Novel: Matematika....

Kalina

Moderator
Ini cerita bukan penulis mau ngajar pelajaran matematika loh :)
Ini novel pertama yang aku rilis di email :) alhamdulillah..
aku pengen share..

novel ini, lumayan meledak di kalangan teman-teman SMA dan teman-teman kuliah. Juga di teman-teman internet.. tiap hari emailku.. sampai hari ini.. masih ada aja yang request :)
harap dimaklumi.. ini novel pertama.. kalau ceritanya masih terlalu polos :) yaa inilah karangan pertamaku :D

cerita novel ini, terinspirasi, saat sedang mengikuti bimbingan belajar, dan saat itu pelajaran matematika.. ya aku gak suka matematika.. pas pelajaran, aku dan temanku, malah asik ngerumpi, dan ketawa ketiwi. membuat guru itu kesal, dan ceramah :D well.. akhirnya cerita novel ini jadi dalam waktu... tiga hari :D
 
Last edited:
Bls: Matematika....

1

Rasa Penasaran itu Muncul


Pada tahun 1978, didirikanlah sebuah asrama putra dan putri. Asrama ini milik seorang konglomerat. Asrama ini didirikan dengan sekolahnya juga. Dari tingkat dasar sampai tingkat yang paling tinggi. Penghuninya banyak sekali. Sekitar delapan ribu siswa. Kamarnya ada sekitar delapan ratus buah. Setiap kamar berisi sepuluh orang. Itu di asrama putra. Lain lagi dengan asrama putri. Di asrama putri, juga tidak kalah banyaknya siswi. Sekitar enam ribu siswi ada di asrama putri. Kamarnya ada sekitar enam ratus buah. Setiap kamar, berisi sepuluh anak.
Sampai pada tahun 1998, asrama ini tetap eksist.
Dan pada tahun ajaran baru, adalah seorang siswi bernama Sandra. Gadis cantik berumur 16 tahun ini, punya sifat ingin tau.

Pada suatu malam, Sandra ingin tau asrama putra. Apakah penghuninya tampan dan gagah-gagah. Akhirnya, dia menyelinap keluar dari kamarnya, saat teman sekamarnya sudah tidur semua. Sandra menelusuri lorong-lorong yang agak gelap, supaya tidak ketahuan. Dan sampailah dia di sebuah tempat. Tempat itu gelap sekali. Kali ini, Sandra bingung harus lewat mana. Kemudian, dia putuskan untuk kembali ke kamar saja, karena tiba-tiba bulu romanya berdiri semua. Sepertinya dia sedang diikuti seseorang. Saat dia membalikkan badannya, dia dikejutkan dengan sosok seorang pria bertubuh jangkung, dan berwajah tampan, berdiri di hadapannya.
Laki-laki itu tersenyum melihat tampang Sandra yang konyol sekali. “Nona, kau mau ke mana?” tanya laki-laki itu.
“Ng.. aku mau.. aku mau ke kamar mandi,” jawab Sandra dengan terbata-bata. Dia takut sekali. Jangan-jangan, laki-laki ini mau macam-macam terhadap dirinya. “Ng.. sepertinya.. aku sudah tidak jadi mau ke kamar mandi. Aku kembali saja ke kamar,” kata Sandra. Ia segera membalikan badannya, dan mulai berjalan kembali ke kamarnya.
Laki-laki itu hanya tersenyum melihat Sandra. Ternyata, laki-laki itu adalah siswa asrama putra. Dia siswa senior. Dia juga ingin tau siswi baru yang ada di asrama putri. Namanya Ken.

Keesokan harinya, Ken menceritakan kejadian semalam, pada teman sekamarnya. Yaitu Ben, Paul, Christ, Mark, Nick Kevin, Rupert, Daniel, dan Ron.
“Gadis itu cantik, tidak?” tanya Paul, yang memang doyan gadis cantik.
“Cantik,” jawab Ken bersemangat. “Bodinya, aduhai, Men..! Tapi aku tidak tau namanya.”
“Eh, gimana, kalau kita cari dia, saat sekolah nanti?” ujar Nick. Dia juga ikut penasaran dengan gadis yang diceritakan oleh Ken.
“Benar juga. Sepertinya.. gadis itu adalah siswi baru. Ya sudah, nanti, kita mulai cari. Per kelas kita jelajahi.” Ken sangat bersemangat mencari Sandra.
Sedangkan Sandra sendiri bingung. Jangan-jangan, laki-laki itu adalah keamanan asrama, yang memang bertugas berkeliling mengontrol setiap ruangan, yang ada di asrama mau pun sekolah. Jangan-jangan, laki-laki itu sudah melapor pada guru, atau ketua keamanan sekolah. “Aduh.. gawat, nih..” pikir Sandra.
 
Bls: Matematika....

2

Awal dari Sebuah Cacian


Saat sekolah, Sandra memilih bangku paling depan, di kelasnya. Di belakangnya, duduklah siswi cantik, bernama Wendy. Dia adalah teman satu kamar Sandra. Di sebelah kirinya duduklah siswa berkacamata. Siswa ini tampak dungu. Dia bernama Rupert. Pelajaran dimulai tepat pukul delapan. Sandra bosan dengan pelajaran yang sedang dihadapinya saat ini. Ia menyesal telah memilih tempat paling depan. Ia berharap waktu istirahat segera tiba.
Tiba-tiba, guru matematika itu memanggil seorang murid, untuk mengerjakan soal di papan tulis. Namun..
“Dasar bodoh! Soal seperti ini saja kau tidak bisa!” Guru itu memarahi murid tersebut, karena pekerjaaannya salah semua. Kemudian, ia memanggil seorang murid lainnya. Sama. Siswi itu juga tidak bisa mengerjakannya. Guru itu mengolok-olok keduanya. Kedua murid itu hanya diam. Seisi kelas tidak ada yang berani membela atau menolong mereka, karena takut.
Dan tepat pukul setengah sepuluh, istirahat pun tiba.
Sandra jadi senang. Ia langsung menuju kantin. Di kantin masih sepi. Hanya ada beberapa murid saja yang sudah nongkrong di situ. Sandra memilih tempat di dekat wasteful saja. Dia memesan sepiring spaghetti dan segelas pepsi. Baginya, ini adalah saat yang paling tepat, untuk cuci mata, menyaksikan cowok-cowok ganteng, yang baru datang ke kantin. Tiba-tiba, perhatiannya tertuju pada seorang siswa tampan, yang sedang asyik ngobrol bersama teman-temanya. “Hah? Bukankah itu cowok yang tadi malam?” gumam Sandra. “Wah.. gawat, nih!” sebelum laki-laki itu menoleh pada Sandra, Sandra segera ambil langkah seribu. Dia menghambur kembali ke kelas. Saking takutnya, dia sampai lupa membayar pesanannya. “Uh! Dasar sialan!” umpat Sandra. Sandra duduk di bangkunya. Dia capek sekali. Habis berlari-lari tadi.
Pada saat yang dianggapnya aman ini, Sandra mendapat kejutan lagi.
“Ada siswa yang mati!!!” seru seorang siswa, yang baru masuk ke kelas. Ada siswa yang mati!!!” siswa itu mengulangi kata-katanya.
Hal itu membuat seisi kelas menjadi gempar.
“Siapa yang mati?” tanya seorang siswi, yang bertubuh gemuk.
“Ng.. anu.. bukan siswa, sih. Dia guru matematika, yang baru saja mengajar di kelas kita,” jawab siswa itu. “Ditemukan tewas di wc, barusan,” tambah siswa itu.
“Kenapa dia mendadak meninggal? Bukankah tadi dia baik-baik saja?” tanya Wendy.
Sandra hanya mendengarkan tanpa komentar sedikit pun.
“Begini ceritanya, kan tadi, waktu aku ke toilet sekolah, sudah banyak siswa dan siswi yang berkumpul di toilet. Ku kira, mereka mau antri wc. Ternyata, mereka menemukan guru itu, tergeletak di lantai kamar mandi. Sudah tidak bernyawa. Yang pertama kali menemukan adalah Roman dan Mickey, kakak kelas kita.” Anak itu menjelaskan sampai detail sekali. Sampai-sampai, keringat yang membasahi dahinya, tidak dihiraukan, dan baru diusap setelah menyelesaikan ceitanya.
Sandra ingin tau bagimana kondisi jenazahnya. Tapi, sebelum sempat dia bertanya, anak itu meneruskan ceritanya. Seisi kelas yang mendengarkan dengan seksama, seperti sedang mendengarkan pelajaran sejarah. Anak itu menjelaskan, kalau guru tersebut waktu ditemukan, tubuhnya sudah penuh luka. Di perutnya, terdapat sebuah kapak yang menancap, sampai tembus ke punggung. Ih.. pokoknya, kondisi guru itu sangat mengenaskan. Rasanya Sandra ingin muntah, karena mendengarkan cerita anak itu. Sandra segera keluar dari kelas, dan menuju ke halaman sekolah. Mondar-mandir, sambil menunggu bel masuk berdentang. Tapi, karena kejadian tersebut, pelajaran selanjutnya diliburkan dulu.
Sandra kembali ke asramanya. Ia langsung menuju kamarnya di lantai dua belas. Teman sekamarnya, Sidney, ternyata sudah datang duluan. Yang lain, seperti Aghata, Tatum, baby, Terry, Wendy, Emma, Maria, dan Sissy, belum datang.

Sore hari, guru itu baru dimakamkan. Ken dan teman sekamarnya heran dengan kejadian itu. Mendadak sekali. Tapi, yang lebih mengherankan, dan membuat mereka penasaran adalah ‘SIAPA PEMBUNUHNYA?’. Rasanya, ada yang ganjil dengan kejadian ini.
“Pak Sam mengajar matematika. Dia memang guru yang keras. Banyak yang tidak suka padanya. Karena, kalau mengajar, jika murid tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan, dia akan mencaci maki anak itu. Bagaimana tidak sakit hati. Ya, kan? Pantas saja dia dibunuh dengan sadis seperti itu. Aku juga sering mendapat caciannya, karena tidak bisa menjawab soal yang diberikan, saat tes,” ujar si gendut Ron. Dia memang tidak suka pada guru yang tewas itu.
“Benar-benar misterius,” kata Daniel.
“Bagimana kalau kita selidiki pembunuhnya?” usul Kevin.
Belum sempat ada yang menjawab, tiba-tiba terdengar seruan seorang siswa. “Ada yang meninggal lagi!” siswa itu terus mengulangi seruannya.
Roman, yang kamarnya di sebelah kamar Ken, menuju kamar sahabatnya, Mickey. “Ada yang mati lagi,” kata Roman.
“Ya. Aku dengar seruan anak itu,” jawab Mickey. Kemudian, Mickey memanggil siswa tersebut. “Hei, kemari kau!” Mickey melambaikan tangannya pada siswa tersebut.
Siswa itu memenuhi panggilan Mickey. “Ada apa?”
“Siapa yang meninggal?” Mickey balik bertanya pada siswa itu.
“Bu Brandy, guru matematika dasar. Dia ditemukan oleh Bu Carla, di toilet guru. Lukanya sama dengan luka Pak Sam.” Anak itu selesai menceritakan beritanya, langsung pergi.
“Aneh. Dari tadi, yang mati selalu di toilet. Dan yang lebih aneh lagi, yang mati adalah guru. Guru yang keras, yang mengajar pelajaran sulit, seperti matematika.” Mickey mengerutkan keningnya, lalu menggelengkan kepalanya, karena heran.
Roman juga sama bingungnya dengan Mickey. “Bukankah, tadi Bu Brandy terakhir mengajar di kls kita? Karena menggantikan guru asli yang mendadak ada keperluan ke kota. Dan dia, baru memarahi seorang teman kita, karena jawabannya, juga rumus yang ditulisnya di papan, salah semua,” kata Roman, yang masih bingung dan heran.
 
Bls: Matematika....

3

Kenekatan yang Menumbuhkan Benih Cinta


Keesokan harinya, Sandra dan teman sekamarnya, mendengar kabar, kalau ada yang meninggal lagi. Kali ini, guru matematika dari perguruan tinggi. Ia ditemukan tewas di kamar mandi. Yang menemukan adalah Ken, dari asrama putra. Ken sedang diinterogasi oleh beberapa guru. Banyak siswa dan siswi yang menyaksikan dari balik jendela.
Sandra pernasaran, dan ingin lihat juga. Dia pun mengajak Sidney.

Saat sampai di depan kantor, mereka berdua bingung mau lihat dari mana. Dan Sidney menemukan ide. Mereka memanjat balkon. Kantor itu terletak di lantai dua, tapi tidak terlalu tinggi, sehingga mereka berhasil dengan mudah memanjatnya. Nah, dari situ, tampak jelaslah siapa yang diinterograsi.
Sandra memekik tertahan. Ia kaget. Karena yang diinterogasi adalah laki-laki itu lagi.
“Hah?! Dia lagi. Aduh.. kenapa aku selalu bertemu dengan laki-laki itu?” gerutu Sandra.
Ternyata, Ken yang ada di dalam, tidak sengaja melihat dua orang siswi, sedang berdiri menyaksikan dirinya, dari balkon. Ia tau gadis yang satu itu. Ken pun tersenyum pada Sandra. Sandra langsung turun dari balkon.
“Sandra! Kau mau ke mana?” tanya Sidney.
“Aku mau kembali saja,” jawab Sandra. “Apa kau masih mau di sini?”
“Aku juga mau kembali saja.”
Mereka pun segera kembali ke kamar mereka, dan bersiap-siap akan berangkat ke sekolah. Tapi, saat mereka akan berangkat, Tatum memberitau mereka, bahwa sekolah diliburkan lagi, sampai situasi benar-benar aman.

Sandra merasa penasaran dengan pembunuhan itu. Sudah tiga kali terjadi pembunuhan. Anehnya, yang dibunuh guru matematika. Mulai dari elementary school (SD), senior high school (SMA), dan universitas. Tinggal yang dari junior high school (SMP). Sandra berpikir keras, untuk menemukan jawaban dari misteri mengerikan ini. Kalau guru matematika itu bersok mati juga.. berarti, yang membunuh adalah orang yang tidak suka pada pelajaran matematika. Setelah berpikir agak lama, barulah Sandra mengambil keputusan, dari ide yang brilian. Dia akan mengintai guru matematika yang terakhir. Mungkin saja, dia akan menemukan si pembunuh itu. Ya. Dia akan merahasiakan rencananya dari siapa pun, termasuk teman sekamarnya.

Sejak malam itu, Sandra mulai menyelidiki kematian-kematian itu.
Pertama-tama, dia menyelinap keluar dari kamarnya, menuju kantor sekolah. Dia mengintip ke dalam ruangan. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Lalu menyusuri lorong gelap. Untung bawa senter. Jadi, Sandra bisa mengamati sekelilingnya. Masih sepi-sepi saja.
Kemudian, Sandra menuju lorong sempit, di sebelah kananya. Dia jalan terus. Saat sampai di ujung lorong, dia menemukan sebuah lorong lagi. Lorong yang lumayan lebar. Banyak jendela kaca yang berderet-deret di dindingnya. Rupanya, ini adalah lorong yang menghubungkan bangunan yang dipijaknya sekarang, dengan bangunan lain. Entah itu bangunan apa. Mungkinkah itu asrama putra?
Sepertinya, dia sudah jauh dari asrama putri, dan entah sekarang ada di mana dirinya. Sandra terus saja berjalan, menusuri lorong itu. Sandra memperhatikan kanan kirinya. Ternyata, bangunan ini tinggi sekali. Di luar, pemandangannya begitu indah. Lorong ini cukup terang, karena sinar bulan, yang menembus kaca. Sandra berhenti sebentar, dan memandangi rembulan itu. Begitu indah. “Seandainya aku punya pacar, aku akan mengajaknya berkencan di lorong ini. Harus!” Kemudian, dia melanjutkan langkahnya. Di ujung lorong ini, ada dua lorong. Kiri dan kanan. Kali ini, Sandra bingung. Mau pilih jalan yang mana. Mau kembali ke kamar, dia lupa jalannya. Sudah tidak ingat lagi. Akhirnya, Sandra memilih lorong sebelah kanan. Menurutnya, apa-apa kalau di sebelah kanan, dampaknya pasti baik.
Sandra kembali menyusuri lorong gelap. Di lorong ini ada banyak pintu.
“Di mana ya, ini?” tanya Sandra dalam hatinya. Sandra mengarahkan senternya ke atas sebuah pintu. Ada sebuah papan bertuliskan ‘ASRAMA PUTRA NO. 7997’. “Hah?!” Sandra memekik tertahan. Ia tau sekarang, kalau dirinya sedang berada di asrama putra. Sandra mengawasi sekelilingnya. Ia takut, kalau ada seseorang yang mengikutinya. Dan tiba-tiba, saat ia masih terus berjalan, serasa ada yang sedang mengikutinya. Tapi, saat ia menoleh, orangnya tidak ada. Tidak ada siapa-siapa. Kali ini, ia benar-benar menyesal, karena sudah berani keluar kamar, dan menyelidiki sesuatu, yang sangat berbahaya. Sandra meneruskan jalannya. Ia bingung tak tau mau ke mana.

Tiba-tiba..
Ada seorang bertopeng yang membungkamnya dari belakang. Sandra mencoba memberontak, untuk melepaskan diri. Tapi gagal. Tangan orang itu sangat kuat. Orang tersebut menyeret Sandra ke sebuah ruangan yang lumayan luas, dan diterangi beberapa lilin.
“Kau jangan berteriak! Mengerti?!” kata orang itu.
Tanpa pikir-pikir lagi, Sandra menganggukkan kepala dengan kuat.
Orang itu melepaskan bungkamannya.
“Siapa kau?” tanya Sandra.
Orang tersebut membuka topengnya. Sandra terkejut begitu orang tersebut membuka topengnya. Ternyata laki-laki ini lagi, kata Sandra dalam hatinya.
“Aku Ken. Kau?” Ken balik bertanya pada Sandra.
“Aku.. aku Sandra. Kenapa aku selalu bertemu denganmu?” tanya Sandra, sambil berdiri, dan merapikan rambutnya yang acak-acakan, akibat ulah Ken.
“Karena kebetulan. Dari tadi, aku mengikutimu, sejak kau berdiri di lorong penghubung antara asrama putra dan asrama putri. Aku juga mendengarkan semua yang kau ucapkan di lorong itu. Oh ya, bagimana kalau pacarmu tidak mau berkencan di lorong itu, karena gelap, dan tidak romantis?”
“Kau memang benar-benar lancang! Seenaknya saja kau mendengarkan pembicaraan yang bukan urusanmu! Dasar sialan!”
“Sandra, ucapanmu tadi, akan segera jadi urusanku juga,” kata Ken.
“Kenapa bisa begitu,” tanya Sandra.
Tanpa menjawab apa-apa, Ken langsung memeluk Sandra, dan menciuminya dengan lembut.
“Hei! Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku! Sandra mencoba melepaskan diri dari pelukan Ken. “Tolong lepaskan aku, atau aku akan berteriak, agar semua terbangun, dan melihat kelakuanmu yang kurang ajar padaku.”
“Berteriaklah. Aku yakin, kau tak kan sanggup berteriak, Sayang..” Pelukan Ken sangat erat.
Sandra pun benar-benar tak mampu berteriak.

Tapi tiba-tiba dari kejauhan, terdengarlah teriakkan seseorang. “Aakh…!!!!! Tolong…!!!!!”
Teriakan itu membuat kaget mereka berdua. Seketika itu juga, Ken melepaskan pelukannya.
“Siapa yang berteriak, Ken?” tanya Sandra.
“Aku tidak tau. Ayo, kita periksa saja!”
Mereka segera keluar dari ruangan itu.
“Sepertinya dari toilet.”
Para penghuni asrama putra langsung bangun semua. Termasuk Roman dan Mickey. Mereka semua bergegas menuju asal suara teriakan itu. Ken bertemu dengan teman sekamarnya. Sandra tetap digandengnya, dengan erat.
“Ken! Ada yang mati lagi,” kata Christ. Dia belum menyadari, kalau Ken sedang menggandeng seorang gadis. Karena dia juga ikut panic dengan kejadian ini.
Ken segera bertanya pada yang lain, tentang kejadian ini.
Beberapa anak asrama putra menjelaskan tentang yang terjadi. Yang meninggal adalah guru matematika junior high school. Dia mati, karena kesetrum kabel, di toilet asrama guru. Yang menemukannya adalah seorang guru yang mau buang air kecil di toilet itu. dia ditusuk dengan kapak.
“Benar kan, dugaanku,” gumam Sandra.
“Apa kau bilang?” tanya Ken.
“Ken, sebenarnya, aku sudah menduga, bahwa korban pembunuhannya, adalah orang yang tidak suka pelajaran matematika. Dan dugaanku akan semakin aku yakini, kalau korban berikutnya adalah siswa atau siswi yang suka pada pelajaran matematika,” jelas Sandra.
“Sandra, aku suka pada pelajaran matematika. Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Ken.
“Ken, ku mohon, jauhi pelajaran itu, sampai pembunuhnya tertangkap. Aku tidak mau kau kenapa-kenapa. Ku mohon, Ken!” Sandra menggenggam tangan Ken.
“Kau.. menerimaku jadi pacarmu, yah?” tanya Ken.
Wajah Sandra tampak memelas, dan ketakutan. Dia tetap menggenggam erat tangan Ken. “Sudah, pokoknya kau jangan sentuh pelajaran matematika. Aku mengkhawatirkanmu. Jadi, kau jangan salah mengartikan kekhawatiranku ini, karena aku tidak akan pernah menerimamu jadi pacarku. Oke?!”
“Baiklah. Terimakasih, atas kekhawatiranmu padaku, juga nasihatmu. Aku akan patuh, agar kau mau menerimaku, jadi pacarmu.” Ken tersenyum. “Sekarang, aku antar kau kembali ke asrama putri. Dan aku ingatkan padamu, jangan keluar dari kamar, jika bukan waktunya. Sangat berbahaya. Mengerti?”
“Ya. Aku janji tidak akan keluar kamar lagi, kalau hari sudah gelap. Asal kau janji satu hal padaku.”
“Apa?” tanya Ken.
“Kau harus menjauhi pelajaran matematika. Aku sebenarnya sangat menyukai pelajaran matematika. Tapi, setelah ada kejadian seperti ini, aku tidak mau menyentuh sedikitpun, pada buku matematika, atau apapun yang berhubungan dengan matematika.”
“Iya, aku janji. Sudah sekarang ku antar kau kembali ke asrama. Ng.. tapi, aku akan mengajak temanku, Rupert. Ayo, kita ke kamarku dulu.”

Di kamar Ken, hanya Rupert yang tidak mau melihat kondisi mayat guru itu, karena dirinya memang penakut. Tidak lama kemudian, Nick datang. Dia memperhatikan Sandra.
“Ken, apa yang kau lakukan dengan gadis ini? Kenapa dia ada di sini?” tanya Nick dengan suara memelan.
“Dia Sandra, siswi baru di asrama putri. Karena mendengar teriakkan seseorang, dia bergegas kemari, untuk mengetahui apa yang terjadi di sini,” jawab Ken.
Sandra tau, Ken berkata begitu, karena melindungi dirinya, agar tidak dilaporkan pada keamanan asrama. Sekarang Sandra tau, kalau Ken bukan keamanan. Dia adalah kakak kelas. Siswa di asrama ini. Dia sudah tidak takut atau gugup lagi, bila bertemu dengan Ken.

Rupert tidak mau ikut menemani Ken mengantar Sandra. Akhirnya, Nick bersedia menemani.

Ken dan Nick mengantarkan Sandra ke asrama putri. Sampai tepat di depan kamarnya.
“Terimakasih,” ucap Sandra. “Ingatlah janjimu, Ken,” kata Sandra, sebelum ia masuk kamar. “Peringatkanlah juga teman-temanmu. Pelajaran matematika, adalah pelajaran paling menakutkan bagi kita, saat ini. Karena, pelajaran itu, bisa merampas nyawa kita dengan mudah,” jelas Sandra lagi.
Nick yang berdiri di sebelah Ken, tidak mengerti maksud Sandra. ‘APA MAKSUDNYA PELAJARAN MATEMATIKA ADALAH PELAJARAN MAUT?’
Setelah memastikan Sandra tidak keluar lagi dari kamarnya, Ken dan Nick langsung kembali ke asramanya.
 
Last edited:
Bls: Matematika....

4

Kerja Sama yang Kompak dalam Berdebat


Keesokan harinya, semua siswa dan siswi dikumpulkan di aula asrama, yang luas sekali.

Sebelum acara dimulai, Sandra mencari Ken. Saat ia sudah berdiri di pintu aula, ada seorang siswa yang mendekatinya. Dia adalah Roman.
Lalu, Roman bertanya pada Sandra, “Sedang apa kau di sini?”
“Apa urusanmu?” Sandra berbalik bertanya pada siswa itu.
“Karena ini bukan acara menunggu seseorang. Jadi, ayo masuk!”
“Apa sih, urusanmu? Aku sedang menunggu seseorang yang sangat penting bagiku. Mengerti? Kalau tidak ada orang itu, aku tidak mau masuk. Sudah jelas?” Sandra tidak takut pada siswa itu. padahal, siswa itu sudah mengancam akan melaporkan pada guru. Tapi, apa tanggapan Sandra? Dia tidak memperdulikannya. Malah, Sandra keluar dari ruanagan.
Beberapa saat kemudian, Ken dan Rupert datang.
“Hai, Sandra!” sapa Ken.
“Hai!” balas Sandra. “Ayo, kita masuk.”
“Ayo.” Ken pun menggandeng tangan Sandra, memasuki aula asrama.

Semua siswa dan siswi sudah berkumpul di aula. Termasuk para guru. Seorang pria, yang belum terlalu tua, maju. Beliau adalah kepala asrama ini. Mr. Harry. Dia berdiri dengan mic di tangannya. “Anak-anakku.. “Beliau mulai membuka pembicaraan. “Sekian lama asrama ini berdiri, tidak pernah ada kejadian yang begitu mengerikan seperti ini. Pembunuhan terhadap empat orang guru matematika itu, begitu sadis. Dan aku tak ingin anak-anakku mengalami nasib yang sama seperti mereka. Maka dari itu, aku akan segera memulangkan kalian, sampai situasi benar-benar aman. Aku sudah mengutus Mr. Arrish, untuk menghubungi orang tua kalian.”
Kemudian, Ken berdiri. “Pak, saya rasa.. anda tidak perlu memulangkan kami. Kami akan membantu mencari pembunuh itu.”
“Aku tau, maksud kalian baik mau membantu mencari pembunuhnya. Tapi, ini sangat berbahaya. Nyawa kalian tauhannya. Lebih baik, kejadian ini, kita serahkan saja pada polisi. Biar polisi yang menanganinya, karena memang sudah tugas polisi.
Lalu, Sandra berdiri. “Pak, kami tak peduli. Seberapa pun bahayanya, kami akan membantu memecahkan misteri ini. Kami jangan dipulangkan. Karena, akan menambah rumit masalah ini. Siapa tau, pembunuhnya ada di antara kami. Dan, saat dipulangkan, dia akan melarikan diri.” Setelah mengungkapkan pendapatnya, Sandra kembali duduk di kursinya.
Ken mengacungkan ibu jarinya, sambil berkata, “Bagus, Sayang!”
“Usulmu bagus juga. Tapi, kekhawatiranku tidak dapat ku bendung lagi. Aku mengkhawatirkan kalian semua.”
“Keputusan anda untuk memulangkan kami, sudah tepat.” Tiba-tiba seorang siswa berkata begitu. Dia adalah Roman. “Saya tidak setuju dengan pendapat nona itu. Kalau kami masih tetap di sini, akan memperumit permasalahan. Siapa tau, si pembunuh juga mengincar orang-orang di antara kami ini. Dan, kalau sampai harus ada yang mati lagi, bukan tidak mungkin, yang akan dibunuh adalah murid.” Pendapat Roman, begitu menentang pendapat Sandra dan Ken.
Sandra jadi emosi. “Apa kau bilang? Memulangkan murid-murid, sama saja membiarkan si pembunuh bebas dari pertanggungjawabannya, apa kau mengerti itu?”
“Aku yakin, pembunuhnya tidak ada diantara kita. Untuk apa mereka membunuh guru? Walau pun para guru matematika itu keras, tapi, tidak mungkin murid membunuh gurunya.”
“Setelah mendengar pendapatmu ini, aku jadi merasa, apa mungkin kau pembunuhnya? Makanya, kau ingin kita semua dipulangkan, agar kau bisa bebas melarikan diri? Begitu, kan?”
“Apa? Kau ini picik sekali, yah? Aku ingatkan, kau tidak berhak menuduh, apalagi memvonis seseorang sebagai pembunuh, karena kau tidak punya bukti apa-apa.” Roman juga ikut emosi.
“Tidak punya bukti, katamu? Apa semua pendapatmu itu, masih kurang jelas, untuk dijadikan bukti? Kami semua di sini tidak bodoh. Aku yakin, pendapatmu itu, adalah salah satu cara, supaya kau tidak ketahuan, sebagai pembunuh. Mana ada pembunuh yang mau mengaku.”
Suasana aula jadi panas. Karena Sandra dan Roman mulai bersitegang, mulai berdebat. Ken sendiri tidak bisa menahan Sandra.
Maka..
“Sudahlah, kalian tidak perlu bersitegang seperti ini. Kalian boleh mengungkapkan pendapat kalian. Tapi, tidak harus saling bertengkar. Baiklah, aku akan memikirkan sekali lagi keputusanku ini.”
Setelah itu, para murid bubar.
“Sandra, kau berani sekali tadi..” Ken menatap Sandra.
“Kalau tidak ada yang berani begitu, dia akan besar kepala.”
Sandra melihat Tatum dan Baby yang lewat di depannya. Tanpa memanggil terlebih dulu, Sandra menarik pergelangan tangan Baby. Baby yang suka latah, kageet, dan mengeluarkan kata-kata latahnya.
“Akh.. aduh, copot, eh, lepas, eh.. aduh.. Sandra..!!!” Saat tau, kalau yang menarik pergelangan tangannya adalah Sandra, dia jadi tenang. “Uh! Sandra, kamu bikin aku kaget saja. Aku kira pembunuhnya, yang menarik tanganku. Hampir deh, jantungku copot.”
Tatum dan Sandra tertawa.
“Kamu sih, jadi orang suka latah. Makanya, mulai sekarang, kamu harus latihan berani menghadapi kejutan, tanpa mengeluarkan latahmu itu.” Tatum berceramah mengenai pobhia temannya yang satu ini.
“Eh, kita kembali ke asrama, yuk!” ajak Sandra.
“Ayo!” keduanya menyetujui.
“Ken, aku pulang dulu, yah.” Sandra pamit pada Ken.

Sandra, Tatum, dan Baby berjalan sanmbil bersenda gurau.
“Tadi itu siapa?” tanya Ken.
“Temanku. Namanya Ken,” jawab Sandra.
“Hm.. teman, apa teman?” goda Baby.
“Teman, kok,” jawab Sandra. “Tidak percaya?”
Baby dan Tatum menggelengkan kepala.
“Ya sudah. Tanya saja pada orangnya.”
Sampai di kamar, Baby langsung mendekati Wendy, yang sedang membaca buku. “Wendy, teman kita, ada yang lagi pacaran,” kata Baby.
Wendy sedikit terkejut mendengar ucapan Baby. Ia membelalakkan matanya. Seperti orang yang tidak mengerti arti pacaran. Dengan nada penasaran, campur senang, Wendy langsung bertanya pada Baby. “Siapa?”
“Ng.. dia.” Baby menunjuk Sandra, yang sudah pasang tampang cuek.
“Sandra, apa benar, kau sudah punya pacar?” tanya Wendy.
Tapi Sandra tidak menanggapinya.
 
Bls: Matematika....

5

Di Balik Rinduku Ada Cinta Untukmu


Hari-hari pun berlalu. Ken dan Sandra semakin sering bertemu. Mereka memutuskan untuk menyelidiki pembunuhan ini. Apalagi, Mr. Harry belum juga mengeluarkan keputusan.
Saat meminta izin pada Mr. Harry, mereka langsung mendapat izin, dengan satu pesan, mereka harus hati-hati.
Semakin sering mereka bersama, Sandra merasakan sesuatu yang aneh pada hatinya. Entah kenapa, bila tidak bertemu dengan Ken, dia jadi sangat merindukannya. Maunya ingin ketemu terus. Ia pun konsultasi pada sahabatnya, Sidney. Ia menceritakan apa yang dirasakannya. Sidney malah tertawa mendengarkan cerita Sandra.
“Kau tau, apa yang kau rasakan?” tanya Sandra. Tertawanya belum reda. Sandra menggelengkan kepalanya. “Kau itu sedang jatuh cinta, Sandra.”
Mendengar jawabannya Sidney, Sandra jadi kaget, dan mendadak ingin menangis. Sebenarnya, dia tidak ingin hal ini terjadi. Dia tidak mau punya pacar seperti Ken.

Mulai saat itu, Sandra berusaha menghindari Ken. Banyak alasan yang dilontarkannya, kalau Ken mau mengajaknya bertemu atau mengobrol.

Suatu hari, Ken melihat Sandra di kantin asrama sedang sendirian. Ia menghampiri gadis itu.
“Hai, Sandra!” sapa Ken.
Sandra terkejut mendengar sapaan Ken, yang secara tiba-tiba. “Ng.. Hai, Ken!” balas Sandra. Dia jadi gugup. “A, ada apa?”
“Aku ingin, nanti malam kita bertemu. Karena selama ini, kau selalu menghindar dariku. Kau bilang, kau sibuk sekali. Kalau malam, kan kau tidak mungkin sibuk.”
“Ken, maaf. Nanti malam aku tidak bisa. Karena,malam ini, aku sedang ada perlu,” tolak Sandra dengan alasan yang bohong.
“Sandra, kenapa akhir-akhir ini, kau selalu menghindar dariku?” tanya Ken lagi.
“Aku bukannya menghindar, Ken. Aku memang ada perlu, nanti malam,” sangkal Sandra, berusaha meyakinkan Ken.
“Tidak, kau bohong. Sandra, katakana padaku. Apa ada yang salah dengan diriku? Kalau ada, katakana saja. Aku tidak akan marah. Malah, aku akan berusaha merubah dan memperbaiki kesalahanku.”
“Ken, kau adalah teman yang paling baik. Kau tidak seperti laki-laki kebanyakan, yang selalu urakan dan berbuat tidak sopan pada perempuan.”
“Lalu, kenapa kau menghindar aku?” tanya Ken.
“Sebenarnya, ada suatu alasan, yang membuat aku selalu menghindarimu. Belakangan ini, aku merasakan suatu perasaan aneh, pada hatiku. Aku tidak tau kenapa. Yang pasti, setiap kita tidak bertemu, aku selalu merindukanmu. Akhirnya, aku tidak tahan lagi. Aku bertanya pada seorang teman sekamarku. Dan dia bilang.. dia bilang..” Sandra tidak dapat meneruskan kata-katanya. Lidahnya terasa kelu.
“Apa yang dia bilang? Katakan padaku, Sandra..”
“Dia mengatakan padaku, bahwa aku jatuh cinta padamu.”
Ken terlihat senang.
“Nah, sudah ku katakan padamu, kenapa aku selalu menghindar darimu. Kalau begitu, jangan temui aku lagi. Lupakan saja aku!” Sandra berdiri dari duduknya. Ia mulai melangkah ke arah pintu.
“Sandra, tunggu!” Ken berdiri dan melangkah mendekati Sandra. “Kenapa aku harus melupakanmu? Bukankah aku juga mencintaimu?”
“Yang ini sudah bukan urusanmu.” Sandra menjawab datar. Ia mulai melangkah keluar dari kantin. Sedangkan Ken, hanya bisa pasrah.
 
Bls: Matematika....

6

Titik Terang itu Akhirnya Datang Juga


Keesokan harinya, tersiar kabar, bahwa ada yang meninggal lagi. Yaitu Kevin, teman sekamar Ken. Ia ditemukan di toilet asrama putra, dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Sama dengan korban-korban yang sebelumnya. Di perutnya, tertancap sebuah kapak, sampai tembus ke punggungnya.
Banyak siswa dan siswi yang menyaksikan.
Sandra dan Sisy ingin tau, kondisi mayat tersebut. Mereka segera pergi ke asrama putra.
“Ih, kasihan sekali, yah..,” kata Sisy, saat sampai di tempat.
“Ya. Sangat kasihan,” tambah Sandra.
Ken melihat Sandra berdiri di dekat jenazah Kevin. Dia menyapanya. Tapi, Sandra pura-pura tidak mendengarnya. Ia malah mendekati jenazah Kevin, dan jongkok di dekatnya. Ia mengamati jenazah itu. “Nah, aku tau sekarang!” kata Sandra tiba-tiba. “Ken!” panggil Sandra.
Ken tidak langsung mendekati Sandra. Dia masih bingung. Bukankah Sandra tidak ingin bertemu dengannya.
“Ken!” ulang Sandra.
“Kau memanggilku?” tanya Ken.
“Tentu saja. Memangnya, Ken yang mana lagi, yang ku kenal selain dirimu?” jawab Sandra. “Kemarilah! Ada yang perlu kita periksa lagi.”
Dengan hati berbunga-bunga, Ken mendekati Sandra, lalu jongkok di samping gadis itu. “Apa yang perlu kita periksa?” tanya Ken. Kali ini, ia serius dengan apa yang harus dia selidiki bersama Sandra.
“Kapaknya,” jawab Sandra, yakin.
“Kapak?”
“Iya. Kita periksa sidik jarinya. Ayo, kita bawa dia ke kantor polisi!”
Ayo!” Dengan senang hari, Ken menerima ajakan Sandra. Memang inilah yang ditunggu-tunggunya, sedari dulu.
Setelah mendapat izin dari Kepala Asrama, mereka menghubungi kantor polisi, dan menelpon rumah sakit, meminta ambulance untuk datang. Selang beberapa jam kemudian, ambulance datang.

Di rumah sakit, Kevin diautopsi. Ternyata, luka yang diderita Kevin, bukan hanya karena tusukan kapak. Tapi juga karena pukulan sebuah benda tumpul. Sandra dan Ken jadi tambah bingung dengan misteri ini.
“Kalau Kevin dipukul dulu sebelum ditusuk, berarti Kevin sempat melihat pembunuh itu,” ujar Sandra pelan.
“Benar juga,” timpal Ken.
“Seandainya ada alat yang bisa memanggil arwah Kevin..”
Mendengar kata-kata Sandra, Ken hanya diam, tanpa komentar sedikit pun.

Di kantor polisi, mereka juga melaporkan kasus pembunuhan itu, dan menceritakannya secara detail dan jelas. Mereka juga menyerahkan kapak itu, sebagai bukti, dan untuk diperiksa sidik jarinya.
Pemeriksaan selesai. Tapi hasilnya nihil. Sungguh mengecewakan. Tidak ada sidik jari pada pegangan kapak itu.
Rupanya, si pembunuh begitu cerdik dan teliti. Ia tau, kalau alat yang digunakan untuk membunuh itu, akan diperiksa sidik jarinya. Jadi, ada kemungkinan, kalau si pembunuh menggunakan sarung tangan, supaya tidak diketahui sidik jarinya.
“Heh..kasus ini begitu rumit. Aku jadi pusing tujuh keliling,” kata Ken.
“Selama misteri ini belum terungkap, aku tidak akan menyerah. Aku harus menemukan pembunuhnya, dan menangkapnya, sampai ketemu. Kalau aku sudah menemukan dia, aku akan membalas kematian guru-guru kita, dan teman kita. Aku tidak mau kalau polisi hanya memberikan hukuman seumur hidup, atau hukuman eksekusi mati. Dia harus merasakan sakitnya ditusuk dengan kapak sampai tembus dan mati. Seperti yang ia lakukan pada para korbannya.” Kata-kata Sandra ini, menunjukkan sebuah keseriusan yang begitu mendalam.
Ken sendiri tidak berkomentar apa-apa.
 
Last edited:
Bls: Matematika....

7

Papan Pemanggil Roh


Suatu hari, Ken dan Sandra memulai penyelidikan lagi. Mereka memulainya dari toilet tempat ditemukan jenazah Kevin. Saat mereka sedang menyelidiki, tiba-tiba, Ken dikejutkan dengan suara yang memanggil dirinya.
“Ken!”
Ken terlonjak, dan hampir saja menatap dinding toilet. Ken menoleh pada yang memanggilnya. Ternyata Roman. “Huh! Kau mengagetkan aku saja!”
Roman tertawa. “Kalian sedang apa berdua di toilet ini?” tanya Roman.
Tapi, Sandra menjawabnya dengan ketus, “Bukan urusanmu!”
“Oh, aku tau. Kalian pasti sedang menyelidiki pembunuhan ini. Iya, kan? Aku bisa membantu kalian, tanpa bersusah payah, berlama-lama di toilet seperti ini.”
Kata-kata Roman menarik perhatian Sandra. “Benarkah, kau bisa membantu kami?” tanya Sandra. Yang tadinya ia berbicara dengan nada yang kurang enak didengar, setelah mendengar kata-kata Roman barusan, ia jadi antusias, dan senang. Tak lagi terdengar nada ketus dari omongannya.
Belum sempat Roman menjawab, Ken mendului, “Pasti dengan papan pemanggil roh itu lagi. Sandra, kau jangan mau melakukannya. Kau tau, perbuatan itu, selain dilarang oleh asrama, juga dilarang oleh agama.”
“Memang menggunakan papan pemanggil roh. Tapi, agama dan asrama, tidak melarang menggunakannya, pada saat-saat yang menegangkan seperti ini. Kita boleh menggunakannya dalam keadaan terpaksa seperti ini. Ini adalah satu-satunya cara, untuk mengungkap misteri ini. Jadi, apa kalian mau menerima tawaranku?” tanya Roman.
“Tidak. Kami tidak akan menerima tawaranmu itu. Meskipun terpaksa,” jawab Ken.
“Kalau kau tidak mau menerima tawarannya, aku mau menerima,” kata Sandra kemudian.
“Sandra, kita dilarang menggunakan papan pemanggil roh. Kita haus berusaha sendiri, dengan cara yang bersih.” Ken berusaha mencegah Sandra.
“Tidak. Aku terlalu penasaran dengan misteri ini. Aku ingin, misteri ini segera terungkap, tanpa harus repot-repot mengorek kamar mandi.” Sandra tetap memaksa.
“Baiklah, terserah kau.” Setelah berkata begitu, Ken meninggalkan mereka berdua. Kelihatannya, ia cemburu. Sandra acuh saja.
Sandra dan Roman mulai menyusun rencana. Mereka akan melakukannya tengah malam, di perpustakaan. Di sana aman. Tidak akan ada yang tau. Sandra memberitahukan rencana itu, pada Ken. Ken sama sekali tidak peduli.
Sandra jadi tau sekarang, kalau Roman itu baik, dan bukan pembunuh. Hanya saja, karena perbedaan pendapatlah yang membuatnya jadi emosi.
 
Bls: Matematika....

8

Papan itu Minta Nyawa


Malamnya, saat semua sudah tidur, Sandra menyelinap keluar dari kamar. Begitu pula yang dilakukan Roman, dan Mickey. Mereka sudah berjanji akan bertemu di pintu gerbang junior high school. Sandra sudah sampai terlebih dahulu.
Tak sampai dua puluh menit, dia menunggu, Roman dan Mickey datang. Karena Sandra belum mengenal Mickey, Roman memperkenalkannya.
Di kamarnya, Ken tidak bisa tidur. Ia penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Sandra dan Roman, di perpustakaan junior high school. Akhirnya, secara diam-diam, ia menyelinap keluar dari kamarnya.
Sedangkan Roman, Sandra, dan Mickey baru mula melakukan rencana itu. Roman mengeluarkan sebuah papan, yang bergambar aneh, dengan huruf yang tidak berurutan. Juga ada sebuah gelas kaca. mereka akan menggunakannya juga.
Roman memberi isyarat, agar jari telunjuk masing-masing, diletakkan di atas gelas kaca yang tertelungkup di tengah papan. “Kalian harus berkonsentrasi. Kalau ada apa-apa, jangan berteriak!”
Sandra dan Mickey hanya menganggukkan kepala.
Saat Roman membacakan mantra, gelas kaca itu bisa ebrjalan sendiri. Sandra hampir berteriak. Tapi, Mickey segera membungkam mulut Sandra.
Pertama, gelas kaca berjalan menuju sebuah huruf. Yaitu ‘K’.
“Hah, huruf ‘K’,” kata Mickey.
Setelah itu, gelas kaca berhenti.
“Huruf ‘K’? Apa maksudnya?” tanya Sandra.
“Jangan-jangan.. arwahnya inisial,” ujar Mickey sambil tertawa.
Roman dan Sandra juga ikut tertawa.
Ken sudah keluar dari asrama putra. Kini, dia sedang berjalan melintasi halaman asrama. Dia segera berjalan menuju junior high school.
Saat ia sedang berjalan, tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang terseret-seret di belakangnya. Sepertinya ada yang mengikuti. Ken segera berbalik. Dan benar. Ada anak laki-laki bertopeng, yang berjalan ke arahnya, dengan membawa kapak. Segera saja Ken ambil langkah seribu. Ia berlari ke pintu gerbang junior high school. “Tolong! Tolong aku!”
Anak tadi masih saja mengejar.
Ken ketakutan setengah mati. “Tolong!” Sampai di pintu perpustakaan junior high school, Ken mengetuk-ngetuk pintu itu sambil berteriak. “Roman! Sandra! Tolong aku!”
Roman, Sandra, dan Mickey kaget mendengar suara teriakan itu.
“Itu Ken,” kata Sandra. Ia segera berlari menuju pintu.
“Tolong!”
Roman dan Mickey menyusul Sandra. Karena mereka melakukan pemanggilan roh di ruangan yang paling dalam, maka mereka jauh dari pintu.
Di luar, Ken menoleh untuk memastikan anak tadi tidak mengejar lagi. Dan benar, anak itu sudah tidak ada. Tapi, Ken tetap saja takut. Ia menggedor-gedor pintu perpustakaan itu lebih kuat lagi. Dan saat Ken menoleh lagi, tiba-tiba.. Bukkk! Anak itu mengayunkan kapaknya ke perut Ken. Darah segar mengucur. Tubuh Ken roboh.
Saat Sandra dan Roman membuka pintu, “Akh..!!!” Sandra berteriakketika melihat keadaan Ken yang berlumuran darah. “Ken, apa yang terjadi?” tanya Sandra, yang tidak bisa menahan air matanya.
“A, aku tidak apa-apa. Sa, Sandra.. a, aku tau, siapa pembunuhnya.” Nafas Ken sudah mulai tersendat-sendat. Bicaranya pun juga mulai terputus-putus. “Di, dia ti, tidak pakai sarung tangan. Pe, periksa.. kapaknya..”
“Ken, bertahanlah..! Roman, cepat panggil ambulance!”
Roman tidak mampu bergerak. Mendadak lututnya jadi lemas. Maka, Mickey lah yang menuruti kemauan Sandra.
“Sa, Sandra.. aku.. mencintai.. mu..” kemudian, nafas Ken berhenti. Ia tewas.
“Tidak…!!!” Sandra jadi histeris. “Ken, jangan pergi! Ku mohon! Jangan tinggalkan aku!” Sandra memeluk tubuh Ken. Seakan tak ingin dilepaskannya.
“Tabah, Sandra..,” kata Roman, sambil menepuk pundak Sandra.

Keesokan harinya, seisi asrama tau, kalau Ken ikut jadi korban. Semua orang bersedih.
 
Bls: Matematika....

9

Usaha Terakhir


Di asrama, Ken dikenal sebagai teman yang baik. Walau pun dia suka menggodai anak perempuan. Dia adalah jagonya matematika setelah Kevin. Ken dan teman sekamarnya, adalah para jago matematika.
Tapi, yang membuat Sandra tidak habis pikir adalah, mengapa Ken keluar dari asrama malam itu? Bukankah Ken tidak suka dengan rencana Roman dan dirinya untuk menggunakan papan pemanggil roh. Sandra sangat kesal pada pembunuh itu.

Malamnya, Roman, Sandra, dan Mickey bertemu, untuk membicarakan kasus pembunuhan ini, dan berusaha mencari pemecahannya.
“Sandra, kau ingat kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Ken, sebelum meninggal?” tanya Roman.
“Iya, aku ingat.,” jawab Sandra.
“Dia bilang ‘periksa’. Lalu ‘dia tidak pakai sarung tangan’. Yang aku tidak paha, siapa yang tidak pakai sarung tangan? Lalu, apa dan siapa yang harus diperiksa?”
“Sandra mengerutkan keningnya. Ia mulai berpikir, tentang apa yang ditanyakan Roman. “Aku mengerti. Yang tidak pakai sarung tangan adalah si pembunuh. Dan yang harus kita periksa adalah gagang kapak itu.”
“Lalu?”
“Saat kematian Kevin, aku dan Ken memeriksakan sidik jari yang ada di gagang kapak itu. tapi tidak ada hasilnya. Karena, kemungkinan besar, waktu itu, si pembunuh memakai sarung tangan. Nah, kali ini, pasti ada hasilnya, kalau kita periksakan sidik jarinya, ke kantor polisi.”
“Besok, kita pergi ke kantor polisi,” kata Mickey.
“Oke!” semua setuju.
Tiba-tiba, Roman bertanya, “Oh ya, aku dan Mickey belum mendapat izin dari kepala asrama putra, dan Mr. Harry. Bagimana kami bisa menemanimu mencari dan menyelidiki pembunuhan ini, sampai ke kantor polisi?”
“Tenang saja. Aku akan minta izin pada kepala asrama, dan kepala keamanan asrama ini. Pasti dapat izin,” jawab Sandra tenang.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Roman, Sandra, dan Mickey sudah beretemu di lorong penghubung antara asrama putra dan putri. Mereka sudah siap untuk menghadap kepala asrama putra dan kepala keamanan di kantor asrama.
“Apa kau yakin, kita akan mendapat izin?” tanya Mickey.
“Sudahlah, kalau aku yang izin, pasti dapat,” jawab Sandra dengan tenang, tanpa ada perasaan ragu sedikitpun.
“Kau tenang sekali, Sandra,” ujar Roman.
Sandra diam, tanpa komentar.

Sampailah mereka di kantor kepala asrama.
“Ada yang bisa saya bantu untuk kalian?” tanya sekertaris asrama, Miss. Lourdes.
“Kami mau bertemu dengan Mr. Harry,” jawab Sandra.
“Oh, sebentar.” Wanita itu masuk ke dalam sebuah ruangan. Entah apa yang dilakukannya.
Roman, Sandra, dan Mickey menunggu di ruang tunggu kantor itu.
“Kau benar-benar yakin, kami akan mendapat izin?” tanya Mickey.
“Apa kalian meragukanku?”
“Bukannya kami meragukanmu, Sandra,” kata Roman. Kemudian katanya lagi, “Kau tau kan, Mr. Harry, kalau sudah menyangkut keamanan, pasti akan konsultasi dengan Mr. Zeed. Dan Mr. Zeed itu, orangnya keras.”
“Kalian tenang saja, lah!”
Mereka pun menemui Mr. Zeed di ruangannya, dan meminta izin untuk menyelidiki kasus kematian-kematian yang telah terjadi di asrama ini.
Awalnya, Mr. Harry tidak mengizinkan. Tapi, karena Sandra dan Roman terus memaksa, akhirnya, mereka diizinkan.
“Lihat, aku bisa kan, mendapat izin dari beliau,” kata Sandra.
“Iya. Kami sudah lihat.”

Sejak saat itu, Sandra, Roman, dan Mickey bersama-sama menyelidiki kasus kematian yang telah terjadi di asrama, maupun sekolah. Pertama-tama, mereka memeriksakan kapak yang pernah menancap di perut Ken. Dan hasilnya, mereka berhasil menemukan sidik jari yang mereka cari.
“Pak Polisi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Roman.
“Kita harus memeriksa sidik jari masing-masing murid di sekolah kalian,” jawab Polisi itu.
“Ya, kalau itu memang yang terbaik, lakukan saja,” kata Sandra. “Aku sudah muak dengan pembunuh itu.
 
Bls: Matematika....

10

Cahaya Biru Membawa Misteri


Suatu hari, Mr. Harry mengumpulkan seluruh murid Artane School di aula. Tanpa terkecuali. Para guru pun diminta untuk hadir juga. Setiap ketua kamar wajib memeriksa anggotanya. Setelah semua lengkap, baru kepala asrama itu membuka pembicaraan, maksudnya mengumpulkan mereka semua. “Aku mengumpulkan kalian semua untuk diperiksa sidik jari kalian. Sudah ada dua ratus prajurit polisi yang mengepung sekolah dan asrama ini. Jadi, sebelum nanti ketahuan setelah diperiksa sidik jarinya, lebih baik mengaku sekarang. Hukumannya akan lebih ringan.”
Semua jadi hening. Kecuali Baby dan Tatum, yang memang tidak bisa diam.
“Kalau mengaku sekarang hukumannya lebih ringan itu begini. Sekarang hukumannya seumur hidup, nanti hukuman mati.” Mereka tertawa cekikikan tapi pelan.
Saat mereka menunggu seseorang untuk mengakui perbuatannya, tiba-tiba.. seorang siswa menodong Sandra dengan pistol yang ditodongkan di kepala Sandra. “Akulah pembunuhnya,” kata siswa, yang tak lain adalah teman sekelas Sandra, juga teman sekamar Ken. Yaitu Rupert. Diikuti oleh seorang siswi, yaitu Wendy, teman sekelas dan teman sekamar Sandra.
Tidak ada yang menyangka, bahwa merekalah pelaku pembunuhan ini. Terutama teman sekelas dan sekamar mereka. Karena selama ini, mereka mengenal Wendy sebagai gadis pendiam yang baik. Sedangkan Rupert dikenal sebagai siswa lugu, polos, dan agak tulalit.
“Rupert, Wendy, lebih baik kalian menyerah saja. Agar masalahnya bisa cepat selesai. Percayalah padaku, aku akan membantu kalian, agar tidak dihukum mati,” kata Roman dengan sedikit waspada.
Rasanya, mereka semua tidak percaya, kalau Rupert dan Wendy yang melakukannya. Rupert, siswa dungu berkacamata tebal, yang begitu penakut. Lalu Wendy, siswi cantik tapi tulalit, yang tidak pandai bergaul. Ternyata, mereka adalah pembunuh itu.
“Kami tersinggung dengan perlakuan guru matematika itu. kami sakit hati,” kata Wendy sambil menangis dan berteriak-teriak. “Kami tidak dungu atau tulalit. Kelihatannya begitu. Tapi kalian salah. Kami hanya lemah dalam pelajaran matematika.”
Roman khawatir karena Sandra ditodong begitu. “Mickey, apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan Sandra?”
“Entahlah. Aku takut kena tembak,” jawab Mickey yang sebenarnya ikut memikirkan keselamatan Sandra.
“Rupert, Wendy, jangan lakukan itu. Lepaskan Sandra!” Mr. Harry juga ikut-ikutan menasihati sepasang pembunuh itu.
Namun mereka tetap bersikeras tidak mau melepas Sandra.
Tiba-tiba, seberkas cahaya warna biru menyambar pistol yang ditodongkan ke kepala Sandra oleh Rupert. Pistol itu jatuh, dan Sandra segera melepaskan diri. Ia lari ke sisi Roman.
“Sandra, kau tidak apa-apa, kan?” tanya Roman penuh rasa khawatir.
“Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawab Sandra. Cahaya apa tadi?” tanya Sandra.
“Entahlah.”
Polisi segera meringkus kedua pembunuh berdarah dingin itu.
“Jangan! Aku tidak bersalah! Lepaskan aku!” Wendy meronta-ronta seperti orang gila.
Seberkas cahaya biru itu menjadi misteri di sekolah ini. Terutama di dalam benak Sandra.

Sejak saat itu, Sandra, Roman, dan Mickey jadi akrab. Roman mulai mengisi hari-hari Sandra, dan menumbuhkan kembali rasa cinta di hati Sandra. Ia mulai menerima Roman, sebagai pengganti Ken. Walau pun dirinya tak akan bisa berhenti mencintai Ken.
 
Last edited:
Back
Top