Peran Lembaga Keuangan Mikro

nurcahyo

New member
Rudjito
PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM OTONOMI DAERAH GUNA MENGGERAKKAN EKONOMI RAKYAT DAN MENANGGULANGI KEMISKINAN
STUDI KASUS: BANK RAKYAT INDONESIA


I. Lembaga Keuangan Mikro dan Program Pengentasan Kemiskinan

Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.

Di BRI sendiri, micro finance didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi micro finance atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan.

Bagaimanapun, target atau segmen micro finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau berpenghasilan rendah Program P4K yang ditangani di BRI mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka petani nelayan kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatannya maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun.

Menurut Marguiret Robinson (2000), pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.

Gambar 1. Financial Services in the Poverty Alleviation Toolbox (Marguiret, 2000)



Pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu yang ampuh dalam menangani kemiskinan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, ketika pinjaman diberikan kepada mereka yang sangat miskin, kemungkinan besar pinjaman tersebut tidak akan pernah kembali. Hal ini wajar saja, mengingat mereka (the extreme poor) tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Program pangan dan penciptaan lapangan kerja lebih cocok untuk masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) atau masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income), mereka memiliki penghasilan, meskipun tidak banyak. Untuk itu diperlukan pendekatan, program subsidi atau jenis pinjaman mikro yang tepat untuk masing-masing kelompok masyarakat miskin tersebut.

Marguiret Robinson (2000) mengklasifikasikan pelayanan micro finance terhadap masyarakat miskin ke dalam tiga kategori seperti pada gambar 1.

Disamping BRI Unit, BRI juga bekerjasama dengan Pemerintah atau Instansi lain mengelola P4K dan BKD, tentu saja terdapat Lembaga Keuangan lain seperti BPR dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang ikut terlibat dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia seperti pada gambar 2.

Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan khususnya bank umum.

Pada lembaga keuangan mikro ini dapat menumbuhkan minat masyarakat di pedesaan untuk berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil di pedesaan, yang pada akhirnya dapat membantu program pemerintah untuk :

1. Meningkatkan produktivitas usaha masyarakat kecil di pedesaan.
2. Meningkatkan pendapatan penduduk desa.
3. Menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan, sehingga dapat memperkecil keinginan masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi.
4. Menunjang program pemerintah dalam mengupayakan pemerataan pendapatan penduduk desa dan upaya pengentasan kemiskinan.

II. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah (OTODA)

Kebijakan Pemerintah Indonesia dibidang Otonomi Daerah, telah berpengaruh secara nyata terhadap sistem pemerintahan dan keuangan. Dari sentralisasi kepada desentralisasi. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana pemberian kewenangan otonomi daerah tersebut adalah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal ini terutama adalah kewenangan dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999.

Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengandung suatu implikasi bahwa transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga kemampuan keuangan daerah meningkat disertai dengan peningkatan kewenangan dalam pengelolaannya.

Dampak dari kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan peluang peningkatan kegiatan perekonomian daerah, terutama di daerah luar Jawa, yang selama ini mengalami ketinggalan dibanding Jakarta atau Jawa. Kegiatan bisnis daerah yang semakin berkembang tersebut pada gilirannya akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah, termasuk dalam hal ini adalah lembaga keuangan mikro dan perbankan. Kehadiran mereka diharapkan akan semakin meningkatkan bisnis daerah yang bersangkutan, melalui berbagai produk yang ditawarkannya.

III. Peran Klasik Lembaga Keuangan Mikro

Secara klasik, sebagai intermediary institutiuon, lembaga keuangan menjalankan kegiatannya dalam bentuk penghimpunan dana dari pihak yang mengalami surplus dana melalui produk saving, dan menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang mengalami defisit dana melalui produk lending.



1. Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Lembaga Keuangan Mikro

Memperhatikan kondisi geografis daerah di Indonesia yang sangat luas dan tesebar dalam banyak pulau, serta mengingat pasar sektor riil yang hampir seluruhnya merupakan usaha mikro / UKM, maka agar fungsi lembaga keuangan mikro dalam menggerakkan kegiatan perekonomian daerah dapat berjalan secara optimal, lembaga keuangan mikro harus memenuhi kualifikasi :

1. memiliki jaringan kerja yang kuat.

2. fungsi sebagai payment gateway berjalan dengan baik.

3. memahami kebutuhan Pemerintah Daerah dan bisnis masyarakat setempat.

2. Enrich Intermediary Function

Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut diatas, BRI sebagai lembaga keuangan atau bank yang berpengalaman berhubungan dengan pemerintah daerah dan bisnis mikro, tidak semata-mata menjalankan fungsi klasik perbankan. Disamping menawarkan beragam produk yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar keuangan mikro khususnya, BRI melakukan optimalisasi pendapatan nasabah, simpanan serta optimalisasi pembiayaan nasabah pinjaman. BRI juga menyediakan berbagai layanan dalam rangka peningkatan capacity building nasabah. Antara lain melalui program peningkatan accessibility nasabah, program pendampingan UKM maupuan inclass training.

3. Optimalisasi Pendapatan

Dalam rangka optimalisasi pendapatan PEMDA, dana yang dimiliki PEMDA harus dikelola dengan baik agar penggunaannya dapat dilakukan secara efektif dan bahkan mendatangkan pendapatan. Untuk tujuan tersebut BRI menawarkan kerjasama dalam bentuk manajemen kas, antara lain dalam bentuk pembayaran gaji. Melalui kerjasama ini selain akan mengurangi beban administrasi PEMDA, kerjasama ini juga akan memberikan kemudahan bagi karyawan PEMDA tersebut dalam menarik dana gajinya melalui outlet BRI yang tersebar sampai pelosok kecamatan.

4. Optimalisasi Pembiayaan

Dalam rangka optimalisasi dibidang pembiayaan, BRI telah mengembangkan berbagai produk dan pelayanan bagai pengembangan perekonomian daerah, baik yang ditujukan kepada PEMDA setempat maupun, kepada sektor rill di daerah.


IV. Kiprah BRI dalam melayani masyarakat menengah kebawah
Kinerja BRI fokus pada mikro dan UKM

Sejak didirikan, BRI memiliki misi dalam pengembangan perekonomian rakyat yang mana, pada saat ini dipertegas lagi dengan memfokuskan kepada bisnis usaha mikro dan menengah (UMKM). Konsistensi BRI dalam memberikan pelayanan kepada rakyat kecil tersebut dapat dilihat dari komposisi kredit UMKM dalam portfolio kredit BRI yang terus meningkat dari 80.14% pada Desember 2000, meningkat menjadi 84.16 pada Desember 2001 dan 85.71% pada Maret 2002. Sebaliknya, komposisi kredit korporasi mengalami penurunan secara bertahap.

1. BKD

Badan Kredit Desa boleh dibilang sebagai tonggak sejarah berdirinya Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Diawali dengan berdirinya Lumbung Desa (LD) pada tahun 1897 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat, Lumbung Desa dan Bank Desa inilah kemudian dikenal dengan nama Badan Kredit Desa (BKD), yang merupakan cikal bakal berdirinya Lembaga Perkreditan Kecil di Pedesaan atau sekarang lebih dikenal dengan istilah Lembaga Keuangan Mikro, dan lembaga ini banyak digunakan sebagai bahan studi banding oleh negara dunia ketiga dalam mengembangkan Keuangan Mikro.

BRI saat ini melaksanakan tugas sebagai pendamping atau sebagai pembina dan pengawas BKD, mulai dari bagaimana cara menilai calon peminjam, jenis cicilan pinjaman yang cocok untuk calon anggota, besarnya pinjaman anggota, mengadministrasikan usaha simpan pinjam, pengelolaan uang Kas, memberikan bantuan modal kerja, mengatur cara penggajian para Juru Tata Usaha (JTU) dan Komisi BKD, mendidik JTU dan Komisi BKD dan sebagainya.

Semua kegiatan pendampingan tersebut diatas dimaksudkan agar BKD mampu membiayai sendiri usahanya, dapat memupuk permodalan dan dapat membantu masyarakat pedesaan anggota BKD dalam meningkatkan usahanya maupun meningkatkan penghasilannya sehingga dapat meningkatkan perekonomian di pedesaan.

Setelah melihat keberhasillan BKD inilah, baru kemudian disusul berdirinya LKM-LKM lainnya baik yang didirikan oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Kelompok Masyarakat di pedesaan, seperti Lumbung Pitih Nagari di Sumatera, Lembaga Perkreditan Desa di Bali, Bank Pasar, Koperasi Simpan Pinjam, dan sebagainya. Per Oktober 2002 terdapat 4.518 Bank Kredit Desa yang tersebar di berbagai pelosok desa di Jawa Madura serta melayani sekitar 700.000 orang.

Syarat dan prosedur pelayanan di BKD relatif mudah dan cepat. Nasabah BKD adalah perorangan yang berdomisili di desa bersangkutan. Rata-rata besar pinjaman biasanya dibawah Rp 700.000. Angsuran umumnya mingguan.

2. P4K (Kredit kepada Kelompok Masyarakat dibawah garis kemiskinan atau Rural Income Generating Project)

BRI sebagai executing Bank telah melaksanakan pemberian kredit untuk kelompok yang dibawah garis kemiskinan atau disebut kelompok swadaya. Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil, yang jumlah anggotanya maksimum 16 orang serta telah mendapat bimbingan dan pembinaan oleh Penyuluh Pertanian. Dananya berasal dari BRI dan pinjaman dari IFAD dan ADB dimana resikonya ditanggung oleh BRI. BRI ikut mendanai dalam pemberian kredit dimaksud, selain mendapat loan dari ADB dan IFAD.

Pemberian kredit tersebut dialokasikan di 12 Propinsi dan dilayani di 123 Kantor Cabang, dimana s/d bulan Oktober 2002 BRI telah merealisir kredit sebesar Rp 638.247.560.000 atau US$ 70.916.396 (1 US$ = Rp 9000) kepada 178, 172 kelompok dengan rata-rata outstanding Rp 181.662.285.000 atau US$ 20.184.698 kepada 38.722 kelompok, dimana jumlah anggota untuk masing-masing kelompok maksimum sebanyak 16 orang. Tunggakan kredit sampai per bulan Oktober 2002 adalah 6,78%.

Sasaran pemberian kredit P4K :

Petani Nelayan Kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatan maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun dan KPK yang sudah mendapat pembinaan dari Lembaga / Instansi lain serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pendapatannya dibawah atau sama atau setara 480 kg setara beras per kapita per tahun.

Kredit P4K diberikan secara bertahap, karena merupakan bagian dari proses belajar dan peningkatan kemandirian KPK, kredit berkisar antar Rp 500.000 s/d Rp 2.000.000 per anggota.

Jangka waktu kredit KMK maksimum 12 bulan, KI maksimum 18 bulan. Tidak ada jaminan tambahan berbentuk sertifikat atau lainnya kecuali obyek usahanya yang dibiayai oleh kredit dan tabungan terbeku sebesar 10% dari pinjamannya. Sebelum mendapat pinjaman kelompok dibentuk terlebih dahulu minimal selama 6 bulan dan kepada mereka juga diajarkan tentang pemilihan usaha produktif dan pemasaran yang mempunyai prospek baik didaerah tersebut serta tata cara pembukuan sederhana. Disamping itu mereka juga diharuskan membuat tabungan kelompok terlebih dahulu selama 6 bulan sampai sebesar 10% dari jumlah pinjamannya.

Walaupun kelompok dibentuk oleh Departemen Pertanian atau LSM, namun BRI tetap menilai kelayakan usahanya karena ini merupakan pinjaman komersial, dimana resikonya 100% ditanggung oleh BRI, bukan oleh pemerintah atau ADB dan IFAD. Kredit ini tidak ada subsidi dari Pemerintah karena dalam penentuan suku bunga lender kepada BRI secara floating rate yang ditinjau setiap 6 bulan dan pemerintah juga mengenakan tambahan 2% untuk interes rate sebagai currency risk. Namun demikian BRI memberikan suku bunga kepada kelompok secara fix rate per bulan. Cost of fund secara blended dari BRI, IFAD dan ADB rata-rata sebesar 7,28% dan suku bunga yang dibebankan kepada kelompok adalah 1% flat rate per bulan atau 22,15% per tahun. Bila dibandingkan dengan bunga komersial di Cabang BRI adalah 19% pertahun. Namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan suku bunga BRI micro finance sebesar 1,5% flat rate per bulan atau 33,2% per tahun.

Kredit ini akan berlanjut terus, karena mempunyai prospek yang baik dan BRI berusaha untuk tetap memberikan pelayanan kepada debitur yang telah lepas dari P4K melalui BRI Unit untuk debitur perorangan, sedangkan apabila mereka belum siap untuk mendapatkan kredit perorangan dan tetap akan bergabung dalam kelompok, BRI sudah menyiapkan kredit untuk kelompok tersebut atau dalam bentuk asosiasi yang merupakan gabungan dari beberapa kelompok. Untuk saat ini, BRI sedang mempersiapkan petunjuk pelaksanaan ke seluruh daerah untuk pemberian kredit kepada Kelompok dan Asosiasi dari gabungan beberapa kelompok P4K. Saat ini banyak kelompok P4K yang telah lepas dari garis kemiskinan dan telah mendapat pinjaman komersial di BRI di berbagai daerah.

3. BRI Unit Desa (BRI Unit)

Untuk beberapa waktu lamanya sampai dengan tahun 1980an, BRI Unit menjalankan fungsi chanelling bagi kredit BIMAS-BIMAS, fungsi BRI sebagai agent of development sedikit banyak telah ikut berperan dalam pencapaian swasembada pangan pada tahun 1980an, namun demikian, dari sisi kinerja produk pinjaman BIMAS INMAS tidak bisa dikatakan sebagai keberhasilan.

Pada awal tahun 1984, dengan dukungan dari kementerian Keuangan RI dan Bank Indonesia, BRI merancang ulang konsep BRI Unit. Dari yang awalnya syarat dengan program subsidi dari pemerintah, BRI Unit Desa kemudian dijadikan suatu unit kerja Micro banking dengan menggunakan pendekatan komersil sebagaimana prinsip-prinsip perbankan yang sehat pada umumnya.

Penggunaan pendekatan komersial tersebut ternyata menjadi suatu fenomena baru lembaga keuangan mikro, tidak hanya di Indonesia khususnya, namun juga bagi dunia micro finance pada umumnya. BRI Unit Desa yang dimulai tahun 1984 tersebut, sejak tahun 1986 hingga tahun 2002 terus berkembang serta tetap mampu menghasilkan laba. BRI Unit Desa yang kemudian lebih dikenal sebagai BRI Unit kini telah tersebar di 3.902 tempat di berbagai pelosok Indonesia.

Target market BRI adalah mereka yang digolongkan sebagai the working poor. Dengan besar pinjaman bisa sampai Rp 50 juta namun demikain dari jumlah peminjam sekitar 4 juta debitur rata-rata pinjaman mereka adalah sekitar Rp 3 juta.

Sedangkan untuk tabungan, BRI Unit saat ini melayani sekitar 25 juta penabung diseluruh Indonesia.

Dengan catatan kinerja sejak tahun 1996 hingga saat ini, BRI Unit bahkan dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro paling berhasil, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di kalangan negara-negara lain di dunia.
Kunci Sukses BRI Unit

Keberhasilan BRI Unit tidak lepas dari komitmen para manajemen BRI untuk mengembangkan BRI Unit dengan menggunakan pendekatan bisnis / komersial dan tidak lagi bergantung kepada subsidi pemerintah maupun donor. Prinsip-prinsip utama yang selama ini dipegang erat oleh manajemen BRI Unit adalah sebagai berikut :

v Simplicity. Sistem yang diterapkan di BRI Unit seperti produk, prosedur, sistem akuntansi, serta supervisi dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi sangat sederhana, efisien dan efektif.

v Accesibiliy. BRI Unit mudah dihubungi serta selalu berada dekat di tengah-tengah masyarakat bawah khususnya yang berada di daerah pedesaan / pinggiran.

v Demand?s Driven. Produk simpanan dan pinjaman dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tuntutan masyarakat yang membutuhkannya.

v Transparancy. Guna memastikan bahwa prinsip simplicity berjalan dengan benar maka, BRI Unit harus dikelola secara terbuka / transparan.

v Cost Recovery. Semua biaya yang terkait dengan kegiatan BRI Unit harus dapat ditutup dengan jumlah income yang diterima BRI Unit.

v Sustainability. BRI Unit harus mampu menghasilkan laba sehingga seterusnya mampu bertumbuh dan berkembang demi keberlangsungan usahanya.

v Continous training. Setiap pegawai dijajaran BRI Unit harus mendapat training untuk memaksimalkan kemampuan setiap karyawan dalam rangka memberikan yang terbaik buat nasabah dan perusahaan.

v Supervision. BRI Unit menjalankan mekanisme prosedur sistem supervisi guna memastikan bahwa semua karyawan telah menjalankan kegiatannya sesuai dengan pelaksanaan prinsip-prinsip perbankan yang sehat.
Muatan otonomi daerah BRI Unit

Meskipun secara kebijakan dan strategi bisnis secara nasional masih ditangani oleh kantor pusat, akan tetapi dalam taktik lapangan, khususnya dilihat dari kaca mata otonomi daerah, sejak berdirinya, BRI Unit Sistem sarat dengan muatan otonomi daerah. Hal ini dapat dilihat dari sebagian contoh-contoh berikut

SDM

BRI Unit senantiasa merekrut SDM atau karyawan yang berasal dan berdomisili didaerah setempat. Orang setempat tentu saja akan juga sangat memahami karakteristik masyarakat dan bisnis setempat. Menggunakan karyawan yang berasal dari daerah setempat juga akan meningkatkan self ownership yang relatif tinggi terhadap BRI Unit.

Sistem Operasional

Daerah operasi bisnis BRI Unit dibatasi oleh daerah tertentu, dengan demikian tingkat kontrol dan monitoring dari petugas atau pejabat BRI serta juga masyarakat juga lebih terjaga. Prosedur operasional juga dibuat standar sehingga mudah dipahami serta sesuai dengan kondisi daerah setempat.

Produk dan Jasa

Produk dan jasa baik simpanan (SIMPEDES) dan juga pinjaman (KUPEDES) dibuat sedemikian rupa sehingga sangat lentur dengan potensi kekuatan sektor ekonomi atau bisnis yang dimiliki oleh daerah.

Kewenangan

Setiap manager BRI Unit diberi kewenangan untuk pengambilan keputusan yang relatif memadai khususnya dibidang putusan pinjaman, dengan demikian para unit manager di BRI Unit menjadi lebih responsif terhadap kemungkinan bekerjasama dengan pejabat pemerintahan lokal setempat seperti: kepala desa, kelurahan atau kepala kecamatan.
Penggunaan Teknologi Informasi secara Tepat di BRI Unit

BRI secara bertahap menggunakan teknologi informasi dari cara manual maupun sampai dengan sarana yang lebih canggih lagi seperti, radio (SSB), jaringan telepon dan juga on line system.

Dari hampir 4000 BRI Unit yang ada diseluruh pelosok Indonesia, saat ini, paling tidak, seluruh transaksi dan administrasi BRI Unit sudah menggunakan sarana komputer, server, UPS dan printer. Sarana teknologi informasi dari manual, radio, telepon sampai dengan on line system dipergunakan secara bersamaan didaerah yang berbeda-beda diseluruh Indonesia. Hal tersebut menunjukkan perhatian dan antisipasi BRI atas dinamika perkembangan jaman di masing-masing lokasi BRI Unit.

Meskipun teknologi yang dipakai berbeda, namun demikian setiap BRI Unit tersebut tetap mampu memberi kontribusi laba bagi BRI.



4. Ekspansi kredit dan pengembangan credit scheme

1. Untuk tahun-tahun mendatang BRI terus berupaya untuk meningkatkan penyaluran dananya kepada usaha mikro, kecil dan menengah. Sampai dengan saat ini, ekspansi kredit BRI telah berhasil mencapai angka yang ditargetkan oleh pemerintah melalui bisnis plan. Sampai dengan akhir 2003 BRI berencana untuk melakukan penyaluran kredit kepada UKM sebesar Rp 9.4 trilyun dari posisi Juni 2002. Dengan pengalaman penyaluran kredit kepada usaha kecil selama lebih dari 107 tahun kami berharap target tersebut akan dapat terealisir dengan baik.
2. Untuk mendukung peningkatan penyaluran kredit kepada UMKM, BRI juga terus berusaha mengembangkan credit scheme, yang sesuai dengan kebutuhan pasar, sebagai contoh adalah kredit pemberdayaan ekonomi rakyat dalam rangka otonomi daerah, sebagaimana telah berhasil dikembangkan antara lain Nangroe Aceh Darussalam.



5. Kredit Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Scheme kredit ini ditujukan untuk mendukung keinginan PEMDA dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat lapis bawah didaerahnya. Pendanaan kredit ini disediakan oleh PEMDA begitu juga dengan penilaian permohonan dan keputusan kreditnya dilakukan oleh pihak PEMDA, sedangkan BRI berperan dalam penatausahaan kredit dan peningkatan kemampuan pengelolaan dan penerimaan kredit.



6. Kredit Ketahanan Pangan (KKP)

Scheme kredit ini dimaksud untuk membantu untuk peningkatan penyerapan KKP oleh Koperasi dimana pada saat ini penyerapannya terhambat oleh kekurangan jaminan yang harus disediakan oleh koperasi. Dalam menjadikan koperasi sebagai pilar perekonomian daerah, maka dalam scheme ini PEMDA dapat membantu daya serap koperasi terhadap KKP melalui penempatan dana kepada koperasi tersebut yang selanjutnya dijadikan sebagai jaminan dalam pengajuan KKP.



7. Pinjaman Otonomi Daerah

Scheme ini ditujukan untuk menalangi sementara (bridging loan) kebutuhan PEMDA terhadap dana namun sesuai permintaan Menteri Keuangan RI untuk sementara scheme kredit ini belum dapat direalisasikan.



8. Capacity Building

Dalam rangka peningkatan penyerapan kredit, BRI telah menyelenggarakan berbagai program untuk meningkatkan kemampuan UKM tersebut dalam penyerapan kredit perbankan seperti in class training, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan SDM sektor riil dalam bentuk jasa edukasi baik yang sifatnya tradisional maupun IT based. Program ini didukung oleh tenaga ahli instruktur yang berpengalaman membina usaha kecil, jaringan sentra pendidikan yang tersebar di tujuh lokasi di seluruh Indonesia, BRI siap membantu kesulitan sektor riil dalam pengembangan SDM.



9. Peningkatan Aksesibilitas UKM

Perluasan jaringan kerja

Untuk meningkatkan aksesibilitas kepada BRI, BRI terus memperluas jaringan kerja diseluruh Indonesia. Pada Juni 2002, BRI telah memiliki 4.512 kantor yang terdiri dari 322 kantor cabang, 68 kantor cabang pembantu, 3.902 BRI Unit dan 220 pos pelayan desa (PPD). Sedangkan jaringan ATM yang dapat digunakan oleh nasabah simpanan BRI sebanyak 4.397 yang terdiri atas 424 ATM BRI. 1288 ATM bersama dan 2685 ATM HIMBARA.

Pengembangan SME Center / E?Market Place

Masih dalam upaya meningkatkan aksesbilitas UKM ke pasar, BRI juga mengajak berbagai lembaga lain untuk mengembangkan pelayanan kepada UKM, antara lain dengan pengembangan SME Center. Pengembangan SME Center ini didirikan bersama-sama dengan KADIN dan TELKOM, tidak saja bertujuan untuk membangun jaringan, E?market place menjalankan juga sebagai pusat informasi maupun edukasi bagi para UKM. Pada saat ini telah didirikan di sembilan lokasi dan dalam waktu dekat atas bantuan pemerintah Korea Selatan akan dibangun lagi sebanyak 60 lokasi. Dalam pengembangan jaringan E?market place tersebut, BRI juga bekerja sama dengan agritani, sebuah lembaga regional. Tersedia jaringan E?market place ini diharapkan dapat membantu UKM, baik dalam kemudahan untuk mendapat bahan baku maupun pemasaran produk-produknya khususnya ke kawasan regional dan internasional secara langsung, dengan demikian nantinya perdagangan produk-produk UKM dapat dilakukan dengan lebih efisien.



10. Program Pendampingan UKM

BRI juga telah melaksanakan proyek percontohan, program pendampingan UKM bersama-sama dengan perguruan tinggi seperti: Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Udayana. Dalam program pendampingan ini, tenaga ahli dari BRI bersama-sama dengan para mahasiswa KKN yang didampingi oleh para dosennya, mendampingi kegiatan sejumlah UKM selama tiga bulan. Selama pendampingan tersebut, selain melakukan penelitian, para mahasiswa juga memberikan guidance dan counseling kepada usaha kecil dan membimbingnya. Data UKM dari hasil penelitian ini juga kemudian dimuat didalam website: http://www.ukmjogja yang memberikan kesempatan kepada UKM mempromosikan produknya. Program pendampingan ini sangat dirasakan manfaatnya oleh UKM, sehingga saat ini sedang dilaksanakan program lanjutan dengan universitas besar lainnya.


V. Dukungan yang diharapkan

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa untuk mencapai hasil yang optimal, dalam pengembangan sektor riil tersebut perlu adanya dukungan dari semua pihak, termasuk dari pemerintah daerah. Dalam era otonomi daerah, dengan berlakunya desentralisasi dibidang kewenangan pemerintah dan fiskal, dukungan PEMDA tersebut sangat diharapkan terutama dalam bentuk :

1. Penyediaan Dana

Dengan telah dihentikannya kucuran kredit likuiditas Bank Indonesia (KL BI), PEMDA diharapkan dapat menyediakan likuidasi pengganti sharing dengan berlakunya kebijakan desentralisasi fiskal. Untuk kelancaran penyaluran kredit likuiditas, PEMDA dapat bekerja sama dengan bank-bank didaerah setempat. PEMDA juga diharapkan dapat mendukung tersedianya fasilitas pinjaman kredit sehingga dapat memperlancar penyaluran kredit perbankan kepada sektor riil.

2. Infra struktur dan supra struktur

Untuk meningkatkan aksesibilitas ke pelosok dan mobilitas dunia usaha, diperlukan penyediaan infra strukur yang memadai seperti transportasi laut, darat dan udara. Pembangunan pelabuhan dan bandara serta jaringan komunikasi. Percepatan pembangunan infra struktur ini berpeluang besar tercapai jika sebagian DAU dialokasikan ke bidang ini. Kualitas birokrasi daerah juga perlu ditingkatkan sedemikian rupa sehingga memiliki paradigma melayani bisnis. Hal ini nantinya tercermin dalam keberpihakan terhadap pertumbuhan bisnis melalui kesederhanaan dan kejelasan masalah perijinan usaha. Untuk mencapai hal ini maka dibutuhkan paradigma kepala daerah sebagai CEO di daerahnya. Perubahan ini perlu mengingat di era otonomi daerah, tanggung jawab manajemen daerah ada pada pimpinan setempat.

3. Jaminan keamanan

Keamanan merupakan faktor penting bagi perkembangan dunia usaha. Semakin rawan suatu daerah, perkembangan usaha daerah semakin terganggu, sehingga akan meningkatkan resiko dimata perbankan.


Tanpa dukungan kondusif

1. Tanpa adanya dukungan kondusif seperti tersebut diatas berdampak pada pengolahan dana yang menjadi tidak optimal.

2. Fungsi lembaga keuangan mikro sebagai financial intermediary terganggu antara lain : LDR-nya rendah.

3. Regional capital flight, dimana investor akan menarik investasinya didaerah tersebut untuk dialihkan ke daerah lain yang kondisinya lebih kondusif terhadap perkembangan usahanya.

4. Apabila pertumbuhan lembaga keuangan mikro dapat didorong melalui timbulnya kesadaran sebagai rasa kebutuhan dan didukung aturan hukum yang jelas maka diharapkan akan terjadi sinergi dalam masyarakat dan pada akhirnya akan menumbuhkan aktifitas ekonomi di masyarakat desa.


VI. Peluang Lembaga Keuangan Mikro

Dengan semakin banyaknya masyarakat desa yang berusaha, dengan sendirinya akan membuka lapangan kerja baru, pendapatan penduduk desa meningkat, daya belinya meningkat, sehingga tingkat perekonomian di desa yang bersangkutan secara otomatis juga ikut meningkat, yang pada akhirnya dapat mengurangi atau mengentaskan kemiskinan di pedesaan.

Pengalaman BRI dengan BRI Unitnya dan kedudukan BRI sebagai pembina dan pengawasan BKD serta sebagai anggota pelaksana proyek-proyek pemerintah untuk masyarakat miskin di Pedesaan menunjukkan bahwa tingkat kemacetan kredit yang disalurkan untuk modal kerja usaha kecil-kecilan secara umum prosentasenya kecil sekali, hal ini antara lain disebabkan karena tingkat kejujuran dan keuletan berusaha masyarakat pedesaan masih sangat tinggi.

Keuletan berusaha ini juga bisa dibuktikan dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, dimana banyak pengusaha menengah dan besar yang gulung tikar, tetapi para pengusaha kecil di pedesaan usahanya tetap berjalan dan bahkan terus berkembang dan hal ini dapat pula dilihat dari pertumbuhan assets Lembaga Keuangan Mikro yang dibawah pembinaan BRI seperti BRI Unit dan BKD pada waktu sebelum krisis tahun 1996 sampai dengan akhir tahun 2002.

Melihat kinerja BRI selama ini, nampak bahwa pertumbuhan assets dan jumlah orang yang mendapatkan bantuan permodalan maupun jumlah pinjaman yang disalurkan terus meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi pembentukan lembaga keuangan mikro di pedesaan sangat besar. Masih banyak uang menganggur di pedesaan dan disisi lain, banyak pula calon-calon pengusaha atau orang yang mempunyai jiwa wirausaha namun tidak mempunyai modal dan kurang dapat akses ke perbankan.


VII. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan

1. Peran Lembaga Keuangan Mikro di era Otonomi daerah semakin penting. Untuk itu lembaga keuangan mikro perlu berinovasi guna mengantisipasi peluang bisnis yang semakin terbuka, khususnya dalam hal peningkatan aksesibilitas dan pelayan produk / jasa.

2. Lembaga keuangan mikro mempunyai peran besar dalam menumbuhkan calon-calon pengusaha ditingkat desa, meningkatkan produktivitas usaha kecil masyarakat pedesaan, serta menunjang program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.

3. LKM yang ada masih banyak yang kekurangan modal dan kemampuan manajemen usaha simpan pinjamnya masih lemah.

4. Dalam beberapa hal pengembangan lembaga keuangan mikro perlu menerapkan prinsip-prinsip komersial / bisnis yang dianut oleh BRI Unit seperti: simplicity, accesibility, demand driven, transparency, cost recovery, sustainability, continous training serta supervision.

Saran :

1. Pemerintah menerbitkan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang LKM, dan mewajibkan setiap desa untuk mendirikan LKM semacam BKD.

2. Pembinaan dan pengawasan LKM dilakukan oleh satu lembaga yang mempunyai pengalaman membina LKM.

3. Pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga perbankan / keuangan mikro terkemuka memberikan fasilitas bantuan pelatihan kepada para pengurus LKM serta memberikan bantuan modal kerja berupa pinjaman.



Daftar Pustaka :

1. Laporan Bulanan Bank Rakyat Indonesia, 2002.

2. Surat-Surat Edaran / Telex BRI, 2000 s/d 2002.

3. Robinson, Marguirete, The Micro Finance Revolution, Sustainable Finance for the Poor, The World Bank, 2000






Drs. Rudjito ? Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI)
 
thanks ya tulisannya aq jd ada bhn tambahan buat skripsi aq ttg peran modal sosial thd kinerja keu.mikro
 
Permisi Om,

Nanya ne, apakah BRI bisa dikatakan sebaga LKM ?:retard::retard::retard:
Asumsi saya OM yang pasang thread ini tau ttg MFI:):)):)):))(



maaf saya newbie mau bertanya, takut sesat dijalan.....>:>>:>>:>>:>
 
Back
Top