Pendekatan Ekosistem Dalam Penanggulangan Kemiskinan

nurcahyo

New member
Anton Namba
PENDEKATAN EKOSISTEM DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN: REFLEKSI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH



UNTUK mengurangi penduduk miskin telah dilakukan berbagai program penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah, swasta, dan LSM. Beragam program penanggulangan kemiskinan itu ada yang bersifat sektoral oleh pemerintah, LSM dengan program pengembangan masyarakat, sementara swasta lebih dikenal dengan program kemitraannya. Sudah pasti setiap instansi atau lembaga memiliki kriteria mengenai kemiskinan dan memiliki pola kerja/pola pengembangan masing-masing.

Sampai saat ini belum ada kriteria yang baku dalam mengidentifikasi penduduk miskin, pengertian dan kriteria kemiskinan begitu beragam sesuai badan/instansi/dinas yang menangani masalah kemiskinan. Bagi dinas sosial misalnya, mereka yang miskin adalah: mereka yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka yang layak bagi kemanusiaan; mereka yang sudah mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan; mereka yang termasuk kelompok marginal yang berada di sekitar garis kemiskinan. Disamping itu ukuran kemiskinan lainnya dari BKKBN yaitu berdasarkan kelompok prasejahtera dan sejahtera I. Kedua kriteria kemiskinan itu adalah paling banyak digunakan dalam menentukan penduduk miskin.

Namun dari sekian banyak Program Penanggulangan Kemiskinan yang ditawarkan belum banyak berdampak pada pengurangan penduduk miskin. Bahkan memperlihatkan kecenderungan peningkatan penduduk miskin sejak terjadinya krisis ekonomi. Hal ini disebabkan antara lain Program Penanggulangan Kemiskinan (PPK) kurang mempertimbangkan aspek ekosistem suatu wilayah. Padahal akar kemiskinan banyak disebabkan faktor ekosistem. Kemiskinan yang disebabkan ekosistem sebenarnya masalahnya lebih kompleks dan lebih sulit diatasi. Namun hal ini kurang disadari oleh beragam pelaksana PPK.

Misalnya isu kemiskinan diteluk Palu (Provinsi Sulawesi Tengah), kemiskinan lebih banyak disebabkan kerusakan ekosistem seperti: pengolahan sumberdaya perikanan secara berlebih-lebihan oleh perusahaan perikanan, pengelolaan galian C terdapat di sepanjang Teluk Palu, dan limbah rumah tangga yang semuanya bermuara di Teluk Palu. Hal ini ditanggapi oleh beberapa LSM yang kemudian melahirkan Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP). Gerak penanggulangan kemiskinan kemudian dilakukan melalui langkah-langkah perlawanan dari masyarakat asli melalui wadah SNTP terhadap pihak-pihak yang selama ini mengambil keuntungan di teluk. SNTP menyiapkan basis-basis masyarakat nelayan, yaitu suatu kesatuan komunitas yang terdiri dari para nelayan. Pada setiap basis dibentuk kelompok-kelompok kecil- atau kelompok dua-an dengan bantuan dana dari lembaga Pemulihan Kerberdayaan Masyarakat (PKM). Sementara Yayasan Pendidikan Rakyat bertindak sebagai pendamping lapangan.

Keberadaan SNTP berhasil membangun norma pengelolaan sumberdaya perairan, dengan membuat kesepakatan bersama, yaitu:

?siapa saja bisa menangkap ikan di teluk, tetapi harus menggunakan alat tangkap yang tidak mengeksploitasi secara besar-besaran. Alat tangkap harus sederhana sehingga pendapatan antar nelayan bisa merata. Disamping itu, tidak terjadi eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran?.

Secara sederhana norma pengelolaan sumberdaya perairan tersebut dapat dipandang sebagai visi masyarakat lapisan bawah dalam upaya penanggulangan kemiskinan bagi diri mereka sendiri

Sementara itu, semaraknya usaha pertambangan galian C di Sulawesi Tengah telah mendatangkan gerakan perlawanan dari masyarakat. Perlawanan itu berkaitan dengan dampak dari pengelolaan galian C tersebut kepada masyarakat luas, yang dapat dilihat pada beberapa aspek berikut:

1.

Galian C pada mulanya merupakan usaha-usaha tradisional yang telah berlangsung lama sebagai bagian dari usaha kecil masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana. Dampaknya secara ekologi relatif kecil. Namun sejak tahun 1980-an, usaha galian C berpindah tangan dari masyarakat kecil ke pengusaha besar sebagai akibat dari dikeluarkannya seperangkat Perda tentang galian C yang terus diperbaharui sejak tahun 1980-an.
2.

Dengan beralihnya pengusahaan galian C dari masyarakat kecil ke pada pengusaha besar menimbulkan kerusakan ekologi yang berakibat pada gangguan pada sistem pertanian dan sistem perikanan tangkap di Teluk Palu. Akibatnya masyarakat petani kecil dan nelayan kecil dirugikan secara ekonomi,
3.

Praktek galian C yang dilakukan oleh para pengusaha yang dikawal dengan kebijakan daerah sekalipun merugikan secara ekonomi dan secara ekologi pada tingkat petani/nelayan tetapi tetap memberikan defisa yang signifikan kepada PAD. Karena itu ketegangan yang terjadi mengarah kepada konflik vertikal antara pemerintah daerah dan masyarakat kecil.

Konflik jenis ini merupakan salah satu persoalan penting dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah. Hal ini karena semakin terpinggirkannya penduduk asli dari kehidupan tradisionalnya, akibat dari hegemoni para pendatang. Para pendatang menguasai sebahagian besar sumberdaya agraris di akwasan tersebut.

Isu kemiskinan berkenaan dengan hal ini adalah terjadinya kesenjangan penguasaan aset ekonomi antara para pendatang dengan penduduk asli. Gejala kemiskinan muncul sebagai akibat dari interaksi fungsional yang berkepanjangan antara penduduk pendatang yang memiliki etos kerja tinggi dengan penduduk asli yang memiliki etos kerja rendah.

Selanjutnya permasalahan yang banyak diperdebatkan adalah sasaran bantuan, ada yang sependapat bila bantuan sebaiknya perorangan saja tetapi ada juga lewat kelompok. "Sebaiknya bantuan diberikan melalaui perorangan karena lebih dapat dipertanggungjawabkan. ?Saya tidak begitu yakin apabila perguliran dana melalui kelompok, mana ada kelompok yang mau menggulirkan dananya ke kelompok lainnya", kata salah seorang peserta pertemuan dari Dinas Pertanian Donggala. Sebaliknya peserta dari Bali Informasi Penyuluh Pertanian (BIPP) lebih setuju bila melalui kelompok karena kelompok lebih mudah mendapat bimbingan dari pendamping. Dengan asumsi dalam kelompok itu tidak semuanya miskin tapi ada (pengurusnya) yang memiliki SDM lebih baik seperti kelompok P4K.

Jika kita cermati mengapa program P4K lebih berhasil dibanding dengan program lainnya karena program ini sebenarnya lebih akomodatif terhadap aspek ekosistem. Program P4K dilaksanakan pada masyarakat terbiasa berkelompok (kelompok tani) sehingga pendekatan kelompok yang dilakukan dapat diterima karena masyarakatnya sudah terbiasa berkelompok. Demikian juga angsuran kredit disesuaikan dengan kondisi usaha mereka (sektor pertanian) yang tergantung dengan musiman. Misalnya program P4K di Desa Sidera, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dibanding dengan program lainnya P4K lebih berhasil, selain keunggulan yang disebutkan di atas kelompok P4K juga mendapat pembinaan dari pendamping (PPL). Keberadaan PPL berperan penting dalam perkembangan kelompok, pada setiap pertemuan PPL membimbing masalah kredit, pertukaran informasi dagang antaranggota, dan pembukuan.

Sebaliknya banyak program yang gagal karena kurang memperhatikan aspek ekosistem setempat. Misalnya, berbagai pelatihan yang diberikan kadang-kadang tidak sesuai kebutuhan peserta. ?Gatal di kaki garuk di kepala. Orang pulau diajari bercocok tanam kakao atau palawija, sebaliknya orang darat dibina bagaimana caranya mengawetkan ikan asin. Masyarakat sih mau saja terima materi pelatihan, apalagi kalau pelatihan dapat uang saku. Tapi di situ program menjadi tidak pernah pas dengan apa yang diharapkan masyarakat?, kata salah seorang pendamping lokal di Bungku Selatan, Sulawesi Tengah.

Akhirnya, dengan menggunakan pendekatan ekosistem dalam penanggulangan kemiskinan, sebenarnya kemiskinan di suatu wilayah dapat dipetakan berdasarkan klasifikasi tipe ekologi. Di Sulawesi Tengah, hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat perkotaaan denga aktivitas utama industri dan jasa memiliki skor indeks kemiskinan yang lebih baik dibanding dengan tipe masyarakat dengan tipe agro-ekosistem lainnya yang justru banyak memiliki alternatif sumber ekonomi berkenaan dengan potensi sumberdaya alamnya. Padahal kebutuhan hidup masyarakat Kota Palu di datangkan dari berbagai daerah sekitarnya, terutama dari daerah-daerah kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah.

Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa potensi agroekosistem belum dikembangkan secara optimal bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Justru masyarakat di daerah perkotaan yang banyak menerima intervensi program-program pembangunan melalui program pengembangan kota seperti infrastruktur prasarana ekonomi dan sosial budaya banyak menghasilkan reduksi kemiskinan. Dengan kata lain, instrumen kebijakan pembangunan lebih efektif mereduksi kemiskinan secara tajam dibaning dengan mengandalkan masyarakat hidup dari sumberdaya alam yang kaya-raya tanpa ditunjang dengan kebijakan yang memihak pada masyarakat miskin.






Anton Namba ? Staf Peneliti Pusat P3R - YAE Bogor
 
Back
Top