Langkah Jahja Santoso di Industri Kesehatan

Status
Not open for further replies.

virtual

New member
1115jahj.gif



Penampilan sederhana dan apa adanya adalah kesan pertama yang tercermin dari diri Jahja Santoso. Tidak ada kesan "wah" dari pemilik perusahaan farmasi PT Sanbe Farma, perusahaan farmasi yang berada di peringkat pertama dalam jajaran industri farmasi Indonesia pada tahun 2005 itu.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia, dari sepuluh besar perusahaan farmasi Indonesia, Sanbe Farma menempati peringkat per- tama dengan omzet Rp 1,827,757 triliun. Dengan omzet sebesar itu, perusahaan yang berdiri pada 1975 itu memiliki share 7,74 persen dari total omzet industri farmasi Indonesia sebanyak Rp 22 triliun. Seperti diketahui, di Indonesia terdapat 205 industri farmasi.

Kesuksesan yang diraih pria kelahiran Cirebon 18 Januari 1945 itu tidak didapatkan secara instan. Seusai menyelesaikan pendidikan di bidang farmasi di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1968, Jahja bekerja sebagai apoteker di salah satu apotek di Bandung. Ia juga pernah menjadi asisten pemasaran di perusahaan farmasi PT Merck Indonesia di Jakarta. Namun, tidak lama ia melakoni bekerja untuk orang lain.

Sebetulnya, selepas menyelesaikan pendidikan SMA-nya di Cirebon pada 1962, Jahja mulai merintis usaha sendiri pada 1975. Dibantu istrinya, Johana Poedjokerto, ia memulai usaha di sektor farmasi di rumahnya dengan menjual obat generik.

Berkat ketekunan dan usaha keras, usaha obat generik yang dirintisnya berkembang, sehingga memerlukan pabrik yang lebih besar. Pada 1981, usaha produksi obat yang semula berlokasi di rumah, berubah menjadi pabrik yang lebih besar di kawasan Leuwigajah, Bandung. Pabrik pun diperluas ketika ia mulai memproduksi antibiotik.

Saat peresmian Rumah Sakit Santosa Bandung International Hospital (SBIH) oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari beberapa waktu lalu, Jahja secara singkat menjelaskan usaha yang ditekuninya itu. Sejak 1985, menurut bapak dari seorang anak laki-laki bernama Freddy itu, Sanbe Farma mengembangkan usaha di sektor produk kesehatan untuk hewan, dengan produk-produknya berupa vaksin, multivitamin/suplemen untuk hewan, disinfektan dan antiparasit.

Sedikitnya 125 dokter hewan membantu Jahja mengembangkan divisi tersebut. Kini, ujarnya, divisi produk kesehatan hewan berkembang ke bidang aqua culture.

Sadar persaingan bisnis yang ketat, Jahja merasa perlu melakukan inovasi teknologi dan riset untuk mendorong pertumbuhan dan kelanggengan perusahaannya. Untuk itu, Jahja yang memiliki jam kerja sejak pagi sekitar pukul 05.30 WIB sampai malam sekitar pukul 22.00 WIB, didirikan Sanbe Biotech Research Division pada 1 Januari 2001.

Untuk mendukung riset bioteknologi, dibangun tiga laboratorium modern dan lengkap, yaitu Laboratorium Biologi Molekuler, Laboratorium Kultur Jaringan, dan Laboratorium Immunohistokimia. Produk-produk dari divisi itu antara lain diagnostik berba- sis molekuler, msialnya, hybrid capture II suatu teknik berbasis DNA-RNA yang dapat mendeteksi secara akurat dan cepat human papiloma virus (HPV).

"Dalam waktu dekat akan memproduksi berbagai jenis bahan baku berupa protein terapetik seperti hormon, vaksin yang dihasilkan dengan teknologi rekayasa genetika," ujarnya.

Untuk mengetahui secara persis usaha yang dikembangkannya, Jahja tak segan-segan terjun langsung. Sering terlihat ia memeriksa satu per satu laporan dari seluruh perusahaan hingga larut malam. Hal yang sama juga diterapkannya ketika mendirikan rumah sakit SBIH.

Jahja tidak segan-segan mencarikan buku yang diperlukan staf di rumah sakit. Ia juga mencoba mengetahui berbagai peralatan medis yang ada di rumah sakit itu. Dalam menjalankan usaha, pria yang berpantang mengonsumsi makanan dari bahan bernyawa seperti daging itu, berprinsip tidak mau mengelola usaha yang tidak ia mengerti. Alasannya, mengelola usaha yang tidak dipahami akan kesulitan dalam melakukan kontrol.

Kegiatan Sosial

Di tengah kesibukannya mengurus sejumlah perusahaan, termasuk perusahaan Sanbe Sterile Preparation Plant, yang memproduksi sediaan steril infus, sediaan vial dan ampul, obat tetes mata dan perawatan lensa kontak, Jahja meluangkan waktu dan mengalokasikan dana untuk kegiatan sosial dengan membentuk Yayasan Bakti Sosial Santoso.

Yayasan itu memberi beasiswa kepada kurang lebih 2.000 orang, mulai dari siswa taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ia juga memberi santunan bulanan terus-menerus untuk 74 yayasan panti asuhan. Di bidang kesehatan, yayasan itu menanggung biaya cuci darah sejumlah pasien hemodialisa bekerja sama dengan Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin Bandung, RS Immanuel Bandung, RS Al-Islam Bandung, RS Habibie-Bandung, RS St Carolus Jakarta. Yayasan juga membantu Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak yang melindungi perempuan dan anak korban kekerasan.

Jahja menuturkan, kegiatan sosial juga ia terapkan pada SBIH, 25 persen dari 380 tempat tidur yang ada diperuntukkan bagi pasien yang tidak mampu (pasien gakin) melalui kepesertaan Askeskin. Perihal usaha di bidang rumah sakit itu, Jahja mengisahkan, pendirian SBIH dilatarbelakang dorongan untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan pelayanan kesehatan yang modern, profesional, dan bertaraf internasional. Juga didorong keprihatinan melihat banyak orang Indonesia yang ber-obat ke luar negeri, khususnya ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura.

"Juga sebagai putra Pasundan yang ingin berinvestasi di Tanah Sunda dalam bidang pelayanan kesehatan, ada keinginan agar Jawa Barat mempunyai kebanggaan dengan adanya rumah sakit bertaraf internasional," kata pria yang lebih suka mengendarai mobil Kijang itu. [Pembaruan/Nancy Nainggolan]


Sumber : suarapembaruan
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top