PDIP, Partai Dinasti Indonesia Perjuangan

gusrus

New member
Heran juga, ya, dengan PDIP? Masa ketua umumnya Megawati terus? Apa gak bosan, ya? Masa dari 1993, sudah 17 tahun, masih belum cukup juga? Mau ditambah sampai 2015? Berarti nanti Ibu Mega akan menjadi Ketum PDIP sampai 22 tahun?!

Benar, dong apa yang adiknya Guruh bilang, di PDIP Megawati telah diposisikan seperti Soeharto di era Orde Baru. Yang mau berkuasa terus, mengabaikan demokrasi, terjadinya praktek nepotisme, dan kultus individu.

Yang ngomong begini bukan cuma Guntur, tetapi lebih luas lagi, dengan beberapa media yang menulis kritik yang sama.

Maka Ibu Mega pun marah, sewot. Pers dituduh sebagi pers yang resek.

Kenapa sewot, Bu Mega?

Apakah memang tidak benar kritik itu?

Kalau menurut saya sih, benar.

Bahwa memang benar tidak ada kaderisasi di PDIP sejak Mega menjadi ketua umumnya sampai sekarang ini.

Ibu Mega bilang bahwa di PDIP ini sedang terjadi transisi / kaderisasi di banyak daerah. Katanya, di Kongres III di Bali ini adalah kongres transisi partai. Hal ini ditandai dengan semakin nominannya kader-kader muda yang menjadi motor partai di daerah-daerah.

Selanjutnya dia bilang, seperti dikutip detik.com: “Dari cabang-cabang yang melakukan konfercab (konferensi cabang) dan tingkat konferda (konferensi daerah), praktis 65 sampai 70 persen masuk mereka yang muda-muda,” kata Megawati dalam jumpa pers di arena Kongres III PDIP, Grand Inna Bali Beach Hotel, Sanur, Bali, Senin (5/4/2010).

Bertebarnya kader muda di PDIP, kata Megawati, tidak lepas dari sistem kaderisasi partai yang dilakukan secara baik selama dua kali masa kongres atau sepuluh tahun terakhir.



Tapi apakah hal ini terjadi juga pada tingkat yang lebih tinggi? Khususnya dan terutama sekali pada ketua umumnya? Kenyataannya, kan tidak demikian. Padahal justru posisi ketua umum inilah yang sangat penting untuk kemajuan partai di masa depan. Sejak 1993 sampai dengan sekarang ketua umumnya Megawati terus. Bahkan mau dilanjutkan sampai dengan 2015.

Daripada capek-capek,bagaimana kalau Ibu Mega ditetapkan sebagai “Ketua Umum Seumur Hidup” saja? Mengikuti jejak Bapaknya yang pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup?

Terhadap dirinya yang menjadi calon tunggal Ketum PDIP 2010-2015 itu, Ibu Mega berkomentar bahwa itu bukan kehendaknya. Tetapi kehendak kongres. Tapi, bukankah jika benar-benar Ibu Mega perduli terhadap masalah kaderisasi, dia bisa saja menolak, dan mendorong munculnya kaderisasi yang seharusnya sudah dipersiapkan sejak lama itu?

Kalau pun ada masa transisi seperti yang diakui ada, maka yang terlihat hanyalah masa transisi atau kaderisasi yang terjadi dipersiapkan di antara keluarga sendiri. Jadi, kaderisasi yang akan terjadi adalah kaderisasi di antara trah Soekarno saja. Lebih khususnya lagi kaderisasi pada keluarganya saja. Lebih khusunya pada kedua anaknya, Prananda Prabowo dan Puan Maharani.

Sebagaimana rumor yang berkembang yang semakin lama semakin menunjukkan indikasi kebenarannya, bahwa kedua anaknya inilah yang dipersiapkan untuk mengganti Ibunya nanti sebagai ketua umum PDIP kelak.

Indikasi itu berupa rencana untuk membentuk wakil ketua umum di mana (di antara) kedua anaknya itu yang akan menduduki posisi tersebut.

Hal inilah (persiapan kedua anaknya itu sebagai penggantinya), yang membuat Ibu Mega “terpaksa” menjadi ketua umum untuk kesekian kalinya. Karena sampai sekarang ini kedua anaknya itu dinilai masih belum cukup “jam terbangnya” untuk dianggap benar-benar pantas menduduki posisi puncak di PDIP. Sambil mematangkan keduanya inilah sang Ibu tetap berada pada posisi puncak tersebut. Nanti setelah benar-benar dianggap matang, barulah sang Ibu lengser memberi kursinya kepada salah satu anaknya tersebut.

Terhadap kritik politik dinasti ini, ada yang mengatakan bahwa politik dinasti adalah sesuatu yang wajar saja. Dengan alasan atau dengan syarat asalkan orang-orangnya mampu dan pantas untuk itu. Kalau dari keluarga sendiri mempunyai kapabilitas untuk itu, kenapa dipermasalahkan. Katanya memberi argumennya.

Pertanyaannya, apakah orang lain di luar keluarga Ibu Mega tidak ada yang sama atau lebih pantas? Atau setidaknya kenapa tidak ada yang diberi kesempatan untuk bersaing?

Kalau “politik dinasti sah-sah saja. Khususnya barangkali untuk PDIP, bagaimana jika PDIP diganti saja kepanjangannya menjadi Partai Dinasti Indonesia Perjuangan?

Jangankan orang dari luar keluarga Ibu Mega, Guruh Soekarnoputra yang dari keluarga Soekarno juga, ketika mencoba menjadikan dirinya sebagai calon ketua umum alternatif saja ditendang begitu saja. Spanduk dan balihonya yang dianggap menyaingi dominan spanduk dan baliho Ibu Mega sebagai dicopot begitu saja oleh panitia yang ketuanya bukan lain adalah Puan Maharani. Alasannya pemasangan spanduk dan baliho itu melanggar aturan partai.

Puan bilang untuk Guruh, sang pamannya sendiri, kalau tidak senang, ya, silakan keluar dari partai, bikin partai baru saja!

Omongan seperti kok sepertinya merupakan salah satu ciri khas dari orang yang otoriter, ya?

Kenapa, ya, tidak dipakai sistem yang lebih demokratis saja, dengan memberi kesempatan kepada calon alternatif seperti Guruh untuk maju? Toh, kalau diadakan pemungutan suara dia hampir dipastikan kalah telak?

Kenapa cara yang lebih demokratis ini tidak mau dipakai, justru digunakan cara yang terkesan tirani?

Barangkali karena ini berlandaskan sifat yang tidak mau ditentang? Jadi walaupun kekuatannya dominan, tetap tidak rela kalau melihat ada yang berani seperti menantang keabsolutannya itu? Seperti Soeharto di masa jayanya. Sekalipun dia sangat kuat waktu itu, tetapi sekecil apapun ada gerakan yang melawannya, akan dilibas habis tanpa sisa.

Kalau dilihat dari segi prestasi rasanya tak ada alasanyang membuat Ibu Mega harus dipilih terus sebagai ketua umum PDIP. Apakah kelebihannya? Dari Keluarga Soekarno? Apa hebatnya keturunan Soekarno, kalau yang bersangkutan sendiri tidak menunjukkan prestasinya sendiri?

Ibu Mega memang sempat sangat populer dan mendapat dukungan yang signifikan dari rakyat, tetapi itu bukan karena prestasinya yang siginifikan, melainkan lebih pada karena di masa lalu dia sempat menjadi simbol dari kaum yang tertindas dari pemerintah diktator rezim Soeharto.

Rakyat banyak mendukung Megawati sebagai bentuk perlawanannanya terhadap rezim Soeharto yang waktu itu dengan berbagai cara menindas Ibu Mega, sebagaimana dia menindas banyak pihak lainnya yang dianggap ancaman, agar jangan sampai terpilih sebagai ketua umum PDI. Waktu itu Soeharto khawatir dengan kharisma nama Soekarno yang disandang Ibu Mega, yang dianggap bisa mengganggu hegemoni kekuasaannya.

Ketika akhirnya Ibu Mega tetap terpilih sebagai Ketua Umum PDI pun serangan terhadap dia dari rezim Soeharto tidak juga reda, bahkan semakin menjadi-jadi dengan puncaknya pada peristiwa 27 Juli 1996, yakni rekayasa penyerangan kantor pusat PDI, yang menciptakan kerusuhan dan jatuhnya korban jiwa. Yang sampai hari ini masih menyimpan sejumlah misteri.

Peristiwa-peristiwa penindasan Soeharto terhadap Ibu Mega inilah yang membuat rakyat banyak yang sudah lama tidak senang dengan rezim Soeharto menjadikan Ibu Mega sebagai simbol perlawanannya terhadap Soeharto. Maka dukungan terhadap Ibu Mega dengan PDIP-nya pun waktu itu sangat kuat, yang membuat PDIP bisa keluar sebagai pemenang pemilu pertama kali di era reformasi dengan menduduki posisi puncak (tahun 1999).

Tapi setelah itu perlahan namun pasti, seiring berlalunya waktu, ketika keterkaitan-keterkaitan dengan masa lalu rezim Orde Baru mulai dirasa tak relevan lagi, rakyat banyak mulai melihat dan menilai segala sesuatu sesuai dengan realitas yang ada.

Oleh mayoritas pemilih dalam pemilu-pemilu berikutnya tak melihat lagi sesuatu yang bisa dijadikan andalan di dalam sosok Ibu Mega.

Sempat menjadi presiden pun bukan karena kehendak langsung rakyat, tetapi dikarenakan permainan politik tingkat tinggi di parlemen untuk menyingkirkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dimotori oleh Poros Tengah bentukan Amien Rais. Gus Dur berhasil disingkirkan, dan diganti oleh Wapres Megawati.

Oleh karena itulah, maka ketika pemilu berikutnya dilangsungkan pada 2004 perolehan suara PDIP pun menurun, berada pada posisi kedua di bawah Golkar. Pada pemilu 2009 merosot lagi ke posisi ketiga, di bawah Partai Demokrat dan Partai Golkar.

Bahkan ketika pemilihan presiden dilaksanakan secara dipilih langsung oleh rakyat, Megawati pun selalu kalah telak.

Sebenarnya sudah tiga kali Megawati kalah dalam pemilihan presiden secara langsung itu, bukan dua kali. Yakni pertama kali, dalam pilpres 2004, berada di posisi kedua setelah pasangan SBY. Ketika masuk ke putaran kedua melawan SBY, kekalahan jauh lebih telak lagi didapat. Tigapuluhan persen melawan enapuluhan persen.

Hal yang sama terjadi pada pilpres 2009 yang belum terlalu lama berlalu itu.

Lalu, kalau sudah begitu, apa alasannya Ibu Mega terus dipilih lagi sebagai Ketua Umum PDIP? Apakah mau dimajukan lagi dalam pilpres 2014? Masa gak bosan kalah? Kalau sampai begini, rasanya nanti hanya Ibu Mega seorang diri saja dari angkatan tua, sedangkan pesaing-pesaingnya semua dari angkatan muda.

Sekarang saja, nanti bisa jadi semua parpol punya ketua umum dari angkatan muda, hanya PDIP sendiri yang punya ketua umum yang dari angkatan “sudah lapuk” alias angkatan tua.

Jadi, jangan-jangan memang alasannya adalah untuk mengamankan posisi kursi ketua umum sambil menunggu terjadinya proses pematangan politik kedua anaknya sebagaimana saya sebutkan di atas?

Kalau bukan itu, alasannya apa?***

www.polhukam.kompasiana.com
 
Bls: PDIP, Partai Dinasti Indonesia Perjuangan

salah sendiri masyarakat kenapa milih PDIP? coba kl sedikit pemilih pasti Mega lengser
 
Bls: PDIP, Partai Dinasti Indonesia Perjuangan

Heran juga, ya, dengan PDIP? Masa ketua umumnya Megawati terus? Apa gak bosan, ya? Masa dari 1993, sudah 17 tahun, masih belum cukup juga? Mau ditambah sampai 2015? Berarti nanti Ibu Mega akan menjadi Ketum PDIP sampai 22 tahun?!

Benar, dong apa yang adiknya Guruh bilang, di PDIP Megawati telah diposisikan seperti Soeharto di era Orde Baru. Yang mau berkuasa terus, mengabaikan demokrasi, terjadinya praktek nepotisme, dan kultus individu.

Yang ngomong begini bukan cuma Guntur, tetapi lebih luas lagi, dengan beberapa media yang menulis kritik yang sama.

Maka Ibu Mega pun marah, sewot. Pers dituduh sebagi pers yang resek.

Kenapa sewot, Bu Mega?

Apakah memang tidak benar kritik itu?

Kalau menurut saya sih, benar.

Bahwa memang benar tidak ada kaderisasi di PDIP sejak Mega menjadi ketua umumnya sampai sekarang ini.

Ibu Mega bilang bahwa di PDIP ini sedang terjadi transisi / kaderisasi di banyak daerah. Katanya, di Kongres III di Bali ini adalah kongres transisi partai. Hal ini ditandai dengan semakin nominannya kader-kader muda yang menjadi motor partai di daerah-daerah.

Selanjutnya dia bilang, seperti dikutip detik.com: “Dari cabang-cabang yang melakukan konfercab (konferensi cabang) dan tingkat konferda (konferensi daerah), praktis 65 sampai 70 persen masuk mereka yang muda-muda,” kata Megawati dalam jumpa pers di arena Kongres III PDIP, Grand Inna Bali Beach Hotel, Sanur, Bali, Senin (5/4/2010).

Bertebarnya kader muda di PDIP, kata Megawati, tidak lepas dari sistem kaderisasi partai yang dilakukan secara baik selama dua kali masa kongres atau sepuluh tahun terakhir.



Tapi apakah hal ini terjadi juga pada tingkat yang lebih tinggi? Khususnya dan terutama sekali pada ketua umumnya? Kenyataannya, kan tidak demikian. Padahal justru posisi ketua umum inilah yang sangat penting untuk kemajuan partai di masa depan. Sejak 1993 sampai dengan sekarang ketua umumnya Megawati terus. Bahkan mau dilanjutkan sampai dengan 2015.

Daripada capek-capek,bagaimana kalau Ibu Mega ditetapkan sebagai “Ketua Umum Seumur Hidup” saja? Mengikuti jejak Bapaknya yang pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup?

Terhadap dirinya yang menjadi calon tunggal Ketum PDIP 2010-2015 itu, Ibu Mega berkomentar bahwa itu bukan kehendaknya. Tetapi kehendak kongres. Tapi, bukankah jika benar-benar Ibu Mega perduli terhadap masalah kaderisasi, dia bisa saja menolak, dan mendorong munculnya kaderisasi yang seharusnya sudah dipersiapkan sejak lama itu?

Kalau pun ada masa transisi seperti yang diakui ada, maka yang terlihat hanyalah masa transisi atau kaderisasi yang terjadi dipersiapkan di antara keluarga sendiri. Jadi, kaderisasi yang akan terjadi adalah kaderisasi di antara trah Soekarno saja. Lebih khususnya lagi kaderisasi pada keluarganya saja. Lebih khusunya pada kedua anaknya, Prananda Prabowo dan Puan Maharani.

Sebagaimana rumor yang berkembang yang semakin lama semakin menunjukkan indikasi kebenarannya, bahwa kedua anaknya inilah yang dipersiapkan untuk mengganti Ibunya nanti sebagai ketua umum PDIP kelak.

Indikasi itu berupa rencana untuk membentuk wakil ketua umum di mana (di antara) kedua anaknya itu yang akan menduduki posisi tersebut.

Hal inilah (persiapan kedua anaknya itu sebagai penggantinya), yang membuat Ibu Mega “terpaksa” menjadi ketua umum untuk kesekian kalinya. Karena sampai sekarang ini kedua anaknya itu dinilai masih belum cukup “jam terbangnya” untuk dianggap benar-benar pantas menduduki posisi puncak di PDIP. Sambil mematangkan keduanya inilah sang Ibu tetap berada pada posisi puncak tersebut. Nanti setelah benar-benar dianggap matang, barulah sang Ibu lengser memberi kursinya kepada salah satu anaknya tersebut.

Terhadap kritik politik dinasti ini, ada yang mengatakan bahwa politik dinasti adalah sesuatu yang wajar saja. Dengan alasan atau dengan syarat asalkan orang-orangnya mampu dan pantas untuk itu. Kalau dari keluarga sendiri mempunyai kapabilitas untuk itu, kenapa dipermasalahkan. Katanya memberi argumennya.

Pertanyaannya, apakah orang lain di luar keluarga Ibu Mega tidak ada yang sama atau lebih pantas? Atau setidaknya kenapa tidak ada yang diberi kesempatan untuk bersaing?

Kalau “politik dinasti sah-sah saja. Khususnya barangkali untuk PDIP, bagaimana jika PDIP diganti saja kepanjangannya menjadi Partai Dinasti Indonesia Perjuangan?

Jangankan orang dari luar keluarga Ibu Mega, Guruh Soekarnoputra yang dari keluarga Soekarno juga, ketika mencoba menjadikan dirinya sebagai calon ketua umum alternatif saja ditendang begitu saja. Spanduk dan balihonya yang dianggap menyaingi dominan spanduk dan baliho Ibu Mega sebagai dicopot begitu saja oleh panitia yang ketuanya bukan lain adalah Puan Maharani. Alasannya pemasangan spanduk dan baliho itu melanggar aturan partai.

Puan bilang untuk Guruh, sang pamannya sendiri, kalau tidak senang, ya, silakan keluar dari partai, bikin partai baru saja!

Omongan seperti kok sepertinya merupakan salah satu ciri khas dari orang yang otoriter, ya?

Kenapa, ya, tidak dipakai sistem yang lebih demokratis saja, dengan memberi kesempatan kepada calon alternatif seperti Guruh untuk maju? Toh, kalau diadakan pemungutan suara dia hampir dipastikan kalah telak?

Kenapa cara yang lebih demokratis ini tidak mau dipakai, justru digunakan cara yang terkesan tirani?

Barangkali karena ini berlandaskan sifat yang tidak mau ditentang? Jadi walaupun kekuatannya dominan, tetap tidak rela kalau melihat ada yang berani seperti menantang keabsolutannya itu? Seperti Soeharto di masa jayanya. Sekalipun dia sangat kuat waktu itu, tetapi sekecil apapun ada gerakan yang melawannya, akan dilibas habis tanpa sisa.

Kalau dilihat dari segi prestasi rasanya tak ada alasanyang membuat Ibu Mega harus dipilih terus sebagai ketua umum PDIP. Apakah kelebihannya? Dari Keluarga Soekarno? Apa hebatnya keturunan Soekarno, kalau yang bersangkutan sendiri tidak menunjukkan prestasinya sendiri?

Ibu Mega memang sempat sangat populer dan mendapat dukungan yang signifikan dari rakyat, tetapi itu bukan karena prestasinya yang siginifikan, melainkan lebih pada karena di masa lalu dia sempat menjadi simbol dari kaum yang tertindas dari pemerintah diktator rezim Soeharto.

Rakyat banyak mendukung Megawati sebagai bentuk perlawanannanya terhadap rezim Soeharto yang waktu itu dengan berbagai cara menindas Ibu Mega, sebagaimana dia menindas banyak pihak lainnya yang dianggap ancaman, agar jangan sampai terpilih sebagai ketua umum PDI. Waktu itu Soeharto khawatir dengan kharisma nama Soekarno yang disandang Ibu Mega, yang dianggap bisa mengganggu hegemoni kekuasaannya.

Ketika akhirnya Ibu Mega tetap terpilih sebagai Ketua Umum PDI pun serangan terhadap dia dari rezim Soeharto tidak juga reda, bahkan semakin menjadi-jadi dengan puncaknya pada peristiwa 27 Juli 1996, yakni rekayasa penyerangan kantor pusat PDI, yang menciptakan kerusuhan dan jatuhnya korban jiwa. Yang sampai hari ini masih menyimpan sejumlah misteri.

Peristiwa-peristiwa penindasan Soeharto terhadap Ibu Mega inilah yang membuat rakyat banyak yang sudah lama tidak senang dengan rezim Soeharto menjadikan Ibu Mega sebagai simbol perlawanannya terhadap Soeharto. Maka dukungan terhadap Ibu Mega dengan PDIP-nya pun waktu itu sangat kuat, yang membuat PDIP bisa keluar sebagai pemenang pemilu pertama kali di era reformasi dengan menduduki posisi puncak (tahun 1999).

Tapi setelah itu perlahan namun pasti, seiring berlalunya waktu, ketika keterkaitan-keterkaitan dengan masa lalu rezim Orde Baru mulai dirasa tak relevan lagi, rakyat banyak mulai melihat dan menilai segala sesuatu sesuai dengan realitas yang ada.

Oleh mayoritas pemilih dalam pemilu-pemilu berikutnya tak melihat lagi sesuatu yang bisa dijadikan andalan di dalam sosok Ibu Mega.

Sempat menjadi presiden pun bukan karena kehendak langsung rakyat, tetapi dikarenakan permainan politik tingkat tinggi di parlemen untuk menyingkirkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dimotori oleh Poros Tengah bentukan Amien Rais. Gus Dur berhasil disingkirkan, dan diganti oleh Wapres Megawati.

Oleh karena itulah, maka ketika pemilu berikutnya dilangsungkan pada 2004 perolehan suara PDIP pun menurun, berada pada posisi kedua di bawah Golkar. Pada pemilu 2009 merosot lagi ke posisi ketiga, di bawah Partai Demokrat dan Partai Golkar.

Bahkan ketika pemilihan presiden dilaksanakan secara dipilih langsung oleh rakyat, Megawati pun selalu kalah telak.

Sebenarnya sudah tiga kali Megawati kalah dalam pemilihan presiden secara langsung itu, bukan dua kali. Yakni pertama kali, dalam pilpres 2004, berada di posisi kedua setelah pasangan SBY. Ketika masuk ke putaran kedua melawan SBY, kekalahan jauh lebih telak lagi didapat. Tigapuluhan persen melawan enapuluhan persen.

Hal yang sama terjadi pada pilpres 2009 yang belum terlalu lama berlalu itu.

Lalu, kalau sudah begitu, apa alasannya Ibu Mega terus dipilih lagi sebagai Ketua Umum PDIP? Apakah mau dimajukan lagi dalam pilpres 2014? Masa gak bosan kalah? Kalau sampai begini, rasanya nanti hanya Ibu Mega seorang diri saja dari angkatan tua, sedangkan pesaing-pesaingnya semua dari angkatan muda.

Sekarang saja, nanti bisa jadi semua parpol punya ketua umum dari angkatan muda, hanya PDIP sendiri yang punya ketua umum yang dari angkatan “sudah lapuk” alias angkatan tua.

Jadi, jangan-jangan memang alasannya adalah untuk mengamankan posisi kursi ketua umum sambil menunggu terjadinya proses pematangan politik kedua anaknya sebagaimana saya sebutkan di atas?

Kalau bukan itu, alasannya apa?***

www.polhukam.kompasiana.com


ijin nyimak den....
 
Bls: PDIP, Partai Dinasti Indonesia Perjuangan

ikut mengucapkan selamat, atas terpilihnya ibu megawati soekarno putri menjadi ketua umum PDI-P. semoga bisa meneruskan program seperti periode sebelumnya.
 
Bls: PDIP, Partai Dinasti Indonesia Perjuangan

wakakakakkakakaka

Partai Dinasty Indonesia (keren namanya)

dinasty nya sapa nih ??
 
Bls: PDIP, Partai Dinasti Indonesia Perjuangan

harus berasal dari trah Bung Karno
tapi nanti gimana dengan Puan (yg kayaknya ngebet banget jadi Ketum )
dia kan Trah nya dah lain, ngambil garis bapaknya :)
 
Back
Top