Kontroversi Bayi Tabung

Megha

New member
Kontroversi Bayi Tabung

Seperempat abad berlalu sejak bayi tabung pertama, Louise Brown lahir. Dalam perjalanannya, teknologi pembuahan in-vitro (In-Vitro Fertilization/IVF) itu menuai banyak perdebatan baik etik maupun moral. Bagaimana sekarang? Apakah kontroversi tersebut mulai reda seiring penerimaan sebagian kalangan?

89d6ebe9b2b53eec50b98b705dc9e448.jpg

Bayi tabung adalah suatu teknik pembuahan di mana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh perempuan, tapi di tempat khusus seperti tabung (sebenarnya adalah cawan peW). Prosesnya dim ulai dengan pengambilan sel telur dan perempuan yang baru saja mengalami ovulasi lalu sel telur tadi dibuahi dengan sperma yang sudah dipersiapkan dalam cawan petri. Hasil pembuahan “dipelihara” beberapa lama sampai terbentuk embrio (bakal janin), yang kemudian ditransfer kembali ke dalam rahim perempuan tersebut. Seterusnya, bila embrio itu menempel sempurna di dalam rahim dan mampu tumbuh dengan baik, maka sang perempuan tadi akan hamil seperti kehamilan umumnya.

Kontroversi Bayi Tabung
Kontroversi bayi tabung di Indonesia mulai merebak tahun 1970-an. Pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang bayi tabung. Dalam fatwa itu. MUI memperbolehkan dilakukan bayi tabung, sebab termasuk hak ikhtiar (usaha) bagi suami istri yang susah mendapat momongan.

Ketua MUI Prof. Dr. Khuzaimah T Yanggo menyatakan,”Teknik bayi tabung yang diperbolehkan menurut Islam adalah tidak melibatkan pihak ketiga, jadi sperma dan ovum harus berasal dari suami isteri yang sah dan masih rukun. Bila sperma dan ovumnya diambil bukan dari pasangan suami isteri sah maka hukumnya haram dan statusnya zina.

“Bayi tabung diperbolehkan, tapi tidak dengan penyewaan rahim, tandas Prof Khuzaimah menanggapi fenomena penyewaan rahim yang terkuak saat ini. “Jika embrio dimasukkan ke dalam rahim seorang perempuan yang bukan istrinya, maka seperti memiliki status sebagai anak di luar perkawinan," tutur Prof Khuzaimah.

Kasus Baru, Kontroversi Baru
Baru baru ini dunia bayi tabung dikejutkan dengan terkuaknya kisah sang ibu yang melahirkan anak kembar delapan di Amerika.

Sebelumnya, perempuan berumur 33 tahun itu telah menjalani perawatan bayi tabung dan telah ditanami embrio di rahimnya. Kontroversi muncul karena dinilai melanggar konsesus para dokter fertilitas, bahwa menanam embrio banyak dianggap tidak bertanggung jawab serta tidak etis. Benarkah?

Pendapat serupa dikemukakan Dr. Muharram, SpOG(K), yang merupakan Kepala Program Bayi Tabung Klinik Layanan Terpadu Gangguan Kesuburan, Yasmin RSCM. Untuk penanaman embrio, saat ini dunia merekomendasikan single embryo transfer, jadi hanya satu embrio yang ditransfer ke rahim. Untuk melakukan itu perlu dipertimbangkan dengan umur ibu, kondisi embrio, dan kesepakatan dengan pasien. ‘Sebaiknya memang hanya satu embrio saja yang ditransfer, tetapi biasanya berdasarkan literatur, kondisi embrio, umur ibu, dan kasus infertilitasnya, maka masih boleh Iebih dan 1 embrio ditransfer, tetapi maksimal 3-4 embrio," jelas Dr. Muharram.

“Kalau memang yakin bisa tumbuh semua, buat apa diberikan banyak-banyak," tutur dokter yang dikenal ramah itu. Alasannya, penanaman multiple embrio akan mempertinggi angka prematuritas dan meningkatkan risiko kematian pada bayinya. Hal itu kemungkinan embrio yang banyak itu bisa berkembang semua menjadi janin sehingga bisa terjadi kehamilan kembar. Kehamilan janin kembar dua saja risikonya sudah lebih besar daripada kehamilan dengan satu janin, apalagi jika kembarnya hingga lebih dan lima janin. Dr. Muharram menyebutkan bahwa hal itu mengandung risiko baik bagi ibu maupun bayi-bayi yang dikandungnya.

Risiko-risiko yang bisa dialami pada ibu dengan kehamilan kembar antara lain, meningkatkan risiko preeklampsia dan eklampsia, serta melahirkan bayi-bayi prematur. Bayi yang prematur akan timbul masalah pada pematangan paru dan distribusi makanan yang kurang.

Kemana Embrio yang Lain?
Sudah disebutkan oleh Dr. Muhararn bahwa penanaman embrio maksimal tiga, untuk mengurangi risiko pada ibu dan bayi. Lantas, bila tidak ditransfer semuanya, dikemanakan embrio yang tidak terpakai? Menurut Dr. Muharam, embrio “sisanya” akan disimpan dalam suhu yang amat rendah dan kelak jika pasangan suami istri tadi menghendaki kehamilan lagi, maka bisa ditanamkan kembali di rahim si istri.”Biasanya maksimal dua tahun penyimpanan cetus Dr. Mu haram.

Persoalan etik dan moral muncul jika pasangan pemilik embrio beku meninggal dunia atau bagaimana bila mereka tidak menginginkan kehamilan lagi? Bagaimana nasib selanjutnya embrio itu? Bolehkah dimusnahkan begitu saja?

“Sampal saat ini memang masih dalam perdebatan etis, walaupun menurut saya itu bukan masalah aborsi ujar Dr. Muharam. Prof Khuzaimah juga mengiyakan. “Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis (embrio yang telah membelah) pada dinding rahim. Kalau embrio yang beku tidak apa-apa," tuturnya. (DK/TNS)
 
Back
Top