyak sarjana yang telah ditelurkan oleh perguruan tinggi, sebagian dari para sarjana itu menjadi pakar yang ide mereka selalu dibutuhkan oleh masyarakat dan tentu saja pemikiran mereka turut berpartisipasi dalam proses transformasi sosial kita. Sebagian dari para sarjana itu kembali menjadi para pendidik, yang ide mereka sangat bermanfaat demi perkembangan pengetahuan masyarakat. Sebagian dari para sarjana itu ternyata juga menempuh jalan sebagai pengusaha, dengan bermodalkan pengetahuan yang didapatkan dari bangku kuliah. Sebagian dari mereka yang kurang beruntung terpaksa mengambil jalan yang berseberanga, menjadi sopir taksi, menjadi ojek, bahkan tak sedikit sarjana yang tiba-tiba terjun di dunia hitam narkotika dan obat-obat terlarang. Tentu saja kita akan menyalahkan diri mereka sendiri, karena upaya merekalah yang menentukan nasib mereka.

Adanya output dan fenomena yang terjadi menunjukkan bahwa visi dan misi pendidikan tidak terealisasi secara merata. Kita kemudian bertanya-tanya ada persoalan apa dalam masyarakat kita sehingga ada juga para sarjana yang “tidak berhasil” mentransformasi dirinya ke arah yang lebih baik. Asumsi sementara mungkin karena mereka menjalani kehidupan akademiknya tidak secara baik dan benar, mungkin karena itu sudah menjadi pilihan mereka, dan sebagainya. Mengapa kita tidak curiga jika para sarjana yang kurang beruntung dan telah memperburuk keadaan itu justru telah kehilangan kesempatan karena kesempatan mereka telah diambil oleh orang lain. kesempatan yang hilang secara tidak adil ini kemudian membuahkan rasa kekecewaan yang menyeret mereka ke jurang kriminalitas.
Lembaga pendidikan merupakan wadah, pabrik, yang bertugas untuk mendidik masyarakat agar menjadi lebih baik. Pemerintah, sebagai partner, seharusnya mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa sekolah dan kuliah itu tidak ditujukan untuk mendapatkan pekerjaan di kantor, tetapi untuk membawa diri ke arah yang lebih baik. Bukankah kejahatan itu disebabkan oleh keinginan yang terkontrol oleh kebodohan, kejahilan? Pendidikan seharusnya, selain sarana untuk masyarakat bertransformasi, juga sebagai “sarana pengobatan”, layaknya rumah sakit. Bersekolah dan berkuliah harus menjadi keharusan, dan oleh karena itu, sekolah dan kuliah harus gratis, karena sekolah dan kuliah bukanlah untuk mendapatkan pekerjaan.

Memang benar bahwa titel selalu menjadi ukuran dalam penerimaan pekerja, baik itu di birokrasi, pemerintahan, maupun perusahan swasta. Tentu saja, bahwa titel itu merefleksikan kemampuan dan bidang keahlian, tetapi apakah seperti itu adanya? Jawabannya adalah tidak selalu begitu. KKN sudah mendarah-daging di negeri ini, dan KKN merupakan kanker yang sangat sulit disembuhkan. Jika anda termasuk orang-orang kelas bawah, besar kemungkinan titel yang anak anda miliki hanya akan jadi hiasan; karena di luar sana terdapat sistem yang sangat berbeda dengan apa yang anda yakini. Akan tetapi keyakinan anda bahwa yang berhak bekerja untuk negara adalah yang mampu harus tetap anda imani, karena itulah kebenaran; meskipun di luar sana ada sistem yang berkehendak lain.

Marilah kita simpan pendidikan dan mulailah kita melihat para penjahat dengan topeng-topeng pendidikan. Saat ini, di daerah-daerah terpencil sekalipun sudah terdapat sekolah dan perguruan tinggi. Melihat maksud yang suci, adalah untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, lebih memahami, singkatnya, membangun masyarakat terdidik. Yang disebut dengan masyarakat terdidik adalah masyarakat yang mengikuti proses pendidikan, yang kemudian menjadi masyarakat berintelektual, mampu berfikir untuk memecahkan persoalan hidup yang dialami diri sendiri maupun orang lain atau masalah bersama, beriman dan bertakwa dan membenci kebodohan. Mendapatkan pendidikan merupakan hak semua insan, dan dengan kemudian, semua masyarakat terdidik (siapapun dia, dari kelas manapun dia) memiliki kesempatan dan tugas yang sama, yakni berperan sebagai individu yang bermanfaat.

Yang terjadi di dunia ini, atau setidaknya di negeri ini, adalah sebaliknya. Yang berhak mendapatkan kesempatan ternyata segelintir orang saja, bahkan strata pendidikan sering kali menjadi alasan untuk mendiskriminasi sesama. Anda bisa saja memiliki sederetan titel menghiasi papan nama anda, namun itu bukan jaminan anda bisa didengar publik, bukan sebuah ukuran anda mendappatkan kesempatan untuk menjabat, bukan sebuah alasan anda termasuk orang-orang sukses. Hal itu mungkin membuat anda sedikit kesal, dan itu juga bagian dari kesalahan anda sendiri, mengapa anda berani berfikir bahwa dengan mendapatkan gelar anda akan menjadi orang kepercayaan dan anda akan berkesempatan untuk hidup sejahtera. Di dalam lingkungan masyarakat kita ini, paradigma dan keyakinan seperti itu justru merugikan anda, karena relasi dan kemampuan finansial yang sedang berkuasa. Bagi yang belum menyadari hal ini, saya mengajak kita sekalian untuk membuka mata dan telinga untuk melihat dan mendengar kenyataan bahwa “orang dalam” sangatlah dibutuhkan, yah... nepotisme.

Apakah saya sudah menyebutkan bahwa praktik kolusi dan nepotisme juga telah menyerang jantung hati pendidikan? Jika saya belum menyebutkannya, maka ini waktunya untuk saya sebutkan, bahwa bahkan di dalam bidang pendidikan sekalipun kolusi dan nepotisme sudah beranak-cucu. Di negara ini sangatlah sulit mendapatkan seorang dosen atau guru yang objektif, baik dalam urusan nilai-menilai, maupun dalam urusan akademik yang lain. meskipun demikian, jika anda memang benar-benar pintar, kepintaran anda akan disaksikan, tetapi mengapa yang tidak terlalu pintar pun bisa mendapatkan kehormatan yang sama dengan anda? Yah, kita berpikir positif saja, mungkin itu sudah nasibnya. Untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi, mungkin anda sudah mengalaminya, seringkali anda membutuhkan “kemampuan” lebih dari sekedar menjawab soal-soal tes dengan baik dan benar. Hal ini terjadi karena paradigma masyarakat kita bahwa universitas A senantiasa menelurkan produk-produk berkualitas, sehingga jika lulus dari universitas tersebut maka yang bersangkutan akan mudah mendapatkan pekerjaan. Bagaimana dengan nasib lulusan universitas lain yang mungkin tidak memiliki nama seharum universitas A tersebut?

Saat ini saya tidak mau memfokuskan pembicaraan pada paradigma masyarakat mengenai perguruan tinggi, sekolah, atau lembaga pendidikan formal dan nonformal lainnya. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa penyakit negara ini, bahkan, telah menyerang dan menjangkiti sistem pendidikan yang sebenarnya merupakan mesin utama transformasi masyarakat yang konon diyakini menuju arah yang lebih baik, yang lebih dharapkan.

Apa jadinya jika di negara ini sebagian perguruan tinggi menelurkan alumni-almuni yang tidak berkualitas, yang kelulusannya tidak refer kepada indeks prestasi tetapi indeks pendekatan, jika tugas akhir sebagian mahasiswa dibuat oleh orang lain, jika nilai yang diberikan berdasarkan etnis atau agama, dan sebagainya. Apa jadinya negara ini jika para dosen diterima bukan karena keilmuannya tetapi karena relasi. Apa pula yang terjadi jika sistem ini terus berlanjut dan dipertahankan, celakanya dari lembaga pendidikanlah masyarakat unggul itu dilahirkan, dan lembaga pendidikan pun telah tercemar. Anda tentunya bisa membayangkannya.

Saya juga tahu bahwa tidak semua perguruan tinggi seperti itu. Masih ada juga pahlawan-pahlawan pendidikan yang sangat objektif dan tahu diri, yaitu mereka yang bekerja dengan hati, mereka yang diterima untuk bekerja atas jerih payah mereka sendiri, mereka yang merasa diperlakukan dengan adil, mereka yang tidak mau makan gaji buta, mereka yang benar-benar mendedikasikan hidup dan ilmu mereka semata-mata untuk pendidikan yang sebenar-benarnya.

Dari sini kita bisa memilah orang-orang dalam bidang pendidikan menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah mereka yang masuk ke dalam sistem tidak dengan cara yang semestinya, dan mereka yang masuk dengan cara yang semestinya. Ini semua terjadi karena masing-masing bercita-cita untuk senantiasa “sejahtera”, dan untuk mempertahankan kesejahteraan itu, adalah dengan cara merubah fasilitas publik menjadi fasilitas keluarga, fasilitas kesukuan, dan sebagainya. Sungguh disayangkan, bukan hanya birokrasi yang terjangkiti penyakit KKN ini, tetapi juga unsur vital atau unsur primer yang menentukan arah bangsa ini, yaitu lembaga pendidikan.

Apa yang terjadi saat ini telah membahayakan pendidikan kita, dengan kata lain, pendidikan yang kini sedang dijalankan sangatlah tidak aman. Guru dan dosen merupakan unsur paling fundamental di setiap lembaga dan satuan pendidikan. Berhasil-tidaknya para siswa dan mahasiswa sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dan dosen. Sementara kinerja guru dan dosen dipengaruhi oleh motivasi kerja mereka. Motivasi kerja bisa macam-macam, ada yang menyebut kesejahteraan, ada yang menyebut sarana dan prasarana, tetapi saya lebih suka untuk menyebut bahwa motivasi kerja itu kembali kepada bagaimana orang tersebut dapat meraih posisi sebagai guru dan dosen. Jika orang tersebut meraih posisi tersebut dengan uang, maka uanglah yang akan menjadi orientasi dan motivasi kerjanya; bukankah ini mengorbankan putra dan putri anda yang mungkin pintar tetapi bernasib kurang beruntung?

Apa yang saya sebutkan diatas merupakan sisi paling samar-samar yang paling sulit disadari oleh kita, dan oleh karenanya juga sangat mudah ditolak dan dianggap sebagai asumsi yang tak beralasan. Demikian saya akan mengatakan bahwa itu bukanlah asumsi, yang sedang anda baca ini adalah tulisan seorang dosen yang mengetahui benar apa yang terjadi di dalam “rumah sendiri.” Saya juga mau menyampaikan bahwa tidak semua guru dan dosen yang berprilaku sedemikian, tetapi, potensi untuk melakukan hal-hal yang menyimpang itu sangat besar, apalagi jika seorang guru atau dosen tidak mampu menghargai posisi yang sedang didudukinya, tugsa yang sedang diembannya, dan tanggung-jawab yang sedang dipikulnya.

Jangan terpana kepada perbuatan oknum-oknum dosen dan mencaci-maki apa yang mereka perbuat, tetapi lihatlah lebih dekat terhadap siswa dan mahasiswa yang menjadi korban. Hal ini telah terjadi dalam kurun waktu yang sudah sangat lama, sudah sangat jauh untuk dikejar. Sistem balas dendam pun sudah dimulai. Hari iniseorang mahasiswa telah didzalimi oleh seorang dosen dengan cara yang tidak menyenangkan, mahasiswa tersebut akhirnya dengan cara yang “aneh” menduduki posisi yang sama, dan akhirnya melakukan apa yang sama sebagaimana dia diperlakukan. Bukan itu saja, untuk menjaga kelanggengan kesejahteraannya, maka orang-orang terdekatlah yang harus berada di samping dan di bawahnya. Ini dimaksudkan untuk menjadi kuda-kuda pijakannya, agar berpijak lebih lama, berkuasa lebih lama, dan meraup keuntungan dan mencicipi hasil selama mungkin, padahal mungkin sudah waktunya orang lain yang lebih mampu dan lebih bertanggung-jawab untuk menggantikannya.

Untuk mendeteksinya sangat mudah, cukup dengan cara meneliti pejabat-pejabat strukturalnya. Jika ada kesamaan yang “aneh” atau “tidak wajar”, misalnya, dari Kepala hingga Penjaga sekolah 75 persen bersuku sama, bahkan memiliki ikatan keluarga, dan rata-rata penerus generasinya juga sesuku atau seetnis, atau dengan kesamaan lain, dan hal itu anehnya terjadi terus menerus; ini dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut tidak sehat. Kita mungkin bisa berkata, ah mungkin itu kebetulan saja, dan saya akan mengatakan bahwa itu adalah kebetulan yang sangat aneh.

Kita sudah melihat bagaimana situasi lembaga pendidikan di negeri kita, meskipun hal tersebut tidak mungkin kita generalisir ke semuanya. Intinya, sistem pendidikan kita telah tercemar dengan KKN dan itu sangat fatal. Sistem pendidikan adalah sistem primer dan vital bagi keberlangsungan transformasi masyarakat, dan jika itu teracuni, maka anda bisa beranalog dengan sebuah pabrik yang sangat kotor sudah pasti menghasilkan produk-produk yang tidak bermutu.

Inilah yang terjadi ketika tujuan hidup sudah bukan lagi untuk berbuat kebajikan, tetapi untuk mempertahankan dan mengumpulkan harta sebanyak mungkin seoalh-olah semua yang terdapat di muka bumi adalah milik pribadi, seolah-olah tidak ada lagi orang lain ynag berhak, seolah-olah tidak pernah mati, seolah-olah harus berkompetisi dan memiliki semuanya meskipun orang lain harus menderita.
 
Back
Top