Mari Mengenal Satwa Langka

Status
Not open for further replies.
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica)


javanskij.jpg


Klasifikasi ilmiah
  • Kerajaan: Animalia
  • Filum: Chordata
  • Kelas: Mammalia
  • Ordo: Carnivora
  • Famili: Felidae
  • Genus: Panthera
  • Spesies: P. tigris
  • Upaspesies: P. t. sondaica

Harimau Jawa adalah jenis harimau yang hidup di pulau Jawa. Harimau ini dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis. Walaupun begitu, ada juga kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahun 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekor jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari harimau jawa ialah di tahun 1972. Di tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di pulau Jawa. Walaupun begitu, ada kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Di tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverifikasi.

Di akhir abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di pulau Jawa. Di tahun 1940-an, harimau jawa hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil. Ada usaha-usaha untuk menyelamatkan harimau ini dengan membuka beberapa taman nasional. Namun, ukuran taman ini terlalu kecil dan mangsa harimau terlalu sedikit. Di tahun 1950-an, ketika populasi harimau Jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Di tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri. Walaupun taman nasional ini dilindungi, banyak yang membuka lahan pertanian disitu dan membuat harimau jawa semakin terancam dan kemudian diperkirakan punah di tahun 80-an.

Harimau jawa berukuran kecil dibandingkan jenis-jenis harimau lain. Harimau jantan mempunyai berat 100-141 kg dan panjangnya kira-kira 2.43 meter. Betina berbobot legih ringan, yaitu 75-115 kg dan sedikit lebih pendek dari jenis jantan.

Di samping harimau jawa, ada dua jenis harimau yang punah di abad ke-20, yaitu Harimau Bali dan Harimau Persia. Secara biologis, harimau jawa mempunyai hubungan sangat dekat dengan harimau bali. Beberapa ahli biologi bahkan menyatakan bahwa mereka adalah satu spesies. Namun, banyak juga yang membantah pernyataan ini.

Pro dan kontra tentang Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) telah mengusik perhatian berbagai kalangan karena sejak lama dinyatakan punah. Simposium harimau internasional di New Delhi 1979 menyatakan, binatang liar ini diperkirakan tinggal 5 ekor di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Foto terakhir Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) berhasil diabadikan Hoogerwerf pada tahun 1930 di Taman Nasional Ujung Kulon.

Namun demikian polemik keberadaan satwa liar tersebut muncul kembali setelah anggota Kapalla Indonesia yang ikut tim ekspedisi Meru Betiri dan UGM, Didik Raharyono, SSi menyatakan menemukan indikasi masih adanya Harimau Jawa (P. tigris sondaica) di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Agustus 1997 lalu. Ekspedisi bersama Balai TNMB dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (DirJen PHPA) tersebut menemukan jejak sekunder. Masing-masing berupa cakaran di pohon, rambut, kotoran dan bekas tapak kaki ditanah. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Fakultas Biologi UGM lalu melakukan pemotretan hasil tes mikroskopik pada rambut yang berada di sekitar cakaran di pohon. Hasilnya menunjukkan morfologi yang sama dengan rambut harimau jawa (P. tigris sondaica).

Namun sebagian peserta masih meragukan, mengingat selain harimau, hutan di Jawa juga masih dipenuhi dengan berbagai jenis macan dan kucing besar. Kondisi tersebut bisa mengaburkan hasil penemuan sekunder di TNMB. Berbeda dengan di Sumatera, bila ditemukan data-data sekunder seperti itu, dapat dipastikan merupakan tanda-tanda harimau Sumatera (P. tigris sumatrae). Hingga saat ini penempatan fototrap di beberapa lokasi masih belum mampu mendapatkan gambar fisik hewan tersebut. Oleh karena itu sampai saat ini keberadaan harimau jawa tersebut masih merupakan misteri.



Source:
WWF
Wikipedia
Alamendah.wordpress.com
 
Last edited:
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Macan tutul jawa


hal19atas-Macan-pairs.jpg


Klasifikasi ilmiah
  • Kerajaan: Animalia
  • Filum: Chordata
  • Kelas: Mammalia
  • Ordo: Carnivora
  • Famili: Felidae
  • Genus: Panthera
  • Spesies: P. pardus
  • Upaspesies: P. P. melas
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) adalah salah satu subspesies dari macan tutul yang hanya ditemukan di hutan tropis, pegunungan dan kawasan konservasi Pulau Jawa, Indonesia. Ia memiliki dua variasi: berwarna terang dan hitam (macan kumbang). Macan tutul jawa adalah satwa indentitas Provinsi Jawa Barat.

Dibandingkan dengan macan tutul lainnya, macan tutul jawa berukuran paling kecil, dan mempunyai indra penglihatan dan penciuman yang tajam. Subspesies ini pada umumnya memiliki bulu seperti warna sayap kumbang yang hitam mengilap, dengan bintik-bintik gelap berbentuk kembangan yang hanya terlihat di bawah cahaya terang. Bulu hitam Macan Kumbang mungkin merupakan hasil evolusi dalam beradaptasi dengan habitat hutan yang lebat dan gelap. Macan Kumbang betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan.

Hewan ini soliter, kecuali pada musim berbiak. Ia lebih aktif berburu mangsa di malam hari. Mangsanya yang terdiri dari aneka hewan lebih kecil biasanya diletakkan di atas pohon.

Macan tutul merupakan satu-satunya kucing besar yang masih tersisa di Pulau Jawa. Frekuensi tipe hitam (kumbang) relatif tinggi. Warna hitam ini terjadi akibat satu alel resesif yang dimiliki hewan ini.

Sebagian besar populasi macan tutul dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, meskipun di semua taman nasional di Jawa dilaporkan pernah ditemukan hewan ini, mulai dari Ujung Kulon hingga Baluran. Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan, penangkapan liar, serta daerah dan populasi dimana hewan ini ditemukan sangat terbatas, macan tutul jawa dievaluasikan sebagai Kritis sejak 2007 di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix I. Satwa ini dilindungi di Indonesia, yang tercantum di dalam UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999.

-dipi-
 
Last edited:
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Harimau Sumatera

harimau-sum.jpg


Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Mammalia
* Ordo: Carnivora
* Famili: Felidae
* Genus: Panthera
* Spesies: P. tigris
* Upaspesies: P. t. sumatrae

Harimau Sumatra atau dalam bahasa latin disebut Panthera tigris sumatrae merupakan satu dari lima subspisies harimau (Panthera tigris) di dunia yang masih bertahan hidup. Harimau Sumatera termasuk satwa langka yang juga merupakan satu-satunya sub-spisies harimau yang masih dipunyai Indonesia setelah dua saudaranya Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah.

Hewan dari filum Chordata ini hanya dapat diketemukan di Pulau Sumatera, Indonesia. Populasinya di alam liar diperkirakan tinggal 400–500 ekor. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) semakin langka dan dikategorikan sebagai satwa yang terancam punah.

Asal usul

Harimau dipercaya merupakan keturunan hewan pemangsa zaman purba yang dikenal sebagai Miacids. Miacids hidup pada akhir zaman Cretaceous kira-kira 70-65 juta tahun yang lalu semasa zaman dinosaurus di Asia Barat (Andrew Kitchener, “The Natural History of Wild Cats”). Harimau kemudian berkembang di kawasan timur Asia di China dan Siberia sebelum berpecah dua, salah satunya bergerak ke arah hutan Asia Tengah di barat dan barat daya menjadi harimau Caspian. Sebagian lagi bergerak dari Asia Tengah ke arah kawasan pergunungan barat, dan seterusnya ke Asia tenggara dan kepulauan Indonesia, sebagiannya lagi terus bergerak ke barat hingga ke India (Hemmer,1987).

Harimau Sumatera dipercaya terasing ketika permukaan air laut meningkat pada 6.000 hingga 12.000 tahun silam. Uji genetik mutakhir telah mengungkapkan tanda-tanda genetik yang unik, yang menandakan bahwa subspesies ini mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan subspisies harimau lainnya dan sangat mungkin berkembang menjadi spesies terpisah, bila berhasil lestari.

Ciri-ciri dan Habitat

Harimau Sumatra adalah subspesies harimau terkecil. Harimau Sumatera mempunyai warna paling gelap diantara semua subspesies harimau lainnya, pola hitamnya berukuran lebar dan jaraknya rapat bahkan terkadang dempet.

Harimau Sumatra jantan memiliki panjang rata-rata 92 inci dari kepala hingga ke ekor dengan berat 300 pound. Betinanya rata-rata memiliki panjang 78 inci dan berat 200 pound. Belang harimau sumatra lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Subspesies ini juga punya lebih banyak janggut serta surai dibandingkan subspesies lain, terutama harimau jantan.

three_legged_tiger_01.jpg


Ukurannya yang kecil memudahkannya menjelajahi rimba. Terdapat selaput di sela-sela jarinya yang menjadikan mereka mampu berenang cepat. Harimau ini diketahui menyudutkan mangsanya ke air, terutama bila binatang buruan tersebut lambat berenang. Bulunya berubah warna menjadi hijau gelap ketika melahirkan.

Harimau Sumatra hanya ditemukan di pulau Sumatra. Kucing langka ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi.

Makanan harimau sumatra tergantung tempat tinggalnya dan seberapa berlimpah mangsanya. Harimau sumatra merupakan hewan soliter yang berburu di malam hari. Kucing ini mengintai mangsanya dengan sabar sebelum menyerang dari belakang atau samping. Mereka memakan apapun yang dapat ditangkap, umumnya celeng dan rusa, dan terkadang unggas,ikan, dan Orangutan. Menurut penduduk setempat harimau sumatra juga gemar makan durian.

Harimau Sumatera juga mampu berenang dan memanjat pohon ketika memburu mangsa. Luas kawasan perburuan harimau Sumatera tidak diketahui dengan tepat, tetapi diperkirakan bahwa 4-5 ekor harimau Sumatera dewasa memerlukan kawasan jelajah seluas 100 kilometer.

Konservasi

Hingga sekarang diperkirakan hanya tersisa 400-500 ekor Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang masih bertahan di alam bebas. Selain itu terdapat sedikitnya 250 ekor Harimau Sumatera yang dipelihara di berbagai kebun binatang di seluruh penjuru dunia.

Pengrusakan habitat adalah ancaman terbesar terhadap populasi harimau sumatera saat ini. Pembalakan hutan tetap berlangsung bahkan di taman nasional yang seharusnya dilindungi. Tercatat 66 ekor harimau terbunuh antara tahun 1998 hingga 2000.

Dalam upaya penyelamatan harimau Sumatera dari kepunahan, Taman Safari Indonesia ditunjuk oleh 20 kebun binatang di dunia sebagai Pusat Penangkaran Harimau Sumatera, studbook keeper dan tempat penyimpanan sperma (Genome Rescue Bank) untuk harimau Sumatera.

Reproduksi

Harimau sumatra dapat berbiak kapan saja. Masa kehamilan adalah sekitar 103 hari. Biasanya harimau betina melahirkan 2 atau 3 ekor anak harimau sekaligus, dan paling banyak 6 ekor. Mata anak harimau baru terbuka pada hari kesepuluh, meskipun anak harimau di kebun binatang ada yang tercatat lahir dengan mata terbuka. Anak harimau hanya minum air susu induknya selama 8 minggu pertama. Sehabis itu mereka dapat mencoba makanan padat, namun mereka masih menyusu selama 5 atau 6 bulan. Anak harimau pertama kali meninggalkan sarang pada umur 2 minggu, dan belajar berburu pada umur 6 bulan. Mereka dapat berburu sendirian pada umur 18 bulan, dan pada umur 2 tahun anak harimau dapat berdiri sendiri. Harimau sumatra dapat hidup selama 15 tahun di alam liar, dan 20 tahun dalam kurungan.

-dipi-
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Elang Jawa

elang-jawa2.jpg



Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia.
* Filum: Chordata.
* Kelas: Aves.
* Ordo: Falconiformes.
* Famili: Accipitridae.
* Genus: Spizaetus.
* Spesies: S. bartelsi.


Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) adalah burung nasional Indonesia karena kemiripannya dengan Garuda dan juga merupakan simbol jenis satwa langka di Indonesia. Elang Jawa hanya terdapat di Pulau Jawa dan penyebarannya terbatas di hutan-hutan. Sebagai predator puncak, Elang Jawa memainkan peran yang penting dalam menjaga keseimbangan dan fungsi dari bioma hutan di Jawa. Elang Jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa terlangka di dunia. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori Endangered atau "Genting" (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995).

“Saat ini populasi elang jawa yang ada tercatat sebanyak 19 ekor dan sebelumnya mencapai 200 ekor,” kata Petugas Pengendalian Ekosistem Hutan di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Dede Nugraha. Menurut dia, menyusutnya populasi burung yang dilindungi pemerintah itu disebabkan tanaman hutan yang dijadikan sumber makanan menipis bahkan beberapa titik menghilang akibat adanya penebangan liar.

Hingga saat ini, berdasarkan hasil monitoring di lapangan hanya sebanyak 19 ekor burung elang jawa yang masih berkeliaran di kawasan hutan konservasi TNGHS. Akan tetapi, satwa langka itu hingga sekarang belum juga berkembang-biak karena adanya kerusakan kawasan hutan taman nasional itu.

Identifikasi

Elang yang bertubuh sedang sampai besar, langsing, dengan panjang tubuh antara 60-70 cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor).

Kepala berwarna coklat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 cm) dan tengkuk yang coklat kekuningan (kadang nampak keemasan bila terkena sinar matahari). Jambul hitam dengan ujung putih; mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Kerongkongan keputihan dengan garis (sebetulnya garis-garis) hitam membujur di tengahnya. Ke bawah, ke arah dada, coret-coret hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan pucat, yang pada akhirnya di sebelah bawah lagi berubah menjadi pola garis (coret-coret) rapat melintang merah sawomatang sampai kecoklatan di atas warna pucat keputihan bulu-bulu perut dan kaki. Bulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari. Ekor kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Betina berwarna serupa, sedikit lebih besar.

Iris mata kuning atau kecoklatan; paruh kehitaman; sera (daging di pangkal paruh) kekuningan; kaki (jari) kekuningan. Burung muda dengan kepala, leher dan sisi bawah tubuh berwarna coklat kayu manis terang, tanpa coretan atau garis-garis.

Ketika terbang, elang Jawa serupa dengan elang brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil.

Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara elang brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.

Penyebaran, Ekologi dan Konservarsi

Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng.

Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m dpl.

Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya. Walaupun ditemukan elang yang menggunakan hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.

Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Dengan sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet.

Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telur berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari.

Pohon sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan ki sireum (Eugenia clavimyrtus). Tidak selalu jauh berada di dalam hutan, ada pula sarang-sarang yang ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari tempat rekreasi.

Di habitatnya, elang Jawa menyebar jarang-jarang. Sehingga meskipun luas daerah agihannya, total jumlahnya hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor. Populasi yang kecil ini menghadapi ancaman besar terhadap kelestariannya, yang disebabkan oleh kehilangan habitat dan eksploitasi jenis. Pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di Jawa. Dalam pada itu, elang ini juga terus diburu orang untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Karena kelangkaannya, memelihara burung ini seolah menjadi kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya menjadikan harga burung ini melambung tinggi.

Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan tekanan tinggi yang dihadapi itu, organisasi konservasi dunia IUCN memasukkan elang Jawa ke dalam status EN (Endangered, terancam kepunahan). Demikian pula, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang.

-dipi-
 
Last edited:
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Jalak Bali

bali_barat.jpg



Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Aves
* Ordo: Passeriformes
* Famili: Sturnidae
* Genus: Leucopsar
Stresemann, 1912
* Spesies: L. rothschildi


Pertama kali dilaporkan penemuannya oleh Dr. Baron Stressmann seorang ahli burung berkebangsaan Inggeris pada tanggal 24 Maret 1911. Atas rekomendasi Stressmann, Dr. Baron Victor Von Plessenn mengadakan penelitian lanjutan (tahun 1925) dan menemukan penyebaran burung Jalak Bali mulai dari Bubunan sampai dengan Gilimanuk dengan perkiraan luas penyebaran 320 km2. Pada tahun 1928 sejumlah 5 ekor Jalak Bali di bawa ke Inggeris dan berhasil dibiakkan pada tahun 1931. Kebun Binatang Sandiego di Amerika Serikat mengembangbiakkan Jalak Bali dalam tahun 1962 (Rindjin, 1989).

Status
  • Sejak tahun 1966, IUCN ( International Union for Conservation of Natur and Natural Resources) telah memasukan Jalak bali ke dalam Red Data Book, yaitu buku yang memuat jenis flora dan fauna yang terancam punah.
  • Dalam konvensi perdagangan internasional bagi jasad liar CITES ( Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora) Jalak bali ter daftar dalam Appendix I, yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan.
  • Pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/70 tanggal 26 Agustus 1970, yang menerangkan antara lain burung Jalak Bali dilindungi undang-undang.
  • Dikatagorikan sebagai jenis satwa endemik Bali, yaitu satwa tersebut hanya terdapat di Pulau Bali (saat ini hanya di dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat), dan secara hidupan liar tidak pernah dijumpai dibelahan bumi manapun di dunia ini.
  • Oleh Pemerintah Daerah Propinsi Bali dijadikan sebagai Fauna Symbol Propinsi Bali.
Adapun ciri-ciri/karakteristik dari Jalak Bali dapat dikemukakan sebagai berikut :

  • Bulu
    Sebagian besar bulu Jalak Bali berwarna putih bersih, kecuali bulu ekor dan ujung sayapnya berwarna hitam.
  • Mata
    Mata berwarna coklat tua, daerah sekitar kelopak mata tidak berbulu dengan warna biru tua.
  • Jambul
    Burung Jalak Bali mempunyai jambul yang indah, baik pada jenis kelamin jantan maupun pada betina.
  • Kaki
    Jalak Bali mempunyai kaki berwarna abu-abu biru dengan 4 jari jemari (1 ke belakang dan 3 ke depan).
  • Paruh
    Paruh runcing dengan panjang 2 - 5 cm, dengan bentuk yang khas dimana pada bagian atasnya terdapat peninggian yang memipih tegak. Warna paruh abu-abu kehitaman dengan ujung berwarna kuning kecoklat-coklatan.
  • Ukuran
    Sulit membedakan ukuran badan burung Jalak Bali jantan dan betina, namun secara umum yang jantan agak lebih besar dan memiliki kuncir yang lebih panjang.
  • Telur
    Jalak Bali mempunyai telur berbentuk oval berwarna hijau kebiruan dengan rata-rata diameter terpanjang 3 cm dan diameter terkecil 2 cm.
Di habitat (alam) Jalak Bali menunjukkan proses berbiak pada periode musim penghujan, berkisar pada bulan Nopember sampai dengan Mei. Habitat terakhir Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat hanya terdapat di Semenanjung Prapat Agung (tepatnya Teluk Brumbun dan Teluk Kelor). Hal ini menarik karena dalam catatan sejarah penyebaran Jalak Bali pernah sampai ke daerah Bubunan - Singaraja ± 50 km sebelah Timur kawasan.

Dikarenakan penampilannya yang indah dan elok, Jalak Bali merupakan salah satu burung yang paling diminati oleh para kolektor dan pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas menyebabkan populasi Jalak Bali cepat menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Untuk mencegah hal ini sampai terjadi, sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia menjalankan program penangkaran Jalak Bali.

-dipi-
 
Last edited:
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Tarsius


tarsius+bancanus.jpg


Klasifikasi ilmiah

  • Kerajaan: Animalia
  • Filum: Chordata
  • Kelas: Mammalia
  • Ordo: Primata
  • Upaordo: Haplorrhini
  • Infraordo: Tarsiiformes
    Gregory, 1915
  • Famili: Tarsiidae
    Gray, 1825
  • Genus: Tarsius
    Storr, 1780
Tarsius (diantaranya Tarsius tarsier dan Tarsius pumilus) adalah binatang unik dan langka. Primata kecil ini sering disebut sebagai monyet terkecil di dunia, meskipun satwa ini bukan monyet. Sedikitnya terdapat 9 jenis Tarsius yang ada di dunia. 2 jenis berada di Filipina sedangkan sisanya, 7 jenis terdapat di Sulawesi Indonesia. Yang paling dikenal adalah dua jenis yang terdapat di Indonesia yaitu Tarsius tarsier (Binatang Hantu / Kera Hantu) dan Tarsius pumilus (tarsius kerdil, krabuku kecil atau Pygmy tarsier). Kesemua jenis tarsius termasuk binatang langka dan dilindungi di Indonesia.

Nama Tarsius diambil berdasarkan ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar.

kot37055_0602ta.jpg


Tarsius memang layak disebut sebagai primata mungil karena hanya memiliki panjang sekitar 10-15 cm dengan berat sekitar 80 gram. Bahkan Tarsius pumilus atau Pygmy tersier yang merupakan jenis tarsius terkecil hanya memiliki panjang tubuh antara 93-98 milimeter dan berat 57 gram. Panjang ekornya antara 197-205 milimeter.

Ciri-ciri fisik tarsius yang unik lainnya adalah ukuran matanya yang sangat besar. Ukuran mata tarsius lebih besar ketimbang ukuran otaknya. Ukuran matanya yang besar ini sangat bermanfaat bagi makhluk nokturnal (melakukan aktifitas pada malam hari) ini sehingga mampu melihat dengan tajam dalam kegelapan malam.

Tarsius juga memiliki kepala yang unik karena mampu berputar hingga 180 derajat ke kanan dan ke kiri seperti burung hantu. Telinga satwa langka ini pun mampu digerak-gerakkan untuk mendeteksi keberadaan mangsa.

Sebagai makhluk nokturnal, tarsius hanya beraktifitas pada sore hingga malam hari sedangkan siang hari lebih banyak dihabiskan untuk tidur. Oleh sebab itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah serangga seperti kecoa, jangkrik. Namun terkadang satwa yang dilindungi di Indonesia ini juga memangsa reptil kecil, burung, dan kelelawar.

Habitatnya adalah di hutan-hutan Sulawesi Utara hingga Sulawesi Selatan, juga di pulau-pulau sekitar Sulawesi seperti Suwu, Selayar, Siau, Sangihe dan Peleng. Di Taman Nasional Bantimurung dan Hutan lindung Tangkoko di Bitung, Sulawesi Utara. Di sini wisatawan secara mudah dan teratur bisa menikmati satwa unik di dunia itu. Tarsius juga dapat ditemukan di Filipina (Pulau Bohol). Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Tarsius lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “balao cengke” atau “tikus jongkok” jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia.

Tarsius menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan ini menandai pohon daerah teritori mereka dengan urine. Tarsius berpindah tempat dengan cara melompat dari pohon ke pohon dengan lompatan hingga sejauh 3 meter. Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan dengan terus bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak dapat berjalan di atas tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.

Populasi satwa langka tarsius, primata terkecil di dunia yang hidup di hutan-hutan Sulawesi diperkirakan tersisa 1.800. Ini menurun drastis jika dibandingkan 10 tahun terakhir dimana jumlah satwa yang bernama latin Tarsius spectrum ini, masih berkisar 3.500 ekor. Bahkan untuk Tarsius pumilus, diduga amat langka karena jarang sekali diketemukan lagi.

Penurunan populasi tarsius dikarenakan rusaknya hutan sebagai habitat utama satwa langka ini. Selain itu tidak sedikit yang ditangkap masyarakat untuk dikonsumsi dalam pesta anak muda. Binatang yang dilindungi ini digunakan sebagai camilan saat meneguk minuman beralkohol cap tikus.

Satu lagi, bintang langka dan unik ini sangat sulit untuk dikembangbiakan di luar habitatnya. Bahkan jika ditempatkan dalam kurungan, tarsius akan melukai dirinya sendiri hingga mati karena stres.

-dipi-
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Badak Jawa

badakjawa.jpg


Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Mammalia
* Ordo: Perissodactyla
* Famili: Rhinocerotidae
* Genus: Rhinoceros
* Spesies: R. sondaicus


Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah salah satu spesies satwa terlangka di dunia dengan perkiraan jumlah populasi tak lebih dari 60 individu di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), dan sekitar delapan individu di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam (2000). Badak Jawa juga adalah spesies badak yang paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia dan masuk dalam Daftar Merah badan konservasi dunia IUCN, yaitu dalam kategori sangat terancam atau critically endangered.

Badak diyakini telah ada sejak jaman tertier (65 juta tahun yang lalu). Seperti halnya Dinosaurus yang telah punah, Badak pada 60 juta tahun yang lalu memiliki 30 jenis banyak mengalami kepunahan. Saat ini hanya tersisa 5 spesies Badak, 2 spesies diantaranya terdapat di Indonesia.

Ciri-ciri Fisik Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus)

Badak Jawa umumnya memiliki warna tubuh abu-abu kehitam-hitaman. Memiliki satu cula, dengan panjang sekitar 25 cm namun ada kemungkinan tidak tumbuh atau sangat kecil sekali pada betina. Berat badan seekor Badak Jawa dapat mencapai 900 – 2300 kg dengan panjang tubuh sekitar 2 – 4 m. Tingginya bisa mencapai hampir 1,7 m.

Kulit Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus) memiliki semacam lipatan sehingga tampak seperti memakai tameng baja. Memiliki rupa mirip dengan badak India namun tubuh dan kepalanya lebih kecil dengan jumlah lipatan lebih sedikit. Bibir atas lebih menonjol sehingga bisa digunakan untuk meraih makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Badak termasuk jenis pemalu dan soliter (penyendiri).

Populasi Badak Jawa

Di Indonesia, Badak Jawa dahulu diperkirakan tersebar di Pulau Sumatera dan Jawa. Di Sumatera saat itu badak bercula satu ini tersebar di Aceh sampai Lampung. Di Pulau Jawa, badak Jawa pernah tersebar luas diseluruh Jawa.

Badak Jawa kini hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUT), Banten. Selain di Indonesia Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus) juga terdapat di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Individu terakhir yang di luar TNUT, ditemukan ditembak oleh pemburu di Tasikmalaya pada tahun 1934. Sekarang specimennya disimpan di Museum Zoologi Bogor.

Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi. Berdasarkan sensus populasi Badak Jawa yang dilaksanakan oleh Balai TNUK, WWF – IP dan YMR pada tahun 2001 memperkirakan jumlah populasi badak di Ujung Kulon berkisar antara 50 – 60 ekor. Sensus terakhir yang dilaksanakan Balai TN Ujung Kulon tahun 2006 diperkirakan kisaran jumlah populasi badak Jawa adalah 20 – 27 ekor. Sedangkan populasi di di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam, diperkirakan hanya 8 ekor (2007).

Populasi Badak bercula satu (Badak Jawa) yang hanya 30-an ekor ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan populasi saudaranya, Badak Sumatera yang diperkirakan berkisar antara 215 -319 ekor. Juga jauh lebih sedikit ketimbang populasi satwa lainnya seperti Harimau Sumatera (400-500 ekor), Elang Jawa (600-an ekor), Anoa (5000 ekor).

Konservasi dan Perlindungan Badak Jawa

Pada tahun 1910 badak Jawa sebagai binatang liar secara resmi telah dilindungi Undang-Undang oleh Pemerintah Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1921 berdasarkan rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for Protection of Nature, Ujung Kulon oleh pemerintah Belanda dinyatakan sebagai Cagar Alam. Keadaan ini masih berlangsung terus sampai status Ujung Kulon diubah menjadi Suaka Margasatwa di bawah pengelolaan Jawatan Kehutanan dan Taman Nasional pada tahun 1982.

Badak Jawa (Badak bercula satu) yang hidup berkumpul di satu kawasan utama sangat rentan terhadap kepunahan yang dapat diakibatkan oleh serangan penyakit, bencana alam seperti tsunami, letusan gunung Krakatau, gempa bumi. Selain itu, badak ini juga kekurangan ruang jelajah dan sumber akibat invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng.

Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu juga merupakan habitat badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat, baik, dan memenuhi kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru. Habitat ini juga akan menjamin keamanan populasinya.

-dipi-
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Kelinci Sumatera

nesolagus_netscheri__tv_cuong.jpg


Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Mammalia
* Ordo: Lagomorpha
* Famili: Leporidae
* Genus: Nesolagus
* Spesies: N. netscheri


Kelinci Sumatra (Nesolagus netscheri), juga dikenal dengan nama Kelinci Sumatra telinga pendek atau Kelinci belang Sumatra, adalah jenis kelinci liar yang hanya dapat ditemukan di hutan tropis di pegunungan Bukit Barisan di pulau Sumatra, Indonesia. Populasi kelinci Sumatra mengalami penurunan yang signifikan yang diakibatkan oleh perambahan hutan yang agresif di pulau Sumatra.

kelinci_belang.jpg


Berukuran sekitar 40 cm panjangnya, kelinci Sumatra memiliki garis-garis kecoklatan, dengan ekor berwarna merah, dan bawah perutnya berwarna putih. Biasanya tinggal di hutan dengan ketinggian 600-1400 meter dari permukaan laut. Kelinci ini merupakan hewan nokturnal, dengan menempati bekas atau liang hewan lain. Makanannya adalah pucuk daun muda dan tanaman yang berukuran pendek, namun kelinci hutan yang ditangkarkan memakan biji-bijian dan buah-buahan.

Pengamatan telah dilaporkan sejak tahun 1972 sebanyak 3 kali, paling baru adalah akhir Januari 2007 ketika kamera jebakan dipasang di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan CITES, dengan status konversinya adalah kritis.
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Bekantan


bekantan.jpg


Klasifikasi ilmiah
  • Kerajaan: Animalia
  • Filum: Chordata
  • Kelas: Mammalia
  • Ordo: Primata
  • Famili: Cercopithecidae
  • Upafamili: Colobinae
  • Genus: Nasalis
    É. Geoffroy, 1812
  • Spesies: N. larvatus
Bekantan atau biasa disebut Monyet Belanda merupakan satwa endemik Pulau Kalimantan (Indonesia, Brunei, dan Malaysia). Bekantan merupakan sejenis kera yang mempunyai ciri khas hidung yang panjang dan besar dengan rambut berwarna coklat kemerahan. Dalam bahasa ilmiah, Bekantan disebut Nasalis larvatus.

Bekantan dalam bahasa latin (ilmiah) disebut Nasalis larvatus, sedang dalam bahasa inggris disebut Long-Nosed Monkey atau Proboscis Monkey. Di negara-negara lain disebut dengan beberapa nama seperti Kera Bekantan (Malaysia), Bangkatan (Brunei), Neusaap (Belanda). Masyarakat Kalimantan sendiri memberikan beberapa nama pada spesies kera berhidung panjang ini seperti Kera Belanda, Pika, Bahara Bentangan, Raseng dan Kahau.

Bekantan yang merupakan satu dari dua spesies anggota Genus Nasalis ini sebenarnya terdiri atas dua subspesies yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis. Nasalis larvatus larvatus terdapat dihampir seluruh bagian pulau Kalimantan sedangkan Nasalis larvatus orientalis terdapat di bagian timur laut dari Pulau Kalimantan.

Binatang yang oleh IUCN Redlist dikategorikan dalam status konservasi “Terancam” (Endangered) merupakan satwa endemik pulau Kalimantan. Satwa ini dijadikan maskot (fauna identitas) provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan SK Gubernur Kalsel No. 29 Tahun 1990 tanggal 16 Januari 1990. Selain itu, satwa ini juga menjadi maskot Dunia Fantasi Ancol.

Ciri-ciri dan Habitat Bekantan.

Hidung panjang dan besar pada Bekantan (Nasalis larvatus) hanya dimiliki oleh spesies jantan. Fungsi dari hidung besar pada bekantan jantan masih tidak jelas, namun ini mungkin disebabkan oleh seleksi alam. Kera betina lebih memilih jantan dengan hidung besar sebagai pasangannya. Karena hidungnya inilah, bekantan dikenal juga sebagai Monyet Belanda.

Bekantan jantan berukuran lebih besar dari betina. Ukurannya dapat mencapai 75 cm dengan berat mencapai 24 kg. Kera Bekantan betina berukuran sekitar 60 cm dengan berat 12 kg. Spesies ini juga memiliki perut yang besar (buncit). Perut buncit ini sebagai akibat dari kebiasaan mengkonsumsi makanannya yang selain mengonsumsi buah-buahan dan biji-bijian mereka juga memakan dedaunan yang menghasilkan banyak gas pada waktu dicerna.

Bekantan (Nasalis larvatus) hidup secara berkelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seekor Bekantan jantan yang besar dan kuat. Biasanya dalam satu kelompok berjumlah sekitar 10 sampai 30 ekor.

Satwa yang dilindungi ini lebih banyak menghabiskan waktu di atas pohon. Walaupun demikian Bekantan juga mampu berenang dan menyelam dengan baik, terkadang terlihat berenang menyeberang sungai atau bahkan berenang dari satu pulau ke pulau lain.

Seekor Bekantan betina mempunyai masa kehamilan sekitar166 hari atau 5-6 bulan dan hanya melahirkan 1 (satu) ekor anak dalam sekali masa kehamilan. Anak Bekantan ini akan bersama induknya hingga menginjak dewasa (berumur 4-5 tahun).

Habitat Bekantan (Nasalis larvatus) masih dapat dijumpai di beberapa lokasi antara lain di Suaka Margasatwa (SM) Pleihari Tanah Laut, SM Pleihari Martapura, Cagar Alam (CA) Pulau Kaget, CA Gunung Kentawan, CA Selat Sebuku dan Teluk Kelumpang. Juga terdapat di pinggiran Sungai Barito, Sungai Negara, Sungai Paminggir, Sungai Tapin, Pulau Bakut dan Pulau Kembang.

Konservasi Bekantan.

Bekantan (Nasalis larvatus) oleh IUCN Redlist sejak tahun 2000 dimasukkan dalam status konservasi kategori Endangered (Terancam Kepunahan) setelah sebelumnya masuk kategori “Rentan” (Vulnerable; VU). Selain itu Bekantan juga terdaftar pada CITES sebagai Apendix I (tidak boleh diperdagangkan secara internasional)

Pada tahun 1987 diperkirakan terdapat sekitar 260.000 Bekantan di Pulau Kalimantan saja tetapi pada tahun 2008 diperkirakan jumlah itu menurun drastis dan hanya tersisa sekitar 25.000. Hal ini disebabkan oleh banyaknya habitat yang mulai beralih fungsi dan kebakaran hutan.
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Babirusa


babirusa.jpg


Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Mammalia
* Ordo: Artiodactyla
* Famili: Suidae
* Genus: Babyrousa
* Spesies: B. babyrussa


Babirusa (Babyrousa babirussa) hanya terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang.

Panjang tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada 65-80 sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Meskipun bersifat penyendiri, pada umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya.

Binatang yang pemalu ini bisa menjadi buas jika diganggu. Taringnya panjang mencuat ke atas, berguna melindungi matanya dari duri rotan. Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu akan disusui selama satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa betina hanya melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babirusa lima hingga 10 bulan, dan dapat bertahan hingga usia 24 tahun.

Mereka sering diburu penduduk setempat untuk dimangsa atau sengaja dibunuh karena merusak lahan pertanian dan perkebunan. Populasi hewan yang juga memangsa larva ini kian sedikit hingga termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi. Jumlah mereka diperkirakan tinggal 4000 ekor dan hanya terdapat di Indonesia.

Sejak tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan CITES. Namun masih sering dijumpai perdagangan daging babirusa di daerah Sulawesi Utara. Karena itu, pusat penelitian dan pengembangan biologi LIPI bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat beserta Departemen Kehutanan dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan program perlindungan terhadap hewan langka ini. Perlindungan tersebut meliputi pengawasan habitat babirusa dan membuat taman perlindungan babirusa di atas tanah seluas 800 hektar.

ket. tambahan : Penulisan yang benar untuk hewan ini adalah Babirusa bukan Babi Rusa.
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Wah, thanks banget infonya nih, saya pasti selalu penasaran dengan semua tulisan Mbak Dipi. Pingin juga sih nge-joke sekalian masukin trio macan disini
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Baning Sulawesi

3-3-0010.jpg


Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Reptilia
* Ordo: Testudines
* Famili: Testudinidae
* Genus: Indotestudo
* Spesies: I. forstenii


Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) adalah sejenis kura-kura darat dari Sulawesi. Hewan ini menyebar cukup luas dari perbukitan Lembah Palu sampai sekitar Gorontalo. Dalam bahasa Inggris kura-kura ini dikenal sebagai Forsten’s Tortoise atau Sulawesi Tortoise.

Kura-kura jenis ini identik dengan kerabatnya dari India, Indotestudo travancorica. Oleh sebab itu sebagian pakar pada mulanya mengira bahwa baning ini merupakan jenis introduksi. Akan tetapi mengingat sebarannya yang cukup luas di Sulawesi, kura-kura ini bisa jadi merupakan jenis yang tersendiri. Belakangan, studi yang dilakukan oleh Iverson dkk. (2001) membuktikan hal ini.

Meski demikian, dari segi kelestarian jenis, daerah sebaran seluas itu masih terhitung sempit. Habitat baning Sulawesi adalah hutan musim dan pamah campuran. Habitatnya di perbukitan Lembah Palu dicirikan oleh adanya dominasi tumbuhan Centong Duri (Opuntia nigricans, Euphorbiaceae).

Ditambah dengan keadaan populasinya yang tak seberapa, baning Sulawesi dikatagorikan mudah terancam punah. Terutama oleh ancaman eksploitasi yang berlebihan dan kehilangan habitat. Oleh sebab itu IUCN memasukkan baning Sulawesi ke dalam status Endangered (EN, terancam kepunahan) , dan CITES memasukkannya ke dalam Appendiks II. Hewan ini belum dilindungi oleh undang-undang RI.

-dipi-
 
Last edited:
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Mentok Rimba


mentok-rimba-cegah-satwa-punah.jpg



Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Aves
* Ordo: Anseriformes
* Famili: Anatidae
* Genus: Cairina
* Spesies: C. scutulata


Mentok Rimba atau dalam bahasa ilmiahnya Cairina scutulata bisa dikatakan sebagai jenis bebek paling langka di dunia. Populasinya di seluruh dunia sangat langka, diperkirakan hanya tersisa sekitar 1000 ekor. Sekitar 150 ekor terdapat di Taman Nasional Way Kambas, salah satu habitat Mentok Hutan yang tersisa di Indonesia.

Mentok Rimba dikenal juga sebagai Mentok Hutan, Serati, Bebek Hutan atau Angsa Hutan dan dalam bahasa inggris dikenal sebagai White-winged Wood Duck. Spesies ini termasuk salah satu burung air dari suku Anatidae (bebek).

Mentok Rimba (Cairina scutulata) nyaris mirip dengan spesies Bebek Manila (Cairina moschata) yang sering dipelihara. Mentok berukuran besar antara 66-75 cm. Bentuknya hampir menyerupai bebek. Warna bulunya gelap dan kepala serta lehernya keputih-putihan. Penutup sayap kecil putih, penutup sayap tengah dan spekulum abu-abu biru.

Mentok Rimba berhabitat di lahan basah yang dekat dengan rawa-rawa. Burung jenis ini suka sekali bersembunyi di siang hari dan pada malam hari mereka juga dapat aktif mencari makan sendiri, berpasangan, maupun berkelompok 6-8 ekor.

Karena hidupnya di lahan basah (air), maka pembangunan listrik tenaga air dan polusi manusia menjadi ancaman terbesar bagi mereka. Selain itu, penurunan polulasinya juga diakibatkan oleh kerusakan, degradasi, dan gangguan habitatnya termasuk kehilangan koridor hutan di tepi sungai. Polulasinya yang tinggal sedikit ini sangat beresiko terhadap kepunahan.

Habitat Mentok Rimba tersisa di Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, Myanmar, Indonesia, India, dan Bangladesh dengan jumlah populasi tidak mencapai 1000 ekor. Di Indonesia, semula Mentok Rimba ini dapat dijumpai di Jawa dan Sumatera, namun kini bebek jenis ini telah punah di Jawa. Sedangkan di Sumatera diperkirakan hanya bertahan di Taman Nasional Way Kambas dengan populasi sekitar 150 ekor.

Jumlah populasi dan penyebarannya menjadikan IUCN Redlist memasukkan Mentok Rimba dalam kategori Endangered (EN / Genting) yang berarti terancam kepunahan. Status ini sama persis seperti yang disandang oleh Burung Maleo.

-dipi-
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Merak Hijau


merak-hijau.jpg


Klasifikasi ilmiah

* Kerajaan: Animalia
* Filum: Chordata
* Kelas: Aves
* Ordo: Galliformes
* Famili: Phasianidae
* Genus: Pavo
* Spesies: P. muticus


Merak Hijau (Green Peafowl) yang dalam bahasa ilmiah disebut Pavu muticus adalah salah satu dari tiga spesies merak yang terdapat di dunia. Satwa yang terdapat di Cina, Vietnam dan Indonesia ini mempunyai bulu-bulu yang indah. Apalagi Merak Hijau jantan yang memiliki ekor panjang yang mampu mengembang bagai kipas. Namun justru karena keindahan itu yang membawa petaka bagi kehidupan satwa langka dan dilindungi ini.

Merak Hijau (Pavu muticus) mempunyai bulu yang indah yang berwarna hijau keemasan. Burung jantan dewasa berukuran sangat besar, dengan penutup ekor yang sangat panjang. Di atas kepalanya terdapat jambul tegak. Burung betina berukuran lebih kecil dari burung jantan. Bulu-bulunya kurang mengilap, berwarna hijau keabu-abuan dan tanpa dihiasi bulu penutup ekor. Mukanya memiliki aksen warna hitam di sekitar mata dan warna kuning cerah di sekitar kupingnya.

Pada musim berbiak, burung jantan memamerkan bulu ekornya di depan burung betina. Bulu-bulu penutup ekor dibuka membentuk kipas dengan bintik berbentuk mata. Burung betina menetaskan tiga sampai enam telur setelah mengeraminya pada tumpukan daun dan ranting di atas tanah selama satu bulan. Anaknya akan terus berdekatan dengan induknya hingga musim kawin berikutnya, walaupun sudah bisa terbang pada usia yang masih sangat muda.

Dalam urusan makan, burung Merak Hijau doyan aneka biji-bijian, pucuk rumput dan dedaunan, aneka serangga, serta berbagai jenis hewan kecil seperti laba-laba, cacing dan kadal kecil.

Populasi Merak Hijau tersebar di hutan terbuka dengan padang rumput di Republik Rakyat Cina, Vietnam, Myanmar dan Jawa, Indonesia. Sebelumnya Merak Hijau ditemukan juga di India, Bangladesh dan Malaysia, namun sekarang telah punah di sana. Meskipun berukuran besar, burung indah, langka, dan dilindungi ini bisa terbang.


Stavenn_Pavo_muticus_01.jpg


Di Indonesia, Merak Hijau hanya terdapat di Pulau Jawa. Habitatnya mulai dari dataran rendah hingga tempat-tempat yang tinggi. Salah satunya yang masih bisa ditemui berada di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Selain itu diperkirakan juga masih terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Meru Betiri.

Populasi Merak Hijau terus berkurang. Ini diakibatkan oleh rusaknya habitat dan perburuan liar. Burung langka yang indah ini diburu untuk diambil bulunya ataupun diperdagangkan sebagai bintang peliharaan. Untuk menghindari kepunahan burung langka ini dilindungi undang-undang. Di Pulau Jawa kini jumlah Merak Hijau (Pavu muticus) diperkirakan tidak lebih dari 800 ekor.

International Council for Bird Preservation telah menetapkan burung merak ini sebagai spesies yang hampir punah. CITES, memasukkan Merak Hijau dalam kategori Appendix II. Sedangkan Red List Authority-IUCN, pada data yang dirilis pada bulan Oktober 2009 telah menaikkan status Merak Hijau (Pavo muticus) dari vulnerable (VU atau ”rentan”) menjadi endangered (EN atau “genting”).

-dipi-
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Beo Nias

beo+nias.jpg


Berdasar penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Departemen Kehutanan, pada akhir 1996 sampai Agustus 1997, jumlah beo Nias di habitat tinggal tujuh ekor. Barangkali jumlah burung cerdas ini di pasar burung atau sangkar para pecinta burung justru lebih banyak lagi. Namun yang jelas, beo Nias kini dilindungi sebagai hewan langka dengan dasar hukum Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931, SK Mentan Tanggal 26 Agustus 1970 No. 421/Kpts/Um/8/1970, UU No. 5 Tahun 1990.

Masuk dalam bangsa Passerifosmes dan suku Strunidae, beo Nias memang berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Mereka termasuk burung berukuran sedang, dengan panjang tubuh 40 sentimeter. Bagian kepalanya berbulu pendek. Sepanjang cuping telinga menyatu di belakang kepala dan bentuknya menggelambir ke arah leher. Gelambir cuping telinga ini berwarna kuning mencolok.

Di bagian kepala juga terdapat sepasang pial yang berwarna kuning dan terdapat di sisi kepala. Iris matanya berwarna coklat gelap. Paruh runcing berwarna kuning agak oranye. Hampir seluruh badannya tertutup bulu yang berwarna hitam pekat, kecuali bagian sayap berbulu putih. Kaki berwarna kuning dengan jari-jari berjumlah empat. Tiga jari di antaranya menghadap ke depan, sedangkan yang lain menghadap ke belakang.

Mereka suka menghuni hutan-hutan rimba yang berdekatan dengan perkampungan atau tempat terbuka. Beberapa tahun silam mereka masih bisa ditemui di kawasan Pulau Nias, Pulau Babi, Pulau Tuangku, Pulau Simo dan Pulau Bangkaru. Tapi kini sudah cukup sulit untuk dicari. Maklum saja, beo Nias betina sekali bertelur hanya menghasilkan dua sampai tiga butir telur saja. Itu pun tidak semuanya bisa bertahan hingga menetas.

Jenis burung satu ini sangat senang hidup berpasangan, terkadang berkelompok. Membuat sarang di pohon-pohon berbatang tinggi dan tegak, dengan cara membuat lubang-lubang pada pohon tersebut. Sarang dibuat pada saat menjelang bertelur. Beo Nias merupakan pemakan serangga dan buah-buahan serta memiliki suara yang sangat keras, nyaring dan pintar menirukan berbagai suara.

Cara pemeliharaan yang paling tepat bagi burung ini adalah secara ex-situ (di luar habitat asli) di kebun binatang, taman burung dan penangkaran.

-dipi-
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Junai Mas


Stavenn_Caloenas_nicobarica_00.jpg


Klasifikasi ilmiah
  • Kerajaan: Animalia
  • Filum: Chordata
  • Kelas: Aves
  • Ordo: Columbiformes
  • Famili: Columbidae
  • Genus: Caloenas
    G. R. Gray, 1840
  • Spesies: C. nicobarica

Junai Mas atau dalam nama ilmiahnya Caloenas nicobarica adalah sejenis burung berukuran sedang, dengan panjang sekitar 34cm, dari salah satu genus burung merpati Caloenas.

Burung Junai Mas memiliki bulu berwarna hitam keabuan dilapisi dengan hijau keemasan mengilap di bagian leher, mantel, punggung dan sayapnya. Bulu leher dan sayap memanjang. Paruhnya berwarna hitam dengan sedikit benjolan dipangkalnya. Jantan dan betina serupa. Burung dewasa memiliki ekor pendek berwarna putih, kaki abu-abu dengan cakar kuning. Burung muda berwarna kehitaman dengan bulu leher pendek dan kaki kecoklatan.

Populasi Junai Mas tersebar di kepulauan di daerah Asia Tenggara. Habitatnya adalah hutan hujan tropis, hutan pantai, hutan bakau dan hutan-hutan dataran rendah. Burung ini ditemukan di pulau Andaman, Nicobar, pulau-pulau kecil di sekitar Jawa, Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara, Irian, Thailand, Filipina, Palau dan Kepulauan Solomon. Spesies ini banyak ditemukan dan berkembang biak di pulau yang tidak dihuni oleh manusia.

Stavenn_Caloenas_nicobarica_01.jpg


Burung Junai Mas bersarang di atas pohon atau semak, dengan ketinggian antara dua sampai duabelas meter dari permukaan tanah. Sarangnya terbuat dari ranting-ranting yang di tata tidak beraturan. Burung betina biasanya menetaskan sebutir telur berwarna putih, yang dierami oleh kedua induknya.

Junai Mas adalah terestrial spesies. Burung ini banyak menghabiskan waktunya di permukaan tanah, mencari makanan. Pakan burung Junai Mas terdiri dari aneka biji-bijian, buah-buahan yang jatuh di tanah dan berbagai jenis hewan kecil.

Burung Junai Mas memiliki daerah sebaran yang luas, namun hilangnya habitat hutan, penangkapan liar untuk perdagangan serta pengenalan hewan-hewan asing di habitatnya seperti anjing, kucing dan tikus mengancam keberadaan spesies ini. Junai Mas dievaluasikan sebagai hampir terancam di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix I.
 
Bls: Mari Mengenal Satwa Langka

Kambing Hutan Sumatera

capricornis_sumatraensis__01.jpg


Klasifikasi ilmiah
  • Kerajaan: Animalia
  • Filum: Chordata
  • Kelas: Mammalia
  • Ordo: Artiodactyla
  • Famili: Bovidae
  • Upafamili: Caprinae
  • Genus: Capricornis
  • Spesies: C. sumatraensis
  • Upaspesies: C. s. sumatraensis

Kambing Hutan Sumatera (Sumatran Serow) atau yang dalam bahasa latin (ilmiah) disebut Capricornis sumatraensis sumatraensis adalah jenis kambing hutan yang hanya terdapat di hutan tropis pulau Sumatra.

Di alam bebas keberadaan fauna ini semakin langka dan terancam kepunahan. Oleh International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), satwa ini dikategorikan dalam “genting” atau “Endangered”. Sehingga tidak salah, untuk melindungi yang masih tersisa, jika kemudian pemerintah Indonesia menetapkan Kambing Hutan Sumatera sebagai salah satu satwa yang dilindungi dari kepunahan berdasarkan PP Nomor 7 tahun 1999.

Ciri khas Kambing Hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis sumatraensis) ini adalah bertanduk ramping, pendek dan melengkung ke belakang. Berat badannya antara 50 – 140 kg dengan panjang badannya mencapai antara 140 – 180 cm. Tingginya bila dewasa mencapai antara 85 – 94 cm.

011050005-1.jpg


Pada dasarnya kambing hutan berbeda dengan kambing yang diternakkan, karena kambing hutan merupakan perpaduan antara kambing dengan antelop dan masih mempunyai hubungan dekat dengan kerbau. Kambing hutan merupakan satwa yang sangat tangkas dan sering terlihat memanjat dengan cepat di lereng terjal yang biasanya hanya bisa dicapai oleh manusia dengan bantuan tali.

Kambing Hutan Sumatera ini mempunyai habitat di hutan-hutan pegunungan dataran tinggi sumatera. Populasinya yang masih tersisa terdapat di Taman Nasional Kerinci Seblat (Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan) juga dapat ditemukan di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang secara administratif berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Provinsi Sumatera Utara dan Taman Nasional Gunung Leuser (Nanggroe Aceh Darussalam).

Tidak ada laporan yang berarti tentang kambing ini dalam sepuluh tahun terakhir. Berapakah spesies yang tersisa di alam bebas pun tidak diketahui dengan pasti. Mungkin karena maraknya penebangan dan illegal logging Indonesia, dan kebakaran hutan membuat populasi Kambing Hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis sumatraensis) semakin terdesak dan langka serta semakin sulit diketemukan. Oleh International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), satwa ini dikategorikan dalam “genting” atau “Endangered” atau tiga tingkat di bawah kategori “Punah” (Extinct).

Langkanya Kambing Hutan Sumatera ini membuat hanya sedikit kebun binatang di dunia yang memiliki satwa ini sehingga Kebun binatang yang memiliki koleksi spesies ini sangat bangga. Bahkan banyak kebun binatang di Indonesia sendiri yang tidak memilikinya.
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top