Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran

nurcahyo

New member
Awan Santosa, Dadit G. Hidayat, dan Puthut Indroyono
PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERSASARAN
DI PROPINSI DIY





Pendahuluan

Di tengah upaya untuk semakin menajamkan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia perlu dicari metode evaluasi dan monitoring yang tepat agar kualitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan menjadi semakin baik di masa datang. Dengan indikator-indikator yang obyektif dan terukur para pengambil keputusan menjadi lebih mudah melakukan perbaikan-perbaikan dari berbagai segi agar program penanggulangan kemiskinan menjadi lebih berkelanjutan (sustainable) dan tidak bersifat charity. Dengan demikian kegagalan suatu program di masa lalu bukan berarti telah gagal dalam segala aspeknya sehingga harus diganti dengan program baru. Pengalaman selama ini menunjukkan kecenderungan bahwa jika program dianggap telah gagal berarti program itu sudah tidak perlu diingat-ingat lagi, dan perlu program baru untuk mengganti program lama.

Penelitian ini merupakan suatu evaluasi program penanggulangan kemiskinan di Yogyakarta secara kuantitatif. Program penanggulangan kemiskinan yang dievaluasi meliputi program Inpres Desa tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), yang dikategorikan sebagai Program Kerja Mandiri (Self Employment Program), dan Proyek Pembangunana Fisik dalam program PPK yang dikategorikan sebagai Program Padat Karya (Public Work Progam)

Metodologi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak program IDT, PPK, dan P2KP serta program padat karya dalam meningkatkan pendapatan penerima program dan menurunkan tingkat kemiskinan penerima program, serta untuk mengevaluasi tingkat efisiensi penyaluran dana setiap program dan tingkat kelangsungan dana program yang dilaksanakan.

Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung (in-depth Interview) dengan penerima program yang dilakukan mulai September 2002 sampai dengan Januari 2003. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling). Jumlah responden program kerja mandiri (PKM) dalam penelitian ini adalah 80 responden, yang berasal dari 3 jenis program yaitu program IDT, program PPK, dan program P2KP, masing-masing sebesar 38 responden, 32 responden, dan 10 responden. Responden ini diambil dari 6 desa di 5 kabupaten/kota di wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Empat lokasi pertama berada di lingkungan perdesaan di empat kabupaten di propinsi DIY, yaitu desa Karangawen di kabupaten Gunungkidul, desa Srikayangan di kabupaten Kulonprogo, desa Selopamioro di kabupaten Bantul, dan desa Sambirejo di kabupaten Sleman. Sedangkan dua lokasi terakhir adalah kelurahan Purwokinanti dan kelurahan Mantrijeron yang berada di daerah perkotaan Yogyak

Responden program padat karya berjumlah 20 orang berasal dari 2 desa yaitu desa Karangawen, sebuah desa di kabupaten Gunungkidul bagian selatan, di sebelah tenggara ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dapat ditempuh lewat jalan darat selama kurang lebih 2 jam. Desa kedua terletak di kabupaten Kulonprogo atau satu jam perjalanan darat ke arah barat. Jumlah responden desa Srikayangan sebanyak 12 orang (60%) dan desa Karangawen 8 orang (40%) (tabel 4). Sebagian besar responden adalah laki-laki (80%), sedangkan jumlah responden wanita hanya sebesar 20%, kesemuanya berasal dari desa Srikayangan. Mereka sebagian besar terlibat sebagai tenaga kerja kasar (buruh kasar) yang tidak memerlukan keahlian khusus. Proyek PPK (Program Pengembangan Kecamatan) (PPK) yang mereka kerjakan adalah pembuatan saluran irigasi (saluran pembuangan air) di desa Srikayangan, dan perbaikan jalan-jalan dusun dengan menggunakan semen (cor-block) di desa Karangawen.

Analisis dalam penelitian ini menggunakan alat yang telah dirumuskan dalam Manual Evaluasi Program Penanggulangan Kemiskinan yang dibuat oleh ESCAP (Economic and Social Commision For Asia and Pacific), yang terdiri dari 4 kategori, yaitu Income Indicator (A1), Poverty Reduction (PR), Efficiency in Program Delivery (EP), dan Financial Viability (FV). Untuk memudahkan pembahasan analisis dan evaluasi data dibagi menjadi dua bagian sesuai dengan dua jenis program yang ada, yaitu Program Kerja Mandiri (Self-employment Program) dan Program Padat Karya (Public Works Program).



Program Kerja Mandiri

Penelitian ini menganalisis tiga jenis Program Kerja Mandiri (PKM) yaitu Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Analisis terhadap ketiga program tersebut dilakukan secara komprehensif dengan mengacu pada indikator yang telah disediakan. Analisis dimulai dari perhitungan masing-masing program, sehingga dapat dilihat variasi hasil program kerja mandiri beserta karakteristik masing-masing. Selanjutnya dilakukan analisis keseluruhan (aggregate) sebagai indikator pembanding program padat karya dan dasar penyimpulan umum.



1. Peningkatan Pendapatan

Peningkatan pendapatan merupakan indikator penting untuk menilai keberhasilan program bagi penduduk miskin. Konsep yang digunakan adalah untuk mengukur pendapatan rumah tangga peserta program setelah mengikuti program dengan pendapatan sebelum program. Dalam perhitungan ini juga dimasukkan faktor perubahan harga dengan menggunakan Indek Harga Konsumen untuk menilai pendapatan yang lalu dengan nilai sekarang.

[1] Pemanfaat adalah anggota rumah tangga (household) yang ikut serta langsung dalam program

Program Inpres Desa Tertinggal dapat meningkatkan pendapatan keluarga penduduk miskin peserta program dengan nilai income indicatornya sebesar 0,364, yang berarti bahwa setelah pelaksanaan program IDT selama 8 tahun pendapatan peserta IDT meningkat rata-rata sebesar 36,4%. Nilai ini berkaitan dengan dua hal, pertama pendapatan peserta IDT meningkat karena keberhasilan dalam usaha mereka (net income naik) dan yang kedua berkaitan dengan sasaran program IDT yang lebih ditujukan pada penduduk yang benar-benar miskin. Hal ini dapat dilihat pada nilai Coverage of Target Group (TAR) sebesar 0,802, yang berarti bahwa penduduk miskin yang menjadi sasaran program adalah sebesar 80,20%. Nilai indikator peningkatan pendapatan yang besar menunjukan bahwa program tersebut bermanfaat besar bagi penerima. Selain itu nilai ini juga menunjukkan adanya ketepatan sasaran (target) dalam penyaluran program.

Perhitungan data untuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK) menghasilkan nilai income indicator sebesar 0,11 yang menunjukkan adanya peningkatan pendapatan peserta PPK sebesar 11%. Nilai coverage of target group sebesar 0,71 menunjukkan adanya peserta program yang dikategorikan tidak miskin sebesar 0,29 (29%). Pengkategorian ini dilakukan dengan membandingkan tingkat pendapatan peserta program dengan garis kemiskinan propinsi D.I. Yogyakarta.

Perhitungan data pelaksanaan program P2KP menghasilkan nilai income indicator sebesar minus 0,11%. Hal ini menggambarkan adanya penurunan pendapatan rumah tangga peserta program setelah mengikuti program sebesar 11%. Berdasarkan analisis peserta program, kondisi ini karena ada pendapatan yang hilang (pensiun), peralihan usaha yang menghasilkan pendapatan lebih rendah atau berkurangnya pendapatan dari sumber lain (anggota rumah tangga). Selain itu yang lebih penting adalah sasaran program P2KP yang tidak hanya ditujukan untuk penduduk miskin. Dari data yang ditemukan diketahui bahwa nilai coverage target groupnya hanya sebesar 0,20. Artinya peserta program yang dikategorikan miskin hanya sebesar 20% (80% tidak miskin). Dengan kata lain dari 10 peserta program yang sebelum ikut program termasuk miskin hanyalah 2 orang. Dalam penelitian ini ditemukan pendapatan peserta program P2KP sebelum mengikuti program di atas Rp 12 juta per tahun sebanyak 70%. Ada yang mempunyai pendapatan sebesar Rp 66 juta dan Rp 189 juta per tahun Data ini menggambarkan tidak adanya ketegasan pengurus program (sense of priority dan sense of poverty), karena keikutsertaan program lebih dititikberatkan pada mereka yang berpotensi mengembalikan. Nilai income indicator yang rendah, bahkan minus, juga menunjukkan bahwa program tersebut tidak signifikan (berguna rendah) bagi penerima program.

Berdasarkan perhitungan secara keseluruhan pelaksanaan program kerja mandiri (self-employment programme) menghasilkan income indicator sebesar 0,3233. Nilai ini menunjukkan terjadinya kenaikan pendapatan rumahtangga secara umum dari responden sampel sebesar 32,33%. Secara agregat juga dapat disampaikan bahwa sasaran program (coverage target group) dari responden sampel adalah sebesar 0,571 (57,1%).



2. Pengurangan Kemiskinan

Indikator ini digunakan untuk mengukur persentase perubahan jumlah penduduk miskin yang menjadi peserta program. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan jumlah penduduk miskin sebelum program dan jumlah penduduk miskin sesudah program.

Berdasarkan perhitungan responden sampel diperoleh data pengurangan kemiskinan sebagai berikut :

Nilai poverty reduction peserta program Inpres Desa Tertinggal adalah sebesar 0,150, yang berarti ada penurunan jumlah penduduk miskin setelah dilaksanakan program IDT sebesar 15%. Jumlah peserta program yang tergolong miskin pada tahun dasar (1994) adalah sebesar 55,6%, nilai ini turun menjadi sebesar 47,2% pada tahun sekarang (2002). Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin pada tahun tersebut, karena menurunnya pendapatan penduduk miskin sehingga daya belinya menurun. Perhitungan data peserta program Pengembangan Kecamatan menghasilkan penurunan jumlah penduduk miskin peserta program sebesar 0,134 atau 13,4% setelah program PPK pada tahun 2001/2002.

Dari sampel peserta program P2KP diperoleh data penurunan angka kemiskinan sebesar 0,5 atau 50%. Penurunan yang cukup besar ini mempunyai dua arti, pertama, terjadi peningkatan pendapatan setelah adanya program, kedua, karena jumlah peserta program yang tergolong miskin kecil (program tidak tepat sasaran). Sehingga ukuran ini bisa menyesatkan jika tidak dicermati proporsi penduduk miskin yang mengikuti program. Dalam data sampel program P2KP penurunan sebesar 50% terjadi karena jumlah penduduk miskin peserta program kecil (20%) sehingga perubahannya (pengurangan) sangat signifikan. Oleh karena itu keterkaitan antara pengurangan kemiskinan dan ketepatan sasaran program perlu dilakukan supaya hasilnya lebih proporsional.

Secara keseluruhan dihasilkan data pengurangan kemiskinan sebesar 0,261 atau sebanyak 26,1%.



3. I Efisiensi Penyaluran Program

Indikator efisiensi penyaluran program digunakan untuk menjelaskan perbandingan antara tingkat manfaat dan biaya yang diukur dengan tambahan pendapatan bersih (net additional income) dan investasi kredit dalam pengeluaran total.

Nilai pendapatan bersih dari sampel peserta program Inpres Desa Tertinggal adalah sebesar Rp 1.037.605,-, sementara untuk program Pengembangan Kecamatan sebesar Rp 4.196.487,- dan pendapatan bersih peserta program P2KP adalah sebesar Rp 8.421.883.,- Secara keseluruhan nilai pendapatan bersih dari sample program kerja mandiri adalah sebesar Rp 4.551.992,-. Nilai biaya transaksi dan biaya opportunity nol karena tidak ada unsur biaya tersebut dalam kegiatan usaha peserta program. Data pendapatan bersih dan rata-rata besar pinjaman dapat digunakan untuk menghitung efisiensi program, sebagai berikut :

Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat efisiensi program IDT adalah sebesar 1,08 atau senilai 108%. Angka ini menunjukkan tingginya tingkat pendapatan usaha bersih dalam program tersebu. Perhitungan data program PPK dan P2KP menghasilkan nilai efisiensi penyaluran program masing-masing sebesar 2.20 dan 2,532. Hasil ini menunjukkan sangat tingginya nilai pendapatan usaha bersih dari peserta kedua program tersebut. Ini karena jenis usaha yang relatif menguntungkan dan skala usaha mereka yang relatif besar dan luas. Ditemukan juga fakta bahwa nilai penjualan usaha (omset) peserta program sangat besar dan nilai pinjaman usaha mereka menjadi tidak signifikan. Selain itu ada kecenderungan dana pinjaman tidak digunakan untuk usaha, selain karena digunakan untuk kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya, juga karena tingkat usaha mereka yang sudah besar, sehingga pinjaman yang kecil tidak begitu berarti.

4. Kelangsungan Dana

Kelangsungan dana (financial viability) adalah indikator penting dari program penanggulangan kemiskinan karena ketersediaan dana untuk membiayai program terbatas. Jumlah pinjaman yang dikembalikan adalah variabel utama untuk menunjang ketersediaan dana program. Pertimbangan lainnya adalah bahwa pemerintah mendapatkan penerimaan dari peserta program tersebut. Peserta program juga dikenai kewajiban untuk membayar pajak, baik secara langsung maupun dari pajak pembelian barang yang mereka lakukan. Dalam penelitian ini digunakan nilai perbandingan antara pajak tidak langsung dan produk domestik bruto (GDP ) sebagai ukuran koefisien pajak.

Data responden sampel peserta program Inpres Desa Tertinggal menunjukkan nilai financial viability sebesar 0,814. Jumlah pinjaman yang telah dikembalikan peserta program IDT adalah sebesar Rp 760.955 dari total pinjaman yang direalisasikan sebesar Rp 959.827. Nilai pinjaman tersebut termasuk jumlah pinjaman dari sumber lainnya, seperti Kredit tani, Kredit Pengusaha Kecil dan lain-lain. Karena jangka pengembalian pinjaman lain lebih lama (1,5 ? 2 tahun ) maka nilai pengembalian pada tahun 1994/1995 relatif kecil (tidak termasuk dalam perhitungan). Selain itu ditemui juga pinjaman IDT yang hanya perlu dibayar bunganya per bulan dengan nilai kecil, sehingga pada akhir tahun perhitungan nilainya lebih kecil dari pinjaman awal. Fakta yang ditemukan dari data sampel menunjukkan bahwa program IDT di propinsi DIY sampai saat ini masih berjalan dengan baik. Kelompok Masyarakat (pokmas) yang terbentuk masih beroperasi dengan jenis usaha yang disepakati anggota kelompok, seperti simpan pinjam atau pemeliharaan ternak kambing. Dana pemerintah sudah digulirkan untuk program lain (seperti PPK) sehingga untuk program IDT sumber dananya berasal dari anggota masing-masing kelompok masyarakat (pokmas).

Data responden sampel peserta program PPK dan program P2KP menunjukkan hasil yang lebih besar dibanding IDT, yaitu masing-masing program sebesar 0,851 dan 0,989. Hal ini terkait dengan kondisi ekonomi peserta program PPK dan P2KP yang mempunyai pendapatan yang lebih besar dan tidak mempunyai pinjaman dari sumber lain, sehingga persentase nilai pinjaman mereka kecil. Karena jumlah pendapatan usaha bersih dari program P2KP lebih besar maka nilai kelangsungan dana (financial viability) lebih tinggi. Fenomena yang ditemukan dari sampel adalah adanya pembiasan sasaran peserta program P2KP. Dari semula program ini ditujukan bagi penduduk miskin, namun dengan pertimbangan agar terjadi kesulitan dalam program, dana ?dialihkan? pada penduduk yang berpotensi mengembalikan, walaupun sebenarnya belum terbukti apakah ?etos ngemplang? penduduk miskin lebih tinggi dari penduduk tidak miskin. Keadaan ini justru melemahkan usaha pengelola program untuk berkonsentrasi pada upaya menanggulangi kemiskinan di wilayahnya. Secara keseluruhan hasil perhitungan data agregat menghasilkan nilai financial viability untuk program kerja mandiri sebesar 0,884.

Hasil perhitungan masing-masing indikator dapat digunakan .untuk menyusun skor setiap indikator dari setiap program dan skor secara keseluruhan dari program kerja mandiri. Perhitungan skor dilakukan dengan memberikan bobot yang berbeda untuk masing-masing indicator.

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai skor untuk program IDT sebesar 73,04, PPK sebesar 60,85, dan program P2KP sebesar 71,13.

Program Padat Karya

Indikator yang digunakan dalam program padat karya sama dengan program kerja mandiri yaitu, indikator peningkatan pendapatan (income indicator), pengurangan kemiskinan (poverty reduction), efisiensi penyaluran program (Efficiency in program delivery), dan indicator kelangsungan dana (financial viability).

1. Peningkatan Pendapatan

Metode perhitungan indikator ini sama dengan metode pada program kerja mandiri. Dari data responden sample diperoleh nilai rata-rata pendapatan rumah tangga sebelum program padat karya (Yo) sebesar Rp 3.603.725,-, dan nilai pendapatan rumah tangga sesudah program (Yt) adalah sebesar Rp 4.416.711,-. Peserta program padat karya yang termasuk sasaran adalah sebanyak 65%, yaitu peserta sebelum mengikuti program termasuk kategori miskin. Dengan menggunakan indek harga sebesar 1,255 diperoleh hasil perhitungan income indicator program padat karya sebesar ?0,

Nilai ini menggambarkan terjadinya penurunan pendapatan rumah tangga peserta program padat karya sebesar 2%. Ini dapat disebabkan karena periode kerja program padat karya yang sangat singkat (rata-rata 3 minggu) sehingga hasilnya tidak signifikan dalam menaikkan tingkat pendapatan rumah tangga. Selain itu penurunan ini dapat disebabkan adanya factor-faktor lain, seperti berkurangnya tingkat penghasilan, peralihan pekerjaan. Dari hasil perhitungan ditemukan bahwa tingkat kenaikan harga (Pt = 1,255) menurunkan nilai nominal pendapatan tahun sekarang.

2. Pengurangan Kemiskinan

Metode perhitungan sama dengan metode perhitungan dalam program kerja mandiri, yaitu dengan membandingkan jumlah orang miskin peserta program padat karya selama, sebelum, dan sesudah mengikuti program. Berdasarkan perhitungan data responden sample diperoleh nilai Head Count Ratio pada tahun dasar (2000/2001) sebesar 0,65 dan nilai Head Count Ratio pada tahun 2001/2002 sama, yaitu senilai 0,65. Artinya tidak ada perubahan jumlah peserta program padat karya yang dikategorikan miskin, tetap sebesar 65%. Sehingga berdasarkan data tersebut ditemukan pengurangan kemiskinan program padat karya adalah nol. Sesuai data sample program padat karya tidak mengubah jumlah peserta program yang termasuk miskin, seperti terlihat dalam table berikut :



3. Efisiensi Penyaluran Program

Program padat karya pada umumnya ditujukan untuk pembangunan proyek yang dapat diakses langsung oleh masyarakat luas, seperti jalan, saluran air dan sebagainya. Pengukuran efisiensi penyaluran program dilakukan dengan membandingkan rencana biaya pembangunan proyek dengan realisasi dana pembangunan proyek. Jika nilai realisasi dana lebih besar dari nilai rencana biaya pembangunan proyek, maka dapat dikatakan proyek tersebut tidak efisien. Selain itu juga digunakan nilai indek kualitas proyek, yang merupakan persepsi peserta proyek terhadap kualitas hasil pembangunan proyek.

Nilai rencana biaya pembangunan proyek pembangunan saluran drainase di desa Srikayangan adalah sebesar Rp 45.525.750,-. Dengan nilai realisasi biaya pembangunan proyek sebesar Rp 45.842.000,- dan indek kualitas proyek 0,80 diperoleh nilai efisiensi penyaluran program dalam pembangunan saluran drainase di desa Srikayangan sebesar 0,79 (79%). Rencana biaya pembangunan proyek pengecoran jalan (cor-block) di desa Karangawen adalah sebesar Rp 87.752.750,-. Dengan nilai realisasi biaya pembanguan proyek sebesar Rp 89.486.900,- dan indek kualitas proyek 0,80 diperoleh nilai efisiensi penyaluran program dalam proyek pengecoran jalan sebesar 0,78 (78%). Secara keseluruhan nilai rencana biaya pembangunan proyek di lokasi sampel adalah sebesar Rp 133.278.500,-. Dengan nilai realisasi keseluruhan biaya proyek sebesar Rp 135.328.900,- dan indek kualitas proyek 0,80 diperoleh nilai efisiensi penyaluran program padat karya sebesar 0,789 atau senilai 78,9%..

4. Kelangsungan Dana

Indikator kelangsungan dana dapat diukur dengan dua pendekatan. Pertama, proporsi penerimaan proyek dari pembiayaan program dan tambahan pendapatan pajak dari total pengeluaran program yang dipertimbangkan untuk kelangsungan program. Kedua, Komitmen pemerintah untuk menganggarkan dana proyek padat karya yang diukur dengan perbandingan proporsi pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan proyek dari tahun yang lalu dengan tahun sekarang.

Dengan nilai elastisitas pajak 0,02, dan jumlah peserta program 20 orang, rata-rata pendapatan bersih Rp 120.675,- diperoleh nilai financial viability proyek padat karya tersebut sebesar 0,0197 Perhitungan kedua menghasilkan proporsi minimum pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan proyek pada tahun lalu (2000/2001) sebesar 0,34 dan proporsi pembiayaan proyek pemerintah sekarang sebesar 0,32. Sehingga dihasilkan nilai financial viability sebesar 1,02. Secara keseluruhan indikator financial viability dari proyek padat karya adalah sebesar 0,54. ((1,06 + 1,05)/2 ) atau senilai 54%.

Berdasarkan nilai masing-masing indikator tersebut dilakukan skoring dengan menggunakan metode yang sama dengan skoring program kerja mandiri. Dari hasil skoring ditemukan bahwa nilai skor program padat karya adalah sebesar 25,48.

Selain beberapa indikator tersebut dalam penelitian ini juga diamati variabel lain yang terkait dalam pelaksanaan proyek padat karya, yaitu : keterlibatan dalam perencanaan proyek, kesesuaian dengan aspirasi, kegotongroyongan / solidaritas sosial, pengetahuan dan sosialisasi proyek, dan sumbangan peserta proyek Secara keseluruhan dihasilkan nilai persentase dari masing-masing ukuran lain tersebut, sebagai berikut :

Berdasarkan hasil skoring program diperoleh nilai skor program kerja mandiri sebesar 68,34 dan skor program padat karya sebesar 20,38. Sesuai dengan prinsip awal penanggulangan kemiskinan bersasaran, yaitu indikator yang merupakan prioritas yaitu income indicator dan poverty reduction, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan program kerja mandiri lebih berhasil dalam menanggulangi kemiskinan di wilayah sampel dibanding program padat karya. Secara keseluruhan pelaksanaan program padat karya tidak dapat digunakan sebagai alat untuk penanggulangan kemiskinan. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dalam tingkat pendapatan dan tingkat kemiskinan, Ini karena lama waktu pelaksanaan program yang terlalu pendek dan orientasi nilai masyarakat yang lebih mengedepankan solidaritas sosial, sehingga nilai swadaya masyarakat juga besar, dan proyek dapat diselesaikan dengan baik karena merupakan kebutuhan bersama anggota masyarakat.

Evaluasi dan Kesimpulan

Dalam penelitian ini konsep manfaat program yang lebih dikedepankan adalah manfaat yang diterima individu dari program penanggulangan kemiskinan. Di Indonesia pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan selalu melibatkan partisipasi masyarakat dengan pembentukan kelompok-kelompok. Hal ini sesuai dengan misi pemberdayaan individu, kelompok dan masyarakat dan sistem nilai yang berkembang di masyarakat, yaitu kebersamaan (kolektivisme), solidaritas kelompok dan kegotongroyongan. Indikator yang menunjukkan kemajuan dan prestasi kelompok dan masyarakat dalam kaitannya dengan program penanggulangan kemiskinan perlu diperhatikan. Sejauh mana kemajuan yang dirasakan kelompok dan masyarakat dapat dijadikan ukuran pembanding dari manfaat yang diterima individu?. Kemajuan ini dapat dalam bentuk pembangunan fisik, ekonomi, sosial, maupun budaya masyarakat lokal Karena seringkali kepentingan masyarakat lebih diutamakan, seperti halnya dalam program padat karya (pembangunan fasilitas umum), perlu diperhatikan juga apakah kemajuan yang dirasakan kelompok dan masyarakat sudah dirasakan juga oleh individu. Temuan dari penelitian juga menunjukkan adanya sistem nilai masyarakat lokal yang terkait dalam distribusi pinjaman. Pada umumnya karena kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan cukup merata maka pinjaman dibagi secara merata dan adil (dum-dil).

Dalam penelitian proyek padat karya hanya diamati manfaat yang diterima peserta program. Dalam kenyataannya hasil proyek tersebut dirasakan oleh banyak warga masyarakat, sehingga perlu diperhitungkan juga seberapa besar manfaat baik langsung maupun tidak langsung dari proyek yang dibangun, termasuk juga biaya secara langsung dan biaya tidak langsungnya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi proyek secara lebih mendalam dengan memasukkan variabel terkait. Sistem nilai sosial yang kondusif bagi pelaksanaan program padat karya juga bisa dijadikan sebagai indikator keberhasilan program padat karya dalam pembangunan masyarakat.

Kesimpulan Umum

Dari hasil analisis data pelaksanaan program Inpres Desa tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang termasuk sebagai Program Kerja Mandiri, serta pelaksanaan proyek pembangunan saluran drainase dan pengerasan jalan yang termasuk dalam Program Padat Karya, dihasilkan kesimpulan sebagai berikut :

(1) Pendapatan peserta Program Kerja Mandiri meningkat sebesar 32,33% untuk rumahtangga atau 3,87% untuk individu penerima program. Sedangkan pendapatan peserta Program Padat Karya menurun sebesar 2%. Jumlah peserta program kerja mandiri yang miskin menurun sebesar 26,1%, sedangkan jumlah peserta program padat karya yang miskin tetap (penurunan 0%). Nilai total dari Program kerja Mandiri sebesar 68,34%, sedangkan nilai total Program Padat Karya sebesar 20,38%.

(2) Efisiensi penyaluran program dari Program kerja Mandiri lebih tinggi dibanding efisiensi penyaluran program dari Program Padat Karya. Tingkat efisiensi penyaluran program dari Program Kerja Mandiri adalah sebesar 192,1%, sedangkan tingkat efisiensi penyaluran program dari Program Padat Karya adalah sebesar 78,9%

(3) Kelangsungan dana untuk pelaksanaan Program Kerja Mandiri lebih tinggi dibanding kelangsungan dana untuk Program Padat Karya. Tingkat kelangsungan dana Program Kerja Mandiri sebesar 88,4%, sedangkan kelangsungan dana Program Padat Karya sebesar 54%.



Awan Santosa, Dadit G. Hidayat, Puthut Indroyono - Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) Universitas Gadjah Mada
 
Saya senang akhirnya ada juga yang melakukan penelitian tentang PPK, kebetulan saya juga pelaku lapangan ppk, lama saya nyari hasil penelitian tentang PPK, jangan2 sebenarnya yang saya lakukan selama ini tidak banyak membantu masyarakat miskin, ternyata ya..lumayanlah he3x
 
Back
Top