5 Jam Terjebak di Hutan Demi si Nenek Genit

nurcahyo

New member
5 Jam Terjebak di Hutan Demi si Nenek Genit
Oleh trubus



Pagi itu, Sabtu 6 Mei 2006, cuaca cerah. Sesuai dengan janji yang dibuat beberapa hari lalu, pada pukul 07.00 itu Trubus sudah duduk di lobi sebuah hotel di pusat kota Pontianak. Tak berapa lama, sebuah Panther biru muncul di halaman. Begitu mesin kendaraan dimatikan, Ir Anton Kamaruddin, kenalan Trubus di Pontianak, turun menghampiri. Yuk! Sudah siap berburu nepenthes ke Sanggau? serunya bersemangat. Tanpa menunggu Trubus langsung bergegas masuk ke dalam kendaraan.

Jalanan pagi itu lengang. Panther yang dikendarai Bambang Irawan-penggemar tanaman hias-meluncur lancar menuju kawasan Siantan di utara Pontianak. Setelah melewati jembatan melintasi Sungai Kapuas, mobil bergerak ke arah kanan. Kita lewat sini saja ya? Kalau lewat jalur biasa butuh waktu 6 jam baru sampai ke Sanggau, kata Bambang seraya meminta persetujuan. Di kursi belakang, Trubus mengangguk setuju.

Tak sampai setengah jam melintasi jalan lintas trans Kalimantan, laju kendaraan terpaksa diperlambat. Jalan lintas yang menghubungkan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah itu rupanya belum tuntas dikerjakan. Jalan masih berupa tanah merah yang dikeraskan. Kala cuaca panas, debu beterbangan setiap kali kendaraan melintas. Di musim hujan, jalan selebar 5- 6 m itu berubah jadi kubangan lumpur.

Di kiri-kanan jalan, sesekali terlihat bangunan rumah. Selebihnya pemandangan sepanjang perjalanan adalah vegetasi khas hutan Kalimantan. Toh, itu tak mengurungkan niat Trubus dan rombongan untuk melaju menuju Sanggau. Sanggau itu salah satu 'gudang' nepenthes, begitu cerita Agustina Listiawati, penggemar kantong semar di Pontianak terngiang di telinga Trubus.
Anggrek kontes

Terbukti perjalanan kali ini memang mengesankan. Di lokasi, Trubus melihat 3 pot anggrek Grammatophyllum setinggi 2 m di teras sebuah rumah kayu. Sosok bongsor dengan tangkai bunga tengah mekar membuat anggrek spesies itu pantas diikutkan lomba. Saat melintasi daerah Banua, Anton Kamaruddin menunjuk ke beberapa pohon durian. Di sini tempatnya durian-durian enak, katanya. Sayang, saat itu bukan musim buah.

Setelah 2 jam berjalan, kendaraan dibelokkan memasuki sebuah jalan kecil. Jalan tanah berubah jadi batu cadas berpasir putih. Di kiri-kanan jalan terlihat pakis resam tumbuh. Jendela-jendela mobil pun langsung diturunkan. Empat pasang mata menatap awas setiap jengkal tanah mencari jejak kantong semar. Baru beberapa menit mobil menyusuri jalan kecil itu, terlihat Nepenthes mirabilis, N. gracilis, dan N. ampullaria tumbuh merambat. Tanpa menunggu komando, Trubus dan rombongan turun dari kendaraan. Sambil merunduk menghindari tajuk perdu-perdu Trubus menghampiri kantong atas N. gracilis berwarna hijau. Di dekat situ, N. mirabilis berdaun dan berkantong merah tumbuh di atas tanah.

Biasanya kalau sudah begini sebentar lagi kita bertemu dengan N. bicalcarata dan N. rafflesiana, kata Bambang. Baru saja Bambang berujar, terdengar Anton Kamaruddin berseru. Sambil tersenyum sumringah, ia menunjuk kantong N. rafflesiana sebesar botol air kemasan isi 500 ml berwarna hijau. Di sudut lain Dedi Damhudi-anggota rombongan-berteriak senang.

Di balik kerimbunan dedaunan terlihat N. bicalcarata berwarna merah tua. Di dekat lokasi perburuan itu, pada kunjungan pertama, Anton dan kawan-kawan menemukan N. ampullaria hijau polos berbibir merah. Cantik banget, kami menyebutnya si nenek genit, tuturnya. Maka sejak saat itu, setiap kali menemukan kantong beruk berbibir merah itu, mereka saling berteriak, Ada nenek genit!
Nepenthes di atas air

Trubus dan rombongan rupanya memang tengah beruntung. Masih di lokasi sama, kami menemukan N. hookeriana. Silangan alami N. ampullaria dan N. rafflesiana itu terlihat atraktif. Kantong bulat pendek seperti N. ampullaria dengan motif hijau berbercak cokelat, khas N. rafflesiana. Yang tak kalah menarik, N. gracilis berwarna merah tua. Beberapa malah cenderung berwarna kehitaman.

Tak puas hanya menjelajahi tepian jalan, rombongan masuk lebih dalam. Kira-kira 10 menit berjalan, terlihat sebuah danau berair tenang. Itu sebetulnya rawa gambut. Di beberapa tempat, terlihat kayu besi dipasang melintang hingga orang bisa berjalan melintasi danau. Waktu meniti salah satu kayu besi, mata Trubus terpaku melihat N. mirabilis yang menjalar di atas air. Ah, rupanya sang entuyut-sebutan nepenthes oleh suku Dayak-pun bisa hidup di atas air.

Puas bermain-main di dekat air, rombongan kembali ke tepi jalan. Perjalanan pun dilanjutkan ke lokasi lain berjarak sekitar 30 menit perjalanan. Di sana, lagi-lagi Trubus menemukan nepenthes cantik. N. ampullaria berkantong hijau berbercak cokelat dengan bibir merah tumbuh menjalar membentuk semacam karpet.
Terjebak

Lantaran masih penasaran, rombongan kembali menaiki mobil menuju lokasi berikutnya. Saat itu langit sudah mendung. Awan hitam menggantung di sana-sini. Beberapa saat kemudian, butiran air pun berjatuhan ke bumi. Toh, perjalanan tetap dilanjutkan. Biasanya di akhir perburuan kita menemukan nepenthes paling istimewa, kata Bambang.

Kendaraan terus melaju melewati kebun-kebun kelapa sawit yang baru dibuka. Di sebuah tempat kendaraan berbelok ke kanan memasuki sisa-sisa hutan kerangas. Satu-dua nepenthes terlihat menjuntai di sela-sela pakis resam. Namun, rombongan tak beranjak dari mobil karena itu jenis-jenis lazim ditemui.

Makin ke dalam, jalan kian menyempit dengan turunan dan tanjakan. Pepohonan pun semakin merimbun. Di beberapa lokasi terlihat tumpukan kayu sengon yang siap dikirim ke kota. Bambang yang menyetir kendaraan, sesaat sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan. Namun, rasa penasaran akan menemukan periuk kera istimewa di akhir perjalanan lebih kencang.

Sayang, dewi fortuna rupanya mulai menjauh. Sampai sekitar 30 menit berjalan, tak ada lagi nepenthes ditemukan. Rombongan pun memutuskan untuk kembali ke jalan semula. Namun, rupanya niatan untuk memutar arah tak mulus. Sampai di sebuah tanjakan curam, mobil tak mau melaju. Berkali-kali mobil melorot ke bawah lantaran jalanan tanah berubah menjadi kubangan lumpur.
5 jam

Kami langsung memutar otak untuk keluar dari lokasi itu. Di tengah hujan deras, rombongan turun mencari serasah daun untuk tempat roda mobil berpijak. Air yang mengalir di sisi-sisi jalan, dialihkan ke tengah supaya jalan tak terlalu licin sehingga bisa dilalui roda mobil. Sayang, cara itu gagal.

Anton lantas mengusulkan untuk mencari akar udara pepohonan pengganti tambang. Itu dipakai untuk menarik kendaraan. Sayang, di kendaraan tak ada alat untuk menebang. Bambang sekali lagi memberanikan diri melajukan kendaraan. Namun, lagi-lagi gagal. Tanpa terasa waktu pun terus merambat hingga menjelang senja. Langit yang mulai ditinggalkan rintik hujan, mulai gelap.

Dalam kondisi kehujanan dan kelaparan, akhirnya Dudi memutuskan untuk berjalan mencari gubuk penebang kayu terdekat meminta pertolongan. Beruntung 5 orang bersedia membantu. Sambil membawa tambang dan golok, mereka datang menghampiri. Dengan sigap, mereka mengumpulkan dahan-dahan berdaun lebat untuk dipakai sebagai pijakan roda mobil. Tambang diikatkan ke bagian depan kendaraan. Sambil ditarik bersama-sama, mobil pun perlahan dilajukan melewati tanjakan. Akhirnya setelah 5 jam terjebak, rombongan bisa kembali ke jalan menuju pulang. Untuk sementara waktu, bertemu dengan si nenek genit terlupakan.
 
Back
Top