Krisis Moneter Indonesia Dan Ekonomi Rakyat

nurcahyo

New member
KRISIS MONETER INDONESIA DAN EKONOMI RAKYAT



PADA setiap diskusi mengenai ekonomi rakyat, sangat sulit untuk tidak berusaha mendefinisikan yang dimaksud dengan ekonomi rakyat. Sayangnya, usaha pendefisnian tersebut banyak yang berakhir justru dengan perdebatan atas definisinya daripada esensi penguatan atau pemberdayaan ekonomi-rakyatnya sendiri. Padahal perdebatan mengenai definisi ekonomi rakyat sebenarnya tidak terlalu produktif, karena pada dasarnya hampir semua pihak telah sepaham mengenai pengertian apa yang dimaksud dengan ?ekonomi rakyat? tanpa harus mendefinisikan (Krisnamurthi, 2001). Namun guna memperoleh perspektif yang sama mengenai diskusi yang akan dilakukan berkaitan dengan judul diatas 1) maka makalah ini bermaksud untuk mendiskusi krisis moneter dalam konteks ekonomi rakyat: bagaimana posisi ekonomi rakyat ketika krisis ekonomi terjadi, apakah sebagai sebab atau penerima akibat; dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah kesalahan serupa terulang dimasa depan. Oleh sebab itu tetap perlu dilakukan terlebih dahulu, penyampaian persepsi makalah ini atas ekonomi rakyat tanpa bermaksud untuk terlalu menekan pada usaha pendefinisian.

1) Sebenarnya, Panitia Seri Seminar ini hanya memberi judul ?Krisis Moneter Indonesia?. Penulis menambahkan merubah judul agar lebih terlihat konteksnya dikaitkan dengan ekonomi rakyat.

Ekonomi rakyat adalah ?kegiatan ekonomi rakyat banyak? (Krisnamurthi, 2001). Jika dikaitkan dengan kegiatan pertanian, maka yang dimaksud dengan kegiatan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi petani atau peternak atau nelayan kecil, petani gurem, petani tanpa tanah, nelayan tanpa perahu, dan sejenisnya; dan bukan perkebunan atau peternak besar atau MNC pertanian, dan sejenisnya. Jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan, industri, dan jasa maka yang dimaksud adalah industri kecil, industri rumah tangga, pedagang kecil, eceran kecil, sektor informal kota, lembaga keuangan mikro, dan sejenisnya; dan bukan industri besar, perbankan formal, konglomerat, dan sebagainya. Pendeknya, dipahami bahwa yang dimaksud dengan ?ekonomi rakyat (banyak)? adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga ?rakyat? Indonesia.

Perspektif lain dari ekonomi rakyat dapat pula dilihat dengan menggunakan perspektif jargon: ?ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat? (Krisnamurthi, 2000). ?Dari rakyat?, berarti kegiatan ekonomi itu berkaitan dengan penguasaan rakyat dan aksesibilitas rakyat terhadap sumberdaya ekonomi. Rakyat menguasai dan memiliki hak atas sumberdaya untuuk mendukung kegiatan produktif dan konsumtifnya. Dalam hal ini, sumberdaya ekonomi yang dimaksud adalah segala sumberdaya yang dapat digunakan untuk menjalankan penghidupan, baik sumberdaya alam, modal, tenaga kerja (termasuk tenaga kerjanya sendiri), ketrampilan, pengetahuan, juga sumberdaya sosial (kelompok, masyarakat) sumberdaya jaringan (?network?), informasi, dan sebagainya.

?Oleh rakyat?, berarti proses produksi dan konsumsi dilakukan dan diputuskan oleh rakyat. Rakyat memiliki hak atas pengelolaan proses produktif dan konsumtif tersebut. Berkaitan dengan sumberdaya (produktif dan konsumtif), rakyat memiliki alternatif untuk memilih dan menentukan sistem pemanfaatan, seperti berapa banyak jumlah yang harus dimanfaatkan, siapa yang memanfaatkan, bagaimana proses pemanfaatannya, bagaimana menjaga kelestarian bagi proses pemanfaatan berikutnya, dan sebagainya.

?Untuk rakyat?, berarti rakyat banyak merupakan ?beneficiaries utama dari setiap kegiatan produksi dan konsumsi. Rakyat menerima manfaat, dan indikator kemantaatan paling utama adalah kepentingan rakyat.

Dalam hal ini perlu pula dikemukakan bahwa ekonomi rakyat dapat berkaitan ?dengan siapa saja?, dalam arti kegiatan transaksi dapat dilakukan juga dengan ?non-ekonomi-rakyat?. Juga tidak ada pembatasan mengenai besaran, jenis produk, sifat usaha, permodalan, dan sebagainya. Ekonomi rakyat tidak eksklusif tetapi inklusif dan terbuka. Walaupun demikian, sifat fundamental diatas telah pula menciptakan suatu sistem ekonomi yang terdiri dari pelaku ekonomi, mekanisme transaksi, norma dan kesepakatan (?rule of the game?) yang khas, yang umumnya telah memfasilitasi ekonomi rakyat untuk survive dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakatnya.

Berdasarkan pemahaman diatas, maka ekonomi rakyat memiliki dimensi yang luas. Dalam ekonomi rakyat, pelakunya melakukan kegiatan produksi dan konsumsi. Mereka adalah orang-orang yang bekerja sendiri dan juga mereka yang bekerja menerima upah. Mereka adalah kegiatan usaha formal (berijin usaha, seperti koperasi atau CV atau bentuk badan hukum lain) dan juga sangat banyak yang informal atau nono-formal. Umumnya mereka berskala mikro dan kecil tetapi juga terdapat beberapa yang berskala menengah. Mereka memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan dan tidak hanya tergantung pada pihak lain (apakah itu bank, pemilik saham, atau entitas lain). Mereka bisa berada dalam kegiatan ekonomi tradisional tetapi juga tidak sedikit yang bergerak dalam sistem ekonomi modern. Mereka sebagian besar hanya beroperasi secara lokal, tetapi beberapa diantaranya juga memiliki kemampuan dan daya saing internasional yang handal. Mereka bisa melekat pada badan usaha pemerintah atau swasta. Dan yang terpenting adalah mereka berbasis pada manusia, keluarga, dan masyarakat; dari pada hanya sekedar angka-angka uang (modal) atau produk.

Dengan pemahaman diatas pula, dapat dinyatakan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya adalah berbasis ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat (banyak) mencakup 99 % dari total jumlah unit usaha (business entity), menyediakan sekitar 80 % kesempatan kerja, melakukan lebih dari 65 % kegiatan distribusi, dan melakukan kegiatan produksi bagi sekitar 55 % produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, 60 % diantaranya berada di daerah pedesaan, 65 % berusaha dibidang pertanian dan kegiatan lain yang terkait, dan menjadi basis dari 63 % konsumsi domestik, serta tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia. Hanya saja, ketimpangan distribusi aset produktif (formal) ? yang sekitar 65 %-nya dikuasai oleh 1 % pelaku usaha terbesar ? menyebabkan kontribusi nilai produksi (GDP) dan ekspor kegiatan ekonomi raktyat relatif lebih kecil. Peran ekonomi rakyat juga teraktualisasi pada masa krisis multidimensi saat ini. Jika memang disepakati bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 4,5 % terutama disebabkan oleh tarikan konsumsi, baik konsumsi domestik maupun konsumsi asing (ekspor) ? terutama karena kegiatan investasi dan pengeluaran pemerintah yang sangat terbatas ? maka dapat diduga bahwa peran ekonomi rakyat sangat signifikan. Hal ini tersebut didasari oleh argumentasi bahwa rumah tangga yang menggantungkan kehidupannya dari kegiatan ekonomi rakyat adalah konsumen terbesar, bahkan bagi produk yang dihasilkan kegiatan ekonomi besar. Daya produktif kegiatan ekonomi rakyatlah yang mampu mendorong peningkatan konsumsi, termasuk terjaga maraknya berbagai kegiatan ?masal? dari ekonomi riil ? seperti mudik Lebaran dan naik haji. Indikasi lain dapat pula ditunjukkan oleh peningkatan kegiatan (tabungan dan penyaluran kredit) hampir diseluruh lembaga keuangan mikro, peningkatan penjualan kendaraan bermotor roda dua, peningkatan jumlah berbagai produk pertanian, tetap hidupnya pasar-pasar tradisional pada saat krisis, dan sebagainya.

Namun demikian perspektif ?dari, oleh, dan untuk rakyat? tersebut diatas juga mengetengahkan gambaran suram dari ekonomi rakyat di Indonesia. Penguasaan dan akses terhadap sumberdaya oleh rakyat (banyak) masih sangat banyak menghadapi masalah. Perlindungan hukum atas usaha masih lemah, hak atas tanah masih menjadi sesuatu yang sangat didambakan, posisi rebut-tawar (bargaining position) dalam penguasaan sumberdaya hampir selalu berada pada titik yang terendah. Bahkan sumberdaya yang tadinya dikuasai oleh rakyat, dengan mudah berpindah tangan. Kisah konversi lahan pertanian produktif milik rakyat menjadi lapangan golf, real estate mewah, dan kawasan industri bagi MNC merupakan bentuk ketidak-berdayaan penguasaan sumberdaya oleh rakyat. Sebaliknya saat lahan HPH yang telah digunduli dan tidak lagi produktif, ?non-ekonomi-rakyat? meninggalkannya begitu saja sering kali justru dengan tinggalan masalah adanya konflik kepentingan diantara rakyat sendiri. Perbandingan ketersediaan sumberdaya ?publik? seperti listrik, air, dan telpon yang tidak seimbang antara alokasi untuk bagi kegiatan ekonomi rakyat dan non-ekonomi rakyat, juga menggambarkan situasi suram aspek ?dari rakyat? tersebut.

Rakyat juga sering dibatasi kemampuannya untuk mengambil keputusan. Infrastruktur fisik dan kelembagaan yang dibangun cenderung mengarah pada penyeragaman proses pengambilan keputusan yang dirancang tidak oleh rakyat sendiri. Infrastruktur irigasi yang hanya memfasilitasi teknologi lahan sawah, misalnya, telah membatasi kemampuan petani mengembangka usahataninya. Tidak ada infrastruktur irigasi yang dirancang untuk memfasilitasi petani mengembangkan hortikultura atau peternakan. Kelembagaan koperasi yang diseragamkan menjadi KUD, atau hilangnya kelembagaan panen tradisional, atau hilangnya kelembagaan lumbung desa, semua akibat introduksi teknologi dan kelembagaan serba seragam, serta sistem keuangan yang ?memaksa? rakyat menerima sistem yang mensyaratkan berbagai hal tidak sesuai dengan kondisi naturalnya, juga merupakan fakta-fakta lain yang menunjukkan kemampuan ?oleh-rakyat? menjadi sangat terbatas. Rakyat juga memiliki akses yang sangat terbatas terhadap informasi dan teknologi, yang pada gilirannya membuat kemampuan pengambilan keputusan menjadi jauh lebih terbatas.

Aspek ?untuk rakyat? menghadapi situasi yang lebih jauh tertinggal. Melalui sistem perbankan yang terpusat, selama 30 tahun dana yang disedot dari pedesaan 2,5 kali lebih besar dari dana yang disalurkan kembali ke pedesaan. Kontribusi pertanian dalam bentuk pangan yang murah dan tenaga kerja yang lebih terdidik, merupakan manfaat yang dirasakan oleh kegiatan-kegiatan ?non-ekonomi-rakyat? sebagia bagian dari strategi ?keunggulan komparatif? berbasis tenaga kerja murah. Mungkin tidak sekejam tanam paksa, tetapi pengembangan kegiatan ekonomi berbasis buruh murah telah berjalan lama sejak penjajahan hingga kini. Kemampuan sektor informal kota dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan sistem distribusi kebutuhan pokok dengan murah dan efisien telah pula menjadi manfaat besar bagi ?non-ekonomi-rakyat? dalam mengembangkan sistem kerja yang tidak memihak pada buruhnya.

Intinya, terdapat ketidak-adilan dalam pengembangan ekonomi. Non-ekonomi-rakyat telah mendapat banyak kemudahan dan dukungan, karena dipandang lebih sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Kemudahan dan dukungan tersebut kemudian Kelompok ?non-ekonomi-rakyat? telah banyak mendapat dukungan dari elite pemerintah, dan telah mengembangkan ketergantungannya pada kelompok tersebut sehingga menjadi kelompok ?elite penguasa-pengusaha?. Dalam hal ini kelompok ?non-ekonomi-rakyat? menjadi rentan terhadap perubahan yang terjadi pada elite penguasa tersebut. Pada saat yang sama sistem pengembangan yang penuh dengan ?dukungan yang distortif? telah tersebut telah menjadikan ?non-ekonomi-rakyat? menjadi lebih terkait dengan ekonomi global. Keterkaitan dengan pasar dunia, baik pasar barang, pasar uang, dan pasar modal; telah menyebabkan kegiatan ?non-ekonomi-pasar? menjadi kegiatan dengan ?banyak pengambil keputusan? dalam dunia yang tidak berbatas dan masih rentan. Sebaliknya, ?ekonomi rakyat? yang tidak mendapat kesempatan untuk itu, memang mengalami sangat banyak kesulitan untuk berkembang dan memberi kesejahteraan bagi pelakunya. Dukungan yang relatif kecil dari pemerintah-penguasa telah menjadikan pelaku ekonomi rakyat tidak sangat tergantung pada kondisi elite. Kondisi yang ?terbatas? terhadap akses ke pasar global juga sekaligus memberi ?kekebalan? kepada ekonomi rakyat untuk tidak mudah terpengaruh atas kondisi yang terjadi didunia internasional, atau bahkan yang terjadi secara nasional. Hal inilah yang kemudian menjadi preposisi dasar dalam melihat posisi ekonomi rakyat dalam krisis moneter yang belum lama terjadi dan masih terasa hingga saat ini.

Sebelum membahas krisis moneternya sendiri, ada baiknya disampaikan dahulu perspektif struktur kelembagaan ekonomi Indonesia pada saat krisis akan terjadi 2) seperti dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

2) Struktur kelembagaan ekonomi tersebut sebenarnya hingga saat ini masih belum banyak berubah (diubah), walaupun struktur yang demikian itulah krisis ekonomi Indonesia menjadi begitu parah dan sulit diselesaikan.



Gambar diatas secara skematik menunjukkan bahwa ekonomi rakyat dalam perspektif seperti Indonesia juga terdapat dinegara-negara lain. De Soto (2000) menjelaskan bahwa dibanyak negara, ekonomi rakyat yang ?berbeda? sistem dan mekanismenya dengan ekonomi berbasis kapital yang dikenal oleh ?masyarakat barat? merupakan basis kegiatan ekonomi negara yang bersangkutan. Demikian pula dengan ?non-ekonomi-rakyat? yang dapat diidentifikasikan sebagai kelompok kapital global.

Tanpa bermaksud membatasi aktivitas ekonomi dalam dimensi ruang yang kaku, Gambar 1 menunjukkan bahwa

(1) Arus moneter (uang tunai dan modal) dari kegiatan ekonomi rakyat ke kegiatan ?non-ekonomi-rakyat? memiliki volume yang jauh lebih besar dari pada arus sebaliknya. Hal ini terjadi melalui sistem perbankan, penyedian pangan murah, penyediaan buruh murah, penyediaan lahan/property murah, dan posisi ekonomi rakyat yang menjadi pasar bagi produk dan jasa. Kondisi tersebut berlangsung akibat dominasi paduan pengusaha-penguasa, sistem legal-formal yang ?bias-against? ekonomi rakyat, dan kemampuan menguasai informasi sebagai sarana untuk promosi. Singkatnya, ekonomi rakyat telah mensubsidi ?non-ekonomi-rakyat? dan terjadi fenomena ?double squeezed economy? melalui penyediaan sumberdaya oleh rakyat dan rakyat dijadikan pasar.

(2) Hubungan antara ?non-ekonomi rakyat? lokal dengan kapitalisme global juga merupakan hubungan yang timpang. Pada tahun 1990-an, kapitalisme global tengah berbenah diri untuk menghadapi abad yang baru yang ditandai oleh dua fenomena besar, yaitu WTO dan mata uang Euro (Soros, 1998). Dan hal ini membuat mereka sedang berada pada situasi yang rentan. Sebagai usaha mengantisipasi hal tersebut modal besar dari para kapitalis global tersebut dialirkan ke kegiatan ekonomi yang dianggap paling menjanjikan, yaitu Asia. Akibatnya modal, dalam bentuk hutang, mengalir ?door-to-door? dengan derasnya, baik dalam bentuk modal tunai, tawaran saham dan investasi, maupun aliran input produksi, barang konsumsi, teknologi, bahkan tenaga kerja. Dalam lingkup domestikpun hutang modal dan hutang konsumsi juga mengalir kesana kemari dengan sangat cepat dan dalam jumlah yang sangat besar. Sebaliknya, penggunaan (utilization) dari modal tersebut belum berjalan dengan baik, karena sebagian dari proses relokasi industri baru berjalan pada tahap awal.

(3) Aliran moneter dari kapitalme global ke ekonomi rakyat Indonesia relatif kecil. Hal ini terutama karena kerangka kelembagaannya tidak berkesesuaian (not-compatible). Kalaupun ada, hanya dalam bentuk dana-dana pinjaman lunak pemerintah yang banyak kembali ke ?negara donor? atau bocor ditengah jalan dari pada diterima oleh ekonomi rakyat.

(4) Hubungan ekonomi rakyat Indonesia dengan ekonomi rakyat di negara lain juga berjalan lambat dan tersendat, terutama karena infrastruktur dan institusi perdagangan modern memang dikuasai oleh para pelaku ?non-ekonomi-rakyat?. Hubungan Selatan-Selatan atau diantara negara-negara Non-Blok secara langsung hampir selalu lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan ?jasa? negara ketiga yang mampu menyediakan layanan infrastruktur perdagangan secara lebih efisien (Isaak, 1995).

Dalam format seperti diataslah situasi ekonomi saat krisis moneter melanda Indonesia. Krisis moneter yang diawali oleh krisis nilai tukar tersebut sebenarnya telah lama diperkirakan dan telah diduga meningkat peluangnya saat pergantian abad (lihat Soros, 1998, Giddens, 1998, atau Ormerod, 1994, atau bahkan Marx (1849) dalam Magnis-Suseno, 1999). Ketika nilai tukar jatuh, maka ?non-ekonomi-rakyat? di Indonesia langsung terpukul telak oleh dua hal yang sangat ?mematikan?: membengkaknya nilai hutang dolar dalam rupiah dan mahalnya biaya produksi yang selama ini berbasis input impor. Perusahaan-perusahaan tidak dapat lagi menunjukkan kinerja keuangan yang sehat, tidak dapat mengembalikan hutang, dan pada gilirannya menghancurkan sistem perbankan.

Sampai pada tahap ini ekonomi rakyat masih belum merasakan dampak negatif yang terlalu besar dari krisis moneter. Bahkan banyak diantaranya yang mendapat ?rejeki dolar? karena harga produk yang dihasilkannya melonjak tinggi sejalan dengan peningkatan nilai dolar, seperti yang dirasakan para petani coklat dan para pengrajin yang memiliki konsumen di luar negeri. Hal tersebut terutama juga karena struktur kelembagaan yang diuraikan diatas. Lemahnya keterkaitan ekonomi rakyat dengan kapitalisme global yang menjadi sumber dari krisis moneter tersebut, telah menjadi ?blessing in disguised? bagi ekonomi rakyat.

Namun ketika krisis moneter berlanjut menjadi krisis ekonomi (pertumbuhan ekonomi menurun, inflasi meninggi, banyaknya pegawai di PHK, meningginya harga pangan impor, pengurangan subsidi BBM, dan sebagainya) maka ekonomi rakyat mengalami tekanan yang semakin berat. Pada tahap inipun sebenarnya daya ?survival? ekonomi rakyat sangat tinggi. Dengan cepat terjadi perubahan-perubahan yang mendasar. Produk yang diimpor diganti dengan produk lokal atau produk impor yanglebih murah (fenomena motor Cina atau maraknya produk elektronik lokal dan impor yang ?mereknya tidak dikenal sebelumnya?).

Tekanan menjadi semakin berat lagi setelah krisis ekonomi juga memicu krisis sosial politik dan keamanan, serta serangkaian pilihan kebijakan dalam usaha untuk mengatasi krisis yang justru menempatkan ekonomi rakyat sebagai pihak yang dikorbankan. Perbankan dan ?non-ekonomi-rakyat? yang notabene menjadi penyebab krisis berusaha ?diselamatkan? dengan menggunakan dana trilyunan rupiah dari sumberdaya negara yang telah sangat terbatas, sebaliknya kegiatan ekonomi rakyat seolah ditinggalkan. Mencari hutang baru dan menerapkan sistem legal-formal-konvensional seperti menjadi hal yang dipaksakan harus ada, padahal kedua hal itu justru telah menunjukkan kemampuan menghadapi tekanan eksternal yang berat. Sebaliknya sistem ekonomi rakyat yang nyata-nyata telah mampu bertahan bahkan telah lebih berkembang selama krisis justru tidak diabaikan. Dalam kondisi rawan keamananpun, kegiatan ekonomi rakyat juga menjadi kegiatan yang paling rentan dan menderita, saat elite politik berdebat saling mengkritik dan membangun perbedaan pendapat.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ekonomi rakyat merupakan korban dari krisis moneter yang terjadi belum lama ini, terutama akibat timbulnya berbagai masalah setelah krisis terjadi (bukan oleh krisis moneter itu sendiri) dan akibat pilihan kebijakan yang diterapkan sebagai usaha mengatasi krisis. Oleh karenanya, yang harus dilakukan terutama adalah untuk merubah pendekatan kebijakan yang tidak memihak kepada ekonomi rakyat. Atau setidaknya yang perlu dikembangkan kebijakan yang ?not-against? atau netral terhadap ekonomi rakyat. Beberapa koreksi yang perlu dilakukan, karena selama ini kebijakan ekonomi sering kali membawa ciri-ciri sebagai berikut (Krisnamurthi, 2001):

a. Pertimbangan dalam penetapan kebijakan tersebut seringkali memang tidak atas dasar kepentingan kegiatan ekonomi rakyat. Misalnya, pembentukan tingkat bunga melalui berbagai instrumen moneter lebih didasarkan pada kepentingan ?balance of payment? dan penyehatan perbankan; atau dilihat dari pemanfaatan cadangan pemerintah yang sangat besar bagi rekapitalisasi bank, padahal bank tidak (dapat) melayani kegiatan ekonomi rakyat; atau penetapan kebijakan perbankan sendiri yang penuh persyarakatan yang tidak sesuai dengan kondisi objektif ekonomi rakyat, padahal mereka adalah pemilik-suara (voter) terbanyak yang memilih pada pembuat keputusan. Dalam hal ini, mengingat lamanya pengaruh lembaga internasional (WB, IMF, dll) patut pula diduga bahwa perancangan pola kebijakan tersebut juga membawa kepentingan internasional tersebut. Demikian juga, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah juga telah mengindikasikan pertimbangan yang tidak berorientasi ekonomi rakyat. Otonomi seharusnya juga berarti perubahan

b. Kebijakan pengembangan yang dilakukan lebih banyak bersifat regulatif dan merupakan bentuk intervensi terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh ekonomi rakyat. Inovasi dan kreativitas ekonomi rakyat, terutama dalam mengatasi berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dihadapi, sangat tinggi. Namun banyak kasus yang menunjukkan bahwa kebijakan yang dikembangkan lebih banyak membawa norma dan pemahaman dari ?luar? dari pada mengakomodasi apa yang sudah teruji berkembang dalam masyarakat. Posisi lembaga keuangan mikro dalam sistem keuangan nasional merupakan salah satu contoh terdepan dalam permasalahan ini.

c. Kebijakan pengembangan yang dilakukan cenderung bersifat ?ad-hoc? dan parsial. Banyaknya kebijakan yang dilakukan oleh banyak pihak sering kali bersifat kontra produktif. Seorang Camat atau kepala desa atau kelompok masyarakat misalnya, sering kali harus menerima limpahan pelaksanaan ?tugas? hingga 10 atau 15 program dalam waktu yang bersamaan, dari berbagai instansi yang berbeda dan dengan metode dan ketentuan yang berbeda. Tumpang tindih tidak dapat dihindari, pengulangan sering terjadi tetapi pada saat yang bersamaan banyak aspek yang dibutuhkan justru tidak dilayani.

d. Mekanisme penghantaran kebijakan (delevery mechanism) yang tidak apresiatif juga merupakan faktor penentu keberhasilan kebijakan. Kemelut Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan contoh kongkrit dari masalah mekanisme penghantaran tersebut. Demikian pula sikap birokrasi yang ?memerintah?, merasa lebih tahu, dan ?minta dilayani? merupakan permasalahan lain dalam implementasi kebijakan. Sikap tersebut sering kali jauh lebih menentukan efektivitas kebijakan.

e. Banyak kebijakan yang bersifat ?mikro?, padahal yang lebih dibutuhkan oleh ekonomi rakyat adalah kebijakan makro yang kondusif. Dalam hal ini, tingkat bunga yang kompetitif, alokasi kebijakan fiskal yang lebih seimbang sesuai dengan porsi pelaku ekonomi, dan kebijakan nilai tukar, disertai berbagai kebijakan pengaturan (regulative policy) tampaknya masih jauh dari harapan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Perbaikan atas pola kebijakan tersebut diatas harus segera dilakukan. Jika tidak, peluang untuk keluar dari krisis akan semakin kecil, bahkan akan terbuka kembali peluang terjadinya krisis berikutnya yang sangat mungkin akan lebih luas dampaknya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Jika memang belum dapat dilakukan kebijakan yang mendukung ekonomi rakyat, atau juga masih kesulitan untuk membuat kebijakan yang netral terhadap ekonomi rakyat, minimal jangan buat kebijakan yang merugikan ekonomi rakyat, atau jangan buat kebijakan apapun dan biarkan ekonomi rakyat berkembang dengan kemampuannya sendiri. Yakinlah, rakyat Indonesia mampu melakukan hal itu.-

Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi: Direktur Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (IPB)
 
Back
Top