Pandangan Marx tentang orang miskin

Administrator

Administrator
Pemahaman kita tentang kaum miskin tidak dapat dilepaskan dari filosofi tentang buruh, kerja, dan nilai. Marx menganggap kaum miskin parasit sosial yang merugikan. Di satu sisi, kaum miskin dianggap kelompok berbahaya karena mereka parasit sosial yang tidak produktif. Pencoleng, pekerja seks, pencandu narkoba, dan sejenisnya adalah kelompok yang membahayakan secara politik karena tidak terorganisasi, tak dapat diprediksi, dan cenderung reaksioner. Kata “lumpenproletariat” pun dipakai untuk mendemonisasi kaum miskin secara keseluruhan.

Di sisi lain, kaum miskin dianggap tenaga cadangan bagi industri. Kaum miskin adalah tenaga cadangan yang sementara tidak bekerja, tetapi sewaktu-waktu dapat diintegrasikan ke dalam produksi industrial. Kaum miskin sebagai tenaga cadangan adalah ancaman permanen bagi kelas pekerja atau buruh. Pertama, penderitaan yang dialami kaum miskin memberikan contoh yang mengerikan kepada buruh mengenai apa yang juga dapat terjadi atas mereka. Kedua, kaum miskin adalah kelebihan pasokan tenaga kerja yang dapat menurunkan upah dan sekaligus posisi tawar buruh terhadap majikannya.


Antonio Negri (2004) menolak premis Man mengenai kaum miskin. Pertama, tenaga cadangan industri sesungguhnya sudah tidak ada lagi mengingat buruh tidak lagi membentuk kesatuan yang padat dan koheren. Buruh industri saat ini hanyalah satu jenis kerja di antara berbagai jenis lainnya di dalam jejaring yang dimaknai oleh paradigma imaterial. Keterbelahan sosiai antara buruh dan penganggur menjadi semakin suniir. Di epos pasca-Fordisme seperti sekarang tidak ada lagi pekerjaan yang stabil dan terjamin. Tidak ada pekerjaan yang aman, segalanya bersifat tentatif, kontrak, out-source, dan musiman.

Kedua, tidak ada “cadangan” dalam pengertian tenaga kerja yang berada di luar proses produksi sosial. Kaum miskin, pengangguran atau tunawisma pada dasarnya subyek yang berperan aktif dalam produksi sosial masih tidak diupah. Mereka bukan tidak melakukan apa-apa. Strategi yang mereka lakoni untuk bertahan hidup sungguh luar biasa dan perlu kreativitas dan sumber daya.

Kaum miskin di sebuah desa tertinggal di Jawa Tengah, misalnya, membuat aturan memasak dengan pemakaian minyak goreng bersama. Strategi mereka untuk menghemat minyak goreng bukan sekadar memproduksi masakan, melainkan juga hubungan sosial berbasis afeksi dan solidaritas.



Sumber : Kompas
 
Back
Top