Peran SQ (Spiritual Quotient) di lingkungan kerja

Administrator

Administrator
Sebagian orang bilang, spiritual atau acara ritual seperti ibadah yang dilakukan dalam lingkungan kerja hanya membuang waktu dan menghambat kerja. Seperti contohnya, orang yang memulai kerjanya dengan mengedepankan spirit religi ia dikatakan orang yang lamban dan membuang waktu kerja yang produktif.

Padahal, karyawan dengan SQ yang tinggi biasanya akan lebih cepat mengalami pemulihan dan suatu penyakit, baik secara fisik maupun mental, Ia lebih mudah bangkit dari suatu kejatuhan atau penderitaan,lebih tahan menghadapi stres,lebih mudah melihat peluang karena memiliki sikap mental positif, serta lebih ceria, bahagia dan merasa puas dalam menjalani kehidupan.

Berbeda dengan karyawan yang memiliki SQ rendah. Pada orang dengan SQ rendah, keberhasilan dalam hal karier, pekerjaan, penghasilan, status dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat materi ternyata tidak selalu mampu membuatnya bahagia. Persaingan dan perbedaan kepentingan yang berlangsung begitu ketat sering kali membuat manusia kehilangan arah dan identitas.


Sumber : sindo
 
Bls: Peran SQ (Spiritual Quotient) di lingkungan kerja

Quotients dalam diri yang mesti digali dan kenali

IQ, EQ, dan SQ adalah tiga istilah yang sudah cukup dikenal, terutama di kalangan praktisi dan spesialis pengembangan sumber daya manusia. Istilah pertamanya itu intellectual quotient atau EQ menggambarkan kapasitas seseorang untuk melakukan kegiatan mental seperti berpikir, mencari penjelasan, dan memecahkan masalah secara logis.

Berdasarkan hasil tes IQ, dapat ditentukan kemampuan seorang karyawan yang terkait dengan angka, kata-kata, visualisasi, daya ingat,penjelasan deduktif-induktif, dan kecepatan memersepsikan sesuatu. Dengan mengetahui dalam hal apa seorang karyawan memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, maka perusahaan dapat menempatkan karyawan tersebut pada posisi atau pekerjaan yang sesuai.

Istilah kedua yaitu emotional quotient atau EQ yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman sekitar pertengahan tahun 1990 menjelaskan kemampuan seseorang untuk mendeteksi dan mengelola emosi. Menurut Goleman, ada empat level kecerdasan emosi. Level pertama adalah self awareness atau kesadaran diri. Pada tahap ini, seorang karyawan dapat mengenal dan memahami emosi, kekuatan dan kelemahan, nilai-nilai serta motivasi dirinya. Pada level kedua, yaitu self management atau kelola diri, karyawan tidak hanya mampu mengenal dan memahami emosinya,tetapi juga mampu mengelola, mengendalikan dan mengarahkannya.

Karyawan yang memiliki kemampuan kelola diri yang baik secara rutin melakukan evaluasi diri setelah menghadapi keberhasilan maupun kesuksesan dan mampu mempertahankan motivasi dan perilaku kerjanya untuk menghasilkan kinerja yang baik. Pada level ketiga yang disebut social awareness atau kesadaran sosial, karyawan sudah mampu berempati, yaitu peka terhadap perasaan, pemikiran, dan situasi yang dihadapi orang lain.

Kecerdasan emosi memampukan kita untuk menyadari dan memahami perasaan sendiri dan orang lain, memampukan kita menilai suatu situasi dan bertindak sesuai dengan situasi yang dihadapi. Dan, pada level yang tertinggi yaitu relationship management atau kelola hubungan, seorang karyawan mampu mengendalikan dan mengarahkan emosi orang lain. Karyawan tersebut mampu menginspirasi orang lain, memengaruhi perasaan dan keyakinan orang lain, mengembangkan kapabilitas orang lain, mengatasi konflik, membinahubungan, danmembentuk kerja sama yang menguntungkan semua pihak.

Istilah yang ketiga yaitu spiritual quotient atau SQ diyakini merupakan tingkatan tertinggi dan kecerdasan, yang digunakan untuk menghasilkan arti (meaning) dan nilai (value). Dua jenis kecerdasan yang disebutkan pertama,yaitu EQ dan SQ, merupakan bagian yang terintegrasi dari SQ. Mengacu pada teori motivasi yang dikemukakan Maslow, kecerdasan spiritual terkait dengan aktualisasi diri atau pemenuhan tujuan hidup, yang merupakan tingkatan motivasi yang tertinggi. Kecerdasan spiritual yang tinggi ditandai dengan adanya pertumbuhan dan transformasi pada diri seseorang, tercapainya kehidupan yang berimbang antara karier pekerjaan dan pribadi/keluarga, serta adanya perasaan suka cita serta puas yang diwujudkan dalam bentuk menghasilkan kontribusi yang positif dan berbagi kebahagiaan kepada lingkungan.



Sumber : Sindo
 
Back
Top