Ekonomi Indonesia Sekarang

tenrie

New member
EKONOMI RAKYAT INDONESIA



I. DEFINISI

Pertanyaan amat penting dihadapan kita sekarang, pada pertemuan pertama seri seminar 6 bulan pendalaman ekonomi rakyat, adalah apakah kita perlu mengawali dengan sebuah definisi ekonomi rakyat yang akan kita dalami dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Memang kami (panitia) berambisi bahkan sebelum pertemuan terakhir tanggal 2 Juli 2002, semua peserta seminar, atau sebagaian besar, sudah akan benar-benar mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat dan bagaimana kita bersikap terhadapnya. Keinginan kita yang lain tentu saja adalah untuk menghilangkan kesan amat keliru bahwa kata atau konsep ekonomi rakyat (dan ekonomi kerakyatan) adalah konsep yang baru lahir bersamaan dengan gerakan reformasi menjelang dan setelah lengsernya Presiden Soeharto (1997-98). Berkali-kali, dan dalam berbagai kesempatan, saya mendapat pertanyaan apakah konsep ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan yang akan didalami ini sama dengan konsep Adi Sasono saat menjabat Menteri Koperasi pada Kabinet Habibie. Pada saat pertemuan pakar-pakar ekonomi di Bank Indonesia Semarang tanggal 17 Januari lalu, seorang doktor ekonomi menanyakan pada saya ?mengapa bapak menggunakan istilah ekonomi rakyat, tidak demokrasi ekonomi, misalnya seperti dalam era Orde Baru??

Harus diakui pertanyaan yang bertubi-tubi tentang ekonomi rakyat seperti ini bersumber pada salah mengerti bahwa seakan-akan konsep ekonomi rakyat ini ditemukan dan diperkenalkan oleh Adi Sasono atau Mubyarto atau Sajogyo, dan alasan pengenalannyapun tidak ilmiah tetapi hanya untuk tujuan politik yang ?populis?, yaitu untuk ?memenangkan pemilu?. Saya sungguh tidak percaya atau sulit untuk percaya bahwa mereka itu, para cerdik-pandai, belum pernah mendengar atau membaca istilah ekonomi rakyat sebelum munculnya gerakan reformasi 1997/1998. Yang benar adalah bahwa mereka mungkin pernah mendengarnya, dan mengerti bahwa ekonomi rakyat adalah sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang juga sering disebut sektor informal. Tetapi karena tahun 1997 seorang konglomerat yang sangat berkuasa merasa ?jijik? terhadap istilah ekonomi rakyat, maka semua orang ?yang tidak terlalu berkuasa? merasa perlu pula untuk ?merasa asing? dengan istilah itu. Lalu apa ganti istilah yang lebih dapat diterima atau lebih terhormat? Istilah itu adalah ekonomi kerakyatan. Istilah ekonomi kerakyatan lebih sedikit lagi orang menggunakan, dan yang sedikit ini termasuk Sarbini Sumawinata (1985). Tetapi karena istilah ekonomi kerakyatan ini dikenalkan kembali tahun 1997 oleh seorang konglomerat yang ?sangat berkuasa? untuk mengganti istilah ekonomi rakyat yang tidak disukainya, maka berhasillah konsep itu masuk TAP MPR yaitu TAP Ekonomi Kerakyatan No. XVI/1998. Dan istilah ekonomi kerakyatan ini kemudian semakin dimantapkan dalam banyak TAP-TAP MPR berikutnya termasuk kemudian UU No. 25/2000 tentang Propenas. Bahwa konsep Ekonomi Kerakyatan ini merupakan konsep politik yang ?dipaksakan? nampak kemudian dari penggunaannya yang simpang siur. Dan puncak dari kesimpangsiuran ini berupa keraguan Presiden Megawati dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001.

Demikian dalam seminar ini kami tidak lagi akan menggunakan istilah ekonomi kerakyatan tetapi ekonomi rakyat, suatu istilah baku yang sudah dimengerti siapapun, tentunya mereka yang mau mengerti. Di Fakultas-fakultas Pertanian dikenal istilah smallholder, terjemahan dari perkebunan rakyat, disamping istilah-istilah pertanian rakyat, perikanan rakyat, pelayaran rakyat, industri rakyat, dan tentu saja perumahan rakyat. Sayang saya tidak secara tegas menjawab pertanyaan konglomerat yang disebutkan diatas pada waktu berkata, ?Pak saya kan rakyat juga?? Seharusnya waktu itu saya menjawab ?Ya, tapi, mengapa Anda tidak tinggal di perumahan rakyat, bersama rakyat-rakyat yang lain??

udah-mudahan akan jelas bagi kita semua bahwa istilah ekonomi rakyat adalah istilah ekonomi sosial (social economics) dan istilah ekonomi moral (moral economy), yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno menyebutnya sebagai kaum marhaen. Jadi ekonomi rakyat bukan istilah politik ?populis? yang dipakai untuk mencatut atau mengatas namakan rakyat kecil untuk mengambil hati rakyat dalam Pemilu. Ekonomi Rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Mereka itu adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil dll, yang modal usahanya merupakan modal keluarga (yang kecil), dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Tekanan dalam hal ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Demikian meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil-Menengah) dapat dimasukkan ekonomi rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ?usaha? atau ?perusahaan? (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.

Patut diingat dan dicatat terus menerus bahwa kegiatan dalam seminar kita ini, baik pikiran-pikiran yang sudah matang maupun yang masih pada tahap awal selama 6 bulan mendatang adalah benar-benar kegiatan seminar, yang seluruh pesertanya dapat dan bahkan perlu menyumbang pendapat/pikiran, sehingga pada akhir seminar pada bulan Juli nanti, konsep ekonomi rakyat benar-benar sudah menjadi konsep yang matang dan mantap.

II. EKONOMI RAKYAT SEBAGAI ASET NASIONAL

Dengan judul tulisan sebuah perintah ?Para Penguasa dan Penasehat Ahli, Bacalah ini!?, Direktur Kepustakaan Populer Gramedia, Parakitri T Simbolon menulis ?wawancara Imajiner? dengan pakar ekonomi Peru yang bukunya sedang populer dimana-mana. Mengapa? Bukunya The Mystery of Capital (2000) memang sedang diulas dan disambut secara luar biasa karena ketepatan diagnosisnya tentang ?teka-teki kemiskinan di negara-negara dunia ketiga dan eks negara sosialis?. Karena imajiner maka juga dibuat diagnosis imajiner tentang ?rahasia modal? di Bali yang mewakili masyarakat Indonesia. Di Bali ?anjing lebih pintar dari manusia? (dan dengan ?bahasa Kwik Kian Gie,? pakar lebih ?bego?!), karena anjing dapat membedakan kepemilikan (aset) tuan masing-masing melalui perbedaan gonggongannya.

Hernando De Soto 10 tahun lalu menulis buku yang juga menyakinkan berjudul The Other Parth yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia seharusnya ?Ekonomi Rakyat.? Tetapi karena istilah ekonomi rakyat dianggap kata ?haram? dan ?berbau komunis?, maka kata tersebut diterjemahkan ?Masih Ada jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga?, yang kiranya tidak pernah dibaca oleh pakar-pakar ekonomi Indonesia yang ?terlalu pintar? untuk memberikan perhatian pada ekonomi rakyat yang ?tidak ada apa-apanya?. ?Wong orang sudah bicara tentang globalisasi yang serba canggih kok bicara tentang ekonomi rakyat??! Puncak rasa ?jijik? terhadap istilah ekonomi rakyat dipicu oleh konglomerat yang anak Penguasa karena sangat murka disebut ?Batara Kala yang serakah? (Makassar, 1997). Demikian dalam waktu 6 bulan (September 1997 - Maret 1998), konglomerat bersangkutan, yang sangat berkuasa, bersumpah ?menghapus kata ekonomi rakyat dari GBHN 1993?, dan sejak itu muncullah kata atau istilah yang dianggap lebih terhormat yaitu ekonomi kerakyatan. Sayangnya, pemerintahan Habibie, yang tinggal menerima saja konsep ini terpaksa menelan pil pahit dianggap keliru dan ?berpolitik terlalu populis? yaitu ?memusuhi konglomerat untuk membela rakyat?. Hasilnya, pakar-pakar ekonomi Neoklasik / Neoliberal menghujat konsep ekonomi kerakyatan sebagai konsep politik yang ?ideologis?, yang tak ilmiah, dan tak sesuai dengan sistem ekonomi pasar (bebas) yang mereka gandrungi, dan yang dianggap satu-satunya sistem ekonomi yang ?benar? sejak runtuhnya tembok Berlin 1989.

Demikianlah rupanya pakar-pakar ekonomi kita di Indonesia memang tidak membaca, tidak mau tahu, apalagi menerapkan konsep-konsep ?ekonomi rakyat? yang disampaikan Hernando De Soto. Itulah sebabnya, Parakitri T. Simbolon ?memerintahkan? para penguasa dan penasehat ahli Indonesia untuk membaca wawancara imajinernya dengan Hernando De Soto tentang rahasia ekonomi rakyat Indonesia sebagaimana dlihat dari kacamata ekonom Peru. Kita ragu apakah perintahnya akan dipatuhi.

Modal Mati. Konsep kunci De Soto adalah bahwa aset atau hak milik di Negara-negara berkembang tidak dapat dimanfaatkan alias mati (dead capital). Modal yang mati ini berupa rumah di tanah yang tidak jelas pemiliknya, perusahaan yang tidak berbadan hukum, dan industri tersebar yang tidak dilihat investor. Karena tidak tercatat maka kekayaan laksana ?berlian? seperti itu tidak siap dialihkan jadi modal sosial. Di Indonesia pelaku-pelaku ekonomi (rakyat) yang modalnya kecil, bahkan gurem, berasal dari pinjaman koperasi yang kecil-kecil, arisan kampung, pegadaian, atau dari keluarga dekat, tidak dianggap sebagai investasi karena investasi harus merupakan kredit besar berasal dari Bank. Demikian dalam persamaan Keynesian ekonomi makro (Y = C + I + G), rakyat kecil dianggap hanya berkonsumsi (C), sedangkan I (investasi) hanya dapat dilakukan pengusaha besar. Maka sejak krisis moneter 1997-1998 pakar-pakar ekonomi arus utama selalu menyatakan di Indonesia tidak ada lagi investasi, karena para investor ?sedang klenger?, dan bahkan para pengusaha nasional dan investor-investor asing melarikan modal mereka ke luar negeri yang ditaksir mencapai USD 10 milyar per tahun (Anwar Nasution, 2001). Mereka yang bukan pakar ekonomi disuruh percaya adanya ?pelarian modal besar-besaran? ini agar untuk menahannya, atau untuk menarik kembali modal tersebut, pemerintah harus memberikan perangsang khusus berupa tax holiday atau tingkat suku bunga tinggi atau perangsang lain. Jika hal ini dilakukan maka terjadilah yang paling dikhawatirkan De Soto, modal dan kekayaan dalam negeri yang potensial lebih diabaikan (dimatikan) lagi.

Kebiasaan menganggap enteng pemodal dalam negeri (domestik) terutama dari ekonomi rakyat (kecil), dan kekaguman pada modal asing, makin menonjol setelah dibukanya pasar uang dan pasar modal di Jakarta (BEJ, 1977). Mengapa? Karena dalam BEJ berkumpul para ?fund manager? dari seluruh dunia yang pekerjaan utamanya memang ?berdagang uang? dan melipatgandakan nilai uang mereka. Makin besar untung mereka sebagai pedagang uang makin besar penghasilan mereka. Uang atau modal yang dijualbelikan di BEJ ini bisa secara keliru dianggap sebagai ?investasi asing yang riil?, dan penarikannya ke luar negeri dianggap pelarian modal (capital flight), padahal sebenarnya tidak demikian. Banyak modal asing ini sekedar diperdagangkan di Jakarta dan tidak pernah diinvestasikan disektor riil.

Dari trilyunan dolar Amerika yang diperjualbelikan sehari-hari, hanya 5 % yang berkaitan dengan perdagangan dan transaksi ekonomi substantif lainnya. Sembilan puluh lima persen sisanya terdiri dari spekulasi dan arbitrase, saat para pedagang yang memiliki sejumlah besar uang mencari keuntungan yang cepat dari fluktuasi nilai tukar dan perbedaan suku bunga.2)

2) Giddens, Anthony, ?The Third Way, Jalan Ketiga?, Pembaharuan Demokrasi sosial, Gramedia, 1999, hal 172

sebuah ungkapan:
Dari trilyunan dolar Amerika yang diperjualbelikan sehari-hari, hanya 5 % yang berkaitan dengan perdagangan dan transaksi ekonomi substantif lainnya. Sembilan puluh lima persen sisanya terdiri dari spekulasi dan arbitrase, saat para pedagang yang memiliki sejumlah besar uang mencari keuntungan yang cepat dari fluktuasi nilai tukar dan perbedaan suku bunga.2)

2) Giddens, Anthony, ?The Third Way, Jalan Ketiga?, Pembaharuan Demokrasi sosial, Gramedia, 1999, hal 172

sebuah ungkapan:
Dari trilyunan dolar Amerika yang diperjualbelikan sehari-hari, hanya 5 % yang berkaitan dengan perdagangan dan transaksi ekonomi substantif lainnya. Sembilan puluh lima persen sisanya terdiri dari spekulasi dan arbitrase, saat para pedagang yang memiliki sejumlah besar uang mencari keuntungan yang cepat dari fluktuasi nilai tukar dan perbedaan suku bunga.2)

---Giddens, Anthony, ?The Third Way, Jalan Ketiga?, Pembaharuan Demokrasi sosial, Gramedia, 1999, hal 172

?Prospek? Indonesia Masa Depan. Banyak ilmuwan Indonesia ?merasa bisa? meramalkan masa depan Indonesia tanpa secara sungguh-sngguh menjelaskan mengapa kita mempunyai masalah yang kita hadapi sekarang. Jika ilmuwan kita ?meramal? ke depan dan memberikan resep-resep kebijakan agar masa depan itu lebih baik, tanpa menerangkan ?sejarah? terjadinya masalah riil yang kita hadapi sekarang, maka tentulah ilmuwan yang bersangkutan menyusun ?asumsi-asumsi? yang jika, dan hanya jika (asumsi-asumsi terpenuhi), kebijakan-kebijakan yang dianjurkan akan dapat berjalan. Namun, jika ilmuwan menggunakan terlalu banyak asumsi yang tidak realistis, maka berarti ilmuwan yang bersangkutan hanya berteori (berpikir deduktif), padahal banyak teori-teori ekonomi yang berasal dari Barat ini sering keliru atau tidak tepat bagi Indonesia.

Demikian ilmu ekonomi sebenarnya akan lebih bermanfaat jika dapat ?menjelaskan? berbagai sebab-akibat dari fenomena masyarakat, dan dari penjelasan-penjelasan tersebut masyarakat dapat mawas diri dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang telah dibuat di masa lalu. Mawas-diri dan mengoreksi merupakan syarat bagi ditemukannya tindakan atau kebijakan yang lebih baik di masa datang. Dianjurkan kepada para cerdik-pandai terutama pakar-pakar ekonomi untuk lebih menahan diri dan tidak terlalu suka ?meramalkan? masa depan dengan analisis atau pernyataan-pernyataan remedial (dengan resep-resep atau obat-obat) tanpa data-data empirik kenyataan masa lalu dan masa sekarang.

Dalam bidang ekonomi, kesalahan paling mendasar adalah sangat tidak memadainya rasa nasionalisme para pemimpin ekonomi kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang rendah (lebih kagum globalisasi) sama dengan rendahnya rasa percaya diri, yang dalam krisis moneter 1997-1998 hampir hilang sama sekali. Maka mengembangkan rasa percaya diri, bahwa bangsa Indonesia akan mempunyai kemampuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi dengan upaya sendiri, mutlak diperlukan. Hernando De Soto dengan menyakinkan menunjuk pada ?berlian? di negara-negara berkembang yang tak pernah dikenali oleh pemerintah maupun para perencana pembangunan. Inilah potensi domestik, yaitu kekuatan ?ekonomi rakyat? yang telah terbukti tahan-banting dalam situasi krismon, dan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total. Bahwa ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) satu tahun saja pada tahun 1998, dan mulai tahun 1999 dan seterusnya sudah tumbuh positif (meskipun kecil), hendaknya dicatat sebagai bukti bahwa sektor ekonomi rakyat dalam waktu pendek telah pulih kembali meskipun ekonomi sektor modern masih menghadapi kesulitan.

Penutup. Kami selalu menahan diri dan tidak tertarik menulis ?prospek masa depan?, dengan alasan yang kami ajukan diatas yaitu bahwa tugas ilmuwan lebih baik ?menjelaskan? bukan ?meramal?. Menyusun prospek dalam bidang ekonomi lebih perlu lagi untuk tidak dilakukan secara gegabah karena teori-teori ekonomi yang ada, yang berasal dari Barat, pada umumnya tidak realistis, karena banyak menggunakan asumsi-asumsi yang sulit dipenuhi. Satu contoh kekeliruan fatal dari teori ekonomi Neoklasik/Neoliberal dari Barat sudah terjadi yaitu ketika krismon 1997-1998 diramalkan ?tidak mungkin terjadi di Indonesia?. Dewasa ini pakar-pakar ekonomi bersilang pendapat tentang bisa tidaknya krisis ekonomi ala Argentina menyerang Indonesia. Dalam hal seperti ini kami selalu menolak untuk membuat ramalan. Yang kiranya cukup jelas adalah bahwa para pemimpin ekonomi Indonesia baik dari kalangan pemerintah, dunia bisnis, atau dari kalangan pakar, kami himbau untuk berpikir keras menyusun aturan main atau sistem ekonomi baru yang mengacu pada sistem sosial dan budaya Indonesia sendiri. Jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa, maka kita tidak perlu merasa ragu-ragu mengacu pada Pancasila lengkap dengan lima silanya dalam menyusun sistem ekonomi yang dimaksud.

Sistem Ekonomi Pancasila mencakup kesepakatan ?aturan main etik? sebagai berikut:

1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa: Perilaku setiap warga Negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab: Ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan nasional;

3. Persatuan Indonesia: Nasionalisme ekonomi;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan: Demokrasi Ekonomi; dan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Desentralisasi dan Otonomi Daerah.

Demikian ?prospek? masa depan ekonomi Indonesia, pada hemat kami sangat tergantung pada kesediaan untuk menerima dan melaksanakan ?aturan main etik?, (ada yang menyebutnya sebagai ?kontrak sosial?). Apapun namanya, sebaiknya kita tinggalkan aturan main, atau sistem ekonomi kapitalis liberal (atau Neoliberal) yang sejauh ini dianggap ?tak terelakkan?. Kita harus berani mengelak dari nasehat-nasehat dari luar, atau dari pakar-pakar yang terlalu silau atau terlalu yakin akan kebenaran teori-teori ekonomi dari luar. Indonesia harus percaya diri menyusun aturan main yang paling cocok bagi kepribadian Indonesia.

III. EKONOMI RAKYAT DI MATA TEKNOKRAT

1. Sajogyo dan Widjojo Nitisastro

Pada tahun 1978 dalam sebuah artikel ilmiah populer di harian Kompas berjudul Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan, Sajogyo, yang sosiolog, ?mengambil oper? peranan pakar ekonomi dengan menetapkan garis kemiskinan pada tingkat pendapatan pertahun setara 240 kg nilai tukar beras / orang. Sajogyo menghitung ada 42,7 juta orang miskin (36,4%) di Indonesia (1970), yang 6 tahun kemudian (1976) turun persentasenya menjadi 33,4 %, meskipun dalam jumlah orang meningkat menjadi 45,1 juta. Peranan sebagai ekonom ini dilakukan Sajogyo sejak 1976 ketika mengeluh mengapa ekonom Indonesia tidak menanggapi hasil penelitian tentang kemiskinan di Sriharjo yang 3 tahun sebelumnya (1973) sudah dibahas dimana-mana di kalangan ilmuwan ekonomi pertanian internasional. Sajogyo kecewa ekonom Indonesia lebih banyak memikirkan masalah-masalah makroekonomi perdagangan dan keuangan internasional (konglomerasi dan globalisasi), dan tidak menyediakan waktu memikirkan ekonomi rakyat atau nasib penduduk miskin yang jumlahnya banyak dan senantiasa meningkat.

Pada tahun 1966, Widjojo Nitisastro, yang Dekan Fakultas Ekonomi, dengan dukungan rekan-rekannya dan mahasiswa FE-UI, mengumandangkan tekad melaksanakan pasal-pasal 23,27,33, dan 34 UUD 1945, dan bertekad mengamalkan Pancasila dan perbaikan ekonomi rakyat. Rumusan hasil kesimpulan seminar mahasiswa FE-UI selanjutnya menjadi landasan TAP No. XXIII/MPRS/1966.

Bukti :

Pada tahun 1933, Bung Hatta yang sarjana ekonomi tamatan Sekolah Tinggi Ekonomi di Nederland(1932), menulis kata pengantar dalam majalah Daulat Rakyat sebagai berikut :

Tani sendiri tidak berkuasa lagi atas padi yang ditanamnya. Padi masak orang lain yang punya. Produksi tinggal di tangan bangsa kita, tetapi distribusi atau pejualan sudah ditangan bangsa asing. Bertambah banyak perpecahan produksi, bertambah kuasa kaum pembeli dan penjual, semakin terikat ekonomi rakyat.3)

-------- M. Hatta, Kolektivisme Tua dan Baru, Daulat rakyat, No. 25, 10 Oktober 1933

Demikian jika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin ekonomi kita di masa lalu begitu bersemangat memihak kepetingan ekonomi rakyat dan berpikir atau bekerja keras mengangkat derajat orang kecil yang miskin, adalah aneh jika ekonom-ekonom muda masa kini begitu percaya dan menggantungkan diri pada konsep pertumbuhan ekonomi dan begitu mengagung-agungkan persaingan bebas yang dianggap hasilnya pasti akan ?menetes ke bawah?. Prinsip demokrasi ekonomi dan asas kekeluargaan, misalnya, yang dirumuskan Hata dan dibela oleh Widjojo dkk, sekarang dianggap tidak relevan lagi setelah globalisasi.

Para tokoh

Demikian jika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin ekonomi kita di masa lalu begitu bersemangat memihak kepetingan ekonomi rakyat dan berpikir atau bekerja keras mengangkat derajat orang kecil yang miskin, adalah aneh jika ekonom-ekonom muda masa kini begitu percaya dan menggantungkan diri pada konsep pertumbuhan ekonomi dan begitu mengagung-agungkan persaingan bebas yang dianggap hasilnya pasti akan ?menetes ke bawah?. Prinsip demokrasi ekonomi dan asas kekeluargaan, misalnya, yang dirumuskan Hata dan dibela oleh Widjojo dkk, sekarang dianggap tidak relevan lagi setelah globalisasi.

2. Selo Soemardjan

Selo Soemardjan yang menerima Anugrah Hamengkubuwono IX tanggal 19 Januari 2002 menyampaikan orasi ilmiah di Pagelaran Keraton Yogyakarta dengan Judul Pluralisme Budaya Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologis). Dari orasi dengan judul yang sangat netral dan sederhana terungkap keprihatinan mendalam tentang mulai pudarnya nasionalisme Indonesia, yaitu kesetiaan pada pluralisme budaya (kebhinekaan). Patriotisme dan nasionalisme seperti yang diikrarkan Pemuda-pemudi Indonesia tahun 1928 sekarang hampir hilang karena suku-suku bangsa di pelosok-pelosok seluruh Indonesia mulai pudar kepercayaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta.

Namun yang kini lebih memprihatinkan lagi bukanlah makin pudarnya rasa nasionalisme suku-suku bangsa kecil-kecil yang jauh dari Jakarta, tetapi makin pudarnya rasa nasionlisme para pakar yang menganggap paham globalisme lebih kuat atau lebih benar ketimbang ideologi nasional. Maka Pancasila dan UUD yang telah disepakati para pendiri Republik Indonesia tahun 1945 juga mulai dipertanyakan karena dianggap tidak lagi relevan atau ketinggalan zaman. Mencontoh negara-negara lain yang lebih maju dari Indonesia yang menganggap sistem ekonomi kapitalisme sebagai satu-satunya jalan ke kemajuan, maka ?tidak perlu lagi Indonesia ?terikat? pada atas kekeluargaan atau kegotong-royongan yang terpancar dari Pancasila?.

Demikian dari uraian sosiologis Selo Soemardjan tentang pergolakan etnik di daerah-daerah yang sudah berlangsung 4 tahun terakhir, dan keluhan Sajogyo tentang tidak cekatannya pakar-pakar ekonomi menanggapi masalah kemiskinan dan ekonomi rakyat di Indonesia, pakar-pakar ekonomi perlu benar-benar mawas diri. Kami sendiri berpendapat ketidaktajaman cara berpikir pakar-pakar ekonomi, dan menurunnya rasa nasionalisme, disebabkan ilmu ekonomi telah kita jauhkan dari ilmu sosiologi. Ilmu ekonomi ala Samuelson yang semakin kuantitatif harus kita akui sebagai ?biangkeladi? dari kekeliruan ini. Dan yang paling fatal ilmu ekonomi Neoklasik Barat kini kita pelajari dan kita ajarkan sebagai agama (Robert Nelson, Economics as Religion, 2001)

3. Ekonomi Moral

Jika disadari bahwa buku Smith tahun 1759 berjudul The Theory of Moral Statements, padahal kita hanya mengajarkan ke pada mahasiswa kita buku ke duanya yaitu The Weath of Nations (1776), kiranya kita para dosen ilmu ekonomi harus mengaku ?berdosa? atau paling sedikit mengakui kekeliruan kita. Mengapa mahasiswa ekonomi hanya memahami manusia sebagai ?homo ekonomikus?, dan bukan sebagai ?homo moralis? atau ?homo socius? ? Itulah, karena ilmu ekonomi kita ajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik, yang matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang. Memang Kenneth Boulding telah berjasa mengingatkan bahwa ilmu ekonomi dapat dipelajari sebagai :

(1) ilmu ekologi;

(2) ilmu perilaku;

(3) ilmu politik;

(4) ilmu matematik;

(5) ilmu moral.

Tetapi berapa banyak di antara kita yang membahasnya atau menyinggung di ruang kuliah sebagai ilmu moral? Sangat sedikit, karena kita lebih suka menganggap ilmu ekonomi sebagai ilmu positif (positive science), dan cenderung mengejek ekonom lain yang mengajarkannya sebagai ilmu yang normatif (normative science). Terhadap konsep Ekonomi Pancasila yang pernah mencuat di wacana nasional, ada Ekonom Senior kita yang mengejek bahwa ?tidak ada gunanya mengajarkan ilmu surga di dunia?

Karena tidak banyak manfaatnya lagi mengingatkan kritik-kritik radikal terhadap ilmu ekonomi seperti Paul Ormerod dalam The Death of Economics (1994), (karena buku seperti ini pasti sudah ?disingkirkan? sejak awal), maka buku klasik Kenneth Boulding diatas kiranya lebih tepat untuk dikutip.

Our graduate schools may easily be producing a good deal of the ?trained incapacity?, which Veblen saw being produced in his day, and this is a negative commodity unfortunately with a very high price.4)

4) Boulding, Kenneth, E. Economics as a Science, Tata McGraw-Hill, Bombay 1970, op. cit.hal 156

Kami sangat khawatir kita tidak terlalu peduli apakah sarjana-sarjana ekonomi yang kita hasilkan akan merupakan ?trained incapacity? atau bukan? Mudah-mudahan melalui diskusi-diskusi ini makin banyak dosen di fakultas-fakultas ekonomi yang tersadar, berpikir, dan menjadi peduli pada misi pendidikan kita sekarang dan di masa depan. Jika tidak kita patut bertanya, Quo Vadis Fakultas Ekonomi Kita?

IV. PENUTUP

Ekonomi Rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, ?underground economy?, atau ?ekstralegal sector?. Alfred Marshall bapak ilmu ekonomi Neoklasik (1890) memberikan definisi ilmu ekonomi sebagai berikut :

Economics is a study of men as they live and move and think in the ordinary business of life. But it concerns itselft chiefly with those motives which affect, most powerfullly and most steadily, man?s conduct in the business part of his life.5)

5) Alfred Marshall, Principles of Ecoomics, Macmillan, 1948, op.cit. hal 14

Ekonomi kerakyatan menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang menekankan pada sifat demokratis sistem ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia produksi tidak hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (penjelasan pasal 33 UUD 194).

Demikian ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa depan, dan sistem ekonomi Pancasila merupakan ?aturan main etik? bagi semua perilaku ekonomi di semua bidang kegiatan ekonomi.

Mekanisme Nilai Tukar

BERAPAKAH NILAI TUKAR RUPIAH YANG WAJAR?
OPINI : Perlu ada kebijakan yang konkrit untuk mentargetkan nilai tukar Rupiah pada level yang lebih baik dari Rp10.000 per USD. Pemikirannya secara sederhana yaitu bahwa pada level ini, berarti Rupiah merosot sampai tinggal 25% dari nilainya sebelum krisis, semua barang lokal terlalu murah dibandingkan harga-harga luarnegeri. Jika demikian halnya, penyesuaian menuju keseimbangan hanya akan terjadi melalui kenaikan harga-harga semua barang, atau akan terjadi kelangkaan barang dipasar dalam negeri karena semuanya lebih menguntungkan untuk diekspor.
Perlu ada tindakan nyata untuk mengatasi suatu distorsi dan tidak membiarkan distorsi mencari keseimbangannya sendiri, sementara jelas banyak efek berantai yang mengikuti distorsi itu.

Berhubung resep yang diajukan oleh IMF tidak menghasilkan perbaikan, sedangkan situasi sudah semakin memburuk, maka perlu diambil kebijakan yang lebih radikal.
Krugman menganjurkan suatu Plan B, yaitu "kontrol devisa".
Tetapi hendaknya dikaji dengan seksama, apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Krugman, dkk(!), dan seberapa yakin dia sendiri dengan saran ini.....
Dan apakah benar tidak ada alternatif Plan C?
Tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Krugman mengenai aliran "hard-money" dan "soft-money" bahwa masing-masing mempunyai pandangan atau pendapat yang sebagian benar dan sebagian salah, maka adalah tidak keliru kalau dikatakan argumentasi yang dipaparkan Krugman juga bisa ada yang benar dan bisa ada yang salah!
Yang paling pokok dari apa yang dikatakan Krugman adalah tepat, dan itupun sudah banyak yang menganjurkan, yaitu perlu ada pembatasan-pembatasan lalu lintas devisa, seperti sistim two-tier nilai tukar, dsb. Disamping itu memang sudah jelas bahwa semata-mata mengikuti resep IMF saja tidaklah cukup, perlu ada inisiatif sendiri mencari alternatif yang lebih ampuh agar benar-benar bangkit dari krisis penyakit ekonomi.

Dalam pembahasan yang ramai awal bulan September ini sehubungan diberlakukannya kontrol devisa di Malaysia yang juga berkaitan dengan artikel Krugman, RRCina disebut sebagai salah satu negara yang berhasil mempertahankan perekonomiannya sehingga tidak tertular oleh krisis Asia, karena sistim ekonominya yang tertutup dan masih berlaku kontrol devisa disana. Sebuah artikel yang skeptis dengan daya tahan RRCina dan Hong Kong dalam menghadapi goncangan keuangan yang begitu ganas melanda negara-negara sekitarnya meragukan daya tahan "satu negara, dua sistim" ini dapat bertahan sampai kapan:
"China and Hong Kong are headed toward collapse" [Japan Echo, Jun 1998], by Ito Kiyoshi.

Namun, dibalik kisah yang skeptis diatas, agaknya kita harus akui bahwa sampai sekarang Hong Kong tetap berhasil mempertahankan nilai tukar mata uangnya pada tingkat yang tidak berubah sejak tahun 1983, yaitu HK$7,80 per US$1.

Bagaimana sistim kerja currency board yang berlaku di Hong Kong diuraikan cukup mendalam dan lengkap oleh Joseph Yam, Chief Executive dari lembaga keuangan pengganti bank sentral yang bernama Hong Kong Monetary Authority (HKMA), dalam teks panjang berjudul "The Hong Kong Dollar Link", atau terjemahannya "Keterkaitan Dolar Hong Kong".

Joseph Yam sendiri percaya bahwa belum banyak yang mengenal bagaimana sistim nilai tukar fixed yang bernama akademik 'currency board' itu dilaksanakan dalam prakteknya, sehingga ia menulis teks pidatonya sekaligus untuk menjelaskan beberapa pilihan tindakan rinci yang dijalankan oleh HKMA dan oleh para pengritiknya dipandang menyimpang dari sistim currency board orthodox.

Meskipun otorita moneter di Hong Kong yakin penuh akan ketangguhan sistim ini, sudah berulangkali serangan gencar dari spekulator berniat betul untuk meruntuhkannya, dan yang besar terakhir terjadi antara tanggal 5 Agustus sampai 7 Agustus 1998 yang baru lalu. Tak dapat disangkal bahwa kebijakan yang diambil pihak otorita moneter sejauh ini benar-benar kredibel dalam memainkan peranannya menghadapi manipulator pasar yang barangkali benar sudah dapat dikatakan, mengulang kata-kata Mahathir, sebagai 'kurang bermoral'.

Dua artikel lagi ditulis untuk menjelaskan tindakan-tindakan HKMA guna menangkal para manipulator yang mencoba menghantam dengan bermain sekaligus di dua front, yaitu bursa stock index futures dan bursa valas. Untuk menghadapinya HKMA dengan terpaksa mulai intervensi di bursa yang sama.

"Mengapa HKMA Intervensi" [AWSJ, 20 Aug 1998] oleh Joseph Yam (terjemahan dari "Why We Intervened")

"Intervention True to Guiding Policy" [SCMP, 24 Aug 1998] by Joseph Yam

Seruan Joseph Yam menyuarakan kembali bahwa ada sesuatu yang salah dalam tatanan yang diistilahkan sebagai globalisasi dan liberalisasi keuangan dunia, sehingga perlu ada tindakan-tindakan yang lebih berarti dari negara-negara G-7!

Lebih lanjut mengenai "Jurus Hong Kong: Intervensi di Pasar Bebas", dengan menguraikan secara jelas tindakan intervensi yang diambil, Joseph Yam mengirim sebuah surat kepada Alan Greenspan berkenaan dengan komentar Greenspan atas langkah-langkah Hong Kong itu. (Rev.981026)

Artikel-artikel lengkap dari otorita moneter Hong Kong bisa didapat di website HKMA.

Untuk kebijakan-kebijakan bank sentral Amerika, kunjungi website Federal Reserve Board:
beberapa pidato pejabat Fed menarik untuk dikaji, a.l. mengenai apa yang seharusnya diperbuat oleh pejabat bank sentral untuk stabilisasi moneter dan mata uang, serta juga komentar mengenai krisis Asia.

Tabel Kurs Harian beberapa mata uang Asia, dll, terhadap USD:
mulai tanggal 2 Juli 1997 s/d 30 November 1998.

Kebijakan Kontrol Devisa sebagai alternatif yang diambil oleh Malaysia untuk mengatasi krisis ekonomi dinegaranya cukup banyak memiliki pendukung namun banyak juga yang menentang, baik di dalam negeri maupun dari kalangan pakar ekonomi dunia.

Demikian pula masih jadi perdebatan seberapa jauh kontrol devisa itu hendak diterapkan, dan seberapa besar pula kebebasan yang masih ada.
Ikuti link "Jurus Malaysia: Kebijakan Pengendalian Devisa", untuk mengetahui lebih banyak mengenai kebijakan baru yang diterapkan oleh Malaysia mulai awal September 1998 ini. Sejumlah komentar pro dan kontra akan membantu memberikan variasi aspek dan prospek kebijakan ini.

Pada garis besarnya Malaysia memberlakukan larangan perdagangan Ringgit diluar negaranya, serta bertindak ketat dengan memanggil pulang semua Ringgit yang disimpan di luar negeri, dan disamping itu menentukan nilai tukar yang fixed pada tingkat RM 3.80 per US$ 1.00.

Plan B bertolak dari pemikiran perlunya ada pembatasan mobilitas kapital, agar jangan sampai negara-negara kecil dari emerging markets menjadi sasaran perputaran modal yang dimainkan dipasar global secara bebas tanpa batas.

Bagaimana dengan alternatif lain, sudah adakah Plan C? Kembali kepada Krugman, artikelnya tanggal 23 September 1998 berjudul "Latin America's Swan Song", membahas penularan krisis ekonomi yang sudah berjangkit sampai ke Brazil, dan memberikan tiga pilihan. Diantaranya dua yang sekarang kita sudah kenal: Plan A, yaitu tenang-tenang saja sambil 'tahan napas' biarkan kurs bebas mengambang, lalu berbisik dalam hati mudah-mudahan hanya terjadi depresiasi kecil-kecilan ["amit-amit......, jangan sampai kejadian yang seperti di Indonesia atau di Rusia itu....."]. Dan Plan B, kontrol devisa.

Alternatif lain, yang diberikan dalam resep Krugman terakhir ini ialah: bertahan dengan nilai tukar tetap, dan membiarkan penyesuaian-penyesuaian akan terjadi berangsur-angsur melalui tahapan deflasi, disertai reduksi biaya-biaya dan peningkatan produktivitas.

angan bilang Krugman, sebab Krugman di artikel itu tidak bilang begini: sistim dengan nilai tukar fixed yang paling mantap ialah tidak lain currency board seperti di Argentina atau Hong Kong. Dengan currency board tidak ada kontrol devisa, siapa saja bebas dan selalu dijamin dapat menukarkan mata uangnya dengan mata uang jangkar pada tingkat nilai tukar yang pasti. Sistim itu sendiri sudah pasti benar. Tapi selalu ada orang yang melihat bahwa itu tidak benar. Misalnya, Nouriel Roubini dengan "Debunking Ten Myths About the Benefits of Currency Board." Atau lihat tiga buku terbitan mutakhir: "Upaya Memperkuat Rupiah: Kumpulan Pemikiran" dari Majalah Gatra, "Sumber Krisis Moneter Indonesia" oleh HMT Oppusunggu, dan "Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total" oleh Sjahrir. Memang canggih-canggih pemikiran para pakar ekonomi Indonesia. Sampai pusing kepala dibuatnya.

Masih ingat Steve Hanke? Entah apa dosanya (barangkali karena nyaris 'membantu' Suharto), dia punya nama kurang harum di Indonesia. Tapi sebagai kolumnis Forbes dia rajin menulis. Dan mungkin sebagian tulisannya ada benarnya. Seri Forbes Point of View oleh Steve Hanke.

Kembali kepada maxim ekonomi sebagai ilmu yang melakukan pemilihan mana yang terbaik diantara alternatif yang ada dengan pengorbanan minimal, maka setelah krisis berjalan lebih dari setahun mestinya sudah ada pemikiran yang matang dan segera ada tindakan nyata.

Misalnya saja, pada saat ini Rupiah sedang undervalue karena overshoot. Guna menolong memutar roda perekonomian dan mengangkat rakyat dari penderitaan, sambil sekaligus menahan inflasi akibat kurs yang overshoot, ditetapkan sistim dewan mata uang, dengan rupiah pada level 7000 sampai 8000 per USD. Ditetapkan Undang-undang sistim dmu, dengan ketentuan peninjauan nilai tukar satu kali setiap 20 (dua puluh) tahun. Jika nilai tukar akan diubah, maka nilai tukar yang baru harus diumumkan pada tahun kesembilanbelas sebelum diberlakukan pada tahun keduapuluh. Atau dmu diundangkan berlaku 20 tahun atau 30 tahun, setelah itu kembali ke sistim nilai tukar lain yang lebih 'kredibel', sambil terus-menerus diadakan riset. Atau varian lain semacam itu. Atau Plan B. Banyak jalan menuju ke Roma. Dan tidak cuma menunggu belas kasihan.

Sistim dmu yang orthodox memerlukan tatanan perbankan yang kuat dan tidak mengandalkan lender of last resort dari bank sentral. Sistim perbankan dan bank sentral benar-benar direvisi besar, sekarang waktu yang tepat bersamaan dengan pemberesan BLBI yang sedang berlangsung. Sistim dmu yang non-orthodox, menyerupai sistim Hong Kong, berjalan secara auto-pilot dengan pengimbang gerakan suku bunga, mengandung unsur lender of last resort tetapi dikendalikan dengan kredibilitas tinggi. Mutlak diperlukan pemikiran independen, murni dan jernih.

Lantas kalau masuk sistim dmu dengan kurs 7000, apakah semua hutang luarnegeri akan langsung menubruk dolar? Ya, untuk mereka yang sudah jatuh tempo cicilannya, dan punya mata uang tunai rupiah. Yang bisa ditukar adalah uang tunai rupiah, bukan deposito, atau CP, atau asset lain apapun. Kalau belum, kenapa harus 'nubruk sekarang. Lima tahun atau sepuluh tahun lagi, sudah ditetapkan undang-undang kurs masih akan tetap sebegitu juga. Otorita moneter dituntut secara transparan meyakinkan kredibilitasnya.

Ketergantungan kepada IMF dan Kebijakan Moneter (980906)

Sejumlah langkah kebijakan sudah digariskan bersama IMF, dan berulang kali ditinjau kembali dan direvisi mengikuti perkembangan perekonomian yang berjalan. Tidak dapat disangkal bahwa kebijakan-kebijakan itu akan membawa perbaikan-perbaikan, pada akhirnya. Namun berlandaskan prinsip keterbukaan dan transparansi yang bersama-sama didengungkan, penilaian dapat dipertimbangkan bersama dan barangkali menjadi masukan yang berarti.

Walaupun pada saatnya nanti, waktulah yang akan membuktikan apakah kebijakan-kebijakan yang digariskan telah dijalankan dengan sesuai dan berhasil, pengalaman dari negara lain dan kacamata yang tajam dapat membantu membuka jalan atau memisahkan padi dan gabah.

Satu hasil analisa post mortem memperlihatkan bahwa garis-garis kebijakan yang disusun bersama IMF tidak menunjukkan sedikit pun upaya yang langsung bertujuan menetapkan berapa nilai tukar yang menjadi target, dan berkonsentrasi untuk mencapai target itu. Apa yang terjadi adalah target nilai tukar yang pernah dibuat, dengan tidak diberi alasan, dalam suatu periode singkat, telah digeser, pada waktu peninjauan kembali karena perubahan situasi perkembangan perekonomian.

Menjadi pertanyaan apakah target nilai tukar bukan sesuatu yang maha penting, dalam suatu kebijakan moneter yang bermaksud mencari kestabilan?

Akibatnya, boleh cari kalau ada negara lain yang jatuhnya matauang lebih parah daripada Indonesia.
Rusia pun sebelum mata uangnya jatuh terlalu dalam, segera ambil tindakan menghentikan perdagangan!

Dibalik itu, sebenarnya kurang tepat kalau IMF sebagai satu lembaga dianggap hanya mempunyai satu pandangan dalam kebijakan ekonomi. Ada banyak artikel yang dipublikasikan IMF memberikan segudang koleksi macam-macam resep untuk diracik dan disajikan.

Hong Kong Monetary Authority menjelaskan alasan-alasan mengapa perlu melakukan intervensi di pasar saham dan bursa index futures, untuk meredam para spekulator yang berusaha mencari keuntungan dari sistim keuangan Hong Kong. Tegas dan secara terbuka Hong Kong bertekad mempertahankan fair market. Namun tak dapat dihindari harus mengambil tindakan drastis karena tindakan para spekulator (dalam istilah HKMA 'para manipulator') jika dibiarkan akan terus-menerus mengguncangkan sistim keuangan. Akan berakibat fluktuasi suku bunga dan diikuti panik kalangan bursa, dan semakin menekan situasi deflasioner yang sedang berlangsung. Dipihak lain, komentator barat menekankan intervensi sebagai perbuatan tercela yang menghianati liberalisme pasar bebas.
".....Kami berkesanggupan untuk menanggung hancurnya harga-harga asset seberapapun sulitnya. Apa yang kami upayakan adalah menghadapi manipulasi harga. Dan kami melakukannya dengan membuat frustrasi mereka yang 'bermain-main' melalui tindakan balasan di pasar, dan diikuti dengan usaha perbaikan agar pasar kami lebih sukar dimanipulasi....."
".....Kami mempunyai alasan untuk berkeyakinan bahwa mereka yang ingin memanipulasi pasar telah sejak awal tahun ini mengumpulkan transaksi swap senilai lebih dari HK$30 milyar melalui para perantara keuangan, dengan lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, yang telah menerbitkan surat hutang berjangka satu dan dua tahun dalam dolar HK. Kami mempunyai bukti-bukti bahwa pada waktu bersamaan mereka telah mengakumulasi posisi short dalam bursa index futures. Mengambil kesempatan dari desas-desus dan kabar angin yang sedang beredar, mereka menjual dollar Hong Kong yang telah dikumpulkan kepada HKMA, yang berkewajiban mengambilnya berdasarkan disiplin sistim dewan mata uang, dan segera melontarkan suku bunga keatas dan harga saham merosot tajam. Kesempatan ini memberikan keuntungan besar bagi posisi short dalam index futures mereka...."
"....lingkungan pasar bebas bukan berarti boleh dimanipulasi secara bebas. Pasar harus berimbang dan wajar juga. Lagi pula, jika pihak-pihak penganut pasar bebas bisa didesak untuk melakukan tindakan yang tidak konvensional dan kontroversial, apakah mungkin ada sesuatu yang salah besar di lingkungan keuangan internasional dan perlu segera ditangani?...."

Frail Asian Economy Watch Hong Kong, Malaysia Ploys [Washington Post, 11 Sep 1998]
by Keith B. Richburg.
"....Strange things are happening in Asia......: The government's unprecedented stock-buying spree has produced cries of outrage, with one local economist saying chief executive Tung Chee-hwa has turned the Hong Kong administration into 'a kind of ATM machine for speculators.'......."
"...Then ....Prime Minister Mahathir Mohamad announced it was essentially taking the country out of the global financial system, making its currency, the ringgit, nonconvertible overseas and taking other measures to isolate Malaysia's economy....." (lihat Jurus Malaysia: "Kebijakan Pengendalian Devisa")
"..... to defend that peg against periodic attacks by outside speculators, the government has to jack up interest rates, and that in turn drives the stock market down. Speculators can thus work the 'double play' by putting pressure on the Hong Kong dollar, and then selling short on the market, which means betting that the stock market will fall. So they make money whether the currency peg collapses, which is unlikely, or the market falls...."
"....Some market analysts suggested the intervention may have been prompted by pressure on Tung, a former shipping tycoon before he became chief executive, from the territory's billionaire property barons who were watching their fortunes fall as the stock market plummeted...."
"......'This is a return to the so-called Asian values, which is basically a cover for crony capitalism,' said one local market analyst....."

Frail Asian Economy Watch Hong Kong, Malaysia Ploys [Washington Post, 11 Sep 1998]
by Keith B. Richburg.
"....Strange things are happening in Asia......: The government's unprecedented stock-buying spree has produced cries of outrage, with one local economist saying chief executive Tung Chee-hwa has turned the Hong Kong administration into 'a kind of ATM machine for speculators.'......."
"...Then ....Prime Minister Mahathir Mohamad announced it was essentially taking the country out of the global financial system, making its currency, the ringgit, nonconvertible overseas and taking other measures to isolate Malaysia's economy....." (lihat Jurus Malaysia: "Kebijakan Pengendalian Devisa")
"..... to defend that peg against periodic attacks by outside speculators, the government has to jack up interest rates, and that in turn drives the stock market down. Speculators can thus work the 'double play' by putting pressure on the Hong Kong dollar, and then selling short on the market, which means betting that the stock market will fall. So they make money whether the currency peg collapses, which is unlikely, or the market falls...."
"....Some market analysts suggested the intervention may have been prompted by pressure on Tung, a former shipping tycoon before he became chief executive, from the territory's billionaire property barons who were watching their fortunes fall as the stock market plummeted...."
"......'This is a return to the so-called Asian values, which is basically a cover for crony capitalism,' said one local market analyst....."
 
bagus,walaupun bahasa inggrisnya kebanyakan jadi agak bingung juga.
(^o^)
 
Back
Top